Golongan Penerima Zakat Dalam Kajian Tafsir Hukum



Sigit Suhandoyo. Menurut al-Qur’an surat al-Taubah ayat 60, penerima zakat terbagi dalam 8 golongan yaitu: (1) fakir, (2) miskin, (3) amil zakat, (4) para muallaf (5) budak, (6) orang-orang yang berutang, (7) untuk jalan Allah dan (8) orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Para ulama tafsir memberikan definisi terhadap golongan penerima zakat sebagai berikut:


a) Fakir dan Miskin


Pembahasan tentang definisi golongan ini digabungkan, karena terdapat perbedaan para pendapat para ulama tafsir mengenai definisinya. Sehingga adapula yang berpendapat fakir dan miskin adalah satu golongan. 


Fakir lebih rendah dari miskin. Pendapat ini dikemukakan diantaranya oleh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya fakir adalah “من لا مال له ولا كسب يقع موقعا من حاجته”(1)  yaitu orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan untuk menutupi kebutuhannya. Sedangkan miskin adalah “من له مال أو كسب لا يكفيه”(2) .  


Ulama yang berpendapat demikian berdalil berdasarkan ayat 273 surat al-Baqarah yang menerangkan tentang orang-orang fakir, dan surat al Kahfi ayat 79 tentang orang orang miskin.

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi” 

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,”


Pada ayat-ayat tersebut Allah memberitahukan kondisi orang fakir yang tak mampu berusaha dan orang miskin yang masih memiliki perahu untuk melaut, dan tidak tertunrp kemungkinan juga orang miskin itu memiliki harta walaupun tidak terlalu mencukupi diri dan keluarganya. Menurut al-Qurthubi pendapat ini adalah merupakan salah satu pendapat Syaf’i dan sebagian pengikutnya.(3) 


Fakir lebih baik dari miskin. Pendapat ini dikemukakan diantaranya oleh Abu Hanifah. Kalangan yang berpendapat demikian mengemukakan pengertian sebagai berikut, “الْفَقِيرُ هُوَ الَّذِي لَهُ بَعْضُ ما يكفيه ويقيمه، والمسكين الذي لا شي لَهُ”(4)  orang fakir adalah orang yang memiliki sebagian dari kebutuhannya untuk dapat menjalani kehidupannya sedangkan orang miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki apa-apa.


Fakir dan Miskin adalah golongan yang sama. Pendapat lain dari Imam Asy-syaf’i menyebutkan bahwa makna fakir dengan miskin adalah golongan yang sama, meski penyebutannya berbeda, karena tidak ada perbedaan yang jelas antara keduanya. Demikian salah satu pendapat Asy-Syafi’i, dan ini juga rnerupakan pendapatnya Ibnu Al Qasim dan semua sahabat Malik. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Yusuf dari hanafiyah.(5) 


Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahwa orang fakir adalah orang miskin yang menahan diri, sedangkan orang miskin adalah yang meminta-minta. Demikian yang dikatakan oleh Al Azhari dan dipilih oleh Ibnu Sya'ban, dan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.(6) 


b) Amil Zakat


Menurut Zuhaili amil adalah “الساعين في تحصيلها وجمعها وهم الجباة”(7)  yaitu orang-orang yang bekerja untuk mengambil dan mengumpulkan zakat. Menurut Al-Qurthubi amil harus mendapatkan perintah dari imam. Ia mengemukakan “السُّعَاةَ وَالْجُبَاةَ الَّذِينَ يَبْعَثُهُمُ الْإِمَامُ لِتَحْصِيلِ الزَّكَاةِ بِالتَّوْكِيلِ عَلَى ذَلِكَ”(8)  orang-orang yang mengumpulkan dan membagikan zakat sesuai perintah seorang imam. Mereka adalah para wakil sekaligus para penerima zakat dari muzakki.


c. Muallaf


Secara umum muallaf adalah golongan penerima zakat yang mendapatkan zakat agar keislaman mereka menjadi lebih kuat. Wahbah Zuhaili membagi golongan ini dalam 4 kelompok yaitu, “إما أن يعطوا ليسلموا، أو يثبت إسلامهم، أو يسلم نظراؤهم، أو يدافعوا عن المسلمين”(9)  ada yang diberi bagian zakat agar masuk Islam, ada yang diberi agar keislamannya semakin kukuh, ada yang diberi agar orang-orang yang serupa dengannya masuk Islam, dan ada juga yang diberi agar membela kaum Muslimin. Untuk golongan pertama dan yang terakhir; menurut Imam Syafi'i r.a., saat ini tidak diberi bagian dari zakat dikarenakan Islam telah jaya. Sedangkan golongan kedua dan ketiga, menurut pendapat yang lebih benar tetap diberi bagian dari zakat


Al-Qurthubi menguatkan bahwa para ulama sepakat bagian zakat yang diberikan kepada muallaf yang adalah bagi mereka yang sudah masuk Islam, dan tidak ada satupun yang masih kafir.(10) 


d. Budak


Menurut al-Zuhaili maksud budak disini adalah budak mukatab, yaitu memerdekakan budak yang memilki kesepakatan dengan tuannya untuk dibebaskan dengan membayar sejumlah uang tertentu.(11)  Tidak hanya itu, menurut Asy-Syaukani, dapat juga digunakan secara umum untuk membeli budak dan memerdekakannya. Menurutnya pengertian bisa membeli budak dan memerdekakannya, dan bisa juga membantu budak mukatab untuk melunasi perjanjiannya.(12) 


Al-Zuhaili menyebutkan bahwa riqab dapat juga diartikan untuk membebaskan seorang muslim yang menjadi tawanan perang orang kafir.(13)  Meski demikian dalam pendapat ini terdapat perbedaan. Adapula yang melarangnya, sedangkan yang membolehkan mengemukakan bahwa membebaskan tawanan perang dari tangan orang-orang kafir lebih utama daripada membebaskan budak yang hidup bersama ummat Islam.(14) 


e. Orang yang berutang


Adalah orang-orang yang menanggung beban utang jika mereka berutang untuk diri mereka sendiri, bukan untuk kemaksiatan dan pemborosan, sedangkan mereka tidak dapat melunasinya.(15)  Tidak satu pun dari ulama yang berbeda pendapat mengenai hal ini, kecuali orang tersebut berutang karena hal yang sepele dan sengaja menumpuknya agar dibantu dari penyaluran zakat. orang seperti ini tidak layak menerima zakat atau dibantu oleh siapa pun, kecuali ia mau bertobat dari perbuatannya itu.(16)  


Ulama berbeda pendapat tentang yang wafat dan meninggalkan hutang, apakah dapat diambilkan dari bagian al-gharimin atau tidak. Imam Abu Hanifah tidak membenarkan, bahkan beliau mensyaratkan pemberian bantuan dari zakat bagi yang berhutang hanyalah siapa yang terancam dipenjara bila tidak membayar hutangnya. Ulama lain membolehkan bagi siapa yang telah wafat untuk dibayarkan hutangnya dari uang zakat, jika ia tidak meninggalkan harta warisan.(17)  Pendapat ini adalah pendapat yang kuat dari kalangan malikiyah.(18) 


f. Untuk Jalan Allah


Menurut jumhur ulama yang dimaksud adalah untuk membiayai para mujahid yang berperang dan tidak mendapatkan bayaran dari pemerintah.(19)  Pendapat ini merupakan pendapat yang kuat dari kalangan Malikiyah, tanpa melihat apakah mujahid tersebut kaya maupun miskin.(20)  Sebagian ulama Madzhab Hanafi menafsirkan kata sabiilillah dalam hal ini dengan menuntut ilmu. Al-Kasani menafsirkannya dengan seluruh bentuk kebaikan sehingga masuk di dalamnya semua kebaikan, seperti mengkafani mayat, membangun bendungan, membangun benteng dan membangun masjid, karena menurutnya, adalah mencakup semuanya.(21) 


g. Orang yang sedang dalam perjalanan.


Orang yang sedang dalam perjalanan adalah musafir yang kehabisan bekal ketika dalam perjalanan atau ketika ingin melakukan perjalanan untuk ketaatan, bukan untuk kemaksiatan dan dia tidak mampu mencapai tujuannya kecuali dengan bantuan. Ketaatan di sini seperti haji, jihad, dan haji sunnah. Namin menurut Imam Malik, Jika ia rnenemukan orang yang mau meminjaminya maka tidak diberi dari zakat.(22)  Adapun orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan yang dibolehkan, seperti untuk berolahraga dan berpariwisata, menurut sebagian ulama madzhab Syafi'i, dia tidak diberi bagian dari zakat karena dia tidak dalam kondisi kekurangan.(23)  


Catatan Kaki

  1. Wahbah ibn Musthafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cetakan ke 2, 1418 H),  Juz 10, hlm 259
  2. Ibid.
  3. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Cairo: Darul Kutub al-Mishriyah, cetakan ke 2, 1384 H), Juz 8, hlm 169
  4. Ibid.
  5. Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Fathul Qadir, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, cetakan pertama 1414 H), Juz 2, hlm 425
  6. Ibid
  7. Wahbah Zuhaili, loc.cit.
  8. Al-Qurthubi, op.cit, Juz 8, hlm 177.
  9. Wahbah Zuhaili, Loc.cit.
  10. Al-Qurthubi, Op.cit, Juz 8, hlm 181.
  11. Wahbah Zuhaili, Loc.cit.
  12. Asy-Syaukani, op.cit, Juz 2, hlm 426.
  13. Al-Zuhaili, loc.cit
  14. Al-Qurthubi, Op.cit, Juz 8, hlm 183.
  15. Al-Zuhaili, loc.cit
  16. Al-Qurthubi, loc.cit.
  17. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Juz 5, hlm 634.
  18. Al-Qurthubi, op,cit, Juz 8, hlm 185.
  19. Al-Zuhaili, op.cit, Juz 10, hlm 273.
  20. Al-Qurthubi, op,cit, Juz 8, hlm 186.
  21. Al-Zuhaili, op.cit, Juz 10, hlm 274.
  22. Asy-Syaukani, op.cit, Juz 2, hlm 427.
  23. Al-Zuhaili, op.cit, Juz 10, hlm 274.