Mereka Adalah Pakaian Bagimu & Kamu Adalah Pakaian Bagi Mereka

 



Sigit Suhandoyo. Tak hanya sebagai sesuatu yang digunakan menutupi tubuh dan melindungi kehormatan. Pakaian adalah objek yang terkait begitu erat dengan kepribadian seseorang. Penelusuran terhadap pendapat para penafsir al-Qur’an tentang penggunaan kata pakaian dalam al-Qur’an menunjukkan makna lahiriyah maupun batiniyah. Setiap orang merajut niat, fikiran, kata dan tindakan, membentuk selembar pakaian bagi jiwanya. Maka adakah yang lebih baik dari pakaian takwa?


هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ


Mereka (istri) adalah pakaian bagi kalian (suami), dan kalian adalah pakaian bagi mereka (al-Baqarah ayat 187). Ayat ini merupakan ungkapan yang indah tentang kedalaman hubungan wanita dan pria dalam ikatan pernikahan yang jauh dari manifestasi rendah dan parsial.


Hubungan integratif, saling melengkapi, menutupi aib dan memberikan perlindungan sebagaimana adanya pakaian. Muqatil ibn Sulaiman, Penafsir abad ke 2 hijriah ini mengemukakan gagasan tentang istri yang merengkuh suami sepenuh hidupnya, demikian pula sebaliknya.(1)  Menunjukkan keindahan makna harmoni dari dua jiwa yang berbeda.


Tak pelak lagi, dalam buku tafsir yang disusunnya selama 16 tahun, Abu Ishaq Az Zajjaj menganalogikan hubungan suami istri sebagai kelekatan erat yang tanpa sekat, saling merangkul satu sama lain.(2)  Dua bagian yang terserak itu terhimpun untuk hidup saling melindungi dan memberikan ketenangan. Pendapat ini juga diamini oleh Makki ibn Abi Thalib. Pemegang otoritas fiqh Maliki pada abad ke 4 hijriah ini mengemukakan metafora yang baik, tentang hubungan keduanya yang tiada sekat dan bukan formalitas. Masing-masing mereferensikan kebaikan dan penerimaan kepada pasangannya.(3) 


Pensyari’atan istri dan suami sebagai pakaian bagi pasangannya, adalah bukti kasih sayang Allah kepada manusia. Setelah itu Allah menuntut dari keduanya untuk menghindarkan diri mereka dari berbagai keburukan eksternal, dengan cara senantiasa memperkuat hubungan diantara mereka karena Allah,(4)  demikian Mutawalli asy Sya’rawi.


Penggunaan ungkapan ini, juga menunjukkan adanya hubungan sensorik, fisik, emosional dan spiritual yang membangun moral korelatif antara keduanya. Sahabat al-Ghazali, Raghib dari Isfahan mengemukakan, bukankah pernikahan itu benteng yang menjamin penghuninya berada dalam keselamatan. Satu dan lainnya saling menutupi aib dan kekurangan.(5)  Abu Laits as Samarqandi, penulis tafsir Bahrul ‘ulum, bahkan mengungkapkan gagasan yang cukup tegas tentang keberadaan istri sebagai pelindung suami dari api neraka, demikian pula sebaliknya.(6) 


Pakar tafsir universitas al-Azhar, al-Hijazy menuturkan, penggalan ayat ini merupakan kerangka bagi keluarga yang kokoh, merupakan wujud rasa saling mengasihi yang mendalam, bukan sekedar hubungan fisik semata, melainkan penyatuan ruhiyah, keterikatan jiwa, dan menghimpun tujuan yang satu untuk membina kehidupan keluarga atas prinsip-prinsip kemuliaan.(7) 


Sepenggal ayat al-Qur’an ini merangkum kata dalam berbagai makna yang mendalam, mewariskan pemahaman yang idealistis dan romantis tentang hubungan antara wanita dan pria dalam ikatan pernikahan. Memberikan pendekatan bagi kebahagiaan dunia dan akhirat yang melibatkan pemahaman dan komitmen keagamaan. Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. Muqatil Ibn Sulaiman, Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman, (Beirut: Dar Ihyau Turats, cetakan pertama, 1423 H), Juz 1, hlm 164
  2. Abu Ishaq al-Zajjaj, Ma’ani al-Qur’an wa I’rabuhu, (Beirut: ‘alam al-Kutub, cetakan pertama, 1408 H), Juz 1, hlm 256.
  3. Maki Ibn Abi Thalib, al-Hidayatu Ila Bulughi al-Nihayah, (UEA: Sharjah University, cetakan pertama 1429 H), Juz 2, hlm 1523.
  4. Muhammad Mutawali al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, (Mesir: Mathabi’ Akhbar al-Yaum),Juz 2, hlm 791
  5. Raghib al-Ashfihani, Tafsir al-Raghib al-Ashfihani, (Mesir: Jami’ah Thanta, cetakan pertama 1420 H) , Juz 1, hlm 398.
  6. Abu Laits al-Samarqandi, Tafsir Bahrul ‘Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth),Juz 1, hlm 124.
  7. Muhammad Mahmud al-Hijazy, al-Tafsir al-Wadhih, (Beirut: Dar al-Jil al-Jadid, Cetakan ke 10, 1413 H), juz 3, hlm 22.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion