Tadabbur Surat Al Fiil



أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (1) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (3) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ (4) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ (5)
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu telah bertindak terhadap tentara bergajah (1) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan ka’bah) itu sia-sia? (2) dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (3) Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar (4) Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat (5).

Sebab Turunnya Ayat
Abul Hasan al Wahidiy meriwayatkan bahwa surat ini diturunkan terkait dengan kisah pasukan gajah yang hendak menghancurkan ka’bah,
نَزَلَتْ فِي قِصَّةِ أَصْحَابِ الْفِيلِ وَقَصْدِهِمْ تَخْرِيبَ الْكَعْبَةِ، وَمَا فَعَلَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِمْ مِنْ إِهْلَاكِهِمْ وَصَرْفِهِمْ عَنِ الْبَيْتِ وَهِيَ مَعْرُوفَةٌ.
Diturunkannya ayat ini terkait kisah pasukan gajah yang bertujuan menghancurkan ka’bah, dan perbuatan Allah kepada mereka dengan membinasakan dan menjauhkan mereka dari ka’bah. [1]

Latar Belakang Peristiwa Ashabul Fiil
Sayyid Quthb menuliskan dalam tafsirnya bahwa peristiwa ini terjadi karena keinginan memindahkan kunjungan bangsa Arab dari Mekah ke Gereja Yaman, proyek ini dipelopori oleh Abrahah al Asyram.
كاَنَ قَدْ بُنِىَ كَنِيسَةٌ فِي اليَمَنِ بِاسْمِ مَلِكِ الحَبَشَةِ وَجَمَعَ لَهَا كُلُّ أَسْبَابِ الفَخَامَةِ، عَلَى نِيَّةٍ أَنْ يُصْرَفَ بِهَا العَرَبُ عَنِ البَيْتِ الحَرَامِ فيِ مَكَّةَ، وَقَدْ رَأَى مَبْلَغُ اِنْجِذَابِ أَهْلِ اليَمَنِ الذِينَ يَحْكُمُهُمْ إِلَى هَذَا البَيْتِ، شَأْنُهُمْ شَأْنُ بَقِيَّةِ العَرَبِ.
Abrahah telah membangun sebuah gereja di Yaman atas nama Raja Habasyah. Gereja ini dibangun sangat megah dengan tujuan mengalihkan perhatian dan kunjungan bangsa arab dari baitul haram di Mekah. Karena Abrahah melihat minat yang sangat kuat di kalangan penduduk Yaman untuk berkunjung ke Mekah, sebagaimana bangsa arab lainnya.[2]
Demikian pula pendapat Ibnu Katsir, ia menambahkan begitu megahnya bangunan gereja tersebut, hingga orang arab mengatakan peci mereka hampir terjatuh jika mereka melihat puncak bangunan tersebut. [3] Imam al Qurthubi menuliskan (وَهِيَ كَنِيسَةٌ لَمْ يُرَ مِثْلُهَا فِي زَمَانِهَا بِشَيْءٍ مِنَ الْأَرْضِ) itu merupakan tempat ibadah orang nashrani yang belum pernah diketahui yang semisal dengannya pada masa itu dengan sesuatupun di dunia.[4] Abrahah bersumpah kepada Najasyi tentang hal ini (إنِّي قَدْ بَنَيْتُ لَكَ أَيُّهَا الْمَلِكُ كَنِيسَةً لَمْ يُبْنَ مِثْلُهَا لِمَلِكِ كَانَ قَبْلَكَ، وَلَسْتُ بِمُنْتَهٍ حَتَّى أَصْرِفَ إلَيْهَا حَجَّ الْعَرَبِ) sesungguhnya aku benar-benar akan membangunkan bagimu wahai raja sebuah gereja yang belum pernah dibangun sebelumnya yang seperti itu untuk raja-raja sebelum kamu, dan aku tidak akan pernah puas hingga memalingkan para haji arab.[5]
Ketidak berhasilan Abrahah memalingkan pusat ziarah bangsa arab ke gereja yaman tersebut menyebabkannya murka dan berinisiatif menghancurkan ka’bah.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?
Kalimat ini adalah kalimat tanya akan tetapi bermakna penetapan (taqrir), pesan pada ayat ini ditujukan khusus kepada Rasulullah saw namun bermakna umum. Maksudnya, bukankah kalian telah melihat hal itu? Dan setelah melihatnya apakah kalian belum menyadari anugerah yang Aku berikan kepada kalian? Mengapa kebanyakan kalian tetap saja tidak beriman kepada-Ku?[6]
Sayyid Quthb berpendapat,  “وَهُوُ سُؤَالُ لِلتَعْجِيبِ مِنَ الحَادِثِ، وَالتَّنْبِيهِ إِلَى دَلَالَتِهِ العَظِيمَةٌ” pertanyaan ini disampaikan untuk mengungkapkan keta’juban  terhadap sebuah peristiwa yang pernah terjadi dan mengingatkan kepada tanda-tandanya yang sangat agung.[7]
Demikian pula pendapat an Nasafi “عَجَّبَ اللهُ نَبِيَّهُ مِنْ كُفْرِ العَرَبِ وَقَدْ شَاهَدْتُ هَذِهِ العَظَمَةِ مِنْ آيَاتِ اللهِ” Allah membuat heran nabi-Nya dari kekafiran orang-orang yang benar-benar telah menyaksikan keagungan dari tanda-tanda keberadaan Allah.[8]
Sehingga dapat disimpulkan ayat ini tidak bermaksud menguji pengetahuan, melainkan menegaskan akan adanya sebuah perkara besar yang seharusnya menjadi pelajaran bagi manusia tentang keimanan kepada Allah.

أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan ka’bah) itu sia-sia?

Serupa dengan ayat sebelumnya, ayat ini juga merupakan pertanyaan yang bertujuan menetapkan (الاستفهام التقريري). Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pembuat makar. Seluruh upaya menentang Allah pasti sia-sia belaka.
Sayyid Quthb berpendapat, selain berupa peringatan kepada penentang-Nya ayat ini juga berisi peringatan kepada kaum Quraisy bahwa Allah telah menolong mereka ketika mereka tidak berdaya. “لَعَلَّهُمْ بِهَذِهِ الذِكْرى يَسْتَحُونَ مِنْ جُحُودِ اللهِ الذي تَقَدَمَتْ يَدُهُ عَلَيْهِمْ فِي ضَعْفِهِمْ وَعَجْزِهِمْ” bahwa seharusnya mereka merasa malu mengingkari Allah yang telah mengulurkan pertolongannya kepada mereka pada saat mereka lemah dan tidak berdaya.[9]

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيل
dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong

Ya’kub menceritakan dari Ibnu Ulayyah dari Ibnu Aun dari Muhammad bin Sirrin dari Ibnu Abbas bahwa, “وَكَانَتْ طَيْرًا لَهَا خَرَاطِيمَ كَخَرَاطِيمِ الطَيْرِ، وَأَكَفَّ كَأَكَفِّ الِكلَابِ” burung-burung itu memiliki paruh seperti paruh burung dan bertelapak seperti telapak anjing. Ikrimah berkata “كَانَتْ لَهَا رُؤُوسٌ كَرُؤوسِ السِبَاعِ” kepalanya seperti kepala binatang buas.[10] “Aisyah mengatakan bahwa burung-burung itu menyerupai dengan burung laut (الخطاطيف) namun ada juga yang mengatakan lebih mirip dengan kelelawar yang berwarna merah dan hitam.[11]
Ath thobari mengatakan bahwa maksud ababil adalah “طَيْرًا مُتَفَرِّقَةٌ، يَتْبَعُ بَعْضُهَا بَعْضًا مِنْ نَوَاحٍ شَتَّي” burung yang berbondong-bondong, saling beriringan dari berbagai penjuru.[12]

تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ
Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar

Al Qurthubi berpendapat bahwa maksudnya adalah “حِجَارَةٌ مِنْ طِينٍ،طُبِخَتْ بِنَارِ جَهَنَّمَ، مَكْتُوبٌ فِيهَا أَسْمَاءُ الْقَوْمِ”batu yang terbuat dari tanah liat yang di bakar di atas api neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang berhak atasnya. Makna ini sama seperti yang disebutkan pada firman Allah, “agar kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah yang (keras), yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas” (adz dzariyat 33-34)[13]
Muhammad bin Amru menceritakan dari Abu ‘Ashim dari ‘isa dari Abi Najih dari Mujahid bahwa  sijjil berasal dari bahasa persia yang terdiri dari dua kata yaitu batu dan tanah.[14] Ikrimah meriwayatkan batu-batu tersebut hanya sebesar kacang humush dan sedikit lebih besar dari kacang ‘adas.[15]
           
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat

Ath Thobari menjelaskan makna ayat ini adalah, Allah menjadikan pasukan gajah itu seperti tanaman yang dimakan ulat sehingga berserakan, rontok dan berguguran anggota tubuhnya.[16] sendi-sendi mereka terputus[17] kemudian berserakan dengan lembut seolah-olah habis terkunyah-kunyah.[18]

Hikmah[19]
a. Allah ta’ala tidak ingin menyerahkan perlindungan rumah-Nya kepada orang-orang musyrik (أَنَّ اللهَ- سُبْحَانَهُ- لَمْ يُرِدْ أَنْ يَكُونَ حِمَايَةُ بَيْتِهِ إِلَى الْمُشْرِكِينَ)
b. Perencanaan Allah untuk memelihara rumah dan agama-Nya sebelum ada yang mengetahui bahwa Nabi agama ini telah dilahirkan pada tahun ini. (تَدْبِيرُ اللهِ لِبَيْتِهِ وَلِدِيْنِهِ قَبْلَ أَنْ يَعْلَمَ أَحَدٌ أَنَّ نَبِيَ هَذَا الدِينِ قَدْ وُلِدَ فِي هَذَا العَامِ)
c. Dibawah panji Islam – serta untuk pertama kalinya – dalam sejarah bangsa Arab, mereka punya peran internasional (تَحْتَ رَايَةِ الإِسْلاَمِ وَلِأَوَّلِ مَرَّةٍ فِي تَارِيخِ العَرَبِ أَصْبَحَ لَهُمْ دَوْرٌ عَالَمِيٌ)

sigit suhandoyo

Catatan Pustaka
[1]Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Ali al Wahidiy an Naisabury asy Syafi’i: Asbab an Nuzul al Qur’an. Ad Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, 464.
[2] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H. 6/3947.
[3] Imaduddin Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim. Daar Thayibah li an Nashr wa at Tauzi’. 8/484.
[4] Imam al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, 20/187.
[5] Abdul Malik Ibnu Hisyam: Sirah Nabawiyah li Ibn Hisyam, Mesir: Syirkatu maktabah wa mathba’ah musthofa al baby al halby, 1375 H, 43.
[6]  Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/187.
[7] Fii Dzilal al Qur’an 6/3979
[8] Hafidhuddin an Nasafi: Madarik at Tanzil wa Haqaaiq at Ta’wil, Beirut: Daar al kalam ath thoyyib, 1419 H, 3/680.
[9] Fii Dzilal al Qur’an 6/3979.
[10] Ibnul Jauzi: Zad al Maisir fi ilmi at tafsiir, Beirut: Daar al kitab al ‘araby, 1422 H, 4/491
[11] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/196.
[12] Ibnu Jarir ath Thobari: Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H, 24/605.
[13] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/198.
[14] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 15/433.
[15] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/198.
[16] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/615
[17] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/199.
[18] Fi Dzilal al Qur’an 6/3979.
[19] Fi Dzilal al Qur’an 6/3940.

Memurnikan Keesaan Allah


Tadabbur surat Al Ikhlas 1-4
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Katakanlah: “Dialah Allah Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia.

Sebab Turunnya Ayat
Abul Hasan al Wahidiy meriwayatkan dari Qatadah, adh dhohak dan muqatil berkata: telah datang seorang Yahudi kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia berkata:
صِفْ لَنَا رَبَّكَ، فَإِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ نَعْتَهُ فِي التَّوْرَاةِ، فَأَخْبِرْنَا مِنْ أَيِّ شَيْءٍ هُوَ؟ وَمِنْ أَيِّ جِنْسٍ هُوَ؟ مِنْ ذَهَبٍ هُوَ أَمْ نُحَاسٍ أَمْ فِضَّةٍ؟ وَهَلْ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ؟ وَمِمَّنْ وَرِثَ الدُّنْيَا وَمَنْ يُوَرِّثُهَا؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى هَذِهِ السُّورَةَ وَهِيَ نِسْبَةُ اللَّهِ خَاصَّةً
Jelaskan kepada kami tentang rabbmu, Sesungguhnya Allah telah menurunkan keterangan tentang sifat-Nya dalam Taurat, maka terangkan kepada kami terbuat dari apakah Dia? Dari jenis apakah Dia? Dari emaskah Dia ataukah dari perak atau tembaga? Dan apakah Dia makan dan minum? Dan dari siapa Dia mewarisi dunia dan siapa yang mewariskannya? Kemudian Allah ta’ala menurunkan surat ini dan surat ini menjelaskan secara khusus keterangan mengenai diri-Nya [1]

Keutamaan Surat al Ikhlas
Imam  Malik  meriwayatkan dari ‘Ubaidillah  bin ‘Abdurrahman,  dari  ‘Ubaid bin Hanin, dia berkata: Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata:
أَقْبَلْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ " قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ " فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَجَبَتْ". قُلْتُ: وَمَا وَجَبت؟ قَالَ: "الْجَنَّةُ
“aku pergi bersama Nabi saw, lalu beliau mendengar seseorang membaca (qul huwallahu ahad) maka Rasulullah saw bersabda: “wajib baginya” kutanyakan, Apa yang wajib? Beliau menjawab : surga” Diriwayatkan pula oleh at tirmidzi dan an Nasa-i dari hadits Malik.[2]

Imam Bukhari berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku Malik, dari Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Sha’sha’ah dari ayahnya, dari Abu Sa’id al Khudry, bahwa seorang laki-laki mendengar seseorang membaca (qul huwallahu ahad) berulang-ulang. Keesokan harinya ia datang kepada Nabi saw seraya menyebutkan hal iru – seolah-olah orang ini melaporkannya – lalu Nabi saw bersabda:
والذي نفسي بيده، إنها لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القرآنِ
Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnnya surat itu setara dengan sepertiga al Qur’an.[3]
Imam Bukhari meriwayatkan, Qutaibah memberitahu kami, al Mufadhal memberi tahu kami, dari Uqail, dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah ra,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ، ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الفَلَقِ وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ، ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ، يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
bahwa Nabi saw jika berbaring di tempat tidur setiap malam, maka beliau menyatukan kedua telapak tangan beliau, lalu meniupnya seraya membaca pada keduanya “qul huwallahu ahad, qul a’udzu bi rabbil falaq dan qul a’udzu bi rabbin naas” dan kemudian beliau mengusapkannya ke bagian-bagian tubuh yang bisa beliau jangkau. Beliau memulainya dari kepala, wajah dan anggota tubuh bagian depan. Beliau melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali.[4]

Tadabbur Makna قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa qul huwallahu ahad berarti,
هُوَ الْوَاحِدُ الْأَحَدُ، الَّذِي لَا نَظِيرَ لَهُ وَلَا وَزِيرَ، وَلَا نَدِيدَ وَلَا شَبِيهَ وَلَا عَدِيلَ، وَلَا يُطلَق هَذَا اللَّفْظُ عَلَى أَحَدٍ فِي الْإِثْبَاتِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ؛ لِأَنَّهُ الْكَامِلُ فِي جَمِيعِ صِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ
Dia Yang Tunggal dan satu-satunya, yang tiada tandingnya, tanpa pembantu, juga tanpa sekutu, serta tidak ada yang menyerupai dan menandingi-Nya. Dan kalimat itu tidak bisa dipergunakan pada seorangpun dalam memberikan penetapan kecuali hanya kepada Allah ta’ala. Karena Dia yang sempurna dalam semua sifat dan perbuatan-Nya.[5] Demikian pula pendapat az zuhaili, ia mengemukakan bahwa qul huwallahu ahad bermakna,
واحد في ذاته وصفاته، لا شريك له، ولا نظير ولا عديل. وهذا وصف بالوحدانية ونفي الشركاء
Esa dalam dzat dan sifat-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang setara dan sepadan dengan-Nya. Dan ini menetapkan keesaan atas-Nya dan mengingkari penyekutuan bagi-Nya.[6] Kalimat ini mengandung makna persaksian akan keesaan Allah atas segala sesuatu. Sebagaimana pendapat Sayyid Quthb,
هذه الأحدية عقيدة للضمير، وتفسير للوجود، ومنهج للحياة. فليس هناك حقيقة إلا حقيقته. وليس هناك وجود حقيقي إلا وجوده. وكل موجود آخر فإنما يستمد وجوده من ذلك الوجود الحقيقي، ويستمد حقيقته من تلك الحقيقة الذاتية
aqidah bagi hati, penafsiran tentang alam wujud dan manhaj bagi kehidupan. Tidak ada hakikat kecuali hakikat-Nya, tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Setiap wujud yang lain hanyalah bersumber dari wujud yang hakiki itu dan memperoleh hakikatnya dari hakikat dzatiyah tersebut.[7]

Tadabbur Makna اللَّهُ الصَّمَدُ
Kalimat ash Shomad dalam pengertian bahasa menurut al Maraghi adalah “الذي يقصد فى الحاجات” sesuatu yang menjadi tujuan dalam memenuhi kebutuhan[8] Mujahid berpendapat ash shomad adalah “السَّيِّدُ الَّذِي قَدِ انْتَهَى سُؤْدُدُهُ” Tuan yang tak pernah berakhir kedaulatannya.[9] Sedangkan Sayyid Quthb berpendapat “السيد المقصود الذي لا يقضى أمر إلا بإذنه” ash shomad adalah tuan yang manjadi tujuan yang tidak akan diputuskan suatu perkara kecuali dengan izinnya.[10]

Tadabbur Makna لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah dari nabi saw beliau bersabda: Allah azza wajalla berfirman:
كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعيدَني كَمَا بَدَأَنِي، وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلِيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ. وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا. وَأَنَا الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Anak Adam telah mendustakan-Ku, sedang dia tidak berhak melakukan hal tersebut, dia juga mencela-Ku padahal dia tidak berhak untuk itu. Kedustaan yang dia lakukan terhadap-Ku itu adalah ucapannya, “Dia tidak akan pernah dapat mengembalikan diriku sebagaimana Dia telah memulai diriku, dan tidaklah pengawalan itu lebih mudah dari pengulangannya. Dan caciannya pada-Ku adalah ucapannya bahwa Allah telah mengambil anak, padahal Aku Mahatunggal yang bergantung segala urusan, Aku tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Ku.[11]

Catatan Pustaka
[1] Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Ali al Wahidiy an Naisabury asy Syafi’i: Asbabun Nuzul al Qur’an. Ad Damam : Daar al Ishlah, tt, 471. Diriwayatkan pula oleh Ahmad dalam alfathu ar rabbaaniy 18/243, Ibnu Jarir 30/221, at Tirmidzi dalam sunannya 5/451, al Hakim dalam al Mustadrak 2/540, Ibnu ‘Ady dalam al Kamil 6/2231, al Bukhari dalam riwayatnya dan ibnu huzaimah, dan al baghawi dan ibnul mundzir dan abu syaikh serta al baihaqi: lihat Fath al Qadir 5/513.
[2] Malik bin Anas: Al muwatho. Beirut: Daar al Ihya at Turats, 1406 H. 2/208.
[3] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al Bukhari: al Jami’ Al Musnad as Shahih (Shahih al Bukhari), Daar thowaq an Najah, 1422 H. bab fadhlu qul huwallahu ahad  6/189
[4] Al Jami’ al Musnad ash Shahih, 6/190
[5] Imaduddin Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim. Daar Thayibah li an Nashr wa at Tauzi’. 8/527-528.
[6] Wahbah bin Musthofa Az Zuhaili: Tafsir al Munir. Damaskus: Daar al Fikr al Muashir. 1418 H. 30/465
[7] Sayyid Quthb Ibrahim: Fii Dzilal al Qur’an. Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H. 6/4002
[8] Ahmad bin Musthofa Al maraghi: tafsir al Maraghi. 1365H. 30/264.
[9] Mujahid bin Jabr: Tafsir Mujahid. Mesir: Daar al Fikr al islami al haditsah. 1410 H. 760.
[10] Fi Dzilal al Qur’an 6/4004.
[11] Al Jami’ al Musnad ash Shahih, 6/180