Pengertian Tajarrud (Kemurnian) Dalam Berdakwah


Sigit Suhandoyo. Da’wah yang benar adalah aktifitas menyeru manusia kepada Allah ta’ala. Allah menjadi pusat atas aktifitas da’wah. Da’wah bukan seruan yang bersifat ananiyah, yakni da’wah demi kepentingan pribadi seorang da’i. Dakwah bukan pula seruan kepada firqah, yakni da’wah demi kepentingan kelompok dan golongan tertentu. Apalagi bersifat inhiraf, yakni da’wah demi kepentingan musuh-musuh Allah.

Selain keikhlasannya, dituntut pula dari para da’i kemurnian pemikirannya, akhlaqnya, ibadahnya, mu’amalahnya dan seluruh aktifitas kehidupannya ia murnikan sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan Nabi-Nya. Dengan demikian dapat diharapkan seruan da’wah seorang da’i berjalan dengan benar. Sebagaimana makna yang terkandung dalam surat ali Imran ayat 52,

فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قالَ مَنْ أَنْصارِي إِلَى اللَّهِ قالَ الْحَوارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.”

Al-Qusyairī, seorang da’i dari kalangan ulama Naisabur abad ke 5 H, menafsirkan bahwa makna pertanyaan Nabi ‘Isa “من أنصارى إلى الله ليساعدونى على التجرد لحقّه والخلوص فى قصده؟” adalah siapakah diantara kalian yang akan menolongku menegakkan agama Allah dengan bertajarrud terhadap hak-hak Allah dan tujuan yang ikhlas karena Allah.(1)  Pendapat semacam ini didukung pula oleh an-Nadawi. Menurutnya, diantara keutamaan para Nabi dan para da’i ilallah adalah “التجرد للدعوة والتفرغ لها” kemurnian da’wah dan kesungguhan mencurahkan tenaga, waktu dan fikirannya dalam da’wah.(2)  

Dalam mu’jam bahasa Arab kata tajarrud dapat ditemukan dalam bab jarada. Menurut pakar bahasa Ibnu Manzhur kata jarada berarti “قشر” yaitu menguliti.(3)  Tajarrud juga berarti “تعرّى” yaitu melepaskan pakaian. Sesuatu yang terbuka sehingga tampak jelas hal-hal yang sebelumnya disembunyikan juga dimaknai dengan tajarrud.(4)  Seorang yang bertajarrud dalam suatu amal ibadah berarti ia mengerjakannya dengan seksama dan sungguh-sungguh.(5)  Dalam sebuah riwayat tentang sifat-sifat Nabi saw digambarkan bahwa Rasulullah, “أَنْوَرَ الْمُتَجَرَّدِ مَوْصُولَ مَا بَيْنَ اللَّبَّةِ وَالسُّرَّةِ بِشَعْر”(6)  menampakkan cahaya antara leher hingga kepalanya dengan rambut yang berombak. Al-Baghawi, seorang pakar tafsir dan hadits dari kalangan syafi’iyyah mengemukakan bahwa makna kata “أَنْوَرَ الْمُتَجَرَّدِ” adalah terpancar dari tubuhnya cahaya, pada bagian yang terbuka maupun ketika tersingkap pakaiannya.(7)  Penggunaan teks tajarrud dalam hadits ini menjelaskan makna tajarrud sebagai kemurnian, cahaya yang terpancar itu memaknai kemurnian tubuh Nabi saw. 

Penggunaan teks tajarrud juga terdapat dalam sebuah hadits tentang sifat hati manusia, yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Sa’id, ra. Bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,

الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يَزْهَرُ، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصْفَحٌ، فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ: فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ: فَقَلْبُ الْكَافِرِ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ: فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ عَرَفَ، ثُمَّ أَنْكَرَ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمُصْفَحُ: فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ، فَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدُّهَا الْمَاءُ الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ الْقُرْحَةِ يَمُدُّهَا الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ.(8)  

“Hati itu ada empat macam: hati yang bersih ia seperti lentera yang bercahaya, hati yang tertutup yang terikat dengan tutupnya, hati yang sakit dan hati yang terbalik. Adapun hati yang bersih adalah hati orang beriman, ia seperti lentera yang bercahaya. Sedangkan hati yang tertutup adalah hatinya orang kafir. Hati yang sakit adalah hati orang munafik, ia mengetahui (kebenaran) tapi ingkar. Dan hati yang terbalik adala hati orang di dalamnya ada iman dan nifaq. Perumpamaan iman disini seperti tanah yang memberikan air bersih, sedangkan perumpamaan nifaq adalah seperti bisul didalamnya hanya nanah dan darah, maka yang paling kuat diantara keduanya akan mengalahkan yang lainnya”

Menurut al-makkī, hati orang beriman itu bersih karena dimurnikan dengan zuhud kepada dunia dan dimurnikan dari nafsu yang mengajak pada keburukan.(9)  Tidak ada pada hatinya khianat dan dusta, sebagaimana kemurnian fitrah, padanya ada keimanan yang bercahaya.(10)  

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata tajarrud secara bahasa bisa dimaknai dengan kemurnian atau genuin. Sesuatu yang murni digambarkan dengan cahaya yang memancar karena menunjukkan keindahan. Pada fisik menunjukkan keaslian bentuk, sedang pada psikis menggambarkan ketulusan pada kebaikan. Orang yang bertajarrud adalah orang yang bekerja dengan teliti dan sungguh-sungguh karena menginginkan hasil pekerjaannya tidak bercela.

Salah seorang pemikir Muslim mengemukakan bahwa tajarrud adalah, “أن تتخلص لفكرتك مما سواها من المبادئ والأشخاص، لأنها أسمى الفكر وأجمعها و أعلاها”(11)  membersihkan pemikiran dari pengaruh prinsip-prinsip dan orang lain, sebab ia adalah  pemikiran yang paling utama, paling lengkap dan paling tinggi.

Dapat dikemukakan, secara istilah tajarrud dalam da’wah adalah tuntunan bagi para da’i untuk memurnikan aktifitas da’wah dari berbagai nafsu tercela. Membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh berbagai aliran, organisasi maupun ideologi yang tidak sejalan atau bertentangan dengan syari’at Allah. Menegakkan segala perbuatan karena Allah ta’ala dan berdasarkan aturan Allah ta’ala. Serta mengkhususkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk secara sungguh-sungguh menda’wahkan agama Allah.

Meskipun dimaknai sebagai kemurnian, tajarrud bukanlah aktifitas yang bertentangan dengan fitrah manusia. Sebagaimana sebuah kisah yang terjadi pada zaman Nabi saw yang dituturkan oleh Anas bin Malik ra. Ketika salah satu dari tiga orang sahabat berniat untuk tidak tidur dimalam hari dengan sholat sepanjang malam. Yang lain berniat menjauhi wanita dan tidak menikah seumur hidupnya. Adapula yang berniat berpuasa dan takkan pernah berbuka. Maka Nabi saw bersabda kepada mereka, 

أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنّي.(12) 

“Demi Allah aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah diantara kalian, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan aku tidur dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah golonganku”

Wallahu a’lam bishowwab


Catatan Kaki

  1. ‘Abdul Karim al-Qusayiri, Lathāif al-Isyarat, (Mesir: Haiah al-Mishriyah al-‘Ammah lil-Kitab, cet.ketiga, tth), Jilid 1, hlm 245.
  2. Abu al-Hasan an-Nadawi, Uridu an Atuhaditsa Ila al-Ikhwan, (Makalah Seminar, disampaikan di Cairo pada 9 Jumadil Akhir 1370 H), hlm 8.
  3. Ibnu Manzhur al-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadr, cet. ketiga 1414 H), Jilid 3, hlm 115.
  4. Abu Bakar al-Anbarī, al-Zāhid fi Ma’ānī Kalimāt al-Nās, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet. Pertama 1412 H), Jilid 2, hlm 208.
  5. Zainuddin ar-Razy, Mukhtār ash-Shohāh, (Beirut: Maktabatu al-‘Ashriyah, cet. kelima 1420 H), hlm 56.
  6. Abū al-Qāsim ath-Thabrānī, al-Mu’jam al Kabir, (Cairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, cet.ke2 1415 H), Jilid 22, hlm 155.
  7. Abu Muhammad al-Bagawi, Syarhu as-Sunnah, (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, cet. kedua 1403 H), Jilid 13, hlm 278.
  8. Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet.pertama 1421 H), Jilid 17, hlm 208, no.11129. Menurut Syu’aib al-Arnauth hadits ini dhaif.
  9. Abu Thalib al-Makki, Qūt al-Qulūb Fi Mu’āmalati al-Mahbūb, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Cet. kedua 1426 H), Jilid 1, hlm 170-171.
  10. Abu Sa’adat Ibnu al-Atsir, an-Nihayatu Fi Garib al-Hadits wa al-Atsar, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399 H), Jilid 1, hlm 256.
  11. Hasan al-Banna, Kumpulan Risalah Da’wah, (Jakarta: I’tishom, cet. kesepuluh, 2012), Jilid 1, hlm 313.
  12. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dar Thuwaiq an-Najah, cet. pertama 1422 H), Jilid 7, hlm 2, hadits no 5063.


Hikmah Dalam Da’wah Nabi Musa Kepada Bani Israil


Sigit Suhandoyo. Allah ta’ala mengutus nabi Musa as, untuk berda’wah kepada Fir’aun dan menyelamatkan bani Israil. Sebuah masyarakat yang lemah, tertindas dan terpecah belah kaena perbudakan diberbagai bidang perkerjaan, serta dimuliakannya sebagian kelompok masyarakat atas sebagian lainnya. Situasi ini tertera dalam surat al-Qashash ayat 4

إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ.

“Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” 

Pakar tafsīr al-Marāgī (w. 1371 H) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut,

فرقهم فرقا مختلفة، وأحزابا متعددة، وأغرى بينهم العداوة والبغضاء، كيلا يتفقوا على أمر ولا يجمعوا على رأى، ويشتغل بعضهم بالكيد لبعض، وبذا يلين له قيادهم، ولا يصعب عليه خضوعهم واستسلامهم(1). 

Fir’aun memecah belah bani Israil dalam berbagai firqah yang berbeda, dalam banyak golongan. Menghasut mereka dengan permusuhan dan kebencian, agar mereka tidak memiliki kesamaan isu serta tidak berkumpul dalam suatu kepemimpinan yang kuat. Kemudian Fir’aun juga menyibukkan sebagian mereka dengan makar sebagian yang lain, sehingga tidak sulit bagi Fir’aun untun menundukkan bani Israil.

Menghadapi siasat politik semacam ini, Musa as berseru kepada Bani Israil,

قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa".”

Musa as menyerukan hakikat yang terang benderang, tentang keyakinan, kesabaran dan kepemilikan Allah atas bumi serta balasan yang baik bagi al-muttaqin. Nilai penting ayat ini dalam perspektif da’wah adalah,


a. Setiap mukmin hendaklah bersungguh-sungguh untuk saling menasihati.

Nabi Musa as, mengunci nasihatnya yang berupa seruan umum tersebut dengan kata takwa. Bahwa dalam ujian berupa himpitan kesulitan maupun ujian dalam bentuk kelapangan hidup dunia, kesudahan yang baik hanyalah bagi mereka yang bertakwa. Dalam kondisi apapun seorang mukmin tidak boleh kehilangan tujuan utama perjalanan hidupnya.

Kegalauan orientasi, kerancuan militansi, mengendurnya kepercayaan terhadap institusi dan para penanggung jawab, adalah fenomena lepasnya komitmen seorang aktifis. Musthafa Masyhur menuturkan, bahwa diantara ujian bagi para aktifis da’wah adalah ujian kekuatan spiritualnya dalam memenuhi hak-hak ukhuwah, meskipun musuh berupaya memecah belah, menghasut dan memfitnah. Kesemua fenomana ini menunjukkan kepada kita akan keniscayaan untuk saling menasihati. Bersungguh-sungguh dalam memberi nasihat dan bersungguh-sungguh pula dalam menerima nasihat.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Zaid bin Tsabit ra, tentang tiga hal yang hati seorang Muslim tidak boleh berkhianat dengannya,

إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَمُنَاصَحَةُ وُلَاةِ الْأَمْرِ، وَلُزُومُ الْجَمَاعَةِ.(2) 

“mengikhlaskan seluruh perbuatannya hanya karena Allah, menasihati para pemimpin dan senantiasa menetapi jama’ah kaum Muslimin. 

Apalah yang menghalangi seorang muslim dari menasihati saudaranya, dan apapula yang menghalangi seorang muslim untuk mendengar nasihat dari saudaranya. Bagi mukmin saling menasihat adalah sebuah keniscayaan. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra,

الْمُؤْمِنُ مَرْآةُ أَخِيهِ إِذَا رَأَى فِيهَا عيبا أصلحه.(3) 

“Seorang mukmin itu cermin dari saudara mukminnya, jika ia melihat kekurangannya maka ia akan memperbaikinya”

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah ra,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ، وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ.(4) 

“Seorang mukmin itu cermin bagi mukmin lainnya, seorang mukmin itu saudara mukmin lainnya, ia menjaga hartanya dan melindunginya dari belakangnya (keburukan yang menimpanya).”

b. Setiap mukmin hendaklah senantiasa memohon pertolongan kepada Allah atas segala permasalahan hidupnya. 

Hidup tanpa kesadaran akan kebersamaan dengan Allah adalah ketertipuan dan kehampaan. Adapun ketergantungan kepada Allah semata adalah hakikat dan sumber dari kekuatan jiwa untuk terus berjuang dalam kehidupan. Adalah Musa as dan Harun as berdo’a kepada Rabbnya,

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ 

“Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir`aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih."” (yunus 88)

Setelah itu ada masa panjang 40-an tahun Musa as dan Harun as berda’wah dengan istiqomah dan keyakinan hingga Allah kabulkan do’a mereka berdua. Demikian pula Muhammad saw, menahan malaikat penjaga gunung agar tidak menimpakan “barang yang dijaganya itu” kepada para penentang Nabi, karena harapannya kepada Allah akan adanya generasi baru yang lebih baik.

Senantiasa mengutamakan memohon pertolongan kepada Allah adalah jalan yang benar untuk menguatkan kebersamaan dengan Allah, keikhlasan dan kekuatan dalam beramal. 


c. Sabar itu meringankan penderitaan dan solusi awal yang terpuji atas segala ujian.

Sabar merupakan sikap hidup yang selalu dibutuhkan manusia dalam utusan agama dan dunianya, sabar sangat diperlukan manusia ketika menunaikan perintah yang wajib dilaksanakan dan larangan yang wajib ditinggalkan dan terkadang diperlukan saat bersamaan. Sabar adalah persediaan bagi seorang pejuang dalam perjuangannya, persediaan bagi seorang da'i di saat manusia tidak menyambut seruannya, persediaan bagi seorang alim di zaman ilmu tak lagi diperhatikan, bahkan ia adalah bekal bagi semua orang. Jadi sabar merupakan sikap hidup yang bisa dijadian pegangan, benteng perlindungan dan langkah awal kesuksesan. Al-Munjid berkata,

ثبات على الدين إذا جاء باعث الشهوات ، وهو ثبات على الكتاب والسنة ، لأن من أخذ بهما فقد صبر على المصائب وصبر على العبادات وصبر على اجتناب المحرمات

Sabar adalah sikap tegar dan kukuh dalam menjalankan ajaran agama ketika muncul dorongan syahwat. Ia adalah ketegaran yang dibangun di atas landasan kitab dan sunnah. Karena hamba yang berpegang teguh dengan keduanya mampu bersabar terhadap beragam musibah, dalam beribadah dan menjauhi larangan.

Demikianlah bagi orang-orang yang sabar, selain kebersamaan dengan Allah swt, dan meraih kesuksesan dunia dan akhirat, kepemimpinan dan kekuasaan berkaitan erat dengan sabar dan yakin, sebagaimana firman Allah.

وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآيتنا يوقنون

”Dan Kami jadikan di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan meyakini ayat-ayat Kami.” (as sajdah 24)


d. Setiap da’i hendaklah mampu menanamkan rasa tsiqah kepada Allah terhadap mad’unya. Bagi muslim yang mau meneladani hikmah atas segala peristiwa da’wah di masa lampau, yang mungkin sekali terulang lagi di masa kini. Tentu akan mendapati begitu banyak kisah yang sarat akan nilai-nilai semacam ini. Ketsiqohan ibunda musa as melarung bayinya kesarang musuh. Keteguhan ibunda Isma’il as, ditinggalkan suaminya di tanah tak bertuan hingga pada gilirannya terbukti pula ketsiqahan Isma’il untuk disembelih layaknya seekor hewan kurban. Demikian pula perilaku melawan arus Nabi Nuh as dan pengikutnya, yang tak masuk akal, dengan membangun bahtera di atas gunung. Kesemuanya adalah sebuah cetak biru keteladanan tentang ketsiqohan kepada Allah dan kebenaran da’wah.

Atau kisah yang belum lama berlalu, tentang kebobrokan sebuah pengadilan yang tak mampu membuktikan kesalahan seorang Sayyid Quthb. Menyodorkan kepadanya sebuah berkas pengakuan dosa dan permohonan maaf untuk ditanda-tanganinya. Berkas yang akan membebaskannya dari kematian itu ditepikannya seraya berkata, “telunjukku yang setiap hari bersaksi akan keesaan Allah ini terlalu hina untuk menulis suatu pengakuan yang tak pernah aku lakukan. Bila aku dihukum secara benar, aku ridho dengan kebenaran. Bila vonis dijatuhkan secara batil, terlalu hina bagiku memohon belas kasihan dari pelaku kebatilan.

Seorang ulama pernah mengatakan, “sungguh untuk mewujudkan cita-cita pembinaan ummat, membutuhkan segolongan manusia yang tak henti berusaha kearah itu. Memiliki keinginan yang tak kenal lemah, kesetiaan yang teguh dan tidak pula pengkhianatan. Pengorbanan yang benar yang tidak terhalang oleh tamak dan bakhil. Beriman dan memelihara dirinya dari kesalahan yang disengaja, penyimpangan, tawar-menawar, penghasutan, dan hal-hal negatif lainnya.”


Catatan Kaki

  1. Ahmad Musthafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, (Mesir: Perusahaan Penerbitan Musthafa al-Halabi, Cet. Pertama 1365 H),  Jilid 20, hlm 32.
  2. Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, Musnad al-Imam Ahmad, (Beirut: Muassatu al-RIsalah, Cet pertama, 1421 H ), Jilid 35, hlm 467, hadits no. 21590.
  3. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, Cet. Pertama 1419 H), hlm 125.
  4. Abu Dawud al-Sijjistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Jilid 4, hlm 280, hadits no, 4918.