Kaidah Kaidah Dalam Dakwah


Sigit Suhandoyo. PENDAHULUAN. Islam sebagai agama da’wah selain mengatur kemaslahatan kehidupan, juga mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan kemanusiaan. Hal ini berarti sebagai sebuah kekuatan moral, dakwah harus mampu menggerakkan perubahan sosial serta menawarkan sebuah alternatif dalam membangun dinamika masa depan ummat Islam. Sebagaimana difahami, sasaran utama da’wah adalah pembentukan kepribadian Islami mitra da’wah, baik dalam skala individu dan masyarakat. Karenanya da’i harus memiliki pemahaman yang baik tentang situasi dan kondisi masyarakat yang menjadi mitra da’wahnya. Meski berorientasi terhadap mitra da’wah, aktifitas da’wah tidak boleh larut dalam permintaan, kecenderungan, kebiasaan maupun kesenangan mitra da’wah semata. Da’i tidak boleh mengikuti keinginan mitra da’wah semata tanpa mengindahkan prinsip-prinsip agama. Islam adalah agama yang mudah namun bukan berarti dimudah-mudahkan.


Idealnya para pelaku da’wah memiliki pemahaman yang baik terhadap kaidah-kaidah dalam da’wah sehingga ia dapat menjalankan aktifitasnya dengan tepat dan berdaya guna. Kaidah-kaidah da’wah ini diperlukan karena para pelaku da’wah bertugas menyampaikan Islam secara kaaffah kepada mitra da’wahnya dengan latar berlakang dan tingkatan pemahaman yang berbeda-beda. Penguasaan terhadap kaidah-kaidah da’wah ini diperlukan juga sebagai upaya merelevansikan problematika kehidupan manusia dengan syari’at Islam serta  tujuan-tujuannya “maqashid as-syari’ah. 


Demikianlah nilai penting kaidah-kaidah da’wah secara praktis adalah untuk memberikan petunjuk kepada para pelaku da’wah dalam menjalankan aktifitasnya, menertibkan jalan da’wah sesuai tuntunan syari’at, memberikan solusi bagi permasalahan mitra da’wah sesuai dengan situasi kondisinya dan dengan cara yang tepat, menjaga kelurusan metode da’wah dalam menghasilkan da’wah yang berdaya guna. Naskah ini membahas beberapa kaidah da’wah sebagai berikut; (a) Da’wah Kepada Iman Sebelum Amal Dan Hukum, (b). Da’wah Kepada Yang Pokok Sebelum Cabang, (c). Mendidik Bukan Menghakimi, (d). Seimbang Antara Memberikan Kabar Gembira dan Ancaman, (e). Berbicara Sesuai Kadar Kefahaman Mitra Da’wah, dan (f). Bertahap Dan Mengutamakan Prioritas.


PEMBAHASAN

A. Da’wah Kepada Iman Sebelum Ibadah Dan Hukum

Kaidah ini dimaksudkan agar para pelaku da’wah mendahulukan menyampaikan perkara-perkara keimanan sebelum menyampaikan kaifiyat ibadah dan hukum-hukum mu’amalah. Hal ini tidak berarti membiarkan ummat Islam mengabaikan ibadah dan mengingkari syari’at Allah. Akan tetapi, mendahulukan penguatan keimanan akan menggerakkan perasaan dan membangkitkan kesungguhan hati mitra da’wah dalam beribadah dan menerima hukum-hukum Allah. Ibadah dan mu’amalah adalah pembebanan “taklif” dari Allah atas diri manusia, ketundukan dan kepatuhan terhadapnya berbanding lurus dengan tingkan keimanan manusia.


Keimanan adalah asas ibadah. Allah ta’ala berfirman dalam surat an Nisa ayat 142, tentang orang-orang munafik yang beribadah dengan malas,


إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيل

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”


Pakar tafsir abad ke 2 hijriah, Muqatil Ibnu Sulaiman berpendapat bahwa orang munafiq itu merahasiakan dalam hati mereka kedustaan, mereka sholat dengan perasaan berat dan tidak meyakininya sebagai kewajiban.(1)  Ibadah bagi orang munafiq bukanlah sebuah bentuk taqarrub ilallah, menurut ath-Thobari ibadah bagi mereka hanyalah sekedar mempertahankan statusnya ditengah-tengah manusia.(2)  Demikianlah nilai pentingnya para da’i untuk menguatkan keimanan mitra da’wahnya sebelum mengenalkannya terhadap ibadah. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw telah bersabda tentang iman sebagai prasyarat ibadah yang berdaya guna,


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه.(3) 

“Barangsiapa shaum di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan rasa kebahagiaan, diampuni dosanya yang telah lampau”


Salah seorang pensyarah shahih bukhari, Ibnu Bathal mengemukakan bahwa amal ibadah itu tidak akan diterima dan berkembang menjadi kebaikan tanpa diiringi keimanan dan kebahagiaan mengharap pahala Allah.(4)  Demikianlah ibadah sebagai bentuk taqarrub ilallah, menurut al-Khattabi memerlukan tekad yang kuat “’azimah” dan rasa harap “ragbah” kepada Allah subhanahu wa ta’ala.(5) 


Kaidah ini tidak berarti menghalangi penyampaian ibadah maupun halal dan haram, melainkan memberikan petunjuk agar pada pelaku da’wah bijaksana. Senantiasa berupaya meningkatkan keimanan mitra da’wahnya dan bertahap dalam pembebanan ibadah serta penetatapan hukum. Seiring dengan peningkatan keimanan para mad’u, maka meningkat pula penerimaan mereka terhadap da’wah serta keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya.

B. Da’wah Kepada Yang Pokok Sebelum Cabang 

Terkait erat dengan kaidah sebelumnya, kaidah ini dimaksudkan agar para pelaku da’wah mengawali da’wahnya dengan menyampaikan pokok-pokok agama, dan norma-norma umum dalam agama. Hal ini dilakukan sebelum da’i menyampaikan permasalahan cabang secara rinci, termasuk didalamnya “khilaf furu’iyyah” dalam perkara ibadah maupun mu’amalah.


Da’wah kepada pokok-pokok agama adalah bentuk toleransi terhadap perbedaan furu’iyyah dalam fiqh. Perbedaan pendapat tentang “furu’iyyah” dalam hal fiqh adalah sebuah keniscayaan. Ia adalah rahmat dan memberi kemudahan kepada ummat Islam. Ia memberikan kekayaan perundangan Islam yang membanggakan. Dalam sejarahnya tidak pernah terjadi perbedaan furu’iyyah dalam mazhab fiqh yang menyebabkan ummat Islam berselisih atau bertikai hingga melemahkan persatuan dan melemahkan pendirian dalam menghadapi musuh.


Penyebab timbulnya perbedaan pendapat dikalangan fuqaha adalah tingkat perbedaan fikiran dan akal manusia dalam memahami nash, cara menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syari’at dan juga pengetahuan tentang ‘illat hukum syari’at.(6)  Perbedaan pendapat dalam hal furu’ bukanlah sebuah ‘aib jika tidak menyebabkan fanatisme kelompok terhadap sebuah pendapat hingga mendiskreditkan pendapat yang lain. Tak dapat dipungkiri bahwa masalah furu’iyyah teramat banyak dan telah dimulai pada masa yang sangat lampau. Hal ini tidak akan pernah selesai dengan terus menerus diperbedatkan selain menambah kerusakan dalam persatuan ummat Islam. Hasan al-Banna pernah mengemukakan agar ummat Islam tidak membesar-besarkan permasalahan ini, dan bertasamuh dengannya,“نتعاون فيما اتفقنا فيه و يعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه” kita bekerjasama dalam hal-yang yang kita sepakati dan saling menerima alasan dalam hal-hal yang kita perselisihkan


Da’wah kepada pokok-pokok agama akan menyatukan ummat Islam. Menurut Jum’ah Amin Islam menyatukan ummat ini di atas 3 pondasi; (a). المشاعر الواحدة: perasaan yang satu sebagai hamba Allah, berasal dan kembali kepada-Nya. (b). الشعائر الواحدة: kesatuan syi’ar-syi’ar ibadah yang merupakan manifestasi atas penghambaan kepada Allah, keimanan dan kerukunan ummat, dan (c). الشرائع الواحدة: Kesatuan system hidup yang menjamin terselenggaranya kehidupan bersama yang teratur berdasarkan hukum Allah.(7) 


Jum’ah Amin mengutip pendapat al-Qaradhawi, bahwa diantara sesuatu yang harus diutamakan dalam da’wah adalah masalah-masalah besar yang berkaitan dengan eksistensi ummat Islam. Diantara gempuran berbagai faham, gerakan zionis, misionaris terhadap ummat Islam sungguh disayangkan ummat Islam masih sibuk memporak-porandakan tubuhnya sendiri dari dalam dengan berbagai firqah yang saling bertikai.(8)  


Maka merupakan kewajiban bagi para pelaku da’wah untuk mengenalkan kepada mitra da’wahnya tentang mengerjakan perintah-perintah, menjauhi larangan, berakhlaq dengan akhlaq asasiyah dengan senantiasa melihat kesiapan mitra da’wahnya, kondisi global ummat Islam serta hubungan peristiwa masa lalu dan masa depan yang seharusnya diraih oleh ummat Islam.


C. Mendidik Bukan Menghakimi


Kaidah ini memberikan petunjuk bagi para da’i bahwa aktifitas da’wah adalah penyiaran, pengajaran, pendidikan maupun upaya membersihkan jiwa mad’unya. Da’wah bukan upaya menghakimi kelalaian dan kesalahan mad’u. Allah ta’ala berfirman dalam surat asy-Syura ayat 48,


فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ وَإِنَّا إِذَا أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً فَرِحَ بِهَا وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَإِنَّ الْإِنْسَانَ كَفُور

“Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).”


Berdasarkan ayat ini tugas Nabi saw hanyalah menyampaikan risalah semata. Sayyid Thantawi mengatakan, Allah tidak mengutus Nabi sebagai “raqīb” untuk mengawasi amal serta memaksa kepada keimanan.(9)  Tugas para da’i adalah sebagaimana tugas Nabi saw untuk mengajar dan mendidik mad’unya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 164,


لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِين.

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”


Menurut al Maraghi, Allah mengutus Rasul-Nya untuk tugas membimbing, mengajar dan memerdekakan akal manusia, “أنه يهديهم إلى الحق مصحوبا بالدليل والبرهان، دون التقليد والتسليم بلا تبصر وفهم، وبذا يكون العقل مستقلا، والدين له مرشدا وهاديا”(10)    Sesungguhnya Rasulullah membimbing manusia kepada kebenaran disertai dengan bukti-bukti yang kuat dan penjelasan yang nyata. Bukan taqlid atas tradisi tanpa wawasan atasnya dengan demikian akal manusia menjadi mandiri dan agama menjadi pemimpin dan panduan atasnya. 


Dialog Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berikut ini dapat menjadi contoh yang tepat dakwah yang bersifat mendidik dan bukan menghakimi meski kepada mad’u yang terang-terangan hendak berbuat dosa,


حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا حَرِيزٌ، حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: إِنَّ فَتًى شَابًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ائْذَنْ لِي بِالزِّنَا، فَأَقْبَلَ الْقَوْمُ عَلَيْهِ فَزَجَرُوهُ وَقَالُوا: مَهْ. مَهْ. فَقَالَ: «ادْنُهْ، فَدَنَا مِنْهُ قَرِيبًا» . قَالَ: فَجَلَسَ قَالَ: «أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ؟» قَالَ: لَا. وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ. قَالَ: «وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأُمَّهَاتِهِمْ» . قَالَ: «أَفَتُحِبُّهُ لِابْنَتِكَ؟» قَالَ: لَا. وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ قَالَ: «وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِبَنَاتِهِمْ» . قَالَ: «أَفَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ؟» قَالَ: لَا. وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ. قَالَ: «وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأَخَوَاتِهِمْ» . قَالَ: «أَفَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ؟» قَالَ: لَا. وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ. قَالَ: «وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِعَمَّاتِهِمْ» . قَالَ: «أَفَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ؟» قَالَ: لَا. وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ. قَالَ: «وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِخَالَاتِهِمْ» . قَالَ: فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ وَقَالَ: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ» فَلَمْ يَكُنْ بَعْدُ ذَلِكَ الْفَتَى يَلْتَفِتُ إِلَى شَيْءٍ.(11) 


“Dari Abu Umamah telah berkata, “suatu hari ada seorang anak muda yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!” Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, “Diam kamu! Diam!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah.” Pemuda itu pun mendekat lalu duduk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” sahut pemuda itu. “Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai.” Lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” pemuda itu kembali menjawab. “Begitu pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai.” “Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” “Begitu pula orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.” “Relakah engkau jika bibi - dari jalur bapakmu - dizinai?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” “Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.” “Relakah engkau jika bibi -dari jalur ibumu- dizinai?” “Tidak, demi Allah, wahai Rasul!” “Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.” Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina.”


Menurut al Qahthani, sikap yang dilakukan Nabi saw dalam hadits ini bertujuan sebagai penguatan dan perintah bagi para da’i agar mencontoh perilaku Nabi saw dengan berlaku ramah dan lemah lembut serta ihsan kepada setiap orang.(12)  Menurut ‘Abdul ‘Aziz Syalhub, “¬al-‘ilāj an nabawi” (pemecahan masalah yang dilakukan Nabi saw) kepada mad’unya ini menggunakan pendekatan almuhāwarat dan al-iqnāu-al-‘aql dalam pengertian lain, dialog interaktif dan persuasif.(13)  Pendekatan dialogis semacam ini tepat bagi mad’u yang sedang dalam kondisi gejolak kejiwaannya cenderung pada syahwat seksual dan keinginan melakukan hal-hal yang diharamkan.(14)  Dalam kasus ini Rasulullah saw melakukan pendekatan persuasif secara sempurna, menguatkan dengan kalimat negasi, melakukan pengulangan, menggunakan logika yang kuat namun sederhana dan mudah difahami, sehingga mad’u tersebut memandang buruk perbuatannya atas dasar kearifan dirinya sendiri, kemudian ia membenci dan menjauhi perbuatan tersebut atas kesadarannya secara rasional. 

Ketulusan dan keinginan Nabi saw agar mad’unya senantiasa dalam kebaikan dilengkapi dengan do’a yang disampaikan secara langsung terhadap pemuda tersebut. 


Dalam pendekatan dakwah, citra pandang da’i terhadap mad’u haruslah sebagai individu yang memiliki kelebihan dan potensi untuk berkembang. Bukan citra pandang negatif yang memandang mad’u obyek yang harus dihakimi karena kesalahannya. Pendekatan persuasif kepada pemuda sebagai mad’u dengan demikian adalah dakwah Islam yang mampu merubah karakter mad’u untuk ikhlas menerima seruan dakwah tanpa paksaan. Menggunakan kekuatan logika yang rasional dalam komunikasi.


Dapat dibayangkan seandainya, seorang da’i menghadapi peristiwa semacam ini, kemudian ia mencaci dan menghinakan mad’unya dihadapan orang lain. Tentu mad’u tersebut akan semakin terjerumus dalam perbuatan yang tidak dibenarkan. Alangkah mudahnya menyebutkan aib orang lain, menghinakan kekurangan orang, menelanjangi kesalahan mad’u. Semua hal itu tidak akan menambahkan sesuatu kecuali bertambah lebarnya jarak antara da’i dan mad’unya.


Hadits berikutnya tentang ahli ibadah berdakwah dan kemudian menghakiminya. Diriwayatkan pula oleh Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw telah bersabda


" كَانَ رَجُلَانِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَوَاخِيَيْنِ، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ، وَالْآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ، فَكَانَ لَا يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ: أَقْصِرْ عَلَى ، فَوَجَدَهُ يَوْمًا ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ: أَقْصِرْ، فَقَالَ: خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ، أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ، فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا، فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا، أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟ وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي، وَقَالَ لِلْآخَرِ: اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ " قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَوْبَقَتْ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ.(15) 


“Ada dua orang laki-laki dari kalangan Bani Israil yang saling bersaudara. Yang satu rajin ibadah dan lainnya berbuat dosa. Lelaki yang rajin beribadah selalu berkata kepada saudaranya, ‘Hentikan perbuatan dosamu!” Suatu hari ia melihat saudaranya berbuat dosa dan ia berkata lagi, ‘Hentikan perbuatan dosamu!” “Biarkan antara aku dan Tuhanku. Apakah kamu diutus untuk mengawasiku?” jawabnya. Ia berkata lagi, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu” atau “Dia tidak akan memasukanmu ke surga.” Kemudian Allah mengutus malaikat kepada keduanya untuk mengambil ruh keduanya hingga berkumpul di sisi-Nya. Allah berkata kepada orang yang berdosa itu,“Masuklah kamu ke surga berkat rahmat-Ku.”Lalu Allah bertanya kepada lelaki yang rajin beribadah,“Apakah kamu mampu menghalangi antara hamba-Ku dan rahmat-Ku?”Dia menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah berfirman untuk yang rajin beribadah (kepada para malaikat): “Bawalah dia masuk ke dalam neraka.” Abu Hurairah– semoga Allah meridhainya – berkomentar, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh ia berkata dengan satu kalimat yang membinasakan dunia dan akhiratnya.”


D. Bijaksana dan Seimbang Memberikan Kabar Gembira dan Ancaman

Kaidah ini dimaksudkan agar da’i membesarkan hati mad’unya dengan berita-berita gembira tentang pahala atas perbuatan baik maupun luasnya ampunan Allah. Seperti itu pula para da’i menyampaikan peringatan kepada mad’unya tentang balasan atas perbuatan dosa dan dahsyatnya siksa Allah di hari akhir. Sebagai contoh seorang da’i menyampaikan tentang keutamaan-keutamaan sholat begitu pula ia menyampaikan tentang ancaman meninggalkan sholat. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat Muhammad ayat 15, tentang keadaan para penghuni surga dan neraka,


مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُم

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?”


Dalam ayat ini Allah ta’ala membandingkan surga yang penuh kemuliaan dan kebaikan dengan neraka yang penuh malapetaka dan siksaan. Sebagaimana disebutkan perbandingan jenis minuman bagi keduanya.(16)  Pakar Tafsir as-Sa’dy mengatakan bahwa, Allah menggambarkan perbandingan antara dua negeri di akhirat dan dua jenis balasan, serta dua pelaku dan dua jenis perlakuan bagi keduanya.(17)  Sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia, Ia paling mengetahui ciptaan-Nya, paling mengerti segala hal yang mempengaruhi hati mereka, dan segala hal yang patut untuk mendidik mereka. Rincian Allah tentang anugerah dan siksa bagi manusia adalah sebuah kepatutan untuk mentarbiyyah manusia yang memiliki jiwa dan tabi’at yang berbeda-beda.(18)  


Demikian pula Allah mengabarkan sifat-Nya kepada manusia dalam surat al-hijr ayat 49-50


نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (49) وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ (50)

“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih.”


Demikianlah nilai pentingnya menyampaikan targib (kabar gembira) dan tarhib (ancaman) secara seimbang adalah agar manusia hidupnya tidak diliputi ketakutan hingga merasa putus asa dari rahmat Allah dan dan sebaliknya tidak juga dipenuhi oleh harapan yang berlebihan tanpa diringi amal sholeh yang mendukungnya. Ali ra pernah berkata,


أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالْفَقِيهِ كُلَّ الْفِقْهِ؟ مَنْ لَمْ يُقَنِّطِ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ , وَلَمْ يُؤَمِّنْهُمْ مِنْ مَكْرِ اللَّهِ , وَلَمْ يُرَخِّصْ لَهُمْ فِي مَعَاصِي اللَّه.(19)  

“Maukah aku beritahukan kepadamu orang yang benar-benar faqih? Dialah orang yang tidak membuat orang berputus asa dari rahmat Allah dan tidak memberi keringanan kepada seseorang dalam bermaksiat kepada Allah.”


Bagi manusia yang ahli maksiat jika ia mendengarkan luasnya rahmat dan ampunan Allah akan termotivasi untuk bertaubat dan kembali kejalan yang benar. Sedangkan ancaman terhadap siksa neraka akan membuatnya takut dan menghindari kemaksiatan. Demikian pula bagi orang sholeh jika mendengar berita gembira tentang surga, maka akan bertambahlah keta’atannya kepada Allah. Dan ia akan berhati-hati dalam kehidupannya, menjauhi kemaksiatan jika ia mendengarkan nasihat tentang dahsyatnya siksa Allah.


Dalam da’wah, targib dan tarhib merupakan dua pendekatan yang sama-sama penting. Kedua pendekatan ini wajib untuk digunakan, sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi mad’u. Kata-kata yang lembut dan memotivasi bisa saja bermanfaat dalam suatu waktu tertentu, sedangkan dalam kesempatan lain boleh jadi ancaman dan peringatan akan lebih berkesan dan mendidik bagi mad’u.


E. Berbicara Sesuai Kadar Kefahaman Mitra Da’wah

Merupakan sebuah keumuman bagi seorang da’i untuk berbicara memberikan pengajaran dan penerangan kepada mad’unya sesuai dengan kadar kefahaman dan kesiapannya menerima da’wah. Ada mad’u cerdas yang bisa memahami nasihat yang disampaikan melalui isyarat atau perumpamaan. Sebagian lain memerlukan penjelasan yang terinci disertai contoh agar bisa memahami. Adapula mad’u yang senang menolak dan membalikkan pembicaraan da’i, dan sebagainya. 


Dengan demikian da’i yang baik adalah yang memahami situasi dan kondisi masyarakat da’wahnya. Ia menempatkan manusia pada tempatnya. Menyampaikan sesuai kebutuhan mad’u, memperhatikan kadar pemikirannya, karakternya maupun kultur masyarakat yang menerima da’wahnya. ‘Aisyah ra pernah berkata,


أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُنْزِلَ النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ.(20) 

“Rasulullah pernah memerintahkan agar aku menempatkan manusia pada posisinya yang semestinya.”


Ketidak-sesuaian pembicaraan da’wah yang disampaikan kepada masyarakat penerima da’wah dapat pula menimbulkan fitnah. ‘Abdullah bin Mas’ud pernah berkata,


مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً.(21) 

“Jika diantara kalian ada yang berbicara dengan segolongan manusia yang akalnya tidak mampu menerima apa yang kamu bicarakan, kelak akan menjadi fitnah bagi mereka”. Ali ra pernah berkata,


حَدِّثُوا النَّاسَ، بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ وَرَسُولُه.(22) 

“berbicaralah kepada manusia hal-hal yang sesuai pengetahuan mereka. Ataukah engkau senang mereka mendustai Allah dan Rasul-Nya?”


Bahkan Nabi saw, pernah menunda pembuatan pintu bagi Ka’bah karena kekhawatiran beliau akan ketidak-siapan mad’unya terhadap tindakannya. “Dari Al Aswad berkata, Ibnu Az Zubair berkata kepadaku, 'Aisyah banyak merahasiakan (hadits) kepadamu. Apa yang pernah dibicarakannya kepadamu tentang Ka'bah? Aku berkata, Aisyah berkata kepadaku,


قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ لَوْلَا قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ فَفَعَلَهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ.(23)  

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadaku: Wahai 'Aisyah, kalau bukan karena kaummu masih dekat zaman mereka, Az Zubair menyebutkan, Dengan kekufuran, maka Ka'bah akan aku rubah, lalu aku buat dua pintu untuk orang-orang masuk dan satu untuk mereka keluar. Di kemudian hari hal ini dilaksanakan oleh Ibnu Zubair.”


Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat al-Mujadilah ayat 12, menuliskan betapa uniknya interaksi para sahabat nabi -dalam hal ini Ali ra- terhadap hukum-hukum yang diturunkan dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan agar bisa dilaksanakan dengan baik.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


Ayat ini berisi larangan mengadakan pembicaraan khusus dengan Nabi saw sebelum melakukan shadaqah. Ibnu Katsir menuliskan riwayat dari Mujahid bahwa Ali ra, datang menemui Nabi saw setelah bershadaqah satu dinar, dan kemudian setelah itu hukumnya di nasakh (hapus). Ali berkata tidak ada sebelum dan sesudahku yang berbuat sepertiku. 


Lebih lanjut dari Ibnu Katsir, bahwa Rasulullah bertanya kepada Ali, Bagaimana pendapatmu; dengan satu dinar? Ali berkata, mereka tidak mampu. Nabi berkata, bagaimana kalau setengah dinar? Ali berkata, mereka tidak mampu. Nabi berkata, apa pendapatmu? Ali berkata, emas sebutir gandum. Nabi berkata, sungguh engkau orang yang zuhud. Ali berkata,” maka disebabkan olehku Allah memberikan keringanan kepada ummat Ini.”(24)  


Demikianlah karakter sahabat Nabi saw, yang menginginkan keterlaksanaan hukum Allah dengan baik tanpa menimbulkan kesulitan dan fitnah dari masyarakat penerima da’wah. Ali ra meminta keringanan melalui Nabi saw hingga kemudian Allah memberikan keringanan dan menasakh hukum tersebut. Tidak hanya berfikir secara tekstual terhadap nash-nash ayat melainkan bagaimana penerapannya ditengah situasi dan kondisi masyarakat yang ada pada masa itu.


Da’wah idealnya merupakan proses memberikan kefahaman kepada mad’u bukan proses doktrinasi maupun proses mendiktekan teks-teks ayat dan hadits tanpa pemahaman yang baik terhadapnya. Jum’ah Amin menuliskan sebuah kisah nyata tentang pemahaman yang keliru terhadap teks hadits hingga menimbulkan fitnah. Ada seorang pemuda yang mengundang kawan-kawan dalam sebuah jamuan makan di apartemennya. Kawan-kawannya yang tinggal di sebuah daerah di Mesir datang dengan menggunakan sepeda. Setibanya dilokasi mereka disambut dan diantarkan ke ruang makan dimana seluruh makanan terletak di sebuah meja. Tanpa sepengetahuan tuan rumah, para tamu tersebut mematahkan kaki meja agar sejajar dengan posisi mereka duduk. Ketika tuan rumah mengetahui, ia bertanya; siapa yang melakukan ini? Para tamu menjawab, kami yang melakukannya. Ketahuilah makanan di atas meja itu tidak sesuai dengan sunnah nabi. Mendapati jawaban itu, tuan rumah diam dan kemudian turun kebawah lalu merusak sepeda-sepeda tamunya. Seusai makan ketika ingin pulang terkejutlah para tamu itu mendapati sepeda mereka telah rusak. Dengan gusar mereka bertanya; Perbuatan siapakah ini? Dengan tenang tuan rumah menjawab, sayalah yang merusaknya. Ketahuilah Rasulullah saw tidak pernah naik sepeda selama hidupnya. Akhirnya mereka pulang kerumah masing-masing naik kendaraan umum tanpa berkomentar.(25) 


Ini merupakan contoh fitnah yang ditimbulkan karena pemahaman yang salah terhadap teks hadits. Ketika da’i menyampaikan da’wah tidak sesuai dengan kadar pemahaman mad’unya atau sang da’i tidak berupaya memahamkan mad’unya melainkan hanya mendoktrinkan saja.


Urgensi berbicara kepada manusia sesuai kadar kefahamannya juga tertera dalam sebuah riwayat dari Katsir bin Murrah berikut,


لَا تُحَدِّثِ الْبَاطِلَ الْحُكَمَاءَ فَيَمْقُتُوكَ، وَلَا تُحَدِّثِ الْحِكْمَةَ لِلسُّفَهَاءِ، فَيُكَذِّبُوكَ، وَلَا تَمْنَعِ الْعِلْمَ أَهْلَهُ، فَتَأْثَمَ، وَلَا تَضَعْهُ فِي غَيْرِ أَهْلِهِ فَتُجَهَّلَ.(26)  

“Janganlah berbicara sesuatu yang batil dengan orang yang bijak, nanti ia akan membencimu. Jangan berbicara hikmah (filsafat) kepada orang bodoh, nanti ia akan mendustakanmu. Jangan menahan ilmu dari orang yang mencarinya, nanti ia akan berbuat dosa. Dan jangan mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mencintai ilmu, nanti ia merusaknya”


F. Bertahap Dan Mengutamakan Prioritas

Kaidah ini dimaksudkan agar para pelaku da’wah bertahap dalam menyampaikan da’wahnya. Dari yang mudah dikerjakan kepada yang lebih sulit, dari yang bersifat umum kepada yang rinci, dari yang berupa teori dan pemahaman kepada perbuatan dan aplikasinya. Sedangkan mengutamakan prioritas adalah memilih hal-hal utama yang harus disampaikan sesuai dengan kedudukan hukum, konsideran dan realita masyarakat.


Pentahapan adalah sunnah Allah atas makhluk-Nya, pertumbuhan manusia, tumbuhan, hewan hingga turunnya risalah semuanya melalui proses tersebut. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Isra ayat 106,


وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”


Sayyid Quthub menuturkan, bahwa al-Qur’an diturunkan untuk mendidik ummat manusia, dan menegakkan sistemnya dalam kehidupan. Ia senantiasa sesuai dengan tuntutan kontemporer. Perjalanan da’wah serta ujian yang panjang diatas jalan itu menjadi serasi dengan diturunkannya al-Qur’an -sebagai sebuah system yang aplikatif- secara bertahap.(27) 


Wajib bagi setiap pelaku da’wah untuk bersikap lemah lembut dan melakukan pendekatan da’wah secara bertahap. Rasulullah SAW bersabda

 

إِنَّ هَذَا الدِّينَ مَتِينٌ فَأَوْغِلْ فِيهِ بِرِفْقٍ(28).  

“sesungguhnya agama ini kokoh maka tanamkanlah ia dengan lemah lembut”


Pentahapan dalam da’wah juga memungkinkan terbentuknya karakter mitra da’wah secara kokoh. Sebagai contoh adalah pengharaman minuman keras yang pada masanya terjadi secara bertahap. Ibnu Katsir menuliskan sebuah riwayat dari Imam Ahmad sebagai berikut:


عَنْ عُمَرَ أنَّه قَالَ: لَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ قَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّن لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ التِي فِي الْبَقَرَةِ: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ} فدُعي عُمَرُ فقرئتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ الْآيَةُ التِي فِي النِّسَاءِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى} [النِّسَاءِ: 43] ، فَكَانَ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقَامَ الصَّلَاةَ نَادَى: أَلَّا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سكرانُ. فدُعي عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ الْآيَةُ التِي فِي الْمَائِدَةِ. فَدَعِي عُمَرُ، فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَلَمَّا بَلَغَ: {فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ} [الْمَائِدَةِ: 91] ؟ قَالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنَا، انْتَهَيْنَا (29). 


Bahwa ketika ayat pengharaman khamr diturunkan Umar berkata, “ Ya Allah berilah kami penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka turunlah firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya" (al baqarah 219). 


Kemudian Umar dipanggil & dibacakan kepada-nya ayat ini. Maka ia mengatakan, “Ya Allah berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan,” kemudian turun ayat pada surat an nisa, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian dekati sholat sedang kalian dalam keadaan mabuk” (an nisa 43).


Kemudian muadzin Rasulullah saw apabila mendirikan sholat senantiasa berseru, “orang yang mabuk tidak boleh mendekati sholat!” kemudian Umar dipanggil lagi dan dibacakan kepadanya ayat tersebut. Maka Umar berkata, “Ya Allah berilah kamu penjelasan tentang khamr ini yang lebih memuaskan lagi,” kemudian Turunlah ayat yang ada pada surat al maidah. Ketika bacaan ayat sampai pada firman-Nya: “maka berhentilah kalian” (al maidah 91) maka Umar berkata, “kami telah berhenti, kami telah berhenti.” 


Atau sebagaimana penuturan ‘Aisyah ra, tentang surat-surat yang pertama-tama diturunkan,


إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنَ المُفَصَّلِ، فِيهَا ذِكْرُ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الإِسْلاَمِ نَزَلَ الحَلاَلُ وَالحَرَامُ، وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ: لاَ تَشْرَبُوا الخَمْرَ، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الخَمْرَ أَبَدًا، وَلَوْ نَزَلَ: لاَ تَزْنُوا، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا.(30) 

“hanyasaja surat-surat yang pertama diturunkan dari al-Qur’an adalah surat-surat pendek (almufashal) yang di dalamnya banyak disebut surga dan neraka. Ketika manusia sudah banyak memeluk Islam turunlah penjelasan halal dan haram. Seandainya yang pertama kali turun adalah; “Janganlah kalian minum khamr!” niscaya mereka akan berkata, kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya. Atau seandainya yang turun pertama adalah, “janganlah kalian berzina!” niscaya mereka akan berkata, kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.


Demikianlah prinsip al-Qur’an dalam merubah kejahiliyahan pada masyarakat manusia berdasarkan tahapan demi tahapan. Meskipun demikian bukan berarti kaidah ini berjalan dengan sendirinya, melainkan harus ada proses perencanaan hingga evaluasinya secara matang. Sehingga pentahapan dalam da’wah benar-benar mengokohkan iman dan keyakinan mitra da’wah. Termasuk yang menjadi perhatian adalah pentahapan dalam da’wah bukan berarti pembiaran terhadap kemaksiatan dan pengabaian kewajiban. Melainkan strategi dalam hal waktu penyampaian agar sesuai dengan kesanggupan mitra da’wah. Secara umum kaidah ini berlaku bagi masyarakat penerima da’wah yang belum mengenal Islam atau belum bertauhid, atau pelaku maksiat yang berakhlaq dengan akhlaq jahiliyyah. Kaidah ini hanyalah sekedar tuntunan bagi da’i dalam berdakwah, bukan sebuah mazhab fiqh yang menentukan hukum halal, haram dan sebagainya. 


KESIMPULAN

Nilai penting dari kajian beberapa kaidah dalam da’wah adalah sebagai upaya meningkatkan keberhasilan da’wah serta menjauhkan fitnah dari masyarakat penerima da’wah. Dituntut dari seorang da’i jiwa kepemimpinannya, kebijaksanaannya dalam berda’wah, kelapangan hati, prasangka yang baik, kecerdasan akal, orisinalitas pendapat serta semangat yang tak kenal menyerah dan kejujuran dalam menjalankan upaya menerapkan kaidah-kaidah da’wah tersebut.

CATATAN KAKI

  1. Abu al-hasan Muqatil Ibnu Sulaiman, Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, cet. pertama 1423 H), Jilid 1, hlm 416.
  2. Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir Abu Ja’far ath Thobariy, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Qur’an, (Beirut : Muassasatu ar Risalah, 1420 H), Jilid 9, hlm 330.
  3. Muhammad bin Isma’il al Bukhari, Shahīh al-Bukhārī, (Riyadh: Dār Thuwaiq an-Najah, cet. pertama 1422 H), Jilid 1, hlm 16, hadits no. 38.
  4. Ibnu bathāl, Syarh Shahīh al-Bukhārī li Ibn Bathāl, (Riyadh: Maktabatu ar-Rusyd, cet. ke-2, 2003), Jilid 4, hlm 21.
  5. Ibnu Hajar al Asqalany, Fathul Baary Syarh Shahih al Bukhari,(Beirut: Daar al Ma’rifah, 1379 H), Jilid 4, hlm 115.
  6. Lebih jelasnya lihat, Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, edisi terjemah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011) jilid 1, hlm 72-76.
  7. Lihat Jum’ah Amin ‘Abdul ‘Aziz, ad-Da’wah; Qawa’id wa Ushul, (Cairo: Dar ad-Da’wah, 1999), hlm 208. 
  8. Ibid, hlm 212.
  9. Muhammad Sayyid Thantawi, at-Tafsir al-Wasith lil Qur’an al-Karim, (Cairo: Dar Nahdhah Mishr, Cet pertama 1998), Jilid 13, hlm 47.
  10. Ahmad bin Musthafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi, (Mesir: Perusahaan Penerbitan & Perpustakaan Musthofa al-Halaby, 1365 H), Jilid 2, hlm 19.
  11. Ahmad Bin Hanbal Asy-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, (Beirut: Muassasatu Ar Risalah, 1421h), Juz 36, Hlm 545, Hadits No 22211. Al Haitsami Menyebutkan Para Perawi Hadits Ini Shahih, Lihat Majma’uz Zawāid 1/259. 
  12. Lihat Sa’id Bin Wahf Al Qahthani, Al-Hikmah Fi Ad-Dakwah Ila-Allah Ta’ala, (Saudi Arabia: Kementrian Islam Urusan Waqaf Dakwah Dan Penerangan, 1423 H), Hlm 193. 
  13. Fu’ad Bin ‘Abdul ‘Aziz Syalhub, Al-Mu’alim Al-Awwal Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, (Saudi Arabia: Kementrian Islam Urusan Waqaf Dakwah Dan Penerangan,tth), Hlm 118.
  14. Nashir Bin Sulaiman Al ‘Umar, Amtsilatu Min-Al Hikmah Fi As-Sunnah An-Nabawiyah, (Saudi Arabia: Kementrian Islam Urusan Waqaf Dakwah Dan Penerangan,tth), Hlm 27.
  15. Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, tth), Jilid 4, hlm 275, hadits no 4901. Shahih menurut al-Albani.
  16. Muqatil Ibnu Sulaiman, op.cit, Jilid 4, hlm 46.
  17. ‘Abdurrahman as-Sa’di, Taysir al-Karim ar-Rahman, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet. pertama, 2000), hlm 786
  18. Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, (Beirut: Dar asy-Syuruq, cet. ke-17, 1412 H), Jilid 6, hlm 3291.
  19. ‘Ubaidillah Ibnu Bathah al-‘Ukbari, al-Ibanatu al-Kubra, (Riyadh: Dar ar-Rayah, cet.pertama 1409 H), Jilid 2, hlm 753.
  20. Abu Ya’la al-Musholli, Musnad Abu Ya’la al-Musholli, (Damaskus: Dar al-Ma’mun, cet pertama, 1404 H), jilid 8, hlm 246, no.4826.
  21. Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, tth), Jilid 1, hlm 11.
  22. Muhammad bin Isma’il al Bukhari, opcit, Jilid 1, hlm 37, no. 127.
  23. Ibid, Jilid 1, hlm 37, no. 126.
  24. Abu al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar Thoyibah, cet. kedua 1420 H), Jilid 8, hlm 50.
  25. Jum’ah Amin, op.cit, hlm 223.
  26. Abu Muhammad ad-Darimi, Musnad ad-Darimi, (Saudi Arabia: Dar al-Mugni, cet. pertama 1412 H), Jilid 1, hlm 380, no 390.
  27. Sayyid Quthub, op.cit, jilid 4, hlm 2253.
  28. Ahmad bin Hanbal, op.cit, hlm 346, hadits ke 13502.
  29. Ibnu Katsir, op.cit, Jilid 1, hlm 578.
  30. Muhammad bin Isma’il al Bukhari, opcit, Jilid 6, hlm 185, no. 4993.