Keajaiban Penciptaan; Tafsir Surat an-Naba Ayat 6-16


Sigit Suhandoyo Kelompok ayat ini, ayat 6 sampai ayat 16, memaparkan keajaiban fenomena penciptaan. Allah ta’ala menginspirasi orang-orang beriman, dengan cara mengungkapkan bukti-bukti nyata penciptaan, agar mereka mempelajarinya dan meneguhkan keyakinan mereka.

Orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan menolak keniscayaannya, dengan berbagai dalih. Bagaimana mungkin manusia yang telah menjadi tulang-belulang, kembali menjadi utuh? Bagaimana mungkin jasad yang telah bercampur dan menjadi tanah kembali seperti semula?

Bukankah Jika Allah ta’ala mampu menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan? Maka alangkah mudahnya bagi Allah untuk menghidupkan kembali segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Dengan pendekatan empiris, manusia dapat meneliti kebenaran hari berbangkit melalui alam wujud yang Allah ciptakan.

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا (6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7) وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11) وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16)

(6)Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? (7)dan gunung-gunung sebagai pasak?, (8)dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan,. (9)dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, (10)dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, (11)dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, (12)dan Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, (13)dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), (14)dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, (15)supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, (16)dan kebun-kebun yang lebat?

Bumi Sebagai Hamparan. Kata (مِهَادًا) mihada berarti hamparan. Setidaknya terdapat 2 kata lain yang juga digunakan untuk mensifati bumi sebagai hamparan, yaitu (فِرَاشًا) pada surat al-Baqarah ayat 22 dan (بِسَاطًا) pada surat Nuh ayat 19. Adapun kata (مِهَادًا) mihada berasal dari kata (المَهْدُ) almahd. Menurut al-Zabidi, pakar susastera dari Abad ke 13 hijriah, kata (المَهْدُ) berarti (المَوْضِعُ يُهَيَّأُ للصَّبِيِّ ويُوَطَّأُ لِينَام فِيهِ) yaitu tempat yang disiapkan bagi anak-anak untuk masuk dan tidur didalamnya. (Taj al-Arus, 1/190). Hal ini sebagaimana perkataan orang-orang kepada Maryam,

فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا

maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?" (Maryam 29)

Penggunaan kata (مِهَادًا) untuk mensifati bumi menunjukkan bahwa, bumi adalah buaian yang nyaman dan menyenangkan untuk didiami oleh manusia. Sebagaimana perkataan Buya Hamka, dengan menghamparkan bumi bagi manusia, Allah menyelenggarakan segala yang ada dibumi bagi kebaikan hidup manusia. (Tafsir al-Azhar 10/7854).

Gunung Sebagai Pasak. Setelah mensifati bumi sebagai buaian yang nyaman, Allah ta’ala melengkapinya dengan menyebutkan gunung sebagai pasak. Menurut asy-Sya’rawi, pasak dimaksudkan untuk menunjukkan fungsi gunung sebagai pondasi yang mengokohkan suatu bangunan. Bumi itu bergerak, jika ia bergerak maka ia berguncang, jika ia berguncang, maka ia memerlukan pasak. (tafsir asy-Sya’rawi 15/16) Dengan demikian sempurnalah pensifatan bumi sebagai buaian karena ia memiliki pasak yang menahan guncangan.

Manusia Diciptakan Berpasangan. Kalau kita cermati dalam kelompok ayat ini, akan kita temukan bahwa ada dua kata kerja yang menunjukkan arti menjadikan. Yaitu kata (جعل) ja’ala dan (خلق) khalaqa. Kata ja’ala terulang lima kali sedangkan kata khalaqa hanya satu kali. Yaitu pada ayat ke 8, tentang penciptaan manusia.

Secara umum kata khalaqa dan ja’ala dalam bahasa Arab dapat digunakan untuk saling mengartikan. Demikian pula akan kita temukan dalam al-Qur’an, banyak tempat penggunaan kata ini yang saling menggantikan. Sehingga menjadi menarik untuk menelusuri, mengapa dikhususkan penggunaan khalaqa pada penciptaan manusia. 

Sebagian ulama tafsir mengemukakan bahwa kata khalaqa adalah penciptaan awal, dari ketiadaan. Sedang ja’ala berarti penciptaan sesuatu yang baru dari unsur yang sudah ada. Sementara kita ketahui bahwa manusia tercipta dari tanah yang merupakan bagian dari bumi. Dengan demikian maka bumi tentu lebih awal diciptakan dari manusia. Melalui penggunaan teks (خلق) seolah Allah menegaskan makna, bahwa begitu mudahnya Allah menghidupkan kembali manusia. Sedang menciptakan manusia dari ketiadaan pun mudah bagi Allah ta’ala. Demikian ungkap Pakar Tafsir Ibnu ‘Asyur. (at-Tahrir wa at-Tanwir 13/30). Pendapat Ibnu Asyur ini bisa kita dalami lebih lanjut melalui ayat berikut, 

لَخَلْقُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (al Mukmin 57)

Pendapat lain terkait makna (خلق) dikemukakan oleh Al-Alusi, Menurut pakar tafsir kelahiran Baghdad ini, kata khalaqa berarti menciptakan sesuatu berdasarkan ukuran yang tepat. (Ruh al-Ma’ani 2/161) sehingga penggunaan kata khalaqa pada penciptaan manusia yang berpasang-pasangan menunjukkan kebangkitan kembali manusia pada hari kebangkitan sebagaimana awalnya. Dengan demikian secara kebahasaan, penggunaan kata (خلق) ini menjawab pengingkaran orang-orang kafir terhadap kebangkitan kembali manusia sebagaimana awalnya.

وَقالُوا أَإِذا كُنَّا عِظاماً وَرُفاتاً أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقاً جَدِيداً

Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?" (al-Isra 49)

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ (3) بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ (4)

Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. (al-Qiyamah 3-4)

Tidur untuk Istirahat, Malam Sebagai Pakaian dan Siang Untuk Mencari Penghidupan. Firman Allah ta’ala terkait hal ini terdapat pula dalam surat al-Furqan ayat 47,

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُورًا

Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.

Penulis Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzhur mengemukakan bahwa kata (سُبَاتًا) subata berarti bahagian yang terputus. Jika seseorang itu tidur, maka ia terputus dari hubungan dengan manusia. Kemudian Ibnu Manzhur mengutip pendapat al-Zajaj bahwa (السُّباتُ) adalah (أَن يَنْقَطِعَ عَنِ الْحَرَكَةِ، والروحُ فِي بَدَنِهِ) yaitu terputus dari pergerakan, dan terlepasnya ruh dari badan. (Lisan al-‘Arab, 2/37).  Sehingga kata ini selain memiliki makna (رَاحَةً) yaitu waktu senggang atau istirahat, kata ini juga bermakna (موتاً) yaitu kematian. (Asas al-Balaghah 1/432). Dengan demikian jika dikaitkan dengan penolakan orang-orang kafir terhadap kebangkitan kembali, maka peristiwa tidur sehari-hari, adalah suatu bukti betapa Allah Maha Kuasa menarik ruh seseorang dan mengembalikannya kembali, tanpa manusia bisa berbuat apapun.

Demikian pula pengaturan Allah ta’ala terhadap alam semesta. Allah jadikan siang dan malam sebagai penanda waktu bagi manusia untuk mengalihkan aktifitasnya utamanya yaitu beristirahat dan beramal. Sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Quthb, bahwa alam semesta Allah jadikan tempat yang sesuai bagi manusia, dan manusia pun Allah berikan berbagai karakteristik yang selaras dengan penciptaan alam semesta. (fi dzilal al-Qur’an 13/32)

Setelah ayat-ayat yang menunjukkan keajaiban penciptaan di bumi. Ayat-ayat selanjutnya –ayat 12 hingga16- menunjukkan keajaiban penciptaan langit dan kemanfaatannya bagi manusia.

Tujuh Langit yang Kokoh. Penggunaan kata tujuh menurut sementara ulama menunjukkan arti banyak, bukan merupakan urutan jumlah setelah 6 atau sebelum 8. Sebagaimana dikemukakan oleh Buya Hamka, bahwa Allah membina langit yang sangat banyak, tempat berbedar berbagai benda-benda langit. Allah ciptakan langit berjuta-juta tahun lalu, sangat luas, hingga berada diluar kemampuan manusia untuk menalarnya. Keterbatasan manusia hendaknya menjadikan manusia menginsafi diri. (tafsir al-Azhar 10/7854-7855).

Matahari, Hujan, Tanaman dan Kebun-Kebun yang Subur.  Diantara benda-benda langit yang Allah ciptakan adalah pelita yang sangat terang, yaitu matahari. Sayyid Quthb mengemukakan ayat-ayat ini menunjukkan runtutan yang serasi dengan desain alam semesta. Langit-langit yang kokoh adalah tempat beredanya matahari, yang memberikan sinar terang bagi terbentuknya awan yang menurunkan hujan. Hingga kemudian tumbuh berbagai tanaman dan terciptalah kebun-kebun yang subur.

Berbagai fakta tentang penataan, pengaturan dan penentuan kadar yang sangat cermat selayaknya menumbuhkan kesadaran akan adanya pencipta Yang Maha Kuasa. Mengilhamkan adanya maksud dan tujuan dibalik kehidupan. Disinilah konteks ayat-ayat ini bertemu dengan berita besar mengenai kebangkitan kembali, yang diperselisihkan oleh orang-orang kafir. (fi Dzilal al-Qur’an 13/35-36).

Ibnu Asyur, seorang pembaharu dari Tunisia memerinci, bahwa secara teks, kata (لِنُخْرِجَ) seharusnya berarti Agar Kami mengeluarkan, --pada terjemah ayat ke 15 ini tertulis “agar Kami menumbuhkan”-- untuk arti menumbuhkan, teks kata yang lebih cocok adalah (لِنُنْبِتَ). Seperti terdapat dalam surat nuh ayat 17-18,

وَاللَّهُ أَنْبَتَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ نَباتاً. ثُمَّ يُعِيدُكُمْ فِيها وَيُخْرِجُكُمْ إِخْراجاً

Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya.

Pemilihan kata linukhrija pada ayat ini, dengan demikian terkait pada tujuan pemaparan kandungan ayat-ayat di atas yaitu untuk membuktikan kuasa Allah mengeluarkan kembali manusia dari kubumya dalam keadaan hidup (at-Tahrir wat Tanwir 26/30-31).

Shihab menambahkan bahwa, penggunaan bentuk kata kerja masa lampau (madhi) pada ayat-ayat di atas mengesankan bahwa hal itu semua telah dilakukan Allah, dan jika Dia berkehendak Dia dapat menghentikan anugerah-Nya itu sehingga bumi dapat tidak nyaman dihuni, malam tidak lagi gelap atau manusia tidak dapat tidur, siang pun dapat dijadikannya tidak dapat dimanfaatkan. (Tafsir al-Misbah 15/8) Semuanya dapat berubah pada waktunya, baik karena kerusakan akibat perbuatan manusia, maupun karena telah habis masa yang Allah tetapkan. Semesta dihancurkan dan kemudian manusia dibangkitkan kembali. Wallahu a’lam bisshowab.

Daftar Pustaka

  1. Abu al-Faidh Murtadha Az-Zabidi, Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, (Mesir: Dar al-Hidayah,tth)
  2. Abu al-Qasim Az-Zamakhsyari, Asas al-Balaghah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet pertama 1998)
  3. Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional Singapura, 1989)
  4. Ibnu Manzhur al-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar sadhr, cet ketiga 1414 H)
  5. Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2016)
  6. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
  7. Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir Min Tafsir al-Kitab al-Majid, (Tunisia: Dar At-Tunisiyah li An-Nasyr, 1984)
  8. Sayyid Quthb Ibrahim, Fi Dzilal al-Qur’an, (edisi terjemah, Jakarta: Rabbani Press, 2001)
  9. Syihabuddin al-Alusi, Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet Pertama, 1415H)


Ancaman Kepada Para Pengingkar Hari Berbangkit

Tafsir Surat an-Naba Bagian Kedua

Sigit Suhandoyo

عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (5

(1).Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? (2).Tentang berita yang besar, (3).yang mereka perselisihkan tentang ini. (4).Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, (5). kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui.

Kelompok ayat-ayat ini menjelaskan tentang perilaku orang-orang Quraisy. Mereka bertanya-tanya tentang berita hari berbangkit. Sebagian meyakini, namun sebagian lainnya tidak bermaksud mencari penjelasan, melainkan menjadikannya bahan cemoohan dan pengingkaran. Padahal hari berbangkit adalah sebuah kepastian yang benar adanya.

Pakar tafsir hukum al-Qurthubi mengemukakan, hari berbangkit bukanlah sesuatu yang bisa diperselisihkan. Kelak orang-orang beriman kepadanya akan mengetahui kebenarannya, demikian pula orang-orang yang ingkar kepadanya akan mengetahuinya pula. Inilah penegasan sekaligus ancaman dari Allah ta’ala bagi mereka yang mengingkari kebenaran hari berbangkit (هُوَ وَعِيدٌ بَعْدَ وَعِيدٍ), ini adalah ancaman setelah ancaman, demikian kutipnya dari al-Hasan (al jami’ li ahkam al-Qur’an 19/170-171).

Menurut Asy-Sya’rawi, pada hari akhir nanti, ketika orang-orang tersebut melakukan perbandingan, maka yang ada adalah kerugian bagi yang diazab. Siksaan berat yang menyakitkan itu, menjadi lebih menyakitkan lagi, ketika melihat kelompok lain mendapat nikmat pada saat penyiksaan berlangsung. Sedangkan orang yang mendapat nikmat kemudian melihat kelompok lain disiksa akan merasakan nikmat yang bertambah-tambah. Saat itulah kerugian akan menjadi nyata bagi orang-orang kafir. (Tafsir asy-Sya’rawi 15/13)

Hari berbangkit adalah sebuah kepastian, sehingga dalam al-Qur’an digunakan pula ungkapan bahwa hari kiamat itu dekat. Karena sesuatu yang pasti terjadi berarti dekat. Orang-orang yang mengingkarinya akan berada dalam kerugian yang berlapis-lapis. Pada dasarnya orang-orang yang mengingkari hari berbangkit adalah karena mereka mengingkari Allah sebagai Pencipta, sehingga dalam kelompok ayat selanjutnya Allah ta’ala berfirman tentang berbagai fenomena penciptaan.

Daftar Pustaka

  1. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964)
  2. Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Duta Azhar, 2016)


'Abasa: Dia Yang Telah Bermuka Masam

Tafsir Surat 'Abasa Bagian Pertama

Kata ‘abasa merupakan bentuk persona ketiga, yang jika diartikan berarti dia telah bermuka masam. Menurut Ibnu Darid (w 321 H), seseorang bermuka masam, ketika ia mengerutkan wajahnya (Zamharat al-Lughah 1/337). Maksudnya adalah  mengerutkan bagian yang terletak diantara kedua alisnya. Al-Farabi (w 350 H) mengemukakan bermuka masam adalah muka yang menjadi gelap, seperti ada sesuatu yang menutupi wajahnya (Mu’jam Diwan al-Adab 2/494). hal ini menunjukkan rasa tidak suka terhadap sesuatu.

Dalam surat ini yang dimaksudkan dengan orang yang bermuka masam adalah Rasulullah saw. Menurut Hamka, teguran kepada Nabi Muhammad saw dengan menggunakan bentuk persona ketiga (dia) dalam ayat ini menjadi bukti bahwa Allah ta’ala menghormati Nabi-Nya. (Tafsir al-Azhar 10/7888). Teguran ini menjadi lebih halus, karena Allah ta’ala tidak langsung menegurnya dengan (عَبَسْتَ) ‘abasta, yang berarti kamu telah bermuka masam. Lebih lanjut Hamka mengemukakan bahwa Allah menghendaki agar Nabi-Nya senantiasa berwajah manis kepada siapapun, apalagi terhadap objek dakwah dan anak didiknya. 

Menurut al-Sya’rawi, kata ‘abasa merupakan teguran Allah kepada nabi-Nya. Hal ini adalah bukti kasih sayang-Nya kepada Rasululah saw. Melalui teguran itu Allah ta’ala menghendaki menjaga adab Nabi agar senantiasa dalam bimbingan-Nya. Teguran itu juga memastikan kepada seluruh manusia akan sifat amanah Nabi Muhammad saw, yang senantiasa menyampaikan firman Allah ta’ala sebagaimana adanya. Wallahu a’lam bishowab.

Sigit Suhandoyo

Daftar Pustaka

  1. Ibnu Darid, Zamharat al-Lughah, (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1987). 
  2. Abu Ibrahim al-Farabi, Mu’jam Diwan al-Adab, (Cairo: Muassasatu Dar al-Sya’b. 2003).
  3. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1989)
  4. Mutawalli asy-Syarawi, Tafsir Juz 30, (Cairo: Akhbar al-Yaum, 2016) 

Para Pencabut Nyawa Yang Keras

Tafsir Surat An-Nazi'at Bagian Pertama

Kata an-Nazi’at berasal dari kata (نَزَعَ) naza’a, yang berarti mencabut sesuatu untuk memindahkannya. Kata ini digunakan untuk menggambarkan pemindahan sesuatu dengan paksa dan kuat (Lisan al-‘Arab 8/349). Al-Azhari (w 370 H) -seorang pakar susatera dari khurasan-  mengemukakan, kata ini juga diartikan yaitu menarik sesuatu dengan keras seperti menarik tali busur untuk melontarkan anak panah (Tahdzib al-Lughah 2/85).

Dalam surat an-Nazi’at sebagian besar pakar tafsir mengemukakan bahwa kata an-Nazi’at adalah Malaikat yang mencabut nyawa orang-orang yang kafir kepada Allah. Menurut Shihab, pencabutan nyawa dengan keras adalah dikarenakan saat sakaratul maut orang-orang kafir diperlihatkan tentang siksa neraka yang akan mereka dapatkan, sehingga mereka mempertahankan ruhnya (Tafsir al-Misbah 15/78). Orang-orang kafir akan mempertahankan ruhnya, karena ia tidak ingin berpisah dengan kehidupan dunia. Bagi orang-orang kafir dunia adalah satu-satunya kehidupan mereka. Hal ini berbeda dengan orang-orang beriman yang hidup di dunia untuk mempersiapkan kehidupan akhiratnya.Wallahu a’lam bishowab.

Sigit Suhandoyo

Daftar Pustaka

  1. Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, 2001)
  2. Ibnu Mandzhur al-Anshari, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadr, 1414 H).
  3. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005).


Berita Yang Pasti Kebenarannya

Tafsir Surat An-Naba Bagian Pertama

Sigit Suhandoyo

Dalam bahasa Arab, kata an-Naba’ biasa diartikan (خبر) khabar, yaitu sesuatu yang bergerak menyebar dari suatu tempat ke berbagai tempat yang lain (Maqayis al-Lughah 5/385).  Kata khabar mewakili seluruh makna berita secara umum, berbeda dengan kata an-Naba’ yang memiliki makna-makna khusus dari sebuah berita.

Menurut pakar susatera, kata an-Naba’ hanya digunakan untuk berita yang spesial, luar biasa dan merupakan hal yang penting. Sehingga terkadang bukti nyata atas sebuah peristiwa juga disebut dengan an-Naba. (al-Kulliyat 886)  Lebih lanjut menurutnya an-Naba adalah berita yang dipastikan benar, dan tidak mengandung kebohongan. Suatu berita disebut sebagai an-Naba dikarenakan memilki kemanfaatan yang besar dalam mengembangkan pengetahuan dan menghilangkan keraguan.(al-Kulliyat 900)

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Zabidi. Menurutnya An-Naba’ terkadang dimaknai sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini menggambarkan keutaamaan dari kebenaran isi suatu berita yang kemudian menyebabkan orang tergantung padanya. An-Naba merupakan berita yang mengarahkan orang untuk mengikuti isi berita. (Taj al-Arus 1/444) 

Dalam surat an-Naba, kata ini dikaitkan dengan kata (العظيم) al-azhim, untuk menguatkan pesan bahwa berita tentang hari akhir bukanlah berita biasa tetapi luar biasa. Hari akhir adalah kebenaran yang pasti terjadi. Kejelasan peristiwanya didukung oleh informasi pengetahuan dan bukti-bukti nyata yang mengantarkan pada keyakinan, orang-orang yang tidak mau menerima isi berita ini dipastikan akan celaka. Wallahu a’lam bishowab.

Sigit Suhandoyo

Daftar Pustaka

  1. Abu al-Biqai al-Hanafi, al-Kuliyat Mu’jam fi al-Musthalahat wa al-Furuq al-Lughawiyah, (Beirut; Muassasatu al-Risalah, tth)
  2. Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
  3. Murtadha al-Zabidi, Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, (Mesir: Dar al-Hidayah, tth).


Tafsir Surat al Mulk Bagian 3


Tafsir Surat al Mulk Ayat 6-11

Dan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, memperoleh adzab Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali(6). 

Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak(7),

hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir). Penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?"(8). 

Mereka menjawab: "Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan (nya) dan kami katakan: "Allah tidak menurunkan sesuatu pun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar"(9). 

Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala"(10). 

Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala(11).

Tafsir Surat al Mulk Bagian 2

Tafsir Surat al Mulk ayat 1-5


Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (1). Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (2). Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?(3). Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah (4). Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala (5).

Tafsir Surat al Mulk bagian 1

Pembukaan Surat al-Mulk

Surat al-Mulk "الملك", biasa juga disebut dengan surat Tabarak "تبارك".Tergolong ke dalam surat Makiyah (surat yang turun sebelum hijrah Nabi saw ke Madinah). Merupakan surat yang ke 67 dalam penomoran surat berdasarkan mushaf Usmani, terdiri dari 30 ayat.

Menurut Jalaluddin as-Suyuti, surat al Mulk diturunkan setelah surat ath-Thur dan sebelum surat al-Haaqqah. Surat ini bertemakan, peneguhan keberadaan Allah dengan menjelaskan manifestasi dari kemampuan dan ilmu-Nya, dan memaparkan segala hal pada Hari Kiamat, serta menjelaskan beberapa karunia-Nya bagi para hamba-Nya. Pakar hadits at-Tirmidzi menyampaikan bahwa keutamaan surat ini adalah penghalang dan penyelamat, yang menghalangi para pembaca dan pengamal surat ini dari azab kubur.

Hadits 30: Rambu Rambu Allah


عَنْ أَبِيْ ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ جُرثُومِ بنِ نَاشِرٍ رضي الله عنه عَن رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلا تُضَيِّعُوهَا، وَحَدَّ حُدُودَاً فَلا تَعْتَدُوهَا وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلا تَبْحَثُوا عَنْهَا) حديث حسن رواه الدارقطني وغيره.

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, jurtsum bin Nasyir radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya”.

Hadits 29: Pintu Pintu Kebaikan

عَن مُعَاذ بن جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ: قُلتُ يَا رَسُولَ  الله أَخبِرنِي بِعَمَلٍ يُدخِلُني الجَنَّةَ وَيُبَاعدني منٍ النار قَالَ: (لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ لاَتُشْرِكُ بِهِ شَيْئَا، وَتُقِيْمُ الصَّلاة، وَتُؤتِي الزَّكَاة، وَتَصُومُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ البَيْتَ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الخَيْرِ: الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ المَاءُ النَّارَ، وَصَلاةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ تَلا: (تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ) حَتَّى بَلَغَ: (يَعْلَمُونْ) (السجدة: 16-17) ثُمَّ قَالَ: أَلا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُولَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلامُ وَعَمُودُهُ الصَّلاةُ وَذروَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ ثُمَّ قَالَ: أَلا أُخبِرُكَ بِملاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُولَ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ يَانَبِيَّ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَامُعَاذُ. وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَو قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلسِنَتِهِمْ) رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح.

Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu, ia berkata : Aku berkata : “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang digampangkan oleh Allah ta’ala. Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke Baitullah”.

Hadits 2: Islam, Iman dan Ihsan


الإسلامُ و الإيمانُ و الإحسانُ

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَاب شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النبي صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله، وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِالله، وَمَلائِكَتِه، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِر، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها، قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثَ مَلِيَّاً ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوله أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ) 

Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah shallallahualaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi shallallahualaihi wa sallam, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi shallallahualaihi wa sallam.
kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah shallallahualaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi Shallallahualaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab, ”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8]

Hadits 1: Segala Perbuatan Tergantung Niatnya


إنَمَا الأعْمَالُ بِالنِيَاتِ

عَنْ أَمِيرِ المُؤمِنينَ أَبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ تعالى عنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوله، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَة يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه 

Dari Amirul Mukminin Abi Hafs Umar bin Khattab ra, berkata; “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda”. “Segala amal perbuatan tergantung pada niatnya dan bagi setiap orang hanyalah apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah hanya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia inginkan.” (hr Bukhari & Muslim)