Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 20-26


Sigit Suhandoyo. Dalam kisah sebelumnya, Allah ta’ala memerintahkan Musa as untuk berdakwah kepada Fir’aun. Kemudian dalam penggal kisah ini, dituturkan bahwa dihadapan Fir’aun, Musa as memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Namun Fir’aun menganggap mukjizat dari Allah ta’ala hanyalah permainan sihir belaka. Fir’aun mengumpulkan para pembesar termasuk para penyihirnya untuk menantang Musa as. Kemudian ia memproklamirkan kepada kaumnya, bahwa dirinyalah Tuhan yang paling tinggi. Kisah ini ditutup dengan pemberitahuan bahwa Allah ta’ala mengazab Fir’aun.


فَأَرَاهُ الْآيَةَ الْكُبْرَى (20) فَكَذَّبَ وَعَصَى (21) ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى (22) فَحَشَرَ فَنَادَى (23) فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى (24) فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الْآخِرَةِ وَالْأُولَى (25) إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِمَنْ يَخْشَى (26)

Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi Fir'aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: "Akulah tuhanmu yang paling tinggi". Maka Allah mengadzabnya dengan adzab di akhirat dan adzab di dunia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya).


Ayatul Kubra; Mukjizat yang Besar. Kata (الْآيَةَ) dalam bahasa arab berarti (الْعَلَامَةُ وَالْجَمْعُ) yaitu tanda-tanda dan mengumpulkan (mukhtar as-shahah 1/27). Disebut sebagai ayat dalam al-Qur’an karena ayat itu mengumpulkan huruf. Sedangkan teks (الْآيَةَ) dalam ayat ke 20 ini diartikan sebagai (الْعَلَامَةُ) atau tanda-tanda. Mukjizat termasuk dari tanda-tanda nubuwwah, tanda-tanda keberadaan Allah ta’ala. Sementara penafsir menyebutkan bahwa (الْآيَةَ الْكُبْرَى) adalah (المعجزة العظمى) yaitu mukjizat besar. Mukjizat yang Allah berikan kepada Musa as untuk ditunjukkan kepada Fir’aun dalam peristiwa ini adalah tongkatnya yang bisa berubah menjadi ular. 


Adapun sebagaimana kita ketahui, mukjizat besar yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad saw bagi ummatnya adalah al-Qur’an al-Karim. 

وَلَوْ أَنَّ قُرْآنًا سُيِّرَتْ بِهِ الْجِبَالُ أَوْ قُطِّعَتْ بِهِ الْأَرْضُ أَوْ كُلِّمَ بِهِ الْمَوْتَى بَلْ لِلَّهِ الْأَمْرُ جَمِيعًا

Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, (tentu Al Qur'an itulah dia). Sebenarnya segala itu adalah kepunyaan Allah… (13:31)


Fir’aun: Akulah Tuhanmu yang paling tinggi. Fir’aun mendustakan dan mendurhakai, setelah mendapati tanda-tanda kenabian dan bukti keberadaan Allah ta’ala, yang ditunjukkan Musa as kepadanya. Dan memproklamirkan kepada kaumnya bahwa dirinyalah tuhan tertinggi bagi mereka.


Penafsir kontemporer Asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa dengan demikian, Fir’aun telah melakukan dua kesalahan. Pertama, mendustakan Rasul dan mendurhakainya. Kedua, keberaniannya memposisikan diri sebagai tuhan (tafsir Asy-Sya’rawi 15/94).


Buya hamka menuturkan bahwa kekuasaan dapat menjadikan manusia sombong dan lupa daratan. Gila karena kekuasaan. Melihat tanah yang subur dan sungai Nil yang mengalir dan tidak ada raja lain yang berani menyanggah, dia merasa jadi tuhan; bahkan tuhan yang paling tinggi. Ditanamkan kepercayaan kepada rakyat bahwa dia adalah putera dari Dewi Matahari yang bemama Ra. (Tafsir al-Azhar 10/7878)

وَنَادَى فِرْعَوْنُ فِي قَوْمِهِ قَالَ يَا قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي أَفَلَا تُبْصِرُونَ

Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat (nya)? (43:51)

Kata (رَبُّ) rabb berarti pemilik dan pemelihara. Kata ini seakar kata dengan kata (تربية) tarbiyah, yaitu (إنشاء الشيء حالا فحالا إلى حدّ التمام) menjaga sesuatu tahap demi tahap menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya (al Mufradat fi Gharib al Qur’an, 336).


Adapun jika mengaitkan Allah sebagai Ar-Rabb, Sa’id Hawwa mengutip perkataan al wasithy bahwa “هو الخالق ابتداءً و المربّي غذاءً و الغافر أنتهاءً” Allah adalah Pencipta pada mulanya, Pemelihara setelah itu dan Pengampun pada akhirnya (al-Asas fi Tafsir 1/141)

  

Ibrah bagi orang-orang yang takut kepada Allah. Sesungguhnya kisah Musa a.s. bersama Fir'aun dan bala tentaranya merupakan pelaiaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran dan nasihat bagi orang yang mau mengambil nasihat. 


Dalam kisah ini dan penderitaan yang diberikan Allah kepada Fir'aun serta terwujudnya kemenangan bagi Musa a.s., terdapat sebuah pelajaran dan nasihat bagi orang yang takut kepada Allah. Di dalam kisah tersebut, terdapat penjelasan siksa yang setimpal serta sebab-sebabnya. Dengan kisah tersebut, jelaslah bagi setiap orang yang berakal pentingnya meninggalkan sifat membangkang perintah Allah SWT dan mendustakan para Nabi-Nya. Demikian juga, harus diketahui bahwa Allah SWT akan senantiasa menolong para Nabi, Rasul dan para pengikut mereka.


Adapun kata (نَكَالَ) pada ayat 25 berasal dari kata (نَكَلَ) yang berarti menghalangi atau mejadikan contoh untuk menakuti orang lain. sebagaimana dikemukakan oleh al-Alusi,

التعذيب الذي ينكل من رآه أو سمعه ويمنعه من تعاطي ما يفضي إليه

Siksaan dinamai demikian karena ia dapat menghalangi siapapun yang melihat ataupun mendengarnya serta mencegahnya untuk mengikuti hal yang menuntun kepada siksa tersebut (ruhul ma’ani 15/231). Wallahu a’lam bisshowab


Daftar Pustaka

  • Zanuddin al-Razi, Mukhtar Ash-Shahah, (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah, cet kelima, 1999)
  • Ar Raghib al Ashfahani, al Mufradat fi Gharib al Qur’an, (Damaskus: Daar al Qalam, 1412 H),
  • Sa’id Hawwa, al Asas fi Tafsir, (Yordania: Daar as Salam, 1405 H) 
  • Shihabuddin al-Alusi, Ruhul Ma’ani, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet pertama, 1415 H)
  • Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional Singapura, 1989)
  • Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2016)


Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 10-14



Sigit Suhandoyo. Pada bahagian sebelumnya, ayat 6-9 menjelaskan bahwa kelak pada hari kebangkitan, banyak hati yang ketakutan dan pandangan yang tertunduk karena duka. Kelompok ayat 10-14 menjelaskan bahwa orang-orang yang akan mengalami hal tersebut di akhhirat adalah, mereka yang semasa hidupnya tidak meyakini akan adanya hari kebangkitan.


يَقُولُونَ أَإِنَّا لَمَرْدُودُونَ فِي الْحَافِرَةِ (10) أَإِذَا كُنَّا عِظَامًا نَخِرَةً (11) قَالُوا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ (12) فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ (13) فَإِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ (14)

(Orang-orang kafir) berkata: "Apakah sesungguhnya kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan yang semula? Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi tulang-belulang yang hancur lumat?" Mereka berkata: "Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan". Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah dengan satu kali tiupan saja, maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi.


Pengingkaran orang-orang kafir akan adanya kebangkitan

Dalam ayat 10-12 dijelaskan bahwa diantara sifat orang kafir adalah mempertanyakan adanya kebangkitan, mendustakan dan melecehkan keniscayaannya. Mereka meragukan akan dibangkitkan kembali dalam keadaan seperti semula.


Al-Fara, Imam penduduk kufah pada abad ke 2 Hirjiah menuliskan dalam bukunya bahwa, kata (الْحَافِرَةِ) memiliki 2 pengertian yang berdekatan. Pertama, dibangkitkan kembali dari kubur. Seperti perkataan orang arab (الحافرة الأرض التي تحفر فيها قبورهم) yaitu tanah yang digali, dengan kata lain kubur. Kedua, kata ini dapat juga diartikan meniti jalan semula, seperti ungkapan orang Arab (رجعع فلانًا عَلَى حافرتي) seseorang telah kembali kepada keadaannya semula.(Ma’ani al-Qur’an 3/232) Sehingga ayat tersebut dimaknai, orang kafir mempertanyakan akankah mereka akan dibangkitkan kembali ke dunia, dan dalam kondisi seperti semula? 


Kemudian pada ayat berikutnya, orang-orang kafir bertanya dengan maksud melecehkan. Mereka tidak meyakini bahwa Allah dapat membangkitkan mereka kembali, meskipun tulang-belulang sudah lumat. Kalau memang bisa maka itu adalah pengembalian yang merugikan. Perkataan ini menurut asy-Sya’rawi merupakan suatu bentuk penghinaan, bukan merupakan suatu kesadaran. Ayat 11, 12 dan 13 berturut-turut, merupakan pengingkaran, pendustaan, dan penjauhan. Ketiga alasan tersebut merupakan bentuk penghinaan.(tafsir asy-Sya’rawi 15/85)


Penghinaan ini kemudian mendapatkan jawaban yang tegas, bahwa kebangkitan, pengembalian dalam bentuk semula hanyalah sekali tiupan saja, dan serta merta kembali dalam kehidupan. Kata (زَجْرَةٌ) berarti teriakan, sementara ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tiupan sangkakala oleh malaikat Israfil, namun adapula yang berpendapat bahwa kata ini berarti (غضب) atau kemarahan. Ungkapan kemarahan dalam bentuk bentakan.(an-Nukat wal Uyun 6/196) Adapun kata (السَّاهِرَةِ) berarti permukaan bumi atau padang pasir. Menurut asy-Sya’rawi, as-Sahirah adalah padang pasir yang berwarna putih.( tafsir asy-Sya’rawi 15/88)


Wallahu a’lam bishowab. 

Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 15-19



Sigit Suhandoyo. Fragmen kisah Musa as dalam surat ini, adalah sebagaimana gambaran umum tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an yang syarat akan hikmah dan inspirasi. Dengan penuh kelembutan ayat ini turun kepada Rasulullah saw untuk menghibur dan mendukungnya dalam jalan dakwah. Sebagaimana dituturkan oleh Penafsir kontemporer Mesir, Asy-Sya’rawi. Menurutnya jika merujuk alur cerita sebelumnya, bahwa kaum kafir mengingkari hari kebangkitan, mendustakan dan menyengsarakan Nabi Muhammad saw, maka ayat-ayat ini merupakan ayat yang memotivasi Rasulullah dan tentu saja, juga kepada para pewaris nabi, untuk tidak mudah berputus asa, bersabar dan meyakini pertolongan Allah. Sebagaimana Musa as, yang berdakwah dengan lemah lembut kepada Fir’aun, seorang manusia yang mengaku dirinya Tuhan. (lihat tafsir asy-Sya’rawi 15/89-90) 


هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (15) إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (16) اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (17) فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى (18) وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى (19)


Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa. Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Thuwa; "Pergilah kamu kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)" Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?"


Lembah Suci; Thuwa. Al-Muqaddas berarti (المطهر المبارك) yaitu yang disucikan dan diberkahi, yaitu lembah Thuwa. Di lembah inilah Nabi Musa as berdialog, menerima wahyu secara langsung dari Allah ta’ala, tanpa perantaraan malaikat. Pakar tafsir Ath-Thabari mengemukakan sebuah riwayat bahwa nama Thuwa dimungkinkan memiliki arti (طَأَ الأَرْضِ حَافِيًا) yaitu injaklah tanah ini tanpa alas kaki. (Jami’ul Bayan 24/200). 


Allah ta’ala berfirman, “Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: "Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.” (thaha 11-12)

Para ulama tafsir mengemukakan bahwa lembah ini berada di gunung Sinai, antara Ailah dan Mesir, di wilayah Palestina.


Fir’aun yang Melampaui Batas. Buya Hamka mengemukakan bahwa kata Thagha berarti, berbuat sekehendak hati, tidak perduli kepada fikiran orang lain, adikara, diktator dan merasa diri sudah seperti Tuhan. Sebab itu maka berhala yang dipertuhan oleh manusia dinamai juga Thaghut. Kesewenang-wenangan memerintah dinamai juga Thughyan. Rumpun bahasa semuanya itu satu. (tafsir al-alzhar 10/7876)


Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menuliskan bahwa, Fir'aun yang dimaksud di atas bernama Maneftah, memerintah di Mesir antara 1224-1214 SM. Maneftah ditemukan muminya di Wadi al-Muluk (Lembah Raja-raja) daerah Thaba-Luxor, Mesir, pada tahun 1896 M dan dibuka pembalut-pembalutnya oleh Eliot Smith seorang ahli purbakala Inggris pada tanggal 8 Juli 1907. (tafsir al-Misbah 15/40)


Berdakwah Secara Lemah Lembut. Sementara penafsir mengemukakan bahwa dalam penggalan ayat-ayat ini memberikan hikmah yang penting tentang berdakwah secara lemah lembut. 

Pakar tafsir Asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa, perkataan lembut dibutuhkan, karena dakwah kepada jalan Allah itu, dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Dakwah itu memberi petunjuk dan mengajak kebaikan, bukan memerintahkan sesuatu dengan sikap keras dan penuh paksaan. Lihatlah penggunaan kata “Hal laka” yang berarti "adakah kehendak bagimu”, merupakan pertanyaan dan pengharapan bukan suatu perintah. (tafsir Asy-Sya’rawi 15/93)

Hal ini sebagaimana hikmah yang juga dituliskan oleh Buya Hamka bahwa, berdakwah dengan kekerasan tak akan menggeser seseorang dari kesombongannya. (tafsir al-Azhar 10/7876). 


Tahapan Dakwah Kepada Allah. Jika merujuk dalam tafir Fi Dzilal maka akan ditemukan sebuah runtutan tahap-tahap dakwah dalam misi dakwah Musa as kepada Fir’aun. Pertama, dakwah Musa as dimulai dengan liqa (pertemuan), muwajahah (bertatap muka), dan tabligh (penyampaian). Pada tahapan ini Allah ta’ala mengajari Musa as untuk berbicara memaparkan pesan-pesan dakwah dengan cara-cara yang paling menyenangkan dan menarik hati, sehingga diharapkan objek dakwah tertarik untuk menghentikan kesalahannya. Kedua, adalah tahapan taklif yaitu seruan dan pemberian tugas. (Fi Dzilal 13/68-69) Adapun jika kita merujuk kepada tafsir al-Qurthubi, maka yang dimaksud dengan taklif pemberian tugas adalah membimbing objek dakwah dalam keta’atan kepada Allah. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 19/201).


Sementara penafsir juga menyampaikan, bahwa diantara prinsip dakwah dalam ayat-ayat ini adalah bahwa da’wah adalah mengajak manusia kepada Allah, bukan kepada kelompok maupun diri sendiri. Dakwah adalah kegiatan mengajak manusia untuk menyucikan jiwa, menasihati kepada hidayah (petunjuk) Allah dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah. 


Semakin banyak ilmu keislaman yang dimiliki para pelaku dan objek dakwah, maka semakin bersih jiwanya dari berbagai penyakit hati, jauh dari kesombongan dan merasa benar sendiri. Semakin tekun dalam menjalankan berbagai ibadah, serta semakin beradab dan takut melanggar berbagai larangan Allah ta’ala. Wallahu a’lam bis showab.


Tafsir Surat An-Nazi’at Bagian Ketiga (ayat 6-9)



Sigit Suhandoyo. Dengan ayat-ayat yang lalu (1-5) Allah bersumpah atas para Malaikat yang mencabut nyawa dan mengatur segala urusan, untuk menguatkan makna bahwa manusia pasti dibangkitkan. Ayat 6-9  menjelaskan keadaan hari kiamat. Saat malaikat Israfil meniup sangkakala. Saat semesta dihancurkan, dan saat semua yang mati dibangkitkan kembali. Banyak hati yang ketakutan pada saat itu. Pandangannya tertunduk karena rasa hina dan duka.

يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ (6) تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ (7) قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ (8) أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ (9)

(Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncangkan alam, tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. Hati manusia pada waktu itu sangat takut, pandangannya tunduk.


Hari Kehancuran dan Kebangkitan Kembali


Allah ta’ala menjelaskan tentang apa yang terjadi di alam ini ketika hari kiamat tiba. Peristiwa ini dimulai dengan tiupan sangkakala. Tiupan pertama merupakan tiupan yang mematikan, dan tiupan kedua adalah tiupan yang menghidupkan. Mahaguru Tafsir Ath-Thabari menuliskan beberapa pendapat tentang pengertian ini, diantaranya dari al-Hasan,

هما النفختان: أما الأولى فتميت الأحياء، وأما الثانية فتُحيي الموتى

itu adalah dua tiupan, yang pertama mematikan yang hidup, sedangkan yang kedua menghidupkan yang mati. (Jami’ al-Bayan 24/191).


Pendapat ini sebagaiman firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 68,

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَنْ شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).


Kata (الرَّاجِفَةُ) berasal dari kata (رجف) rajafa yang berarti bergoncang dengan goncangan keras. Ar-Raghib mengatakan bahwa kata (الرَّجْفُ) ar-rajfu berarti (الاضطراب الشديد), yaitu huru-hara yang teramat dahsyat. Pada surat al-Ahzab ayat 60 terdapat teks (وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ) yang berarti; dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah. Maksud kabar bohong tersebut adalah fitnah yang mengguncangkan (Mufradat 344).


Sedang kata (الرَّادِفَةُ) ar-radifah terambil dari kata (رضف) radifa yang berarti (التابع) yaitu yang mengikuti, atau menyusul dari belakang. (Mufradat 349) Ibnu Qutaibah juga mengartikan kata ini dengan makna yang serupa, yaitu sesuatu yang datang setelahnya. (Gharib al-Qur’an 512) 


Peristiwa terguncangnya bumi dan langit adalah suatu huru-hara yang teramat dahsyat. Menimbulkan keresahan dan ketakutan. Tidak hanya terkait dengan kehancuran dan kematian, melainkan juga karena bekal apa yang sudah dipersiapkan untuk menghadapinya.


Hari ketika Hati Manusia Ketakutan dan Pandangannya Tertunduk


Asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa ketakutan hati adalah sesuatu yang tersembunyi dari pandangan manusia, namun dapat terlihat pada ekpresi anggota tubuhnya. Saat itu pandangan mata tertunduk karena merasa terhina. Ini bukanlah kebiasan kafir atau pendosa, karena biasanya kafir dan pendosa melakukan kekafiran dan kemaksiatan tanpa rasa malu. Akan tetapi manusia tidak dapat menguasai dirinya, Ia tidak lagi mampu mengontrol kehendaknya. (Tafsir asy-Sya’rawi 15/81)


Asy-Sya’rawi melanjutkan lebih lanjut, jika merujuk pada teks (أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ) pandangannya tunduk. Terlihat bahwa Allah tidak menisbahkan kata pandangan kepada him (اَبْصَارِهِم), seingga menjadi berarti pandangan mereka tertunduk. Akan tetapi kata pandangan dinisbatkan kepada ha (أَبْصَارُهَا) yang berarti pandangannya, sehingga kata nya ini merujuk pada kata (قُلُوب) hati. Ini memberikan kesan bahwa hati yang bergejolak, takut dan resah, akat terlihat ekspresinya atas seluruh anggota tubuh. (Tafsir asy-Sya’rawi 15/82)


Penggunaan kata (قُلُوب) dalam bentuk nakirah atau indefinitif ini, menunjukkan banyaknya hati yang ketakutan pada saat itu. Sebagian besar hati manusia akan mengalami ketakutan, kecuali sedikit, yaitu orang-orang yang beriman yang Allah jelaskan dalam surat al-Anbiya 103-104:


لَا يَحْزُنُهُمُ الْفَزَعُ الْأَكْبَرُ وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ هَذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (103) يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ (104)

Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat), dan mereka disambut oleh para malaikat. (Malaikat berkata): "Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu". (Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kami lah yang akan melaksanakannya.


Menurut Ibnu Qutaibah kata (وَاجِفَةٌ)  berarti (تَجِفُ و تَخْفِق وتَجِب) yaitu kosong, berdebar-debar dan terkalahkan. (Gharib al-Qur’an 512). Seperti juga yang dikemukakan oleh Az-Zuhaili bahwa kata ini berarti (خائفة قلقة شديدة الاضطراب) yaitu takut, cemas, dan sangat gelisah. Kata ini berasal dari kata (وَجِفَ)  yang merupakan sifat hati. (al Munir 30/33). Pakar tafsir hukum al-Qurthubi mengutip pendapat as-Suddi bahwa yang dimaksud (وَاجِفَةٌ) adalah (زَائِلَةٌ عَنْ أَمَاكِنِهَا) , berpindah dari tempatnya. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 19/196) Hal ini menunjukkan betapa takutnya hati manusia pada saat itu. Padanan dari pengertian ini adalah surat Ghafir ayat 18,

 

وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاع

Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang dzalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.


Sedangkan kata (خَاشِعَةٌ) menurut al-Qurthubi adalah (مُنْكَسِرَةٌ ذَلِيلَةٌ مِنْ هَوْلِ مَا ترى) yaitu tertunduk dan merasa hina karena kedahsyatan yang dilihat. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 19/196), sebagaimana juga firman Allah dalam surat al-Qalam ayat 43,


خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ

(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.


Demikianlah pada hari kiamat dan kebangkitan, sebagian besar hati manusia ketakutan, pandangannya tertunduk dan hina. Menghadapi persoalan yang akan dihadapinya setelah kematian, seseuatu yang tak dapat dielakkan.  Wallahu a’lam bishowab. 


Daftar Pustaka

  1. Abu Ja’far ath-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. Pertama, 2000)
  2. Ar-Raghib al-Ashfihani, Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, cet pertama 1412 H)
  3. Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri, Gharib al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1398 H)
  4. Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2016)
  5. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet kedua 1384 H)
  6. Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Cet kedua, 1418 H)


Manthuq & Mafhum Dalam Al-Qur'an



Sigit Suhandoyo. Ayat-ayat dalam al-Qur’an menunjukkan makna tersurat dan tersirat. Makna yang tersurat atau ditunjukkan secara jelas oleh teks ayat disebut dengan manthûq dan makna yang tersirat atau mafhûm yang berdasarkan pemahaman, baik pemahaman tersebut bersesuaian dengan manthûq maupun bertentangan dengannya.

Kajian ringkas tentang manthûq dan mafhûm dalam naskah ini membahas tentang macam, definisi dan contoh-contohnya dalam al-Qur’an. 


PEMBAHASAN

A. MANTHÛQ

Manthûq adaalah “مَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ فِي مَحَلِّ النُّطْقِ”(1)  yaitu sesuatu petunjuk yang terdapat secara jelas oleh sebuah lafadz pada tempat pembicaraan. Manthûq terbagi dalam lima macam, yaitu nash, dzāhir, mu’awwal, dalālah iqtidā dan dalālah isyārah.


1. Nash

Nash adalah “ما أفاد بنفسه معنى صريحًا لا يحتمل غيره”(2)   lafadz menunjukkan suatu makna yang tidak mungkin mengandung makna lain. As-Suyuthi mengutip pendapat al-Juwaini bahwa tujuan dari nash adalah menunjukkan makna yang berdiri sendiri dengan yakin dan menghilangkan kemungkinan adanya penakwilan dan makna-makna lain.


Sebagai contoh nash adalah surat al-Baqarah ayat 196,

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ

“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”


Penyebutan teks sepuluh dengan sempurna pada ayat di atas menghilangkan kemungkinan sepuluh itu diartikan secara metafora. Kewajiban puasa tiga hari dalam masa haji dan 7 hari setelah pulang haji, tidak membua peluang bagi penafsiran yang lain.


Contoh lain tentang nash adalah surat al-Nur ayat 4,

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.


Ayat ini menunjukkan dengan jelas tentang : pertama, 80 kali hukuman dera bagi orang yang memfitnah wanita beriman berbuat zina. Kedua, tidak diterima kesakian mereka untuk selama-lamanya dan ketiga, ditetapi sebagai orang fasik. Masing-masing aturan ini ditunjukkan oleh teks Al-Qur'an, secara jelas dipelajari secara eksplisit. Signifikansi ketiga hukuman menunjukkan tanda yang sama dan sebangun, tidak memberikan kemungkinan penafsiran yang lain.


Contoh lain nash pada ayat ke 3 surat al-Nisa:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.


Ayat ke 3 surat al-Nisa ini menunjukkan dengan jelas tentang; pertama kebolehan menikah. Kedua kebolehan poligami hingga 4, dan ketiga wajib membatasi diri hanya 1 istri jika dikhawatirkan tidak berlaku adil.


2. Dzāhir

Dzāhir adalah “ما أفاد بنفسه معنى صريحًا واحتمل غيره احتمالًا مرجوحًا” yaitu lafadh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera bisa dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Maka, dhahir itu sama halnya dengan nash dalam hal penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Akan tetapi, dari segi lain ini berbeda dengannya karena nash hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain. Sedangkan dhahir, selain menunjukkan satu makna ketika diucapkan, ia juga memberikan kemungkinan makna lain yang meskipun lemah. 


Misalnya firman Allah:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya   dan   tidak   (pula) melampaui batas…” (QS. Al-Baqarah: 173).


Lafadh   “al-bagh”   digunakan   untuk   makna   al-jahil (bodoh dan tidak tahu) dan al-dhalim (melampaui batas). Tetapi pemakaian untuk makna kedua lebih tegas dan popular sehingga makna inilah yang kuat (rajah), sedangkan makna yang pertama lemah (marjuh). 


Contoh lain seperti firman Allah:

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci... (QS. Al-Baqarah: 222).


Ayat di atas mempunyai dua kemungkinan makna, kata thuhr dapat diartikan sebagai berhenti haidh suci, dan mandi. Namun penunjukan kata thuhr dengan makna kedua yaitu mandi lebih konkrit dan jelas (dhahir) sehingga itulah makna yang rajih, sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama adalah marjuh. 


3. Muawwal

Muawwal, “ما حمل لفظه على المعنى المرجوح لدليل” yaitu sebuah lafadh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna rajah. Ada perbedaan antara muawwal dan dhahir; dhahir diartikan dengan makna yang rajah sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada marjuh, sedangkan muawwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkan dari yang rajih. 


Misalnya firman Allah:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ

Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan (QS. Al-Isra’: 24).


Lafadh janah aslinya mempunyai arti sayap sedang dzull bermakna rendah, namun ayat ini lebih condong dimaknai dengan hendah hati, tawadhu’ dan bergaul dengan baik kepada kedua orang tua, tidak diartikan dengan makna yang pertama 


4. Dalālah Iqtidā

Dalālah Iqtidā adalah, “ما توقفت دلالة اللفظ فيه على إضمار”(3)  yaitu sebuah lafadz yang maknanya bergantung pada seuatu yang tersembunyi atau tidak disebutkan. Sebagai contoh adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Nisā ayat 23. 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ...

“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu;”


Makna dari lafadz tersebut diatas bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan, yaitu "وطء" أو "نكاح" berhubungan badan atau menikahi. Pengharaman ibu tidak disandarkan secara umum melainkan pada suatu perbuatan yang tersembunyi atau tidak disebutkan dalam ayat.


5. Dalālah Isyārah

Dalālah Isyārah adalah “ما دل لفظه على ما لم يقصد به قصدا أوليًّا بل من لازمه”(4)  yaitu sebuah lafadz yang maknanya tidak tidak dimaksudkan dari makna awal melainkan pada makna yang diisyaratkan dari lafadz tersebut, karena tidak dapat dihindari. 


Sebagai contoh adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 187,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ...

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”


Ayat ini menunjukkan sebuah isyarat akan sahnya puasa bagi orang yang pada pagi harinya masih berada dalam keadaan junub. Karena ayat ini menghalalkan hubungan suami-istri hingga terbit fajar, sehingga tidak terhindarkan terjadinya pula junub hingga terbit fajar.


Contoh lain tentang dalālah isyārah adalah, surat al-Nisa ayat ke 3,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.


Selain menunjukkan nash yang jelas, ayat ini juga menunjukkan dalālah Isyārah. Jika takut tak dapat berlaku dalam berpoligami, maka nikahilah 1 saja. Teks ini menunjukkan juga isyarat bahwa berlaku adil kepada istri adalah wajib, meski hanya seorang istri. Kezaliman terhadap istri adalah dilarang. 


Dalam kajian tentang dalālah isyārah ini, para ulama berbeda pendapat apakah dalālah isyārah termasuk dalam pembahasan manthūq atau mafhūm. 

B. MAFHÛM

Mafhum secara bahasa berarti faham atau dapat difahami. Secara ishtilahi, mafhum adalah, “ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق”(5)  yaitu makna yang ditunjukkan oleh lafadh tidak berdasarkan pada bunyi bacaan. Para ulama’ berpendapat bahwa sebagian besar dilalah didasarkan pada teks (nash). Dilalah nash juga diambil dari teks, karena ia juga difahami dari pengertian bahasa pada suatu teks. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semua dilalah di atas adalah dilalah al-manthuq, dan berbeda dengan dilalah mafhum.


Para ulama membagi mafhum menjadi dua bagian pokok, yaitu: a) Mafhum muwafaqah atau juga dinamai dengan dilalah nash, dan b) mafhum mukhalafah.


1. Mafhūm muwafaqah

Mafhūm muwafaqah adalah ”ما وافق حكمه حكم المنطوق”(6)  makna yang hukumnya sesuai dengan manthuq. Bisa juga diartikan makna yang tidak tersirat sejalan dengan makna yang tersurat.  Mafhum muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:


a). Faḫwal khitāb

Faḫwal khitāb yaitu apabila makna yang difahami lebih digunakan hukumnya daripada makna yang tertulis. Sebagai contoh tentang keharaman mencaci maki orang tua yang dipahami firman Allah dalam surat al-Isra ayat 23,:

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ

Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”

Makna yang tertulis dari ayat ini adalah larangan mengatakan “uff”, atau  secara adat dalam budaya kita “ah” kepada  kedua  orang  tua. Oleh  karena itu menyakiti hati, mencaci maki, apalagi memukulnya juga haram karena merupakan mafhum muwafaqah dari ayat di atas.


b) Laḫnul khitāb

Laḫnul khitāb yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan hukum mantuq. Misalnya dalalah firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya (QS. Al-Nisa’: 10).


Ayat ini menunjukkan pula keharaman membakar harta anak yatim atau menyia-nyiakan dengan cara berbuat kerusakan dengan cara apapun. Dalalah demikian disebut dengan lahnul khitab, karena ia sama nilainya dengan memakan harta tersebut sampai habis tidak tersisa sama sekali.


Baik faḫwal khitāb dan laḫnal khitāb termasuk mafhūm muwafaqah, disebabkan makna yang tidak disebutkan itu hukumnya sesuai dengan hukum yang ucapkan, meskipun hukum itu memiliki nilai tambah pada yang pertama dan sama pada yang kedua. 


2. Mafhūm Mukhalafah, 

Mafhūm Mukhalafah adalah “مَا يُخَالِفُ حُكْمُهُ الْمَنْطُوقَ”(7)  yaitu, lafadz yang hukumnya menyelisihi manthūq. Dikatakan juga bahwa Mafhūm Mukhalafah adalah “دلالة اللفظ على ثبوت حكم للمسكوت عنه مخالف لما دل عليه المنطوق”(8)  yaitu lafadz yang ditetapkan oleh hukum yang tidak terucapkan berbeda makna yang dikandung oleh manthuq. 


Oleh karena itu, suatu nash sekaligus dapat menunjukkan dua hukum, yaitu; hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi (manthuq) suatu nash dan hukum yang difahami dari kebalikan nash tersebut. Jika lafadh nash menunjukkan pada hukum halal dengan adanya batasan (qayd), maka nash tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan, ini terjadi apabila qaydnya tidak ada. 


Sebagai contoh firman Allah ta’ala dalam surat al-Nisa ayat 25,

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ 

Artinya: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki” (QS. Al-Nisa’: 25).


Secara manthuq, ayat tersebut menunjukkan adanya hukum halal (diperbolehkan) bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayd): orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Di samping itu, ayat tersebut dapat difahami secara kebalikan (mafhum mukhalafah) dari bunyinya, yakni haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila orang tersebut mampu menikah dengan wanita yang merdeka.


Mafhum Mukhalafah terbagi dalam beberapa jenis. Diantaranya yaitu: mafhūm sifat, mafhūm syarat, mafhūm tujuan dan mafhūm pembatasan.


a) Mafhum sifat, 

Mafhum sifat yaitu pemahaman yang diperoleh dari menetapkan hukum dalam bunyi manthuq suatu nash yang dibatasi dengan sifat maknawiyah yang terdapat dalam lafadh, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut, semisal dalam firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 7

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.

Ayat  ini  memberikan  pengertian  bahwa jika pembawa berita bukan seorang fasik maka isi berita tidak wajib di diadakan tabayun. Dengan demikian berita dari seorang yang adil wajib diterima.


b) Mafhum syarat.

Mafhum syarat yaitu pemahaman yang diperoleh dari menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, atau bersamaan dengan syarat jika syarat tersebut tidak terwujud. Sebagai contoh firman Allah:

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka mereka melahirkan.” (QS. Al-Thalaq: 6).

Ayat di atas memberi penjelasan bahwa kewajiban membari nafkah kepada istri yang telah diceraikan dan tengah menjalani masa ‘iddah itu dibatasi jika istri yang diceraikan tersebut sedang mengandung. Oleh karena itu, dapat diambil mafhum mukhalafahnya, bahwa jika istri yang diceraikan tersebut tidak sedang hamil, maka mantan suami tidak wajib memberikan nafkah kepadanya.


c) Mafhum Tujuan 

Mafhum Tujuan yaitu pemahaman yang diperoleh dari menetapkan hukum yang berada di luar tujuan nash, bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah batas yang ditetapkan ayat termasuk dalam tuntutan ayat atau tidak. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ 

Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. 


Ayat di atas mafhumnya adalah, istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah dengan suami yang lain, dengan memenuhi syarat pernikahan. Ini karena ada “حَتَّى” kata sebagai tujuan, diperbolehkannya menikah lagi dengan mantan suami setelah si istri sudah menikah dengan suami lain yang menceraikannya.


d) Mafhum pembatasan

Mafhum pembatasan adalah pemahaman yang diperoleh dari membatasi hukum dari segi manthūq dan mafhūm dibatasi untuk tidak keluar dari pembatasan tersebut. Sebagai contoh firman Allah ta’ala dalam surat al-fatihah ayat 5,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”

Manthūq dari ayat tersebut adalah bahwasanya beribadah itu kepada Allah dan memohon pertolongan juga kepada Allah. Mafhūmnya adalah jangan beribadah kepada selain Allah dan jangan pula meminta pertolongan kepada selain Allah.


PENUTUP

Manthuq adalah makna teks yang terdapat pada ayat yang tidak mengandungi kemungkinan pengertian yang lain, sedangkan mafhum adalah makna yang diperolah bukan dari teks yang tertulis melainkan makna diluar teks atau makna yang tersirat.

Manthuq dan mafhum terkait erat dengan proses pengambilan hukum dari al-Qur’ān. Meski terdapat perbedaan pendapat tentang kehujjahan mafhum, mayoritas ulama tetap menerima mafhum sebagai hujjah. 


Catatan Kaki

  1. Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Jilid 3, hlm 104
  2. Ibid
  3. Fahd al-Rūmī, Dirāsat Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Riyadh: Hak Cetak Pribadi, 2003), hlm 446.
  4. Ibid.
  5. Ibid, hlm 448
  6. Ibid. 
  7. Jalāl al-dīn al-Suyuthi, op.cit, Jilid 3, hlm 106
  8. Fahd al-Rūmī, op.cit, hlm 450


Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 1-5



Sigit Suhandoyo. Pendahuluan surah An-Nazi’at ini dimulai dengan sumpah. Jika dikaitkan dengan ayat terakhir surat an-Naba, maka dapat dikatakan bahwa sumpah ini dimaksudkan untuk memperkuat argumentasi akan kebenaran hari kebangkitan. Tentu saja hubungan tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa ayat-ayat ini bertutur tentang malaikat-malaikat yang bertugas mengakhiri hidup seseorang, baik yang mencabut keras nyawa seseorang maupun yang perlahan.


Dalam ayat 1- 5, Allah ta’ala bersumpah atas nama para malaikat. Menurut asy-Sya’rawi, biasanya sumpah datang dengan berbagai hal, yang dalam pandangan para makhluk dapat memberikan manfaat dan pengaruh pada kehidupan mereka. (tafsir asy-Sya’rawi 15/66)


وَالنَّازِعَاتِ غَرْقًا (1) وَالنَّاشِطَاتِ نَشْطًا (2) وَالسَّابِحَاتِ سَبْحًا (3) فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا (4) فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا (5)

Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).


Malaikat; Perantara Allah Mengatur Berbagai Urusan 

Malaikat merupakan mahluk yang Allah ciptakan sebelum manusia, terbuat dari cahaya dan mereka sangat mematuhi kepada Allah ta’ala. Dalam bahasa Arab kata malaikah adalah bentuk jamak dari kata malak. Pakar Susastera al-Jauhari mengutip pendapat Al kisai bahwa kata ini berarti “حمل الالوكة و هي الرسالة” yaitu utusan yang membawa misi atau pesan. (ash Shihah 4/1611) Pengertian ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Hajj ayat 75,


اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِير

Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.


Sesuai dengan arti kebahasaan tersebut, Ibnu Taimiyah mengemukakan, 

أن الملائكة هم سفراء الله إلى أنبيائه ورسله في تبليغ الوحي والشرائع

Bahwasanya Malaikat adalah para perantara Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya, dalam menyampaikan wahyu dan ketentuan-ketentuan Allah. (an-Nubuwat 257)


Lima ayat tersebut diatas memberikan informasi kepada orang-orang beriman --agar mereka mengimaninya-- tentang mahluk ghaib yang bernama malaikat, dan hal-hal yang mereka kerjakan. Para malaikat adalah pengatur berbagai urusan. Mereka adalah perantara Allah yang membawa sebab-sebab dari terwujudnya sesuatu.  


Sebagaimana dikemukakan oleh Az-Zuhaili, bahwa Allah bersumpah para malaikat yang mencabut nyawa orang-orang kafir dari jasad mereka dengan sangat keras dan kasar. Para malaikat itu mencabut ruh mereka dari pangkal jasad mereka. Sementara itu, ruh orang-orang Mukmin dikeluarkan oleh para malaikat dengan cepat, lembut, dan mudah. Allah juga bersumpah dengan para malaikat yang turun ke bumi- dengan sangat cepat untuk menunaikan perintah Allah SWT. Juga para malaikat yang mendahului ruh-ruh kaum Mukminin ke surga, dan mengurusi urusan dunia dengan turun ke bumi, membawa hukum halal dan haram serta perinciannya. Juga mengurusi penduduk bumi dengan mengirimkan angin, hujan, dan lainnya. (al-Munir 30/34)


Pendapat semisal juga dikemukakan oleh Asy-Sya’rawi, bahwa Allah menjelaskan para malaikat memiliki berbagai tugas, menurunkan wahyu, mencabut ruh, maupun memberi rezeki dalam berbagai kondisi. (Tafsir asy-Sya’rawi 15/87)


Pakar Tafsir Hukum al-Qurthubi mengutip pendapat al-Farra, bahwa dibalik sumpah tersebut, Allah menegaskan makna (jawaban sumpah) tersembunyi. Demi para malaikat yang mencabut nyawa dengan keras, dan seterusnya. Sungguh kalian pasti akan dibangkitkan dan dihisab. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an 19/194). Wahbah Az-Zuhaili mengemukakan bahwa jawab dari qasam (sumpah) itu di-mahdzuf (dihilangkan) dengan perkiraan kalimat “لتبعثن بعد الموت” pasti kalian akan dibangkitkan setelah kematian. (al-Munir 30/35)


Demikianlah semua yang diambil sumpah oleh Allah ta’ala, hendaknya menjadi perhatian guna dan meningkatkan keimanan. Keteraturan semesta yang luar biasa atas ketentuan Allah kepada para Malaikat, menunjukkan bukti betapa mudahnya Allah ta’ala menghancurkan dan membangkitkan kembali seluruh ciptaan-Nya. Wallahu a’lam bishowab. 


Daftar Pustaka

  1. Abu Nashr al Jauhari, ash Shihah Taj al Lughah wa Shihah al Arabiyah, (Beirut : Daar al ‘Ilm, 1407 H)
  2. Ibnu Taimiyyah, an Nubuwat li Ibni at-Taimiyyah, (Riyadh: Adhwa as Salaf, 1420 H).
  3. Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2016)
  4. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet kedua 1384 H)
  5. Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Cet kedua, 1418 H)


Kemu'jizatan Al-Qur'an




Sigit Suhandoyo. Al-Qur’an memberikan pengaruh yang mempesona, menarik hati yang mendengarkannya. Tidak hanya dari kalangan manusia, namun juga dari kalangan jin. Sebagaimana tertera dalam al-Qur’an surat al Jin ayat 1,

قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا

Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan (Al Qur'an), lalu mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur'an yang menakjubkan.

Pemikir Islam kenamaan dinasti ‘Abbasiyah, al-Mawardi (w 450H), mengemukakan al-Qur’an itu menakjubkan dalam hal kefasihan bahasa, penyampaian nasihat, dan keberkahannya yang besar.(1) 

Pembahasan tentang kemukjizatan Al-Qur’an dalam naskah ringkas ini meliputi pengertian, berbagai tuduhan terhadap al-Qur’an dan beberapa aspek kemukjizatannya.


PEMBAHASAN

A. Pengertian I’jāz Al-Qur’ān

Kata I’jaz berasal dari kata (عَجَزَ) yang berarti lemah. Adapun kata I’jaz sendiri berarti menjadikan lemah. Menurut Al-Suyūthī mukjizat adalah,

أَنَّ الْمُعْجِزَةَ أَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ مقرون بالتحدي سالم عن الْمُعَارَضَةِ وَهِيَ إِمَّا حِسِّيَّةٌ وَإِمَّا عَقْلِيَّةٌ.(2)

Suatu kejadian yang luar biasa, yang disertai dengan sikap penentangan yang selamat dari para penentangnya. Mu’jizat tersebut dapat berupa sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera dan dapat pula bersifat intelektual.


Lebih lanjut menurut Al-Suyūthī, mukjizat ummat Islam bersifat intelektual karena syari’at Islam akan tertulis abadi sepanjang masa sampai hari kiamat dan menjadi pedoman bagi orang-orang berakal yang mau mengambil pelajaran.(3) Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

مَا مِنَ الأَنْبِيَاءِ نَبِيٌّ إِلَّا أُعْطِيَ مَا مِثْلهُ آمَنَ عَلَيْهِ البَشَرُ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إِلَيَّ، فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ القِيَامَةِ.(4)

Tidak ada seorang nabi pun dari para nabi-nabi kecuali diberikan kepada mereka (mukjizat) yang serupa agar orang-orang beriman kepadanya, dan sesungguhnya yang diberikan kepadaku adala wahyu yang diwahyukan Allah kepadaku, maka aku berharap pada hari kiamat, pengikutkulah yang paling banyak.


Kemukjizatan al-Qur’an pada hakikatnya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an itu benar dari sisi Allah ta’ala, Muhammad adalah benar-benar Nabi dan Rasul-Nya. Sehingga kemudian manusia menjadi beriman dengan benar. Sebagaimana mukjizat para nabi terdahulu, yang tidak hanya ditujukan untuk sekedar menunjukkan kelemahan para penantang, melainkan argumentasi untuk beriman kepada Allah. 


B. Tantangan Untuk Menandingi Al-Qur’an

Al-Qur’an bukanlah tutur kata manusia, baik dari segi lafal dan makna. Mendengarnya mempengaruhi jiwa, menenangkan hati dan mencerdaskan akal fikiran. Adapun Bangsa Arab yang mendustakan al-Qur’an pada masa Nabi saw, menuduh al-Qur’an dengan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan tersebut Allah abadikan dalam berbagai ayat dan surat al-Qur’an;

1. Sihir umat terdahulu.

Tuduhan yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah sihir umat terdahulu tertera dalam surat al-Mudatsir ayat 24-25,

فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ (24) إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ (25)

lalu dia berkata: "(Al Qur'an) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah perkataan manusia".


Tuduhan ini dilontarkan oleh al-Walīd bin Mughīrah, yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah sihir yang mempengaruhi Nabi Muhammad saw yang diadakannya dari ummat terdahulu. Al-Qur’an itu mempengaruhi jiwa melalui keindahannya, seperti perbuatan sihir.(5)


Sumber wahyu al-Qur’an adalah Allah ta’ala. Al-Qur’an adalah al-Haqq dan bukah sihir maupun rekayasa manusia. Allah ta’ala berfirman,

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ

Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan: "Dia Muhammad mengada-adakannya". Sebenarnya Al Qur'an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.


Ayat ini menerangkan bahwa al-Qur’an yang mereka ragukan itu adalah haq yakni kebenaran mutlak dari Allah ta’ala,

فَإِنَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَثْبَتَ أَنَّهُ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأَنَّ ذَلِكَ مِمَّا لَا رَيْبَ فِيهِ.(6)

Allah yang Maha Mulia lagi Maha Agung menetapkan bahwa AI-Qur`an diturunkan dari sisi-Nya, Tuhan Semesta Alam, yang demikian itu kepastian dan tidak ada keraguan.


2. Mimpi-Mimpi Dusta Seorang Penyair

Masyarakat Arab pada zaman Nabi saw juga menuduh bahwa Al-Qur’an adalah mimpi-mimpi yang dibuat-buat oleh seorang penyair. Menurut sementara ulama, pada masa itu menuduh seseorang sebagai penyair, berarti menuduhnya memiliki pembantu dari bangsa jin yang selalu membisikkan kata-kata kepadanya. Keterangan ini tertera dalam surat al-Anbiya ayat 5,

بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِآيَةٍ كَمَا أُرْسِلَ الْأَوَّلُونَ

Bahkan mereka berkata (pula): "(Al Qur'an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus".


Tuduhan semacam ini dijawab dalam al-Qur’an surat al-Haqqah ayat 40-43,

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (40) وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ (41) وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ (42) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (43)

Sesungguhnya Al Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan Al Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.

3. Kebohongan yang di buat atas bantuan orang lain

Tuduhan ini sebagaimana tertera dalam surat al-Furqan ayat 4,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا إِفْكٌ افْتَرَاهُ وَأَعَانَهُ عَلَيْهِ قَوْمٌ آخَرُونَ فَقَدْ جَاءُوا ظُلْمًا وَزُورًا

Dan orang-orang kafir berkata: "Al Qur'an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad, dan dia dibantu oleh kaum yang lain"; maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kedzaliman dan dusta yang besar.


Selain menjawab tuduhan orang-orang yang mendustakan al-Qur’an. Al-Qur’an juga menantang para pendusta tersebut untuk mendatangkan, rangkaian tutur kata yang semisal dengan Al-Qur’an, jika mereka orang-orang yang benar.

أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Qur'an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (Hud ayat 13)


Melalui al-Qur’an Allah ta’ala bahkan menantang manusia dan jin yang mendustakan al-Qur’an untuk dapat membuat yang serupa. 1 surat saja untuk menandingi al-Qur’an. Tantangan tersebut jelas dan tegas menyatakan bahwa manusia dan jin tak akan sanggup menjawab tantangan tersebut,

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".


Tantangan ini tidak menemukan seseorangpun yang bangkit dan menjawab tantangan tersebut dengan gemilang. Meskipun sejarah mencatat adanya upaya-upaya untuk membuatnya, namun mereka tidak berhasil, walau satu surat pendekpun yang memadai, baik pada masa Nabi maupun masa-masa sesudahnya. Sebagai contoh syair Musailamah yang disejajarkannya dengan surat al-Fiil,

الفيل، ما الفيل، وماادراك ما الفيل، صاحب ذَنَب قصير، وخُرْطوم طويل.(7)

Gajah, Apakah gajah itu? dan tahukah kamu apakah gajah itu? Ia memiliki ekor yang pendek, dan belalai yang panjang.   


Syair tersebut diatas adalah diantara contoh syair yang pernah dibuat untuk menandingi al-Qur’an. Para pakar sejarah Islam menyebutkan banyak sekali syair-syair serupa dalam rangkaian kata yang buruk dan lemah secara makna. Dari sinilah para ilmuwan Muslim menyimpulkan bahwa ketidak-mampuan menandingi al-Qur’an merupakan bukti nyata atas kenabian Muhammad saw dan al-Qur’an adalah wahyu Allah. Selain fakta bahwa masyarakat Arab pada masa itu lebih memilih memerangi Nabi saw dan para pengikutnya secara fisik, alih-alih berjibaku bekerjasama menyusun gubahan kata-kata guna menandingi al-Qur’an. Jalan kekerasan menurut mereka lebih memungkinkan untuk meraih kemenangan, dibanding menjawab tantangan al-Qur’an.

C. Beberapa Aspek I’jāz al-Qur’ān

Para ilmuwan Muslim melakukan berbagai kajian tentang aspek yang menjadi kemukjizatan al-Qur’an. Berikut beberapa pendapat tentang hal tersebut;


1) Bahasa

Salah satu contoh kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek kebahasaan adalah keserasian rima yang padu padan dengan kefasihan makna ayat dan surat. Misalkan penggalan ayat dalam rangkaian surat al-Rahman yang indah,

مُتَّكِئِينَ عَلَى فُرُشٍ بَطَائِنُهَا مِنْ إِسْتَبْرَقٍ وَجَنَى الْجَنَّتَيْنِ دَانٍ (54) فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (55) فِيهِنَّ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ (56) فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (57)

Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutra. Dan buah-buahan kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?


Al-Suyuti mengutip pendapat al-Barizi, bahwa teks (وَجَنَى الْجَنَّتَيْنِ دَانٍ) yang berarti Dan buah-buahan kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat, menunjukkan makna yang lebih fasih. Teks (وَثَمَرُ الْجَنَّتَيْنِ قَرِيبٌ) juga memiliki makna yang serupa, namun tingkat kefasihan makna dan keindahannya lebih rendah. Pertama dari sisi jinas(8) antara kata jana dan janatain. Kedua tidak adanya kesan bahwa buah-buahan itu mencapai suatu kondisi yang mudah dipetik dan ketiga sisi penyelarasan rima pada ayat.(9)


Al-Qur’an menjadi mukjizat karena membawa lafal-lafal yang paling fasih, terangkai dalam struktur yang paling indah, dan mengandung makna yang paling sahih. Dengan jumlah yang lebih dari 6000 ayat, Al-Qur’an membahas berbagai tema; akidah, hukum, akhlaq, sejarah, ilmu alam, dan sebagainya. semuanya sangat akurat dan tepat, fasih dan shahih. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Zumar ayat 23

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.


2) Pemberitaan hal yang ghaib

Sebagai contoh mukjizat al-Qur’an dalam hal pemberitaan yang ghaib adalah peristiwa perang bangsa Romawi dan Persia. Sebagaimana tertera dalam surat al-Rum ayat 2-4

الم (1) غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ (3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4)

Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.


Bangsa Romawi pada saat ayat ini diturunkan beragama Nashrani, sedang bangsa Persia adalah para penyembah berhala. Ketika tersiar kabar bahwa bangsa Nashrani dikalahkan oleh bangsa Romawi dalam peperangan, maka bergembirakan kaum musyrikin Mekah. Sedang kaum Muslimin berduka. Setelah peristiwa tersebut turunlah rangkaian ayat ini. beberapa tahun kemudian, bangsa Romawi mengalahkan bangsa Persia dalam peperangan,(10) Sehingga kemudian terbuktilah kebenaran Rasulullah saw dan al-Qur’an. Adapun kekalahan Romawi ini terjadi antara tahun 614-615 M. dan kemenangannya kembali pada tahun 622 M.


3. Kemukjizatan Ilmiah

Al-Qur'an mendorong manusia untuk merenungkan dan memikirkan alam semesta. Al-Qur’an mendorong manusia untuk memperoleh ilmu sebanyak yang ia mampu. Dan tidak hanya mendorong manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, Al-Qur’an juga merupakan kitab suci yang mengandung berbagai fakta ilmiah. Melalui penelitian dan studi yang panjang hal-hal tersebut terbukti kebenarannya. Salah satu contoh adalah kebenaran fakta ilmiah ini bahwa formasi awal sel telur dan sperma berasal dari antara sulbi dan tulang rusuk yang merupakan tulang dada. Sebagaimana tertera dalam surat al-Thariq ayat 5-7

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (6) يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ (7)

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.


Demikian pula berbagai fakta ilmiah lain, seperti penyerbukan tanaman melalui angin dalam surat al-Hijr ayat 22. Lapisan oksigen yang semakin tipis dalam ketinggian dalam surat al-An’am ayat 125. Dan semua fakta ilmiah yang menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an, bahwa ia berasal dari Pencipta Yang Maha Mengetahui.

KESIMPULAN

Kemukjizatan merupakan kekhususan yang Allah berikan kepada para Nabi-Nya. Allah jadikan Al-Qur’an sebagai mukjizat bagi Nabi saw, merupakan salah satu rahmat Allah bagi seluruh manusia. Keterjagaan Al-Qur’an hingga saat ini memungkinkan manusia untuk mempelajari dan mengimaninya dengan benar.

Meski tantangan utama al-Qur’an untuk menandinginya adalah dalam aspek kebahasaan, namun tak dapat dipungkiri bahwa pengkajian para ilmuwan Muslim menemukan banyak sekali aspek kemukjizatan al-Qur’an. Berbagai aspek kemukjizatan Al-Qur’an yang tertuang dalam naskah ringkas ini masih terlalu sedikit untuk menggambarkan keagungan Al-Qur’an. Penting bagi mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuannya dengan membaca lebih banyak sumber.


CATATAN KAKI

  1. Abū al-Hasan al-Māwardī, Al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), Juz 6, hlm 109.
  2. Jalāl al-Din al-Suyuthi, al-Itqān Fi Ulūm al-Qur’an, (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1974), Juz 4, hlm 3.
  3. Ibid
  4. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dar Thuqa al-Najah, tth), Juz 6, hlm 182, hadits no 4981
  5. Ibid, Juz 6, hlm 142.
  6. Syams al-Dīn al-Qurthubī, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet kedua 1964), Juz 14, hlm 85
  7. Badī’ al-Zamān al-Nūrsī, Isyārāt al-I’jāz, (Cairo: Penerbit Sozler, cet ketiga, 2002), hlm 181.
  8. Jinas dalam bahasa Indonesia mungkin dapat disepadankan dengan majas paronomasia atau gaya bahasa yang memiliki kemiripan bunyi. 
  9. Al-Suyuti, op.cit, Juz 4, hlm 25.
  10. Al-Thabari, Op.cit, Juz 22, hlm 60.


Tafsir Surat An-Naba Bagian Keenam Ayat 37-40



Sigit Suhandoyo. Setelah kelompok-kelompok ayat sebelumnya menerangkan mengenai ancaman kepada orang-orang kafir dan janji kebahagiaan bagi orang-orang yang bertakwa, Allah ta’ala menutup surat ini dengan pemberitahuan mengenai keagungan dan kemuliaan-Nya, serta situasi pada hari kebangkitan.

رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمَنِ لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا (37) يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا (38) ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا (39) إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا (40) 

(37) Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. (38) Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (39) Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. (40) Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah".   


Allah; Sang Pemelihara yang Maha Pemurah. Allah adalah Pemilik, Pemelihara dan Pengatur semesta alam. Sebagaimana dikemukakan oleh Sa’id Hawwa dalam al-Asas fi al-Tafsir, bahwa makna kata Rabb menunjukkan arti (الخالق ابتداء والمربي غذاء والغافر انتهاء) yaitu, Pencipta pada mulanya, Pengasuh setelah itu dan Pengampun pada akhirnya. Adapun kata Ar-Rahman berarti Pelimpah karunia yang sempurna di dunia. Hal ini berbeda dengan kata Ar-Rahim yang berarti Pelimpah karunia yang tiada batasnya di akhirat, demikian menurut Ibnu ‘Arabi. 

Penggunaan kata Ar-Rahman menurut Ibnu Katsir, menunjukkan bahwa segala sesuatu di dunia memperoleh karunianya. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-A’raf 156, (وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ)“rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.

Pendapat yang menarik dikemukakan oleh Sayyid Quthub. Menurutnya pembalasan Allah atas orang-orang kafir dan orang-orang yang bertaqwa merupakan bukti kasih sayang Allah atas manusia. Jika kebaikan dan keburukan tidak dibalasi secara setimpal, maka rusaklah tatanan kehidupan di dunia, karena manusia akan mengabaikan aturan Allah ta’ala.


Situasi Hari Kebangkitan. Pada hari kebangkitan, seluruh makhluk akan tercekam dengan keagungan Allah ta’ala. Bahkan seluruh malaikat yang mempunyai derajat tinggi di sisi Allah tidak mampu berbicara pada hari yang amat menakutkan itu. Penulis tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Nashirudin al-Baidhawi mengemukakan, sesungguhnya para malaikat adalah makhluk yang mulia dan dekat kepada Allah SWT. Jika mereka saja tidak mampu berbicara, melainkan dengan seizinNya, bagaimana dengan mahluk selain mereka.

Pada hari kebangkitan, Allah ta’ala menegaskan kekuasaan-Nya, tak ada sesuatupun yang luput dari-Nya. 

يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (al-Mukmin 16)

Pada hari kebangkitan, manusialah yang akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan,

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. (al-Anbiya 23)

Pada hari kebangkitan, hanya atas izin Allah semata, pembicaraan dan syafaat atas mahluk dapat terjadi.

وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ  

Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata: "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: "(Perkataan) yang benar", dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.


Kebenaran Hari Kebangkitan. Hari kebangkitan adalah benar, tak usah dipertanyakan kebenarannya. Sebagaimana kehidupan itu sendiri adalah benar adanya. Dan kematianpun benar adanya. Janji-janji Allah semuanya adalah benar. Semua tak usah diragukan lagi. Manusia benar-benar menempuh perjalanan sejak kelahirannya, kehidupan dan kematian. Waktu yang sangat singkat itu, hendaklah menjadi peringatan, agar manusia memilih jalan yang benar untuk kembali kepada Allah, demikian nasihat Buya Hamka. 

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.

Pengabaran hari kebangkitan dan adzab akan terjadi dalam waktu dekat, karena sesuatu yang pasti datang adalah dekat. Di hari tersebut seseorang akan mendapatkan balasan perbuatan baik dan buruknya. Wallahu a’lam. 

 

PENGERTIAN ULŪM AL-QUR’AN


 

Sigit Suhandoyo. Al-Qur’an merupakan kitab yang sarat akan ilmu pengetahuan. Dari Al-Qur’an berbagai macam bidang keilmuan dikembangkan, seperti akidah, akhlaq, fikih, ushul fikih dan sebagainya. Sebagai sebuah disiplin keilmuan, pembahasan ulum al-Qur’an dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan  berinteraksi dengan al-Qur’an. Ulum al-Qur’an membahas segala sesuatu tentang Al-Qur’an, mulai dari pengertian Al-Qur’an, pengertian wahyu, sejarah turunnya Al-Qur’an, sejarah pengumpulan Al-Qur’an, makkiyah dan madaniyah, latar belakang turunnya ayat atau kelompok ayat tertentu, kisah-kisah dalam Al-Qur’an, mukjizat Al-Qur’an dan lain sebagainya termasuk pembahasan tentang tafsir Al-Qur’an.

Penulisan naskah pada bab ini akan membahas tentang pengertian, pertumbuhan dan urgensi mempelajari ulum al-Qur’an.


PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Ulum al-Qur’ān

Istilah ulum al-Qur’an terdiri dari dua suku kata yaitu, ‘Ulum dan al-Qur’an. Kata ‘Ulum merupakan bentuk jamak dari kata (العلم) ilmu, yang berarti pemahaman atau pengetahuan terhadap sesuatu secara meyakinkan. Sedangkan al-Qur’an adalah kalam Allah ta’ala yang diturunkan melalui malaikat Jibril, kepada penutup para nabi dan rasul Muhammad untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ulum al-Qur’an adalah berbagai ilmu yang bersumber dari al-Qur’an al-Karim.

Pengertian ini menunjukkan bahwa semua ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an dapat disebut ulum al-Qur’an. Karena keluasan cakupannya, para ulama memberikan pembatasan pembahasan ulum al-Qur’an hanya pada aspek keilmuan yang dibutuhkan untuk dapat memahami atau menafsirkan al-Qur’an. Oleh karenanya ulum al-Qur’an biasa juga disebut dengan ilmu ushul al-tafsir, atau ilmu tentang dasar-dasar tafsir.

Pembatasan tersebut dapat dilihat pada definisi ulum al-Qur’an yang dikemukakan oleh Fahd al-Rumi, 

مباحث تتعلق بالقرآن الكريم من ناحية نزوله وجمعه وقراءاته وتفسيره وناسخه ومنسوخه وأسباب نزوله ومكيه ومدنيه ونحو ذلك.(1) 

Pembahasan yang terkait dengan al-Qur’an al-karim dari aspek turunnya, pengumpulan, qira’at, tafsir, nasikh dan mansukh, sebab-sebab turun, makiyah dan madaniyah dan sebagainya.

Demikian pula definisi yang dikemukakan oleh Manna al-Qathan tentang ulum al-Qur’an,

العلم الذي يتناول الأبحاث المتعلقة بالقرآن من حيث معرفة أسباب النزول، وجمع القرآن وترتيبه، ومعرفة المكي والمدني، والناسخ والمنسوخ، والمُحْكَمِ والمتشابه، إلى غير ذلك مما له صلة بالقرآن.(2) 

Yaitu, Ilmu yang meliputi berbagai pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an, baik dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turun ayat, pengumpulan Al-Qur’an dan penyusunannya, pengetahuan tentang makki dan madani, nâsikh dan mansûkh, muhkam dan mutasyâbih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Al-Qur’an.

Definisi-definisi tersebut di atas menunjukkan makna ulum al-Qur’an yang dikaitkan dengan ruang lingkup pembahasan keilmuannya. Dengan demikian pengertian ini memberikan batasan, sehingga tidak semua ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dimasukkan dalam pembahasannya. Sebagai contoh ilmu aqidah, ilmu akhlaq, dan lain sebagainya, yang berasal dari kajian terhadap al-Qur’an tidak termasuk dalam ruang lingkup pembahasan ulum al-Qur’an.


B. Pertumbuhan Ulum al-Qur’an

Pada masa Nabi Muhammad saw dan para sahabat, ulum al-Qur’an belum tersusun sebagai sebuah disiplin keilmuan. Pada masa ini al-Qur’an dan Hadits dituturkan dan dicontohkan secara langsung oleh Nabi saw kepada para sahabatnya.

Tidak ada bukti Nabi Muhammad saw menguasai seni menulis dan membaca. Pada umumnya para ilmuwan sepakat bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang buta huruf, namun Beliau mencurahkan berbagai upaya bagi pengembangan pendidikan. Rasulullah saw menugaskan para sahabat yang memiliki kemampuan untuk dapat menyebarkan ilmu dan mempelopori pendidikan secara gratis pada masa itu.(3) Aktifitas Rasulullah dan para sahabatnya, dalam pengajaran, menghafal dan menulis serta menafsirkan al-Qur’an pada masa-masa awal Islam ini merupakan permulaan dari lahirnya kajian ulum al-Qur’an.(4) 

Pada masa tabi’in dan pengikutnya, kajian ilmu-ilmu Al-Qur'an, terkait dengan kodifikasi hadits dan tafsir. Tafsir Rasulullah dan penafsiran para sahabat di ajarkan, yang paling terkenal di antaranya adalah Mujahid bin Jabr, Shu'bah bin Al-Hajjaj dan Qatadah bin Di'amah. 

Ilmu tafsir pun berkembang, pada abad ke 4 hijriah, tafsir mulai dipisahkan dengan hadits, para ulama menyusun berbagai riwayat, baik dari Nabi saw, para sahabat dan para tabi’in. riwayat-riwayat yang terkumpul ini kemudian disusun dalam sistematika mushaf al-Qur’an. Model ini yang kemudian dikenal dengan tafsir bi al-matsur. Penyusun tafsir model ini yang paling terkenal adalah tafsir Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân; yang disusun oleh Abu Ja’far al-Tabari (w 310 H). 

Selain kajian tafsir, para ulama hingga abad-abad berikutnya mengembangkan kajian tentang berbagai ilmu yang terkait dengan al-Qur’an, seperti ilmu asbab al-nuzul, qashas al-Qur’an, nawasikh al-Qur’an dan sebagainya. Hingga kemudian pada abad ke 9 Jalaluddin al-Suyuthi (w 911H) menuliskan al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an. Buku yang memuat 80 tema dan terdiri dari 4 juz besar ini, dinilai para ulama, sebagai salah satu karya tentang Ulum al-Qur’an yang komprehensif. Penulisan kajian Ulum al-Qur’an berlanjut terus, dan saat ini ulum al-Qur’an diajarkan di berbagai lembaga pendidikan Islam. Muncul berbagai karya ilmiah tentang ulum al-Qur’an, yang kemudian disusun dan diterbitkan sebagai bahan ajar maupun sebagai kajian bagi masyarakat umum.


C. Urgensi Mempelajari Ulum al-Qur’an

Ulum Al-Qur'an memberikan sumbangsih yang besar terhadap pembentukan pemahaman yang benar terhadap teks ayat dan surat dalam Al-Qur’an, menjadi alat bantu untuk mengetahui makna, menafsirkan dan melakukan istinbath hukum. Secara sederhana urgensi mempelajari ulum al-Qur’an dapat dirinci sebagai berikut:


1. Memberikan pengetahuan untuk menafsirkan al-Qur’an.

Dengan mengetahui makiyah dan madaniyah dalam al-Qur’an, yang terkait periode waktu turunnya ayat-ayat al-Qur’an, seorang pengkaji al-Qur’an dapat menafsirkan ayat dengan tepat. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan pentahapan dalam penerapan hukum.

Sebagai contoh pada kasus riba, para ulama tafsir mengemukakan bahwa pengharaman riba ditemukan dalam empat surah al-Qur’an, yaitu al-Baqarah, Ali ‘Imran, an-Nisa’ dan ar-Rum. Tiga surah pertama turun di Madinah setelah Nabi berhijrah dari Mekah, sedang ar-Rum turun sebelum hijrah Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah ayat 39 surat ar-Rum.(5) Sedang ayat terakhir yang menetapkan hukum riba adalah surat al-Baqarah ayat 275-279, merupakan pengharaman yang ada benar-benar pasti dan menyeluruh terhadap semua bentuk riba. 

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.


2. Meningkatkan iman dan etika dalam berinteraksi dengan al-Qur’an.

Mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur'an menyehatkan hati, menguatkan fikiran. Hati yang sehat dan fikiran yang kuat akan mengantarkan pemiliknya memiliki iman dan etika yang baik terhadap al-Qur’an.

Diantara adab orang-orang yang memilki pemahaman yang baik terhadap al-Qur’an adalah menangis ketika membaca al-Qur’an dan berdzikir dengan ayat-ayat al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Isra ayat 107-109.

قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا (107) وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا (108) وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا (109)

Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.

Sebaik-baik bacaan al-Qur’an adalah yang menyebabkan pembacanya khusyu, karena hatinya takut kepada Allah. Dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, 

إِنَّ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا بِالْقُرْآنِ، الَّذِي إِذَا سَمِعْتُمُوهُ يَقْرَأُ، حَسِبْتُمُوهُ يَخْشَى اللَّهَ.(6)

Sesungguhnya manusia yang paling indah suaranya terhadap al-Qur’an adalah yang apabila kalian mendengarnya membaca al-Qur’an, kalian menilainya takut kepada Allah.


PENUTUP

Ulum al-Qur’an merupakan ilmu yang dibutuhkan bagi mahasiswa muslim sebagai dasar bagi pengembangan keilmuannya lebih lanjut. Sebagai sebuah disiplin keilmuan, pembahasan ulum al-Qur’an dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan  berinteraksi dengan al-Qur’an. Karena keluasan cakupannya, para ulama memberikan pembatasan pembahasan ulum al-Qur’an hanya pada aspek keilmuan yang dibutuhkan untuk dapat memahami atau menafsirkan al-Qur’an. Oleh karenanya ulum al-Qur’an biasa juga disebut dengan ilmu ushul al-tafsir, atau ilmu tentang dasar-dasar tafsir. Diantara para ulama masa lampau yang menulis karya tentang ulum al-Qur’an dengan pembahasan yang luas dan sangat memadai, adalah Jalaluddin As-Suyuti dengan bukunya al-Itqan fi Ulum al-Qur’an.

Mempelajari ulum al-Qur’an memberikan manfaat yang besar, selain meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, juga berperan membantu dalam hal menafsirkan al-Qur’an.


CATATAN KAKI

  1. Fahd al-Rūmī, Dirāsat Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Riyadh: Hak Cetak Pribadi, 2003) hlm 21.
  2. Manna al-Qathan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Maktabah al-Ma’arif, cet ketiga, 2000), hlm 12
  3. Muhammad Musthafa al-A’zhami, Sejarah Teks al-Qur’an, (Depok: Gema Insani Press, 2014) hlm 55.
  4. Yunahar Ilyas, Kuliah Ulum al-Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing, cetakan ke3, 2014), hlm 5.
  5. Lihat Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-FIkr al-Mu’ashir, cet. kedua, 1412 H), Juz 3, hlm 91-93.
  6. Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tth), Juz 1, hlm 425, hadits no 1339