Tadabbur Surat Al Quraisy



Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. Yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan rasa lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Sebab Turunnya Ayat
Al Wahidy[1] meriwayatkan dalam kitabnya sebagai berikut: Mengabarkan kepada kami Hakim Abu Bakrin al hiyriy, mengabarkan kepada kami Abu Ja’far ‘Abdullah bin Isma’il al Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Sawadah bin ‘Ali, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abi Bakrin az Zuhriy, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Muhammad bin Tsabit, telah menceritakan kepada kami ‘Utsman bin ‘Abdilldh bin ‘Atiiq dari Sa’id bin ‘Amr bin Ja’dah, dari Ayahnya dari neneknya Ummi Hani binti Abi Thalib, telah berkata:

قال النبي صلى اللَّه عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ فَضَّلَ قُرَيْشًا بِسَبْعِ خِصَالٍ- لَمْ يُعْطِهَا أَحَدًا قَبْلَهُمْ، وَلَا يُعْطِيهَا أَحَدًا بَعْدَهُمْ-: إِنَّ الْخِلَافَةَ فِيهِمْ، وَ [إِنَّ] الْحِجَابَةَ فِيهِمْ، وَإِنَّ السِّقَايَةَ فِيهِمْ، وَإِنَّ النُّبُوَّةَ فِيهِمْ، وَنُصِرُوا عَلَى الْفِيلِ، وَعَبَدُوا اللَّهَ سَبْعَ سِنِينَ لَمْ يَعْبُدْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، وَنَزَلَتْ فِيهِمْ سُورَةٌ لَمْ يُذْكَرْ فِيهَا أَحَدٌ غَيْرُهُمْ: لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ.]
Nabi saw bersabda: Sesungguhnya Allah telah memuliakan kaum Quraisy dengan tujuh sifat – yang tidak didapati satupun pada kaum sebelum dan sesudah mereka – : Sesungguhnya kekhilafahan ada pada mereka, ada penjagaan pada mereka, ada sumber air mengalir pada mereka, ada kenabian pada mereka dan diberikan pertolongan atas serangan gajah, dan mereka menyembah Allah selama 70 tahun yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun selain mereka, dan diturunkan pada mereka surat yang tidak disebutkan pada surat itu siapapun selain mereka yaitu surat al Quraisy [2]

Pendapat-Pendapat Tentang Arti Sebutan & Keutamaan Quraisy.
Para ulama berbeda pendapat mengenai sebab penyebutan quraisy sebagai berikut:[3]
a. karena mereka telah bersatu kembali setelah berpisah. Sebab kata quraisy berasal dari (التَّقَرُّشُ) yang artinya (التَّجَمُّعُ وَالِالْتِئَامُ) berkumpul dan bersatu kembali.
b. karena mereka semua adalah para pedagang yang makan dari jerih payah mereka. Sebab kata quraisy berasal dari kata (القَرُّشُ) yang berarti (التَّكَسُّبُ) memenuhi kebutuhan dengan berusaha.
c. karena mereka adalah orang-orang yang memeriksa dan mencari siapa saja membutuhkan sesuatu ketika berhaji untuk di bantu. Sebab kata quraisy berasal dari kata (الْقَرْشُ) yang artinya (التَّفْتِيشُ) memeriksa.
d. karena mereka memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan ikan hiu (الْقِرْشُ). Pendapat ini diambil dari sebuah riwayat bahwa Mu’awiyah pernah bertanya kepada ibnu abbas tentang sebab penyebutan quraisy ibnu abbas menjawab (لِدَابَّةٍ فِي الْبَحْرِ مِنْ أَقْوَى دَوَابِّهِ يُقَالُ لَهَا الْقِرْشُ، تَأْكُلُ وَلَا تُؤْكَلُ، وَتَعْلُو وَلَا تُعْلَى) “dari seekor hewan yang hidup di tengah lautan. Hewan tersebut adalah hewan yang paling kuat diantara hewan lainnya. Hewan tersebut bernama ikan hiu, ia memakan ikan lainnya namun ikan lainnya tidak dapat memakannya, ia dapat mengalahkan ikan lainnya sedangkan ikan lainnya tidak dapat mengalahkannya”[4]

Lebih lanjut menurut al Qurthubi bani quraisy, berasal dari keturunan bani an nadhir bin kinanah bin khuzaimah bin mudrikah bin ilyas bin mudhar.[5]
Pendapat ini sebagaimana sebuah riwayat dalam sunan ibnu majah[6] dari al ash’ats ibn qais, Rasulullah saw pernah bersabda: (نَحْنُ بَنُو النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ، لَا نَقْفُو أُمَّنَا، وَلَا نَنْتَفِي مِنْ أَبِينَا) yang artinya, “Kami adalah keturunan an nadhr bin kinanah yang tidak menasabkan nama kepada ibu kami dan tidak mencabut nasab dari ayah kami”[7]

Mengenai keutamaan quraisy, imam Muslim[8] meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami muhammad bin mihran ar raazi dan Muhammad bin abdirrahman bin sahm dari al walid, berkata ibnu mihran: menceritakan kepada kami al walid bin muslim, menceritakan kepada kami al auza’i dari abi ammar saddad, bahwa watsilah bin al asqa’ berkata: aku mendengar rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ
“sesungguhnya Allah telah memilih kinanah dari keturunan nabi Ismail, lalu Allah memilih quraisy dari keturunan kinanah lainnya, lalu Allah memilih bani hasyim dari quraisy kemudian Allah memilihku dari bani hasyim.”[9]
Munasabah

Makna surat ini menurut al qurthubi terkait dengan surat sebelumnya (al fiil) bahwa dibinasakannya tentara bergajah adalah karena ingin menundukkan hati orang-orang quraisy dengan rasa aman.[10]
Ibnu katsir meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (حَبَسْنَا عَنْ مَكَّةَ الْفِيلَ وَأَهْلَكْنَا أَهْلَهُ  أَيْ: لِائْتِلَافِهِمْ وَاجْتِمَاعِهِمْ فِي بَلَدِهِمْ آمِنِينَ) bahwa keterkaitan surat ini dengan surat al Fiil adalah, Allah menghalangi pasukan gajah memasuki kota mekah dan dibinasakan pelakunya karena kebiasaan orang-orang quraisy dan pekumpulan mereka dimekah dalam keadaan aman sentosa.[11]

Hamka berpendapat[12] bahwa tidaklah mungkin hanya untuk memelihara kaum quraisy hingga Allah menghancurkan tentara bergajah. Melainkan peringatan bagi kaum quraisy agar mereka tidak menyembah berhala melainkan menyembah rabb pemilik ka’bah. Serta peringatan agar mereka menjadi pelopor menyambut seruan risalah kenabian karena negeri mereka telah menjadi pusat ziarah pada masa itu.[13]

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ       إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ  
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. Yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan panas

Kaum quraisy pada umumnya adalah para saudagar, mereka biasa melakukan perjalanan perniagaan maupun keperluan lainnya. Menurut ibnu katsir pada musim dingin mereka ke yaman dan pada musim panas mereka ke syam.[14] Karena perjalanan niaga inilah Allah melimpahkan rezeki bagi mereka, meskipun negeri mereka tandus dan kering. Allah juga melimpahkan rasa aman dari ketakutan di dalam negeri maupun di luar negeri mereka karena adanya ka’bah.[15] Al Qurthubi menuliskan pendapat mujahid dan ibnu abbas, bahwa ayat ini mengingatkan kepada kaum quraisy tentang nikmat Allah bagi mereka yaitu ketenangan menjalankan aktivitas niaga tanpa harus terganggu hal-hal lainnya.[16]
           
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ 
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (ka’bah).

Ibnu katsir menjelaskan bahwa ayat ini bermakna, (فَلْيُوَحِّدُوهُ بِالْعِبَادَةِ، كَمَا جَعَلَ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا وَبَيْتًا مُحَرَّمًا) hendaknya mereka mentauhidkan Allah dengan beribadah sebagaimana Dia telah menjadikan bagi mereka tanah suci yang aman sekaligus rumah yang suci.[17] Sebagaimana firman Allah:
إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“aku hanya diperintahkan untuk beribadah kepada Rabb negeri ini (mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nyalah segala sesuatu dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (an naml 91)

Ibnu Jarir ath thobari meriwayatkan dari Amr bin abdil hamid al amali menceritakan kepada kami, ia berkata: marwan menceritakan kepada kamu dari ashim al ahwal dari ikrimah dari ibnu abbas maksudnya adalah (أُمروا أن يألفوا عبادة ربّ هذا البيت، كإلفهم رحلة الشتاء والصيف) bahwa mereka diperintahkan untuk membiasakan diri (senantiasa) menyembah tuhan rumah ini seperti kebiasaan mereka bepergian pada musim panas dan dingin.[18]

Mengenai penyebutan kata al bait yang dilekatkan secara khusus kepada dzat-Nya al Qurthubi menafsirkannya sebagai berikut:
a. (لِأَنَّهُ كَانَتْ لهم أوثان فميز نَفْسَهُ عَنْهَا) karena mereka memiliki berhala-berhala, penyebutan ini adalah untuk membedakan antara dzat-Nya dengan berhala-berhala tersebut.
b. (لِأَنَّهُمْ بِالْبَيْتِ شُرِّفُوا عَلَى سَائِرِ الْعَرَبِ، فَذَكَرَ لَهُمْ ذَلِكَ، تَذْكِيرًا لِنِعْمَتِهِ) karena dengan adanya ka’bah yang dikelilingi oleh tempat tinggal mereka mereka mendapat kemuliaan. Hal ini untuk memperingatkan mereka akan nikmat Allah yang seharusnya mereka syukuri.[19]

Makna Ibadah
Wahbah az zuhaili mendefiniskan bahwa ibadah adalah (التذلل والخضوع للمعبود على غاية ما يكون) merendahkan diri dan tunduk kepada yang disembah dengan menjadikannya sebagai tujuan.[20]
Ibnu taimiyah mengatakan bahwa ibadah adalah (العبادة اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الظاهرة والباطنة) sebuah nama yang mencakup perkataan dan perbuatan lahir dan batin yang dicintai dan diridhoi oleh Allah. Syaikh abdurrahman bin hasan mendefinisikan (فالعبادة بجميع أنواعها إنما تصدر عن تأله القلب بالحب والخضوع والتذلل رغباً ورهباً، وهذا كله لا يستحقه إلا الله تعالى) Ibadah dengan berbagai macamnya hanya berasal dari penghambaan hati dalam bentuk kecintaan, ketundukan dan kerendahan, dalam keadaan takut dan berharap, dan semua ini hanya Allah semata yang berhak atasnya.[21]

الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan rasa lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan

Ibnu Abbas menafsirkan bahwa kedua anugerah ini diberikan setelah nabi Ibrahim berdo’a,
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ
“Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya” (al baqarah 126)[22]

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh sayyid quthb ketika memulai pembahasan surat ini,
استجاب الله دعوة خليله إبراهيم، وهو يتوجه إليه عقب بناء البيت وتطهيره: «رَبِّ اجْعَلْ هذا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَراتِ» .. فجعل هذا البيت آمنا، وجعله عتيقا من سلطة المتسلطين وجبروت الجبارين
Allah telah mengabulkan permohonan kekasih-Nya Ibrahim, ketika ia menghadapkan wajah kepada-Nya seusai membangun ka’bah dan mensucikannya, “Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya” kemudian Allah menjadikan ka’bah sebagai tempat yang aman dan menjadikannya tempat mulia yang terbebas dari kesewenang-wenangan para tiran dan penguasa lalim.[23]

Para ulama tafsir berbeda pendapat tentang pengertian “yang mengamankan mereka dari ketakutan” ada yang mengartikan rasa aman dari ketakutan akan peperangan, pembunuhan, pergantian pimpinan dari luar suku, putusnya hubungan perniagaan, hingga penyakit (الجذام) kusta / lepra.
Pendapat yang benar menurut ath thobari adalah bahwa Allah mengamankan mereka dari semua rasa ketakutan dari sebab apapun sebagaimana Allah menyatakannya secara umum.[24] Demikian pula pendapat al Qurthubi, bahwa Allah lebih mengetahui makna yang sebenarnya karena lafazh ini sangat umum.[25]

Hikmah
a. Hendaknya manusia merasa malu untuk mendurhakai Allah dengan mengingat berbagai kehebatan Allah serta kemurahan karunia yang telah Ia limpahkan. Ibnu qutaibah berkata (الْحَيَاءُ مُرَكَّبٌ مِنْ جُبْنٍ وَعِفَّةٍ) malu adalah gabungan antara rasa takut dan menjaga kehormatan.[26]
b. Hendaknya manusia mengesakan-Nya dalam beribadah. Menjadikan-Nya sebagai tujuan dan menghilangkan tujuan-tujuan selain Allah dalam segala aktifitas. Ibnu abbas berkata (الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين) Allah adalah pemilik hak uluhiyah dan ubudiyah atas seluruh mahluk-Nya.[27]

Catatan Pustaka
[1] Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Ali al Wahidiy an Naisabury asy Syafi’i: Asbab an Nuzul al Qur’an. Ad Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, 492.
[2]Sanadnya sangat lemah: Ibrahim bin Muhammad bin tsabit menurut adz dzahabi senang berbuat kemungkaran, dan hadits ini diriwayatkan pula oleh al Hakim di al mustadrak (2/536) ia menshahihkannya tetapi adz dzahabi menyalahkannya ia berkata: “ya’qub itu lemah dan Ibrahim senang berbuat kemungkaran. Diriwayatkan pula oleh ath Thabrani dalam al kabir (24/409) sebagaimana jalan Ibrahim meriwayatkannya, dan diriwayatkan pula oleh al Bukhari dalam tarikh al kabir (1/1/321) juga dari jalur Ibrahim, diriwayatkan pula secara mursal oleh az Zuhri, Ibnu Jauzi menyebutkannya dalam al ‘ilal al mutanahiyah (1/297) bahwa hadits itu mursal dari sa’id bin almusayyab, as suyuti mencantumkan hadits ini pada “ad dar” (6/396) & Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya hadits ini gharib 8/491.
[3]Imam al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, 20/203.
[4] Pembahasan serupa juga dikemukakan oleh Abu Ishaq az zajaj dalam ma’ani al qur’an 5/365,  ats Tsa’laby dalam al kasyfu wal bayan an tafsir al qur’an 10/301, al baghawi dalam ma’alim at tanziil 5/310, az Zamakhsyari dalam al kasyaf 4/802, abu hayyan dalam bahrul muhith 10/546.
[5] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an 20/202.
[6] Ibnu Majah: Sunan Ibnu Majah, Beirut: Daar al Ihya al kitab al arabiyah, tt,  2/871
[7]Sanadnya shahih dalam az zawaid, perawinya tsiqah karena ‘uqail bin tholhah. Ibnu ma’in dan an nasaa-i mentsiqahkannya. Ibnu hibban menuliskannya dalam ats tsiqat. Hadits serupa juga diriwayatkan oleh abu dawud dalam musnadnya 2/377, ahmad dalam musnadnya 36/160,165 & ath thabrani dalam mu’jam al kabir 2/285.
[8] Muslim bin hajjaj an naisabury: al musnad ash shahih. Beirut: daar al ihya at turats al ‘araby, tt, 4/1782 hadits ke 2276.
[9] Hadits serupa juga diriwayatkan oleh tirmidzi dalam sunannya 5/583, ahmad dalam al musnad 28/193, ibnu hibban dalam shahihnya 14/242, ath thabrani dalam mu’jamnya 22/66 & al baihaqi dalam sunannya 6/593.
[10] al jami’ li ahkam al qur’an, 20/200.
[11] Imaduddin Ibnu Katsir: Tafsir al Qur-an al Adzhim. Daar thoyyibah li an nashr wa at tauzi’, 1420 H, 8/491.
[12] Hamka: Tafsir al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988 M, 30/271-272
[13]Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al Farra’ dalam ma’ani al qur’an 3/293.
[14] Tafsir al Qur-an al Adzhim, 8/491
[15] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H. 6/3982-3983.
[16] al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/201
[17] Tafsir al Qur-an al Adzhim, 8/492
[18] Ibnu Jarir ath Thobari: Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H, 24/623. As suyuthi menuliskan riwayat serupa dengan lafadzhnya dalam ad durr al mantsur 8/637 dan asy syaukani dalam fath al qadir 5/499.
[19] al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/208
[20]Wahbah az zuhaili: Tafsir al munir fil aqidah wa asy syariat wal manhaj. Damaskus: Daar al fikr al mu’ashir, 1418 H,  30/146.
[21] Abdurrhman bin hasan : fathul majid syarh kitab at-tauhid. Mesir: muthbi’ah as sunnah, 1377 H. 36.
[22] al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/209
[23] Fi Dzilal al Qur’an 6/3982.
[24]Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an 24/625.
[25] al Jami’ li Ahkam al Qur’an 20/209.
[26] Ibnu qutaibah dalam ash shon’ani: subulus salam. Daar al hadits, tt, 2/689.
[27] Ibnu abbas dalam Abdurrahman bin Hasan: Fathul Majid, 7.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar