TUJUAN PENDIDIKAN DALAM AL QUR’AN



Allah ta’ala menurunkan al Qur’an kepada manusia dengan sebuah tujuan mendidik dan mengarahkan manusia agar berhasil menjalankan fungsi utama keberadaan mereka dimuka bumi. Sebagai khalifah Allah dan hamba-Nya, seluruh potensi kecerdasan yang Allah karuniakan untuk membangun peradaban kelak harus dipertanggung-jawabkan, dan al Qur’an merupakan jawaban atas seluruh permasalahan itu “إن القرآن نزل كله للتربية و التوجيه لبناء الأمة الراشدة التى تقوم بمهمة الخلافة الراشدة في الأرض، و يربي النفس البشرية من جميع جوانبها، مهما كانت مستوياتها النفسية و الروحية و الإجتماعية و الحضارية.”[1] Sesungguhnya al Qur’an seluruhnya berisi pendidikan dan pengarahan untuk membangun sebuah bangsa yang mulia yang tegak sebagai khilafah ar Rasyidah di dunia, dan mendidik jiwa kemanusiaan dalam seluruh aspeknya, sehingga terbangun integralitas manusia dalam aspek pribadi, spiritual, sosial dan peradaban. 

Dengan demikian tujuan pendidikan yang paling mendasar adalah terciptanya perubahan yang diharapkan dalam seluruh perubahan pada dunia kehidupan manusia. Dan Allah menginginkan seluruh perubahan itu terjadi dibawah naungan al Qur’an, dibawah inspirasinya, sehingga perubahan itu tercipta ke arah yang baik, sebagaimana sifat al Qur’an itu sendiri. Ali bin Abi Thalib ra, pernah berkata, “القرآنُ جديدٌ لا تُبلى جِدّتُه”[2] al Qur’an itu baru dan tak kan usang inovasinya.

Pendapat serupa tentang tujuan pendidikan dalam al Qur’an dikemukakan Asy syaibani yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah, “adanya perubahan yang positif yang ingin dicapai melalui sebuah proses atau upaya-upaya pendidikan, baik perubahan itu terjadi pada aspek tingkah laku, kehidupan pribadi dan masyarakat, dan lingkungan luas dimana pribadi itu hidup.”[3]

Atas dasar inilah al Qur’an tidak memandang bahwa pencarian pengetahuan adalah demi pengetahuan itu sendiri tanpa merujuk kepada idealisme spiritual yang harus diraihnya yaitu kemaslahatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, atau dengan kata lain sukses sebagai khalifah dan sukses sebagai seorang hamba yang mengabdi Allah.

KAJIAN TAFSIR TENTANG TUJUAN PENDIDIKAN

Surat at Taubah ayat 122 Allah ta’ala menyampaikan sebuah arti penting kedudukan pendidikan bagi manusia,
وما كان المؤمنون لينفروا كآفة فلولا نفر من كل فرقة منهم طآئفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Pada ayat ini Allah ta’ala memerintahkan agar senantiasa ada sekelompok manusia yang memperdalam ilmu pengetahuan meski sedang ada perintah jihad. Hal ini menunjukkan, “kebutuhan suatu bangsa terhadap jihad dan para mujahid sama seperti kebutuhan bangsa terhadap ilmu dan para ulama.”[4]

Al Mawardi, memberikan sebuah pengertian bahwa tujuan atas seluruh peristiwa apapun dalam kehidupan orang beriman adalah untuk mengambil pelajaran dalam rangka meningkatkan keimanan mereka dan meraih kedudukan yang lebih baik dalam ketaqwaan kepada Allah ta’ala. Dalam ayat  ini peristiwa pergi berperang / sariyah maupun memperdalam pengetahuan adalah untuk tujuan tersebut. Al Mawardi menyebutkan makna “liyatafaqqahu fid diin “ sbb,
ليتفقهوا في أحكام الدين ومعالم الشرع ويتحملوا عنه ما يقع به البلاغ وينذروا به قومهم إذا رجعوا إليهم. وليتفقهوا فيما يشاهدونه من نصر الله لرسوله وتأييده لدينه وتصديق وعده ومشاهدة معجزاته ليقوى إيمانهم ويخبروا به قومهم.[5]

Pertama, memperdalam pemahaman terhadap hukum-hukum agama dan pengetahuan syari’at dan menjaga dan membawa risalah tersebut serta memberikan peringatan kepada kelompok yang ikut berperang ketika mereka kembali. Dan kedua adalah Agar mereka memahami bahwa apa yang mereka saksikan adalah pertolongan Allah terhadap Rosul-Nya dan menguatkan agama mereka, membenarkan janji Allah atas mereka, serta memberikan kesaksian atas mu’jizat Allah atas mereka untuk menguatkan keimanan dan hal-hal tersebut mereka kabarkan kepada kelompok mereka.

Pendapat ini serupa dengan pendapat Ibnu ‘Ajibah yang mengatakan bahwa dalam ayat ini terdapat 2 perjalanan yang menggambarkan tujuan pendidikan, yaitu perjalanan mendidik diri melalui proses mempelajari hukum-hukum agama dan proses melatih kekuatan kepribadian. Kedua perjalanan memberikan tujuan yang berbeda yaitu “فمن رجع عن سياحة الأحكام قام بلسانه يدعو الخلق إلى ربه، ومن رجع من سياحة الأدب والرياضة قام في الخلق يهديهم لأخلاقه وشمائله”[6] Mereka yang kembali dari perjalanan hukum-hukum menegakkan dengan lisannya mengajak manusia kembali kepada Allah, dan mereka yang kembali dari perjalanan adab dan riyadhoh menegakkan pada manusia dengan memberikan petunjuk dengan kesempurnaan akhlaq.

Atas pendapat tersebut dapat kita simpulkan bahwa ibnu ‘Ajibah berpendapat bahwa bentuk pendidikan tidak hanya proses pengajaran ataupun penerangan dalam forum talaqqi melainkan pula dalam bentuk latihan dan praktek dalam lapangan-lapangan amal. Masing-masing dari model pendidikan ini mempunyai tujuan yang berbeda namun saling melengkapi. Satu sisi menekankan pada penguasaan konseptual dan pengajaran kembali dan sisi lain menekankan pada aspek praktek, internalisasi dan keteladanan atau model.

Pendidikan juga bertujuan membina seluruh potensi manusia baik aspek pemikiran, mentalitas dan fisik. Pendapat ini dikemukakan oleh al Qasimy, menurutnya tujuan pendidikan adalah tafaqquh, dan barang siapa yang menginginkannya maka berjalanlah dijalan Allah, carilah jalan untuk menyucikan dan membersihkan jiwa, hingga nampak dengan jelas ilmu dari hatinya atas perkataannya. Menurut al Qasimy tafaqquh adalah “علم راسخ في القلب، ضارب بعروقه في النفس، ظاهر أثره على الجوارح”[7] ilmu yang tertanam kuat di hati, menggerakkan jiwa, dan nampak dengan jelas dampak ilmu atas anggota badannya. Dengan demikian keberhasilan tujuan pendidikan tampak dalam semua aspek potensi dasar manusia dan dapat terlihat dalam aspek amaliahnya.

As Shobuni dalam tafsirnya memerincikan tujuan pendidikan dari segi pelaku proses pendidikan yaitu pendidik dan peserta didik, menurutnya, tujuan pendidikan terbagi dua yaitu “أن يكون غرض المعلم: الإِرشاد والإِنذار، وغرض المتعلم: اكتساب الخشية لا التبسط والاستكبار” bagi seorang pendidik, pendidikan bertujuan sebagai sarana penerangan bagi orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan dan sarana peringatan bagi mereka yang lalai. Sedangkan bagi peserta didik, pendidikan bertujuan menumbuhkan rasa takut kepada Allah dengan tidak lupa diri dan sombong atas penguasaan pengetahuan maupun prestasi yang diraih.

Pendidikan mempunyai tujuan yang mulia, yaitu menjadikan peserta didik memiliki integritas antara aspek perkataan, perbuatan dan kebaikan niat atau motivasi. Pendapat ini dikemukakan oleh al biqa’i. ia mengatakan “أي بما يسمعونه من أقواله ويرونه من جميل أفعاله ويصل إلى قلوبهم من مستنير أحواله”[8] agar mereka mendengarkan penuturan lisannya, mencontoh dan melihat kebaikan perbuatannya dan sampai kepada hati mereka segala perbuatan mereka yang berkesan.

Dengan demikian al Biqa’iy memandang bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan secara utuh aspek jasmani dan ruhaninya. Peserta didik juga dibentuk menjadi manusia yang memiliki integritas kepribadian antara aspek perkataan, perbuatan dan kebaikan hati mereka. Lebih jauh lagi tujuan pendidikan selain menjelma dalam bentuk kebaikan individu juga menjadi contoh dan menginspirasi sesamanya.

Ayat ke 122 surat at Taubah ini juga mengisyaratkan bahwa teknik pertahanan dan keamanan serta ekspansi dan penguasaan wilayah selain melalui jihad peperangan juga membutuhkan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi. az Zuhailiy mengemukakan pendapatnya tentang pentingnya memperdalam ilmu pengetahuan sebagai berikut “الاسهام في إقامة صرح المدنية والحضارة، من طريق تنمية العلوم والمعارف، وازدهار الحقل العلمي بالمتابعة والتأمل والتجربة والتجديد”[9] pendidikan adalah kontribusi dalam menegakkan negara dan peradaban melalui jalan pengembangan ilmu dan pengetahuan, evaluasi pengembangan bidang ilmiah, penelitian, eksperimen, dan inovasi.

Dalam perspektif az Zuhailiy tujuan pendidikan bersifat ekspansif. Kemaslahatan sebagai tujuan dari pendidikan adalah kesejahteraan dan kemakmuran yang luas dalam lingkup sebuah bangsa atau negara. Jika menggunakan pendekatan langkah-langkah da’wah, menegakkan Islam atas negara itu terjadi setelah tegaknya Islam atas pribadi, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian semakin luas kemaslahatan hasil sebuah pendidikan semakin baik pula tujuan yang tercapai. Hal in sebagaimana sabda Nabi saw, yang diriwayatkan oleh jabir ra,
الْمُؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ، وَلَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ[10]
“orang beriman itu bersatu dan menyatukan. Tak akan ada kebaikan bagi orang yang tidak bersatu dan menyatukan, dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Pendapat lain tentang tujuan pendidikan dikemukakan oleh at Tastariy, menurutnya tujuan pendidikan dalam ayat ini adalah untuk menjadikan objek didik “الفقيه الزاهد في الدنيا، الراغب في الآخرة، البصير في أمر دينه”[11] Ilmuwan yang sederhana terhadap dunia, merindui kehidupan akhirat, dan bijaksana dalam perkara-perkara agamanya. Hal ini sebagaimana perkataan Imam Malik,” إِنَّ الْعِلْمَ لَيْسَ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ وَلَكِنَّهُ نُورٌ يَجْعَلُهُ اللَّهُ فِي الْقُلُوبِ”[12] sesungguhnya ilmu bukanlah banyaknya riwayat melainkan cahaya yang Allah turunkan pada hati.

Dalam perspektif imam at Tastariy, tercapainya sebuah tujuan pendidikan adalah bukan sekedar mendengar secara lahiriah ucapan yang keluar dari lisan seorang objek didik, atau tulisan yang tertulis, maupun perbuatan yang dilakukan, melainkan aspek yang terpenting menurut at Tastariy adalah “kemampuan melakukan evaluasi dan secara mandiri atas seluruh amaliahnya ”.[13] istilah ini ia sebutkan sebagai “al muhasabah ”.

Dalam proses pendidikan, evaluasi merupakan proses yang tegak diatas di atas proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Evaluasi juga merupakan proses yang memungkinkan terjadinya pengembangan selanjutnya. Dengan demikian pendapat ini merupakan pendapat yang formatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan potensi manusia.
               
KESIMPULAN
Penjelasan para ulama tafsir klasik maupun kontemporer terhadap tema tujuan pendidikan dalam Islam, khususnya tafsir pada ayat ke 122 surat at Taubah ini memberikan sebuah kesimpulan dasar kokoh bahwa seluruh aspek yang diharapkan terlahir dari proses pendidikan mengarah kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Tujuan pendidikan dalam Islam juga menginginkan terbentuknya manusia muslim yang memiliki integritas pada kepribadiannya, kebaikan ucapannya menjelma pula dalam kebaikan prilaku yang semuanya merupakan cermin atas kebersihan hatinya. Selain wujud dalam bentuk manfaat bagi pribadi peserta didik hasil pendidikan juga diharapkan wujud manfaatnya secara luas dalam keluarga, masyarakat dan negara. Semakin luas manfaat yang dirasakan dari sebuah pendidikan maka semakin baik proses pendidikan tersebut.

Tujuan pendidikan dalam Islam juga menghasilkan pribadi yang mandiri serta terus menerus berkembang dalam kebaikan pada semua potensi dasar yang dimilikinya, karena kemampuan melakukan evaluasi, pengembangan bidang keilmuan, dan inovasi.
Hasbunallah wa ni’mal wakil


CATATAN PUSTAKA
[1] Anwar al Baz, 2007, at Tafsiir at Tarbawi lil Qur’an al Kariim, Cairo : Daar an Nashr lil Jami’at, 1/ب.
[2] Ahmad bin Musthafa al Maraghiy, 1365 H, Tafsiir al Maraghiy, Mesir : Syirkatu Maktabatu wa Mathba’atu Musthafa al Baabiy al Halabiy, 17/27
[3] Umar Muhammad at Tuumiy asy Syaibani, 1975, Falsafah at Tarbiyyah al Islamiyyah, Tripoli: al Syarikah al ‘Ammah li an Nasyr wa Tauzi’ wal al I’lan, h 282.
[4] Anwar al Baz, op.cit, 1/618.
[5] Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin habib al Bashariy al Baghdady al Mawardy, tt, an Nukat wal Uyun, Beirut-Libanon : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 2/145.
[6] Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al Mahdiy bin ‘Ajibah al Hasany, 1419 H, Bahrul Madiid fi Tafsiir al Qur’an al Majid, Cairo : Maktabah Hasan Abbas Zaky, 2/442.
[7] Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim al halaq al Qasimy, 1418 H, Mahasin at Ta’wil, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 5/530.
[8] Ibrahim bin ‘Amru bin Hasan ar Ribath bin Ali bin Abi Bakr al Biqa’iy, tt, Nidzham ad Dharar fi Tanasubi Ayat wa Suwar, Cairo: Daar al Kitab al Islamy, 9/48
[9] Wahbah bin Musthofa az Zuhailiy, 1422H, at Tafsir al Wasith li az Zuhaily, Damaskus: Daar al Fikr, 1/930
[10] Sulaiman bin Ahmad Abu al Qasim ath Thabraniy, tt, al Mu’jam al Awsath, Cairo: Daar al Haramain, 6/58 hadits ke 5787.
[11] Abu Muhammad Sahl bin Abdillah bin Yunus bin Rofi’ at Tastariy, 1423 H, Tafsiir at Tastariy, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1/75.
[12] Abu ‘Amr bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Bar, 1414H, Jami’ Bayan al Ilmi al Fadhlihi, Saudi Arabia: Daar Ibnul Jauziy, 1/758. Dalam hilyatul Aulia disebutkan “لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ، وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ”
[13] Ibid.

HAKIKAT ILMU DALAM AL QUR’AN



Al Qur’an al karim mendudukkan ilmu dalam Islam pada posisi yang tinggi. Ilmu dipandang sebagai salah satu unsur pembentuk kepribadian manusia dan merupakan sebuah jalan yang menghantarkan manusia dalam posisi yang terhormat. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala pada surat al Mujadilah ayat 11,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ketinggian derajat Allah berikan kepada orang berilmu diantaranya karena Allah mensifati ilmu sebagai sifat ilahiyah. Dalam al Qur’an Allah memperlihatkan diri-Nya sebagai satu-satunya pemilik ilmu yang sempurna serta menyandarkan ilmu kepada diri-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al baqarah 216: والله يعلم وأنتم لا تعلمون “Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”, atau dalam surat ali Imran ayat 167: والله أعلم بما يكتمون, “dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan”. Juga dalam surat al Baqarah ayat 95 “والله عليم بالظالمين”, “dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat aniaya”. Ayat-ayat ini menunjukkan makna seolah-olah ilmu merupakan kekuasaan (qudrah) dan kehendak (iradah) Allah ta’ala, dan manusia tak punya daya upaya melainkan menerima realitas tersebut dengan penuh keridho’an. Sayyid Quthb berkata,“وإنها لتتركه حين يستجيب لها طيعاً في يد القدر، يعمل ويرجو ويطمع ويخاف، ولكن يرد الأمر كله لليد الحكيمة والعلم الشامل”[1] dan sesungguhnya (ayat) ini membiarkannya  ketika manusia meresponnya dengan penuh kepatuhan atas takdir, bekerja, berharap, berambisi dan merasa takut namun mereka mengembalikan semua urusan kepada kekuasaan mutlak yang Maha Bijaksana serta Pengetahuan yang  sempurna.

Meski demikian, sebagaimana penyandaran ilmu kepada diri-Nya Allah mengangkat derajat manusia dengan menyandarkan ilmu juga kepada manusia. Allah ta’ala berfirman dalam surat al baqarah ayat 26
إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, …”

Menurut sayyid Quthb, kecerdasan dan pengetahuan yang dimiliki orang mukmin itu dikarenakan mereka memposisikan perumpamaan /ciptaan Allah itu sebagai sarana pencerahan (tanwir) dan pembuka mata hati (tabshir)[2].
 
Demikianlah risalah Islam mendudukkan posisi ilmu pada tempat yang mulia dan menuntun orang untuk memiliki ilmu. Adapun dalam surat al Baqarah ayat 26 tersebut juga terdapat sebuah pengertian bahwa di atas imanlah manhaj keilmuan itu diletakkan, iman berfungsi menjaga ilmu dari penyimpangan, mengaitkan ilmu dengan Sang Pemilik Ilmu serta menjadi platform dalam realisasi ilmu pada realitas kehidupan manusia.

DEFINISI ILMU DAN ISTILAH TERKAIT DALAM KAJIAN BAHASA

Kata ilmu dalam bahasa arab adalah “نَقِيضُ الْجَهْلِ”[3] yang berarti lawan dari kebodohan. Dikatakan “عَلِمَ يَعْلَمُ” berarti “تَيَقَّنَ” mengetahui dengan pasti atau meyakini, ia juga bisa berarti “الْمَعْرِفَةِ” pengetahuan. [4]               Al Jurzani menuliskan bahwa ilmu adalah, “الاعتقاد الجازم المطابق للواقع” keyakinan yang kokoh terkait erat dengan realitas, dikatakan pula ilmu adalah “حصول صورة الشيء في العقل” mendapatkan gambaran sesuatu hal dengan kemampuan akal.[5] Ada pula yang membedakan antara ilmu dan keyakinan, keyakinan adalah “العلم بالشيء بعد النظر والاستدلال”[6] mengetahui sesuatu setelah meneliti dan membuat hipotesa.

Selain ilmu, dalam al Qur’an disebutkan beberapa terminologi yang terkait dengan ilmu, seperti, jahl, syak serta dzhan. Jahl atau kebodohan berarti “اعتقاد الشيء على خلاف ما هو عليه، واعترضوا عليه”  meyakini sesuatu tetapi bertentangan dengan hakikat yang sebenarnya atau menyanggah hakikat yang sebenarnya.[7]
 
Syak atau keraguan adalah “التردد بين النقيضين بلا ترجح لأحدهما على الآخر” kebimbangan antara dua perkara yang berlawanan dengan tidak mengunggulkan salah satu diantara kedua perkara tersebut. Ia juga berarti “الوقوف بين الشيئين لا يميل القلب إلى أحدهما” berhenti antara dua hal yang tidak menjadikan hati cenderung kepada salah satunya.[8] 

Dzhan atau prasangka berarti “الاعتقاد الراجح مع احتمال النقيض، ويستعمل في اليقين والشك” keyakinan yang lebih disukai dengan kemungkinan yang berlawanan,  dan berbuat diantara keyakinan dan keraguan. [9]

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa ilmu adalah suatu kesesuaian antara pengetahuan dengan hakikat yang sebenarnya dari sebuah obyek. Kebodohan adalah bertolak belakangnya pengetahuan dengan hakikat yang sebenarnya dari sebuah obyek. Sedangkan syak adalah pertengahan antara ilmu dan kebodohan dimana sehingga tidak ada sebuah tindakan apapun dari informasi yang dimilikinya, dan prasangka adalah kecenderungan terhadap salah satu hal dari dua hal yang bertentangan tersebut namun kecenderungan itu tidak berdasarkan sebuah metodologi.

MAFHUM ILMU DALAM AL QUR’AN
 
Menurut Ibnu ‘Adil, lafadz ilmu dalam alQur’an digunakan pemakaiannya untuk dalam 4 hal,[10] pertama, ilmu al Qur’an hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat Ali Imran ayat 61,
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَآءَكَ مِنَ العلم
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu),….”
 
Kedua, Nabi Sholallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Jatsiyah ayat 17,
وآتيناهم بينات من الأمر فما اختلفوا إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم إن ربك يقضي بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون
“Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.”

Ketiga, ilmu kauniyah atau ilmu yang terkait dengan cara memperoleh kesuksesan di dunia, sebagaimana dalam kisah Qarun pada surat al Qashas ayat 78,
قال إنما أوتيته على علم عندي أولم يعلم أن الله قد أهلك من قبله من القرون من هو أشد منه قوة وأكثر جمعا ولا يسأل عن ذنوبهم المجرمون
“Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.”

Kempat adalah kemusyrikan, sebagai perlambang ilmu yang menyesatkan. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Ghafir ayat 83,
 فلما جاءتهم رسلهم بالبينات فرحوا بما عندهم من العلم وحاق بهم ما كانوا به يستهزئون
“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh adzab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.”
 
Dengan demikian ilmu yang diserukan dalam al Qur’an al Karim adalah ilmu dengan pemahamannya yang menyeluruh, mengatur segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam segala aspeknya bauk kehidupan fisik, pemikiran dan spiritualnnya. Dalam pengertian ini maka yang dimaksid ilmu dalam Islam adalah sebuah kebenaran yang bersumber dari al Qur’an dan sunnah dan dibangun di atasnya, serta tidak hanya yang terkait dengan ayat-ayat qauliyah saja, melainkan pula kauniyyah, yang menjamin kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat. Pemikiran ini sebagaimana tersirat dalam tafsir asy Sya’rawi, “لأن رسول الله سيحتاج إلى علم تقوم عليه حركة الحياة من لَدُنْه إلى أن تقوم الساعة، عِلْمٌ يشمل الأزمنة والأمكنة” [11] bahwasanya Rasulullah saw menginginkan ilmu yang dapat tegak diatas pergerakan kehidupan hingga waktu yang telah ditetapkan, ilmu yang sempurna melingkupi seluruh zaman dan tempat. Hal ini dapat terjadi jika ilmu tersebut berasal dari zat yang Maha Hidup dan Abadi, serta dasar-dasar ilmu tersebut memungkinkan terbukanya at tadayyun, ijtihad dan pembaharuan (ibda’).

Menurut al Qatthan, “ Allah ta’ala tidak memerintahkan Rasulullah menambah sesuatu dalam kehidupannya kecuali dengan ilmu”[12], sehingga seluruh perubahan dalam prikehidupan seorang muslim berada dalam perputaran ilmu. Hal ini sesuai dengan fungsi al Qur’an sebagai kitab al istikhlaf, kitab yang mengatur seluruh kehiduan manusia di bawah naungannya, membangun peradaban dunia, menciptakan ketenangan, kedamaian dan keteraturan dunia.
 
Selanjutnya al Qatthan menjelaskan, “ولقد قام الاسلام على العلم والتعلم من بدايته، وبالعلم سيطرت الأمم المسيطِرة في الوقت الحار” sesungguhnya sejak awalnya Islam telah tegak atas ilmu dan pengajaran, sebab dengan ilmulah kepemimpinan atas bangsa-bangsa akan diraih dalam waktu yang dekat.[13] Pendapatnya ini menjelaskan dimensi tujuan dari ilmu bagi ummat Islam, yaitu untuk meninggikan kalimat Allah hingga tidak ada fitnah dimuka bumi, tercipta kedamaian dan ketentraman hidup didunia yang bermuara kepada ketentraman hidup di akhirat.

Ibnul Jauzi ketika menafsirkan surat Thoha ayat 114 mendefinisikan ilmu sebagai “قرآناً” al Qur’an, “فهماً” pemahaman dan “حفظا” hafalan.[14] Sebagaimana pendapat Ibnu Abbas ra, bahwa maksudnya adalah “حفظاً وفهماً وَحكما بِالْقُرْآنِ” hafalan, pemahaman dan hukum-hukum berdasarkan al Qur’an.[15] Diriwayatkan pula bahwa Ibnu Mas’ud ra, ketika membaca ayat ini mendefinisikannya sebagai “إِيمَانًا وفقها ويقينا وعلما” keimanan,  kefahaman, keyakinan dan pengetahuan.[16]

Pengertian-pengertian tersebut menjelaskan bahwa rancang bangun ilmu dalam al Qur’an adalah meliputi hafalan-hafalan konseptual, paradigma atau kerangka berfikir atas konsep-konsep tersebut dan tataran penerapan atau aplikasi dalam bentuk aturan-aturan hukum. Dengan pengarahan ini al Qur’an menjadi dasar sekaligus membuka pintu ilmu, memerdekakan akal dan fikiran serta mendorong mengadakan pengkajian, penelitian dan uji coba yang bersifat sistemik dan terencana.
 
Pengertian lain tentang ilmu adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Mawardi, ia berpendapat bahwa ilmu, adalah: pertama, “أدباً في دينك” tatacara dalam agama. Kedua, “صبراً على طاعتك وجهاد أعدائك , لأن الصبر يسهل بوجود العلم” shabar dalam ketaatan dan memerangi musuh, karena dengan kesabaran ilmu akan diraih. Ketiga, “علماً بقصص أنبيائك ومنازل أوليائك” ilmu tentang kisah para nabi dan yang kedudukan mereka. Dan terakhir, “علماً بحال أمتي وما تكون عليه من بعدي” pengetahuan tentang perihal ummat manusia dan apa yang terjadi di masa depan.[17]

Dalam penafsirannya ini dapat kita rumuskan bahwa al Mawardi memandang ilmu itu memiliki 4 aspek yaitu aspek tuntunan atau tatacara dalam meraih ilmu, aspek mentalitas dalam hal ini shabar dalam menempuh jalan menuju ilmu, aspek hikmah, ibrah dari sejarah serta aspek perencanaan masa depan bangsa. Dengan demikian ilmu terkait dengan proses keilmuan, mentalitas ilmuwan serta subjek ilmu pengetahuan yang dipelajari harus terkait antara masa lampau dan masa yang akan datang.

Menafsirkan ayat sama, Az Zamakhsary berpendapat bahwa ilmu itu diperoleh melalui dua cara yaitu “ترتيب التعلم” proses belajar yang teratur dan “أدبا جميلا” tata cara yang menyenangkan.[18]  Dalam nidzham ad Darar disebutkan pula bahwa proses meraih ilmu adalah melalui “بالتدبر وبإلقاء السمع أنفع ، وأعون على الحفظ” tadabbur dan menyampaikan hal-hal bermanfaat yang didengar serta kesadaran menghafal.[19]Dari pemikiran ini dapat kita rumuskan bahwa proses memperoleh ilmu melalui perencanaan, terlaksana karena kebutuhan dan menginspirasi, mengutamakan aspek tadabbur (pengkajian dan penelitian) serta penyebaran pengetahuan.

KESIMPULAN               

Ragam corak pemikiran para ulama tafsir tersebut di atas memberikan sebuah bingkai pemikiran tentang mafhum ilmu dalam al Qur’an. Asas dan sumber rujukan ilmu serta kebenaran, maksud ilmu dalam al Qur’an, tujuan, ruang lingkup hingga proses  keilmuan. Pendapat-pendapat ini juga mengetengahkan cara berfikir yang komprehensif mewujudkan kesatuan asal, undang-undang atau peraturan dan kesatuan akhir dari kehidupan manusia, dalam poros inilah keilmuan Islam itu bergulir.

Al Qur’an juga mendorong manusia untuk menjauhkan model pemikiran yang hanya berputar pada tataran ide semata, melainkan harus diaplikasikan, serta melakukan eksperimen atasnta untuk membuahkan penemuan-penemuan baru dalam menjalankan misinya di muka bumi.
Hasbunallah wa ni’mal wakil

CATATAN PUSTAKA
[1] Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy Syarabi, 1412H, Fii Dzilalil Qur’an, Cairo: Daarus Syuruq, Jilid 1, hlm 224.
[2] Ibid, Juz 1, hlm 50.
[3] Ahmad bin Faris bin Zakaria al Qazwini ar Razi, Mu’jam Maqayis al Lughah, Beirut : Daar al Fikr, 1399 H, 4/109.
[4] Ahmad bin Muhammad bin Ali al Fayumi, tt, al Misbah al Munir fi Gharib asy Syarh al Kabir, Beirut : al Maktabah al Ilmiyah, 2/427.
[5] Ali bin Muhammad bin Ali az Zain as Syarif al Jurjaniy, 1403 H, Kitab at Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1/156
[6] Ibid, 1/159.
[7] Ibid, 1/80.
[8] Ibid, 1/128.
[9] Ibid, 1/144.
[10] Abu Hafs Sirajuddin Umar bin adil al Hanbali an Nu’many, 1419 H, al Lubab fi Ulumil Kitab, Beirut : Daar al Kitab al Araby, 5/283.
[11] Muhammad Mutawaliy asy Sya’rawiy, 1997, Tafsir asy Sya’rawiy , Mesir : Muthabi’ Akhbar al Yaum, 15/9415.
[12] Ibrahim al Qatthan, tt, Taisir at Tafsiir,  naskah tanpa penerbit, 2/422.
[13] ibid
[14] Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al Jauzy, 1422H, Zaadul Masiir fi Ilmi Tafsir, Beirut : Daar al Kitab al Araby, 3/178.
[15] Majduddin Abu Thohir Muhammad bin Ya’qub al Fairuz Abady, tt, Tanwir al Muqabbas min Tafsir Ibnu Abbas, Libanon : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1/267.
[16] Abu Hafs Sirajuddin Umar bin adil al Hanbali an Nu’many, op.cit, 13/400.
[17] Abul Hasan Ali bin Muhammad al Bashary al Baghdady al Mawardy, tt, an Nukat wal Uyun, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 3/429.
[18] Abul Qasim Mahmud bin Amru bin Ahmad az Zamakhsary, 1401 H, al Kasyaf ‘an Haqaiq Ghawamid at Tanzil, Beirut : Daar al Kitab al ‘Araby, 3/90.
[19] Burhanuddin al Biqa’iy, tt, Nidzham ad Darar, Cairo : Daar al Kitab al Islamy, 12/350