Sumber Kebaikan yang Berlimpah



Sigit Suhandoyo. Daya tarik feminin seorang wanita acap kali dicitrakan sebagai jiwa rendah hati yang penuh kasih. Kaum wanita tampil sebagai model dari jiwa yang mengungkapkan kesetiaan cinta dalam bahasa sendiri. 


Suatu kekhasan yang kadang tak difahami, atau difahami oleh suami dalam citra yang bertentangan. Karenanya ramai para mufasir menyeru para suami untuk bersabar terhadap istri. Dan seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, kesabaran akan mendapatkan berbagai kebaikan di dunia dan di akhirat.


وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

 “Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara ma’ruf. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (an-Nisa 19)


Berbuat ma’ruf kepada istri itu adalah bertanggung jawab dalam pengajaran ilmu agama, pendidikan etika dan estetika serta menjadi sahabat terbaik yang membersamai kekurangan istri.(1)  Demikian ajar al-Qusyairi mufasir sufi dari abad ke 6 hijriah. Dalam perspektif ini, berbuat ma’ruf kepada istri, terlihat sebagai kualitas ilahi, meliputi segenap perjalanan waktu sebuah keluarga. Keluarga menjadi sebuah zona keindahan dan keagungan llahi.


Abu Ja’far ath-Thobari, dalam kutipannya dari Mujahid mengemukakan bahwa, kebaikan yang berlimpah adalah anak yang sholeh,(2)  pendapat ini juga diamini oleh banyak penafsir terkemuka. Dua entitas yang terpolarisasi itu, melahirkan rasa saling menginginkan satu sama lain, mewujudkan sebuah penciptaan yang orgasmik. Keturunan yang sholeh adalah energi kreatif untuk masa yang sangat panjang, tempat do’a dan munajat dipanjatkan, tempat nama-nama Allah termanifestasikan. 


Lebih lanjut Mufasir legendaris dari lereng Alborz ini, juga mengemukakan bahwa, kebaikan yang berlimpah adalah kelembutan hati.(3)  Kesabaran itu pada akhirnya akan mengubah benci menjadi cinta dan rasa rindu tak ingin berpisah.(4)  Itulah kebaikan yang berlimpah. Tutur al-Khazin, sang penulis Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil. 


Gagasan menarik dikemukakan oleh Rasyid Ridho, menurutnya ayat ini menunjukkan aturan umum untuk apa pun yang tidak disukai, tidak khusus untuk wanita. Allah membuat banyak kebaikan dalam segala hal yang tidak disukai. Senantiasalah berbuat baik, meski kebaikan itu tak dibalasi kebaikan dari orang lain.(5)  Berbuat baiklah karena engkau orang baik. Karena di atas segala sesuatu yang engkau lalui, Allah menginginkanmu menjadi orang baik.


"Perbuatan baik adalah, ketika kamu bisa berbuat baik kepada mereka yang tak berbuat baik kepadamu"(6) . Demikian kutip syaikh Nawawi dari Kesultanan Banten. Segala sesuatu yang kita lakukan pada akhirnya menunjukkan kualitas dari mencintai Tuhan yang bersifat elementer. Mengkreasikan sebuah skema alamiah tentang kebaikan yang menghubungkan segala sesuatu. Meski harus melalui belantara sunyi bercabang dan penuh misteri.  


Citra pandang yang berbeda dikemukakan oleh Penafsir masyhur kelahiran Basrah, Ibnu Katsir. Dia mengungkapkan sebuah narasi dari Imam Muslim,

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ (7)

 “janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah, jika ia tidak menyukai suatu akhlak darinya, maka ia meridhoi akhlaknya yang lain” 


Seakan Ibnu Katsir hendak menuturkan, jika engkau tak sanggup memperkecil rasa bencimu akan sesuatu hal yang tak kau sukai pada istrimu, maka mulailah memperbesar rasa cintamu akan sesuatu hal yang engkau sukai pada istrimu. Hingga akhirnya rasa cintamu itu mendominasi kebencianmu dan eksplosif, Menyisakan dua hakikat, pecinta dan sang kekasih. Sebagaimana halnya suami, penciptaan istri menunjukkan kepiawaian tunggal Sang Maha Pencipta.


Cinta adalah kemampuan tertinggi manusia untuk mengungkapkan citarasa hubungannya dengan Tuhan. Cinta antara suami istri, ibarat dua kutub yang terkadang bisa saling bertentangan. Daya tariknya tumbuh, berkorelasi karena merefleksikan cinta mereka kepada Tuhannya. 


Al-Qur’an memberi petunjuk, pengalaman cinta kepada pasangan, membuat sang pencinta terbuka pada cinta lain yang transenden, penuh gairah, tak kenal kompromi, Cinta kepada Tuhan. Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. ‘Abdul Karim al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat, (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-‘Amah lil Kitab, tth),  Juz 1, hlm 322
  2. Abu Ja’far Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, 1420 H), Juz 8, hlm 122
  3. Ibid
  4. Alauddin Ali bin Muhammad al-Khazin, Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H), Juz 1, hlm 356
  5. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-‘Amah lil Kitab, 1990), Juz 4, hlm 375.
  6. Muhammad bin Amru Nawawi al-Bantani, Marah Labid Li Kasyaf Ma’ani al-Qur’an al-Majid, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H), Juz 1, hlm 154
  7. Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar ihyau Turats al-‘Arabi, tth),  Juz 2, hlm 1901, hadits no 1469.


Mereka Adalah Pakaian Bagimu & Kamu Adalah Pakaian Bagi Mereka

 



Sigit Suhandoyo. Tak hanya sebagai sesuatu yang digunakan menutupi tubuh dan melindungi kehormatan. Pakaian adalah objek yang terkait begitu erat dengan kepribadian seseorang. Penelusuran terhadap pendapat para penafsir al-Qur’an tentang penggunaan kata pakaian dalam al-Qur’an menunjukkan makna lahiriyah maupun batiniyah. Setiap orang merajut niat, fikiran, kata dan tindakan, membentuk selembar pakaian bagi jiwanya. Maka adakah yang lebih baik dari pakaian takwa?


هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ


Mereka (istri) adalah pakaian bagi kalian (suami), dan kalian adalah pakaian bagi mereka (al-Baqarah ayat 187). Ayat ini merupakan ungkapan yang indah tentang kedalaman hubungan wanita dan pria dalam ikatan pernikahan yang jauh dari manifestasi rendah dan parsial.


Hubungan integratif, saling melengkapi, menutupi aib dan memberikan perlindungan sebagaimana adanya pakaian. Muqatil ibn Sulaiman, Penafsir abad ke 2 hijriah ini mengemukakan gagasan tentang istri yang merengkuh suami sepenuh hidupnya, demikian pula sebaliknya.(1)  Menunjukkan keindahan makna harmoni dari dua jiwa yang berbeda.


Tak pelak lagi, dalam buku tafsir yang disusunnya selama 16 tahun, Abu Ishaq Az Zajjaj menganalogikan hubungan suami istri sebagai kelekatan erat yang tanpa sekat, saling merangkul satu sama lain.(2)  Dua bagian yang terserak itu terhimpun untuk hidup saling melindungi dan memberikan ketenangan. Pendapat ini juga diamini oleh Makki ibn Abi Thalib. Pemegang otoritas fiqh Maliki pada abad ke 4 hijriah ini mengemukakan metafora yang baik, tentang hubungan keduanya yang tiada sekat dan bukan formalitas. Masing-masing mereferensikan kebaikan dan penerimaan kepada pasangannya.(3) 


Pensyari’atan istri dan suami sebagai pakaian bagi pasangannya, adalah bukti kasih sayang Allah kepada manusia. Setelah itu Allah menuntut dari keduanya untuk menghindarkan diri mereka dari berbagai keburukan eksternal, dengan cara senantiasa memperkuat hubungan diantara mereka karena Allah,(4)  demikian Mutawalli asy Sya’rawi.


Penggunaan ungkapan ini, juga menunjukkan adanya hubungan sensorik, fisik, emosional dan spiritual yang membangun moral korelatif antara keduanya. Sahabat al-Ghazali, Raghib dari Isfahan mengemukakan, bukankah pernikahan itu benteng yang menjamin penghuninya berada dalam keselamatan. Satu dan lainnya saling menutupi aib dan kekurangan.(5)  Abu Laits as Samarqandi, penulis tafsir Bahrul ‘ulum, bahkan mengungkapkan gagasan yang cukup tegas tentang keberadaan istri sebagai pelindung suami dari api neraka, demikian pula sebaliknya.(6) 


Pakar tafsir universitas al-Azhar, al-Hijazy menuturkan, penggalan ayat ini merupakan kerangka bagi keluarga yang kokoh, merupakan wujud rasa saling mengasihi yang mendalam, bukan sekedar hubungan fisik semata, melainkan penyatuan ruhiyah, keterikatan jiwa, dan menghimpun tujuan yang satu untuk membina kehidupan keluarga atas prinsip-prinsip kemuliaan.(7) 


Sepenggal ayat al-Qur’an ini merangkum kata dalam berbagai makna yang mendalam, mewariskan pemahaman yang idealistis dan romantis tentang hubungan antara wanita dan pria dalam ikatan pernikahan. Memberikan pendekatan bagi kebahagiaan dunia dan akhirat yang melibatkan pemahaman dan komitmen keagamaan. Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. Muqatil Ibn Sulaiman, Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman, (Beirut: Dar Ihyau Turats, cetakan pertama, 1423 H), Juz 1, hlm 164
  2. Abu Ishaq al-Zajjaj, Ma’ani al-Qur’an wa I’rabuhu, (Beirut: ‘alam al-Kutub, cetakan pertama, 1408 H), Juz 1, hlm 256.
  3. Maki Ibn Abi Thalib, al-Hidayatu Ila Bulughi al-Nihayah, (UEA: Sharjah University, cetakan pertama 1429 H), Juz 2, hlm 1523.
  4. Muhammad Mutawali al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, (Mesir: Mathabi’ Akhbar al-Yaum),Juz 2, hlm 791
  5. Raghib al-Ashfihani, Tafsir al-Raghib al-Ashfihani, (Mesir: Jami’ah Thanta, cetakan pertama 1420 H) , Juz 1, hlm 398.
  6. Abu Laits al-Samarqandi, Tafsir Bahrul ‘Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth),Juz 1, hlm 124.
  7. Muhammad Mahmud al-Hijazy, al-Tafsir al-Wadhih, (Beirut: Dar al-Jil al-Jadid, Cetakan ke 10, 1413 H), juz 3, hlm 22.


Sakinah



Para Mufasssir Muslim menjelaskan peran utama penciptaan wanita dengan ragam definisi yang mengukur kedalaman makna yang selalu bertambah. Peranan dari para perindu dan reseptif itu digambarkan sebagai jalan panjang pengorbanan yang membuahkan kebahagiaan.


Ibnu Abbas ra menuturkan, tidak hanya dalam aspek kepribadian dan tingkah laku. Penampilan seorang wanita (istri) harus menumbuhkan keridhoan suaminya sejak pandangan pertamanya.


Abu Laits as-Samarqandi pakar tafsir abad ke 4 Hijriah, mengemukakan pandangan bahwa wanita (istri) adalah tempat hati seorang pria (suami) bertaut dan menemukan damai.(1) “Seolah waktu enggan berpaling kepada hal selainnya”(2), ujar Zamakhsyari, penulis tafsir al-Kasyaf. Tiada kecenderungan di antara dua jiwa yang melebihi kecenderungan antara sepasang suami istri,(3) ungkap Imaduddin Ibnu Katsir.


Pakar susastra Arab Al-Jurjani mengemukakan bahwa, sakinah adalah hati yang bahagia dengan datangnya sesuatu yang tidak diduga, menyaksikannya memberikan ketenangan yang menerangi hati. Dan senantiasa seperti itu selamanya, mengingat penggunaan kata tersebut ketika disandingkan dengan wanita (istri) dalam bentuk mudhori’. Wanita (istri) adalah perantara Allah menurunkan ketenangan jiwa yang berkesinambungan bagi pria (suami). 


Secara sosial hal semacam ini kita temukan pada kelompok masyarakat yang menutupi aurat dan seantiasa menundukkan pendangannya. Pemandangan tak terduga yang menakjubkan dari kecantikan feminin seorang wanita (istri) dan memberikan pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan, tentu akan dialami oleh orang-orang yang senantiasa menundukkan pandangannya. Inilah kekhasan syari’at Islam, demikian Sayyid Quthb. Seperti rute-rute rahasia para pecinta, mereka yang tidak setia dalam cinta, tak akan pernah merasakannya. 


Sakinah menggambarkan situasi hati bagi suami istri yang seharusnya merupakan refleksi jiwa yang kuat, bukan dalam bias lemah yang menyimpang. Hanya dari sisi penciptaan yang dikembalikan kepada Allah, maka orang dapat mengumpullkan sedikit demi sedikit gagasan tentang keagungan Sang Pencipta, setidaknya bagi mereka yang mempunyai hati untuk melihat tanda-tanda. Ingatlah kemanapun pandangan beralih, disitu ada wajah Allah.


Pengkajian tentang kata sakinah menurut penulis besar abad 12 hijriah Murtadho az-Zabidy, memperlihatkan adanya pengaruh yang besar atas ketenangan jiwa.(4) Kebersamaan yang terjalin antara suami dan istri selaiknya menciptakan momen eksistensial dan vertikal yang karakternya tergambarkan oleh respon emosional yang kuat pada hati. Cinta itu tergambar dalam suatu harmoni yang tanpa henti lagi kreatif. (Sigit Suhandoyo)


Catatan Kaki

  1. Abu al-Laits Al-Samarqandy, Bahr al-Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth), Juz 3, hlm 8.
  2. Abu al-Qasim Mahmud al-Zamakhsariy, al-Kasyaf, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cetakan ke 3, 1407 H), Juz 3, hlm 473. Menurut Zamakhsary as-sakinah adalah kecenderungan suami terhadap istrinya yang demikian kuat, sehingga segala sesuatu selainnya seolah terputus, waktu seolah berhenti dan hati menjadi tenang karenanya.
  3. Abu al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Riyadh: Dar Thayibah, 1999), Juz 3, hlm 525.
  4. Murtadha al-Zabidiy, Taj al-Arus min Jawahi al-Qamus, (Kuwait: Dar al-Hidayah, tth), Juz 35, hlm 206