PENGERTIAN GLOBALISASI



Globalisasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai penyempitan dan percepatan keterkaitan seluruh dunia, batas-batas teritorial maupun budaya antar bangsa menjadi seolah hilang. Proses ini menjadi sebuah isu kontroversial dalam studi ilmu politik. Sebagian berpendapat bahwa globalisasi mendatangkan kematian negara-bangsa berdaulat, sebagai kekuatan global yang melemahkan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan perekonomian mereka dan masyarakatnya sendiri. Ohmae menuliskan, “globalisasi telah menghancurkan budaya-budaya lokal, merobek pasar-pasar di belahan dunia manapun dan merobohkan dinding pembatas antar negara.”[1] Sebagian lain yang mendukung ide globalisasi berpendapat bahwa negara-negara tetap merupakan unsur utama pembentuk tatanan dunia,  “bagi mereka globalisasi merupakan kemajuan, Negara-negara harus menerimanya jika mereka ingin berkembang dan memerangi kemiskinan secara efektif.”[2]

Dalam bahasa Inggris globalisasi berasal dari kata global, “world-wide; embracing the whole of group of items”[5] yang berarti mendunia; melingkupi seluruh kelompok materi.
globalisasi sebagai liberalisasi. Dari berbagai definisi menunjukkan bahwa globalisasi menciptakan kebebasan pasar.

“globalization' refers to 'a process of removing government-imposed restrictions on movements between countries in order to create an open, borderless world economy”[6]

Dengan kata lain globalisasi merujuk pada proses menghilangkan pembatasan yang dikenakan pemerintah terhadap pergerakan antar negara dalam rangka menciptakan sebuah ruang terbuka, menghilangkan batas ekonomi dunia.

Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi. Globalisasi dipahami oleh sebagian ahli sebagai dinamisasi cara berfikir dan gaya hidup. Sebagai contoh dalam hal ini adalah struktur sosial modernitas seperti kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme tersebar di seluruh dunia. Biasanya menghancurkan budaya lokal dan prosesnya menjadi penentuan atas nasib masing-masing peradaban lokal. Seorang pemikir Muslim berpendapat,

أن الدعوة إلى العولمة إذا صدرت من بلد أو جماعة فإنها تعني تعميم نمط من الأنماط التي تخص ذلك البلد أو تلك الجماعة وجعله يشمل الجميع، العالم كله [7]
Hal ini berarti Propaganda globalisasi jika digaungkan oleh suatu negara atau kelompok, ia berarti generalisasi pola hidup yang menjadi karakter khas mereka menjadikannya menembus seluruh batas dunia.

globalisasi sebagai deterritorialization atau sebagai penyebaran supraterritoriality.

“globalization' entails a 'reconfiguration of geography, so that social space is no longer wholly mapped in terms of territorial places, territorial distances and territorial borders”[8]

Globalisasi diartikan sebagai rekonfigurasi geografis, sehingga ruang sosial tidak lagi sepenuhnya dipetakan berdasarkan tempat teritorial, jarak teritorial dan batas wilayah.

Pengertian semacam ini juga dikemukakan oleh Yusuf al Qaradhawi, ia berpendapat,

العولمة تعني إزالة الحواجز و المسافات بين الشعوب بعضها و بعض، و بين الأوطان بعضها و بعض، و بين الثقافات بعضها و بعض. و بذالك يقترب الجميع من ثقافة كونية و سوق كونية و أسرة كونية، و تحويل العالم إلى قرية كونية [9]

Dalam pengertian lain, globalisasi adalah eliminasi batas-batas territorial antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, antara tanah air satu dengan tanah air yang lain dan antara kebudayaan satu dengan kebudayaan lain. Artinya semua orang menjadi lebih dekat dengan adanya budaya global, pasar global dan keluarga global, dan dunia berubah menjadi sebuah desa global.

Dapat dikatakan globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial dan budaya seluruh dunia yang menghubungkan daerah yang jauh sedemikian rupa sehingga kejadian lokal dibentuk dan dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi bermil-mil jauhnya dan sebaliknya.

Catatan Pustaka
  1. Kenichi Ohmae dalam The End of Nation State, dikutip tidak langsung oleh Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Yadaul, 2003) hlm 112.
  2. Joseph E. Stiglitz, Kegagalan Globalisasi dan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional, (alih bahasa oleh Ahmad Lukman, Jakarta: Ina Publikatama, 2012), hlm 6.
  3. Kenichi Ohmae dalam The End of Nation State, dikutip tidak langsung oleh Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Yadaul, 2003) hlm 112.
  4. Joseph E. Stiglitz, Kegagalan Globalisasi dan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional, (alih bahasa oleh Ahmad Lukman, Jakarta: Ina Publikatama, 2012), hlm 6.
  5. A S Hornby, Oxford Advancer Learner Dictionary,(Great Britain: Oxford University Press, 1974), hlm 366.
  6. Jaan Art Scholte, Globalization; A Critical Introduction, (New York: Palgrave Macmillan, 2000), hlm 16.
  7. Muhammad Abid al Jabiry, Qadhaya fil Fikr al Muashir, (Beirut: Markaz Dirasat al Wahdah al Arabiyah, 2001), hlm 137.
  8. Anthony Giddens, The Consequences of Modernity, ( San Fransisco:Stanford University Press, 1990), hlm 64.
  9. Yusuf al Qaradhawi,Ummatuna Baina Qarnain, (Beirut: Daar asy Syuruq, 1421 H), hlm 229.