PENGERTIAN TAUHID




Menurut Ibnul ‘Atsir kata al wahid pada asma Allah berarti “هو الفرد الذي لم يزل ولم يكن معه آخر” ialah yang senantiasa sendiri dan takkan pernah ada selain dirinya. Dan disebutkan pula bahwa makna kata al wahid adalah “هُوَ الَّذِي لَا يَتَجَزَّأ، وَلَا يُثَنَّى، وَلَا يَقْبَل الانقِسام، وَلَا نَظيرَ لَهُ وَلَا مِثْل” ialah yang tidak dapat dibagi, tidak dapat di duakan, tidak menerima sesuatu yang terbagi serta tidak ada yang sebanding dan serupa dengannya.[1]

Dalam Lisanul Arab disebutkan kata al wahid adalah “لا ثاني له، ولا يجوز أن ينعت الشيء بأنه واحد، فأما أحد فلا ينعت به غير الله لخلوص هذا الاسم الشريف له جل ثناؤه” tak ada yang kedua baginya, tidak diperbolehkan sesuatupun mensifati dirinya sebagaimana ia karena keesannya, adapun yang dimaksud dengan esa adalah tidak mungkin sesuatu selainnya mensifati dirinya dengan sifat-sifat Allah Karena kemurnian nama yang mulia ini hanya baginya sang pemilik pujian.[2]

Sehingga mentauhidkan Allah berarti menyematkan sifat-sifat al wahid tersebut di atas kepada Allah serta mengimaninya. Pengertian ini sebagaimana pendapat-pendapat berikut, Al Fairuz abadi berkata tentang makna tauhid “الإيمان بالله، والله الأوحد والمتوحد ذو الوحدانية” keimanan kepada Allah yang tunggal, Sang penyendiri yang memiliki keesaan.”[3] Tauhid juga berarti “اعتقاد أنه إله واحد لا شريك له، ونفي المثل والنظير عنه، والتوجه إليه وحده بالعبادة” keyakinan bahwasanya Allah adalah Ilah yang Esa yang tiada sekutu baginya, menolak permisalan dan pembandingan baginya serta menuju kepadanya semata dengan ibadah[4]. Ad Dahlawy berkata “الإقرار بوحدانيته، واتصافه بالمحامد، وتنزيهه عن النقائص، وطرد الإشراك به عبادة واستعانة وذبحًا ونذرًا وحلفًا” bersumpah akan keesaan-Nya, mensifatinya dengan sifat-sifat yang mulia, membersihkannya dari segala kekurangan, terhindar dari persekutuan bagi-Nya dalam beribadah, memohon pertolongan, berkurban, bernadzar dan bersumpah.[5]

Menetapkan ketauhidan kepada Allah adalah jaminan ketenangan jiwa dan kepastian langkah, karena seorang yang bertauhid hanya memiliki satu tujuan hidup dan satu sumber perintah untuk mencapai tujuan hidup tersebut, jiwanya tidak terkoyak oleh banyak pengabdian, melainkan hanya kepada Allah semata. Sayyid Quthb berkata, القلب الذي يقطع الرحلة على هذه الأرض على هدى، لأن بصره أبدا معلق بنجم واحد على الأفق فلا يلتوي به الطريق” hatinya terputus dari kenikmatan dunia untuk meraih hidayah, karena sesungguhnya bashirahnya selamanya akan fokus kepada satu tujuan hingga tak tersesat.[6]

Allah ta’ala berfirman dalam surat az zumar ayat 29,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Allah ta’ala berfirman dalam surat al Hajj ayat 31
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.


[1] Abu Sa’adat Ibnul Atsir : an Nihayatu fi Gharibil Hadits wal Atsar, Beirut : Maktabah al ‘Ilmiyyah, 1399 H, 5/159.
[2] Ibnu Mandzhur : Lisanul ‘Arab, Beirut : Daar Shadr, 1414 H, 3/451.
[3] Al Fairuz Abadi : Qamus al Muhith, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1426 H, hlm 324.
[4] Hamud ar Rahily : Manhajul Qur’an al Karim fi Da’watil Musyrikin ilal Islam, Saudi Arabia, 1424 H, 1/49.
[5] Sebagaimana dikutip Syamsuddin al Afghani : Jahud Ulama al Hanafiyah fi Ibthali Aqaaid, 1416 H, 1/79.
[6] Sayyid Quthb : Fii Dzilalil Qur’an, Beirut : Daar Asy Syuruq, 1412 H, 5/3049

MEMAHAMI AQIDAH & AKHLAQ ISLAM



Pengertian Akidah

Aqidah berakar dari kata “عَقَدَ”, lawan kata dari “نَقِيضُ الحَلِّ” bercerai berai, ia adalah “الشد والربط والإيثاق والثبوت والإحكام” ikatan, hubungan, perjanjian, keteguhan dan keputusan[1], kata ini juga berarti memperistri, mengikat, mengukuhkan, mengangkat dan meneguhkan[2]. Az Zamakhsary berkata “بناء معقود ومعقد” membangun perjanjian dan menyempurnakan[3]. Kata “العقيدة” sendiri berarti “الحكم الذي لا يقبل الشك فيه لدى معتقدة” Ketentuan yang tidak diragukan lagi dalam keyakinan[4].  Dikatakan juga bahwa aqidah adalah “ما عقد عليه القلب واطمأن إليه” sesuatu yang mengikat hati dan menjadikannya tenang.[5]

Secara istilah, Hasan al Banna berpendapat bahwa aqidah adalah, “الأمور التي يجب أن يصدق بها قلبك , و تطمئن إليها نفسك , و تكون يقينا عندك , لا يمازجه ريب , و لا يخالطه شك” perkara-perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, jiwamu menjadi tentram kepadanya, menjadi keyakinan bagimu yang tidak bercampur dengan sedikitpun keragu-raguan.[6]

Sebagaimana halnya ikatan perjanjian, maka kebenaran akan komitmen kita terhadap ikatan perjanjian tersebut menuntut adanya pembuktian, semisal hak dan kewajiban. Mahmud Sait Khattab menegaskan pendekatan tersebut, “العقيدة هي مثل عليا يؤمن بها الإنسان فيضحي من أجلها بالأموال والنفس؛ لأنها عنده أغلى من الأموال والنفس” aqidah adalah gambaran tentang idealisme yang tinggi yang harus di imani oleh manusia dengan menuntut adanya semangat berkorban dengan harta dan jiwa, karena idealisme tersebut lebih utama dari harta dan jiwa[7]. 

Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat at taubah ayat 111,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

Adapun perkara-perkara yang wajib diyakini kebenarannya serta menuntut pembuktian keyakinan tersebut kita kenal dengan rukun iman. Sebagaimana pengertian aqidah yang dikemukakan oleh Abdul Aziz bin Baaz “الإيمان الجازم بالله تعالى، وبما يجب له من التوحيد، والإيمان بملائكته وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، والقدر خيره وشرِّه، وبما يتفرع عن هذه الأصول ويلحق بها مما هو من أصول الدين” Keyakinan yang teguh kepada Allah ta’ala, dan segala hal yang wajib baginya dari ketauhidan, dan iman kepada malaikat, kitab-kitab- Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari akhir, dan taqdir yang baik dan buruk, dan segala konsekuensi dari pokok-pokok ajaran agama tersebut serta mengikutinya.[8]

Dari beberapa pengertian tersebut di atas baik secara bahasa maupun istilah dapat kita simpulkan bahwa pengertian aqidah adalah ikatan yang mengukuhkan sebuah hubungan sehingga menimbulkan keyakinan serta ketenangan hati kepada mereka yang terikat dalam perjanjian tersebut. Ketenangan hati ini muncul karena keyakinan akan adanya kepastian hukum dan balasan yang akan diperoleh apabila menunaikan isi perjanjian yang tersebut. Ketenangan hati juga diperoleh karena adanya kejelasan “pasal-pasal” secara rinci dalam perjanjian tersebut. Sehingga wajar-wajar saja bagi seseorang yang akidahnya lurus, akan bersedia berkorban untuk membuktikan kebenaran janjinya kepada Allah.

Pengertian Akhlaq

Akhlaq berakar dari kata “خَلَقَ” yang berarti “قدره وقاسه على مَا يُرِيد قبل الْعَمَل” mempertimbangan dan membandingkan (baik/buruk) segala sesuatu yang akan dikerjakan[9]. Kata “الخَلْقُ” memiliki dua pengertian yaitu “الإِنشاءُ على مِثالٍ أَبْدَعَه” pembuatan sesuatu sebagaimana contoh penciptaannya dan “التَّقْدِيرُ” ketetapan.[10] Al Ghazali menjelaskan bahwa khuluq (kata tunggal dari akhlaq) adalah penciptaan pada bentuk batiniyah, sedangkan khalq adalah penciptaan pada bentuk lahiriyah.[11] Hal ini menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluq lahir dan batin yang akan dimintai pertanggungjawaban secara lahiriyah maupun batiniyah.

Miqdad Muhammad Ali menjelaskan pengertian akhlaq secara rinci sebagai berikut, pertama “الخُلُق يدل على الصفات الطبيعية في خلقة الإنسان الفطرية على هيئة مستقيمة” kata khuluq menunjukkan sifat alami bawaan manusia yang diciptakan dalam bentuk konsisten lurus. Kedua “تدل الأخلاق أيضا على الصفات التي اكتسبت وأصبحت كأنها خلقت مع طبيعته” Akhlaq juga menunjukkan sifat yang diperoleh dan menjadi sebagaimana diciptakan sesuai dengan pembawaannya. Dengan demikian akhlak dalam Islam terdiri dari dua aspek “جانبًا نفسيًّا باطنيًّا وجانبًا سلوكيًّا ظاهريًّا” aspek psikologis batiniyah dan aspek perilaku lahiriyah.[12]

Secara istilah kata akhlaq berarti “صفة راسخة في النفس تصدر عنها الافعال”Sifat yang teguh berakar pada jiwa manusia yang melahirkan perbuatan-perbuatan[13]. Pengertian ini serupa dengan pendapat yang dikemukakan al Ghazali sebagai berikut “هَيْئَةٌ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تُصْدِرُ الْأَفْعَالَ بِسُهُولَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ” perangai yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber munculnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu difikirkan atan direncanakan sebelumnya.[14]

Dari segi keilmuan akhlaq berarti perangkat pengetahuan yang menghukumi nilai-nilai suatu perbuatan lahir maupun batin yang dikerjakan seseorang apakah termasuk perbuatan baik ataupun buruk. Dalam mu’jam al wasith disebutkan “علم مَوْضُوعه أَحْكَام قيمية تتَعَلَّق بِالْأَعْمَالِ الَّتِي تُوصَف بالْحسنِ أَو الْقبْح” ilmu yang membahas hukum tentang nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku-perilaku baik atau buruk.[15]

Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa akhlaq terbagi dalam dua aspek yaitu aspek lahiriyah dan batiniyah. Sehingga seorang muslim yang berakhlaq baik adalah yang lurus antara amal lahiriyah dengan batiniyahnya. Kebaikan hatinya terwujud dalam kebaikan perilakunya, demikian pula perilaku baik yang dikerjakan adalah cerminan dari kebersihan hatinya dan kedekatannya kepada Rabbnya.

Demikianlah akhlaq ia adalah aspek sifat atau karakter yang menetap kuat pada diri seseorang yang melahirkan aspek perilaku atau perbuatan lahiriyah, sehingga akhlaq dasar seseorang dapat diidentifikasikan dari baik atau buruknya respon yang muncul secara otomatis ketika menghadapi sebuah stimulus. Sebagai contoh seorang yang berkarakter pemurah akan memiliki kebiasaan perilaku berderma dengan hati yang lapang, sekalipun suatu saat ia tidak memiliki apapun untuk didermakan maka hatinya yang lapang akan merasakan rasa penyesalan karena tak sanggup menolong orang lain. Sebaliknya seorang yang berkarakter kikir bukan tidak mungkin berperilaku mendermakan hartanya, mungkin saja ia berderma namun apakah perilaku itu terlahir dari kelurusan niat ataukah kecenderungan lain dalam jiwanya.

Aqidah Yang Shahih Melahirkan Akhlak Yang Baik

Ada hubungan yang kuat antara akhlaq yang luhur dengan keimanan atau aqidah seorang muslim. Sebagai contoh dari Abu Hurairah ra, bahwasanya  Rasulullah saw telah bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah menyakiti tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam.[16]

Terkait hadits ini Ibnu Rajab menjelaskan bahwa perilaku-perilaku (akhlaq) yang menunjukkan keimanan ada yang terkait dengan hak-hak Allah dan adapula yang terkait dengan hak-hak hamba Allah.[17] Dengan demikian jelaslah bahwa keimanan (aqidah) adalah dasar kebajikan perilaku manusia, baik kepada Allah maupun kepada sesama.
Hasbunallah wa ni’mal wakil

[1] Ibnu Mandzhur : Lisanul Arab, Beirut : Daar Shodar, 1414 H, 3/296.
[2] Basuni Imamuddin & Nashiroh Ishaq : Kamus Kontekstual Arab-Indonesia. Depok: Gema Insani Press, 2012, Hlm 401.
[3] Az Zamakhsary : Asas al Balaghah, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1419 H, 1/668.
[4] Sa’dy Abu Habib: al Qamus al Fiqhy, Suriah : Daar al Fikr, 1408 H, hlm 256.
[5] Muhammad Qala’jiy : Mu’jam Lughatu al Fuqaha, Daar an Nafais, 1408 H, hlm 318.
[6] Hasan al Banna : Majmu’at ar Rasail, Beirut : Mu’assasah ar Risalah, tt, hlm 465.
[7] Mahmud Sait Khattab : Bayna al Aqiidah wal Qiyadah, Beirut : Daar as Syaamiyah, 1419 H, hlm 41.
[8] Sebagaimana dikutip Abdullah bin Abdul Aziz alJibrin: Tasyhilul Aqidatil Islamiyyah, Darul ‘Ashim, tt, hlm 1.
[9] Ibrahim Musthofa et.al : Mu’jam al Wasith, Turki : al Maktabah al Islamiyyah, 1972, 1/252
[10] Murtadho az Zubaidy : Taajul ‘Aruus, Saudi : Daar al Hidayah, tt, 25/251
[11] Abu Hamid al Ghazali : Ihya ‘Ulumuddin, Beirut : Daar al Ma’rifah, tt, 3/53.
[12] Miqdad Muhammad Ali : Ilmu al Akhlaq al Islamiyyah, Riyadh : Daar Alim al Kutub, 1413H, hlm 33.
[13] Mu’jam Lughatu al Fuqaha, 199
[14] Ihya ‘Ulumuddin, 3/53
[15] Mu’jam al Wasith, 1/252.
[16] Al Bukhari : Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Thuq an Najah, 1422 H, 8/11 hadits ke 6018
[17] Lihat Ibnu Rajab al Hanbali : Jami’ul Ulum wal Hikam, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1422 H, hlm 333

SYUKUR


Pengertian Syukur (تَعْرِيْفُ الشُكْرُ)

Bahasa (لُغَةً)

Memaknai kebaikan dan menyiarkannya (عِرفانُ الإحسانِ ونَشرُه)[1]
Pujian dan sanjungan bagi orang yang berbuat baik (الثناء على المحسن بما أولاه من معروف)[2]

Istilah (الاصطلاح)

Menegakkan keta’atan dan mendekatkan diri kepadanya dengan berbagai macam cara mencintainya lahir dan batin.   (الْقيام بِطَاعَتِهِ والتقرب إِلَيْهِ بأنواع محابه ظَاهرا وَبَاطنا)[3]

Terlihatnya pengaruh nikmat Allah atas seorang lisan seorang hamba berupa pujian & sanjungan, atas hatinya berupa kesaksian dan kecintaan dan pada tubuhnya berupa ketundukan & ketaatan (ظُهُورُ أَثَرِ نِعْمَةِ اللَّهِ عَلَى لِسَانِ عَبْدِهِ: ثَنَاءً وَاعْتِرَافًا. وَعَلَى قَلْبِهِ: شُهُودًا وَمَحَبَّةً. وَعَلَى جَوَارِحِهِ: انْقِيَادًا وَطَاعَةً)[4]

Kedudukan Syukur Dalam Agama (مقامات الشكر في الدين)

Syukur berhubungan erat dengan iman (قرن الشكر بالإيمان)
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? (an Nisa 147)

Orang-orang yang bersyukur adalah hamba yang dikhususkan mendapatkan anugerahnya (أهل الشكر هم المخصوصين بمنته عليهم من بين عباده)
Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin), agar (orang-orang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?" (6: 53)

Orang yang bersyukur dijanjikan dengan bertambahnya kenikmatan (وعد الشاكرين بالزيادة)
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih (Ibrahim 7)

Syukur adalah tujuan penciptaan (الشكر هو الغاية من الخلق)
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.


[1] Al Azhary : Tahdzhibul Lughah, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Araby, 1422 H, 10/10
[2] Zainuddin ar Razi : Mukhtarus Shohah, Beirut : Maktabah al ‘Ashriyah, 1420 H, h 167.
[3] Ibnul Qayyim al Jauziyyah : al Fawaid, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1393 H, h 128.
[4] Ibnul Qayyim al Jauziyah : Madarijus Salikin, Beirut : Daar al Kutub al ‘Araby, 1416 H, 2/234

Surat al Hujurat ayat 1



Perintah Bertaqwa serta Larangan Mendahului Allah dan Rasul-Nya

Surat al Hujurat ayat 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Asbab an Nuzul
Dari Ibnu Juraiz bahwa ibnu Mulaikah menceritakan kepadanya:[1]
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَدِمَ رَكْبٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمِّرِ الْقَعْقَاعَ بْنَ مَعْبَدٍ، وَقَالَ عُمَرُ: بَلْ أَمِّرِ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا أَرَدْتَ إِلَّا خِلَافِي، وَقَالَ عُمَرُ: مَا أَرَدْتُ خِلَافَكَ، فَتَمَارَيَا حَتَّى ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا
Bahwasanya Abdullah bin Zubair telah memberitahunya bahwa telah datang kafilah dari bani tamim kepada Rasulullah saw, maka abu Bakar berkata : jadikanlah pemimpin al Qa’qa’ bin Ma’bad, Umar berkata: jangan, tunjuklah al Aqra’ bin haabis. Abu Bakar berkata : Tidak ada maksudmu melainkan untuk berselisih denganku. Umar berkata : aku tidak bermaksud berselisih denganmu. Mereka beradu argumen hingga suara mereka meninggi. -- Kemudian Allah ta’ala menurunkan awal surat ini hingga ayat ke 5--.

Pelajaran dari Ayat

1. Larangan mendahului Allah dan Rasulullah saw dalam memberikan fatwa terhadap sebuah perkara.
Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid tafsirnya[2] “لَا تَفْتَاتُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَيْءٍ حَتَّى يَقْضِيَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى لِسَانِهِ” janganlah memutuskan sebuah perkara hingga datang ketetapan Allah melalui keputusan Nabi-Nya.
Hal ini merupakan etika untuk menghormati, menghargai, memuliakan dan mengagungkan beliau saw. Mendahulukan ketetapan Allah dan Rasul-Nya juga merupakan adab syar’i dalam menjalani kehidupan.
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah saw ketika mengutusnya ke yaman berkata[3]:
كَيْفَ تقضي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ " قَالَ: أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ. قَالَ: " فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللهِ؟ " قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: " فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ " قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، لَا آلُو. قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي، ثُمَّ قَالَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللهِ
Bagaimanakah solusimu jika engkau menemui masalah? Mu’adz berkata: aku memutuskannya dengan al Qur’an. Rasulullah saw bertanya : jika tak kau temukan pada al Qur’an ? Muadz menjawab : dengan sunnah Rasulullah saw. Rasulullah saw bertanya: jika tak kau temukan pada sunnah Rasulullah saw? Mu’adz berkata: Aku akan berijtihad dengan pendapatku. Mu’adz berkata: Rasulullah saw menepuk dadaku dan bersabda: segala puji bagi Allah yang telah mensejahterakan utusan Rasulullah saw atas apa yang diridhai Allah.

2. Larangan Tergesa-gesa.
At Thobari mengemukakan[4] “لاَ تَعْجِلُوا بِقَضَاءِ أَمْرٍ فِي حُرُوبِكُمْ أَوْ دِينِكُمْ” janganlah kalian tergesa-gesa dalam menentukan sebuah keputusan dalam peperangan maupun dalam perkara keagamaan.
Dr. Sayyid Muhammad Nuh menjelaskan bahaya isti’jal sebagai berikut[5],
إرادة تغيير الواقع الذي يحياه المسلمون اليوم في لمحة أو في أقل من طرفة عين دون نظر في العواقب ودون فهم للظروف والملابسات المحيطة بهذا الواقع ، ودون إعداد جيد للمقدمات أو للأساليب و الوسائل
Keinginan merubah keadaan kehidupan ummat Islam dalam waktu yang singkat atau sekejap mata tanpa mempertimbangkan akibatnya, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi serta tanpa persiapan yang matang dengan segala metode dan sarananya.
Allah ta’ala berfirman dalam surat ar ruum ayat 60,
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ                                  
“Maka bersabarlah, sesungguhnya janji Allah adalah benar. Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) menggelisahkan kamu”


3. Perintah untuk Bertakwa.
Abu Ja’far ath thobari berpendapat bahwa Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa kepada Allah dan memperhatikan segala perkara yang hendak mereka kerjakan baik terucap maupun yang terlintas di dalam hati.[6]
وخافوا الله أيها الذين آمنوا في قولكم، أن تقولوا ما لم يأذن لكم به الله ولا رسوله، وفي غير ذلك من أموركم، وراقبوه، إن الله سميع لما تقولون، عليم بما تريدون بقولكم إذا قلتم.
Wahai orang-orang beriman takutlah kepada Allah dalam perkataan kalian, atas perkataan yang tidak diridhoi Allah dan Rasul-Nya, dan juga perkara kalian yang lainnya, dan takutlah kepada-Nya, sesungguhnya Allah Maha mendengar segala yang kalian katakan serta mengetahui apa yang kehendaki dari perkataan kalian.
Begitu pentingnya takwa bagi orang-orang beriman sebab kemenangan ruhiyah itu jauh mendahului kemenangan fisik sebagaimana kekalahan ruhiyah itu merambat jauh sebelum kekalahan fisik itu terjadi.
Hasbunallah wa ni’mal wakil

[1] Al Wahidi : Asbabun Nuzul al Qur’an, Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, Hlm 385. Juga diriwayatkan oleh al Bukhari dalam shahihnya 5/168 hadits ke 4367, at tirmidzi dalam sunannya 5/387 hadits ke 3266, dan an Nasa-i dalam Jami’ul ushul 2/360.
[2] Mujahid bin Jabr : Tafsir Mujahid, Mesir : Daar al Fikr, 1410 H, hlm 610.
[3] Ahmad bin Hanbal : al musnad, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1421 H, 36/333 hadits ke 22007. Menurut Syu’aib al Arnauth hadits ini Dha’if. Demikian  pula menurut al Albany lihat silsilatul hadits adh dho’ifah 2/274.
[4] Abu Ja’far ath Thobari : Jami’ul Bayan, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1420 H, 22/272
[5] Dr. Sayyid Muhamad Nuh : Afaatun ‘ala ath Thariq, al Manshuriyah : Daar al Wafa, 1416 H, hlm 57.
[6] Jami’ul Bayan, 22/277