Keniscayaan Ukhuwwah



أخوة الدين لا تنقطع بمخالفة النساب             
Tak terputus persaudaraan agama karena perbedaan nasab. (Ali Abdul Halim Mahmud)

Ukhuwwah terlahir dari sebuah rahim yang bernama kesetiaan, kesetiaan aqidah, setia memegang janji kepada Allah dan sekali-kali tidak merubahnya. Jika mujahadah pengorbanan dengan jiwa dan harta adalah ukuran kesetiaan aqidah, maka seperti itu pula ukuran yang berlaku bagi ukhuwwah. Adakah Allah tujuan yang lebih utama bagi jiwa dan harta. “jika tiada Allah dihatimu, pada siapa kau kan berharap?” (Ibnu Rajab)

Jika Allah menguji dengan keburukan saudaramu, sanggupkah kau selamatkan hatimu dengan melakukan pertolong-an pertama padanya, yaitu berlapang dada. Atau sanggupkah dirimu menggapai tangga teratas ukhuwwah – itsar – bagi saudara mu yang memerlukan pertolongan. Perkataan yang baik, nasihat dengan haq dan sabar, senyum ramah dan simpati yang dalam adalah peredam bagi keburukan dan kesulitan ikhwah kita. “tiadalah kebaikan yang ringan itu menjadi sulit dan berat melainkan bagi orang-orang yang ada nifaq di hatinya.” (al mawardi)

Makna kecintaan dan persaudaraan lahir diantara sahabat Anshor dan Muhajirin sejak ta’aruf mereka yang pertama. Kekuatan aqidah menjadikan mereka memiliki kekuatan ukhuwwah dan wihdah. Sadarlah bahwa kesempatan beramal itu terbatas, hari-hari berlalu tanpa kembali, dan tak lama lagi akhir perjalanan akan diraih. Maka dapatkanlah keunggulan amal dengan semangat ukhuwwah. Mementingkan diri sendiri, sombong, dan merasa diri sendirilah pemilik kebenaran adalah berhala yang harus dihancurkan. “Kesucian jiwa, keluhuran budi, kerendahan hati, kemuliaan akhlaq, kejujuran, kecintaan dan keseriusan dalam menekuni tujuan yang mulia adalah bukti kekuatan aqidah, (Muhammad Quthb)  bukti kekuatan ukhuwwah. Untuk bangkitnya, ummat ini membutuhkan orang-orang ikhlas yang bekerja dalam sebuah ikatan yang kokoh” (yusuf al qaradhawi)

Jika kemenangan ingin diraih penuhilah tuntutan ukhuwwah islamiyyah, berpegang teguh kepada tali Allah dengan menjadikan alQur’an dan hadits sebagai jalan hidup, jauhi perpecahan, satukan hati atas cinta kepada Allah dan serulah manusia kejalan Allah. (ali abdul halim Mahmud)
 
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Kalian bersama prasangka kalian, sesungguhnya prasangka itu seburuk-buruk perkataan, janganlah saling mencari-cari keburukan, janganlah saling mengadu domba, janganlah saling mendengki, janganlah saling bermusuhan, janganlah saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.[1]

“Maka marilah menjalani hidup bersama saudara seiman dengan mawaddah, lemah lembut, belas kasih, saling pengertian dan tolong-menolong dalam kebaikan dengan hati yang bening dan nasihat.” (imam an-nawawi) Karena kesempurnaan imanmu juga terukur dari kadar cinta pada saudaramu…(ahmad ibn hanbal)
hasbunallah wa ni’mal wakil

[1] Imam al Bukhari: Shahih Bukhari, Daar thuq an najah, 1422 H, jilid 8 hlm 19 hadits ke 6064, hadits dari Abu Hurairah ra.

Da’wah Fardiyyah



Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" ( al Fushilat 33)

Da’wah adalah cinta, da’wah adalah kasih sayang. Energinyalah yang menggerakkan lisan kekasih-Nya Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam untuk berdo’a bagi kebaikan kaum yang melemparinya batu hingga berdarah-darah. Para penyeru di jalan Allah bukanlah para hakim. “Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta, sesaatpun kami tak akan pernah menjadi musuh bagi kalian” (Hasan al Banna)

Da’wah adalah kehormatan, da’wah adalah harga diri. Tak nanti para pelakunya berbuat sebelum ia tercermin pada diri mereka. Da’wah adalah lambang integritas seorang muslim. Tak lemah menyeru manusia untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan, meski mereka menentangnya. Tak kenal putus asa karena Allah adalah sebaik-baik tempat kembali. Kesabaran beramal sholeh, menyerukannya dan berserah diri kepada Allah adalah kehormatan seorang muslim. Apatis membiarkan ummat ini tersesat adalah kehinaan. Muslim sejati tak sanggup hidup tanpa kehormatannya. “Bertahun-tahun kita sanggup hidup tanpa makanan dan tempat tinggal. Tetapi demi Allah mustahil kita bisa hidup tanpa harga diri dan kehormatan” (Abdur Rabbi Rasul Sayyaf)

Da’wah adalah jalan keselamatan yang ditempuh oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikutnya. Mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyyah kepada cahaya Islam, dari kekufuran kepada keimanan, dari kemusyrikan kepada tauhid dan dari siksa neraka kepada kenikmatan surga.

Demikianlah da’wah ilallah, selain sebuah kewajiban,  dengannya seorang muslim hidup, mewujudkan cinta kasih kepada sesamanya dan meraih kemenangan besar dari Allah ta’ala. 

Tak pelak lagi da’wah fardiyyah dalam perkara ini adalah solusi bagi setiap muslim. Menabur fikrah kepada individu terdekat, menjaga, memelihara dan menumbuhkan fikrah tersebut hingga akhirnya mereka menjadi pendukung fikrah, berhasil meski tanpa melalui mimbar dan podium. 

Bersemangat tak yakin kata mustahil, mengubah kondisi kritis menjadi produktif dan senantiasa teguh di atasnya. “seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (al fath 29)

Terminologi Da’wah Fardiyyah
Da’wah berasal dari kata (دعا – يدعو – دعواً – دَعوة - دعاءً) yang berarti (طلب إحضاره) menuntut kehadiran sesuatu, (احتاج إليه) membutuhkannya, (استعان به) meminta pertolongan dengannya, (رغب إليه و ابتهل) kembali kepadanya dan (رجا منه الخير) mengharapkan kebaikan darinya.[1]     Sedangkan al fardiyah menurut bahasa adalah (نزع الفرض إلى التحرّر من سُلطَانِ جَمَاعَةٍ) lepasnya pribadi dari ikatan kelompok untuk mendapat kebebasan.[2]

Dengan demikian secara bahasa dapat kita artikan bahwa da’wah fardiyyah adalah menuntut sesuatu kepada seorang objek da’wah karena kita mengharapkan pertolongan dan kebaikan dari orang tersebut.

Istilah da’wah fardiyyah menurut syaikh ‘Aqil al Muqtiri[3], adalah,
دعوة الناس منفردين فالفردية هنا من حيث المدعو، فالفردية في هذا النوع من حيث الداعي منفردًا بعمله مستقلًا بآرائه.
Berda’wah kepada manusia secara individual, yang dimaksud fardiyyah adalah dari aspek objek da’wah dan da’i dengan kelebihannya secara pribadi.
      
Dr Sayyid Muhammad Nuh[4] berpendapat bahwa da’wah fardiyah adalah,
التوجه بالدعوة أو الخطاب إلي المدعو علي انفراد ، أو مع جمع قليل من الناس لهم صفة الخصوص دون العموم
Mengarahkan dengan da’wah atau seruan kepada objek da’wah secara individual, atau dengan sekelompok kecil manusia dengan pendekatan yang khusus.

Da’wah jenis ini berarti seorang da’i memberikan perhatian secara khusus kepada orang yang diserunya, menjalin erat persahabatan dan persaudaraannya karena Allah ta’ala. [5] bahkan ada yang mendefinisikan da’wah fardiyyah adalah (الدعوة الفردية: بالنصيحة الأخوية، والهدية الرمزية) berda’wah melalui menasihati dengan cara kasih sayang dan hadiah yang mengesankan.[6]

Dari definisi-definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa da’wah fardiyyah merupakan da’wah yang bersifat khusus dan sangat personal, terkait dengan unsur da’i dan objek da’wahnya. Sehingga terjalin hubungan persaudaraan yang erat dan hangat.

Urgensi Da’wah Fardiyyah
Urgensi da’wah fardiyyah dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu dari aspek juru dakwah, aspek jama’ah dan aspek masyarakat.

a. Aspek Juru Da’wah
Da’wah menjadi penting bagi da’i adalah karena da’wah fardiyyah merupakan kewajiban syari’at dan memiliki keutamaan yang besar. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam memerintah-kannya  kepada kita,
فَقِّهُوا أَخَاكُمْ فِي دِينِهِ وَأَقْرِئُوهُ الْقُرْآنَ وَأَطْلِقُوا لَهُ أسِيرَهُ
Fahamkanlah saudaramu dalam hal agamanya dan bacakanlah baginya Al Qur’an dan ringankanlah baginya bebannya.[7] 

Allah ta’ala berfirman dalam surat Al Fushilat 33-35,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.
            
Qatadah berkata[8], “mereka itulah hamba yang senantiasa benar perkataan dan perbuatannya, lahir dan batinnya, ketika sedang sendirian maupun ketika di keramaian, senantiasa beramal tanpa keinginan untuk menampakkannya.” (هذا عبد صدّق قولَه عملُه، ومولَجه مخرجُه، وسرَّه علانيته، وشاهده مغيبه.) Ibnu Abbas berkata[9], “Allah memerintahkan orang-orang beriman dengan sabar ketika marah, bijaksana dan memaafkan ketika terjadi kesalahan, maka ketika kalian melakukannya Allah akan menjagamu dari syetan dan melemahkan bagi kalian musuh kalian, seolah-olah Allah telah menjadi teman setia bagi kalian.” (أمر الله المؤمنين بالصبر عند الغضب، والحلم والعفو عند الإساءة، فإذا فعلوا ذلك عصمهم الله من الشيطان، وخضع لهم عدوُّهم، كأنه وليّ حميم). Al hasan berkata, “Dan demi Allah tidak ada keberuntungan yang lebih besar melainkan jannah”. (والله ما عظم حظ قط دون الجنة)[10]

b. Aspek Jama’ah
Da’wah fardiyyah adalah solusi bagi jama’ah da’wah. Da’wah fardiyyah adalah penopang jama’ah, kelangsungan dan kesinambungan jama’ah da’wah sangat bergantung kepada ketersediaan para pengusung fikrah jama’ah da’wah tersebut. Dan da’wah fardiyyahlah sarana menumbuhkan para pendukung fikrah jama’ah. Da’wah fardiyyah akan menghasilkan pribadi-pribadi yang berpegang teguh kepada agamanya dengan senantiasa membela dengan pembelaan yang tinggi.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah… (Ali Imran 110).

Abu Hurairah ra berkata[11], “Kami manusia terbaik bagi manusia, mengajak mereka secara terkoordinir kepada Islam”. (نَحْنُ خَيْرُ النَّاسِ لِلنَّاسِ نَسُوقُهُمْ بِالسَّلَاسِلِ إِلَى الْإِسْلَامِ). 

Umar ibn Khattab ra berkata[12], “kuntum dikhususkan bagi sahabat-sahabat Muhammad saw, dan siapapun yang berbuat sebagaimana perbuatan mereka maka mereka pula ummat terbaik” (كُنْتُمْ فِي خَاصَّةِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ وَمَنْ صنع مثل صَنِيعَهُمْ كَانُوا خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ). 

Sayyid Quthb mengatakan[13], “Ungkapan ukhrijat menggambarkan suatu gerakan yang tersembunyi yang rahasia, suatu gerakan yang indah yang merayap perlahan, namun gerakan ini mengeluarkan ummat kepentas dunia, yaitu ummat yang memiliki peranan khusus, maqam khusus dan hisab yang khusus pula.” (إنها كلمة تصور حركة خفية المسرى، لطيفة الدبيب. حركة تخرج على مسرح الوجود أمة. أمة ذات دور خاص. لها مقام خاص، ولها حساب خاص). Itulah da’wah fardiyyah.
           
c. Aspek Masyarakat
Da’wah fardiyyah adalah kebutuhan yang mendesak, hal ini dikarenakan masyarakat baru memahami bahwa da’wah berbentuk perayaan-perayaan, tabligh-tabligh, seminar-seminar dan sejenisnya. Padahal ini tidaklah cukup, perencanaan, praktek, diskusi dan evaluasi atas amaliah akan lebih terpenuhi melalui da’wah fardiyyah. Berikut diantara urgensi da’wah fardiyyah bagi masyarakat,[14]

Memungkinkan mengevaluasi penerapan amaliyah melalui pengarahan  kewajiban atas individu.( بالدعوة الفردية يمكن متابعة التطبيق العملي للتوجيهات الملقاة على الأفراد.)

Memungkinkan menghilangkan keragu-raguan yang terjadi ketika mengikuti da’wah jama’iyyah. (بالدعوة الفردية يمكن الرد على كثير من الشبهات التي تُلْقى على مسامع الأفراد والتي لا يمكن التحدث بها في الدعوة الجماعية.)

Dengan da’wah fardiyyah memungkinkan penanaman dasar-dasar keislaman yang benar dan memungkinkan diskusi terhadapnya dengan serius dan jelas. (بالدعوة الفردية يمكن غرس المبادئ الإسلامية الصحيحة ويمكن التحدث عنها بكل جدية ووضوح)

Dengan da’wah fardiyyah memungkinkan menyampaikan kebenaran kepada orang-orang yang menolak datang untuk belajar pada majelis. (بالدعوة الفردية يمكن إيصال الحق إلى الذين نفروا عن سماعه وعن مجالسة أهله.)
           
Langkah-Langkah Da’wah Fardiyyah
Menurut Sayyid Muhammad Nuh ada tiga langkah utama da’wah fardiyyah yaitu, ta’aruf, kemudian meluruskan pemahaman keislaman dan membentuk kecenderungan, terakhir menanamkan loyalitas yang benar.[15]

Menurut ‘Aqil al Muqtiri da’wah fardiyyah memiliki beberapa pendekatan[16] yaitu,
·  membina silaturahim dengan objek da’wah melalui ta’aruf yang berkesan.
· membangkitkan kekuatan iman objek da’wah yang mungkin sedang lesu,
· memberikan pengarahan kepada objek da’wah untuk memperbaiki ibadah dan adab sehari-hari,
· menjelaskan kepada objek da’wah tentang syumuliyah Islam, bahwa Islam bukan hanya ibadah mahdah belaka,
· menjelaskan kepada objek da’wah tentang aspek-aspek jama’iyyah dalam Islam,
· menjelaskan kepada objek da’wah tentang realita ummat dan kewajiban berda’wah, terakhir mengobarkan semangat objek da’wah untuk berkesinambungan dalam menuntut ilmu.

Penutup
Seandainya sebuah kelurahan memiliki 30 kader da’wah, masing-masing berda’wah fardiyyah kepada 5 orang hingga berhasil menjadi muayyid (penegak da’wah) selama 3 tahun. Maka pada tahun ketiga akan ada 150 kader da’wah baru, tahun ke enam 750, tahun ke Sembilan 3.750, tahun kedua belas 18.750, tahun kelima belas 93.750.

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Demi Masa, Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (al Ashr 1-3).

Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil

[1] Ibrahim Musthofa et.al. : Al Mu’jam al Wasith. Turki: al Maktabah al Islamiyyah li at thiba’ah wa annashr wa attauji’. tt, hlm 286.
[2] Ibid, hlm 680
[3] ‘Aqil al Muqtiri: ad Da’watu al Fardiyyah wa Ahammiyatuha fi Tarbiyati al ajyal. Saudi Arabia: Wizaratu al Awqaf as Su’udiyyah. tt, hlm 3.
[4] Sayyid Muhammad Nuh: Fiqh ad Da’wah al Fardiyyah fi al manhaj al Islami. Mesir: Daar al Wafa li ath thiba’ah wa an nashr. 2000 M, hlm 6
[5] DR Ali Abdul Halim Mahmud: Dakwah Fardiyah (terjemahan). Jakarta: Gema Insani Press, 2004 M, hlm 26.
[6] Dr Sa’id bin Wahf al Qahthani: al Hikmah fi ad Da’wah ila Allah ta’ala. Saudi Arabia: Wizaratu asy syuun al islamiyyah wal awqaf wa ad da’wah wal irsyad. 1423 H, hlm 128.
[7] Abul Qasim ath Thabrani: al Mu’jam al Kabir. Mesir: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1415 H, juz 17 hlm 58 hadits ke 118.
[8] Ibnu Jarir ath Thobari: Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H, jilid 21, hlm 469.
[9] Ibid, jilid 21, hlm 471.
[10] Abul hasan ali al mawardi: an nukat wal uyun. Beirut: Daar al kutub al ilmiyyah, tt. Jilid 5, hlm 182.
[11] Imam al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, jilid 4, hlm 170.
[12] r Razi Ibnu Abi Hatim: tafsir al qur’an al adzhim. Saudi Arabia: maktabatu an nizaari musthofa al baaz, cet 3, 1419 H, jilid 3, hlm 732.
[13] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H, jilid 1, hlm 447.
[14] ad Da’watu al Fardiyyah wa Ahammiyatuha fi Tarbiyati al ajyal, hlm 7.
[15] Dr. Sayyid Muhammad Nuh: Fiqh Da’wah dalam kumpulan mualifatnya, www.alsayednooh.com.
[16] Lihat ad Da’watu al Fardiyyah wa Ahammiyatuha fi Tarbiyati al ajyal, hlm 11- 18.

Kejujuran Cinta


العصمة من الله لعبده دليل على الرحمة منه
Penjagaan Allah atas seorang hamba dari dosa, bukti cinta kasih-Nya kepadanya.  Abu Thalib al Makki

Siapakah yang senang didustai, dikhianati, terlebih dalam perkara cinta. Sejarah mencatat bahwa cinta, kasih sayang, persatuan dan persaudaraan adalah rahasia kekuatan, rahasia kemenangan perjuangan. Sedangkan dusta, tak saling percaya dan khianat adalah jalan kehancuran.

Pecinta yang jujur niscaya memperoleh kemuliaannya, karena kebersamaan bagi mereka adalah kesempatan terbaik dalam hidup. Imam syafi’i mengatakan “setiap kekasih pada kekasihnya pastilah setia”. Ibnul qayyim menambahkannya, “Allah ta'ala telah menetapkan pada saat menentukan takdir makhluqnya, bahwa seseorang pasti bersama dengan yang kekasihnya.”

Kejujuran cinta membuka jalan menuju syurga dunia dan akhirat, “baiti jannati”. Maka benarlah mereka yang tidak memiliki cinta hidupnya akan gelisah dan penuh derita.

Begitulah diantara sifat cinta kasih Allah ta’ala, ia jaga hamba-Nya agar tidak bermaksiat, hingga hamba itu menjadi dekat kepada-Nya. Ibnu Abi Hatim mengatakan “غَفُورٌ لِمَا كَانَ مِنْهُمْ قَبْلَ التَّوْبَةِ رَحِيمٌ بِهِمْ بَعْدَ التَّوْبَةِ” mengampuni mereka sebelum bertaubat dan melimpahkan cinta kasih-Nya kepada mereka setelah taubat.

Kejujuran cinta diantara hamba adalah saling menjaga diantara mereka, saling menasihati diantara mereka, ruhama-u baynahum. Menginginkan kebaikan bagi sesamanya. “kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus kehormatan ummat ini, jika memang tebusan itu yang dibutuhkan, atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan dan terwujudnya cita-cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar. Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap demikian selain rasa cinta yang mengharu biru hati kami, menguasai perasaan kami, memeras habis air mata kami dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami.” Hasan alBanna.

Itulah kejujuran cinta, Jujurlah mencinta kekasihmu dengan seluruh hati, segenap jiwa dalam menuntunnya kejalan Allah, karena engkaupun sedang meniti jalan itu. “mencinta yang Allah cinta, membenci yang Ia benci, meraih ridha-Nya sekuat kemampuanmu.”(abdurrahman bin Hasan). Tidakkah ingin engkau mengabadikan selalu saat-saat indah itu bersama.

Kepada saudara seperjuangan, salinglah memberi syafa’at dengan mema’afkan, agar kelak di mahkamah Allah kita tidak saling menuntut hingga menghabiskan pahala. (فإن المسكين من آثر لذة متقطعة، واشترى بها عذاباً شديداً) “sungguh orang melarat itu yang mendahulukan kelezatan hawa nafsu dunianya dan tak sadar menukarnya dengan azab yang kekal.” (Ibnul Qayyim)

"Orang-orang Mukmin selamat dari neraka pada hari kiamat, lalu mereka tertahan di atas jembatan antara surga dan neraka. Sebagian diantara mereka meminta qishash dari yang lain atas kedzaliman di antara mereka selagi di dunia…."[1]

[1] Imam Bukhari : Shahih Bukhari, Damaskus: Daar Thuq an Najah,1422H. Hadits dari Abu Sa’id al Khudri, hadits ke 6535, juz 8 hlm 111.

Tafsir Tadabbur : Surat al Lahab / al Masad



تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang dilehernya ada tali dari sabut.

Sebab Turunnya Ayat 

Al Wahidy[1] meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra ia menuturkan:
صَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ذَاتَ يَوْمٍ الصَّفَا فَقَالَ: "يَا صَبَاحَاهُ"، فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ فقالوا له: مالك؟ فَقَالَ: "أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ الْعَدُوَّ مُصَبِّحُكُمْ أَوْ مُمَسِّيكُمْ أَمَا كُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي؟ " قَالُوا: بَلَى، قَالَ: "فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ"، فَقَالَ أَبُو لَهَبٍ: تَبًّا لَكَ، ألهذا دعوتنا جمعيا؟! فَأَنْزَلَ اللَّهُ - عَزَّ وَجَلَّ - {تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ} إِلَى آخِرِهَا.
Pada suatu hari Rasulullah saw naik kepuncak bukit shafa, lalu berseru, “waspadalah!” lalu berkumpullah orang-orang Quraisy kepadanya, mereka bertanya, “ada apa engkau?” Rasulullah saw berkata, “bagaimana menurut kalian jika aku beritahukan kalian bahwa musuh akan menyerang kalian secara tiba-tiba pada pagi hari atau sore hari, apakah kalian akan mempercayaiku?” mereka menjawab, “tentu” beliau berkata lagi, “sesungguhnya aku memperingatkan kalian tentang adzab yang sangat pedih”. Abu Lahab lalu berkata, “binasalah engkau, apakah untuk ini engkau mengundang dan mengumpulkan kami?” maka Allah menurunkan ayat ini hingga akhir surat.

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

Abu Lahab adalah paman Nabi saw, nama lengkapnya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Ia dipanggil Abu Lahab  karena wajahnya yang cerah. Ia dan istrinya Arwa binti Harb bin Umaiyyah (saudara perempuan Abu Sofyan) termasuk orang yang paling keras menyakiti Rasulullah saw.[2]

Abu Lahab senantiasa menghalang-halangi orang dari kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ibnu Ishaq meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Husain bin Abdullah bin Ubaidillah bin Abbas, ia berkata, Aku mendengar Rabi’ah bin Ibad ad Daili berkata, “sesungguhnya ketika aku masih muda pernah bersama ayahku melihat Rasulullah saw mendatangi kabilah-kabilah, sedangkan dibelakangnya ada seorang laki-laki juling, bermuka cerah dan berkuncir. Rasulullah saw berdiri menghadapi kabilah lalu bersabda,

يَا بَنِي فُلَانٍ، إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ، آمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تُصَدِّقُونِي وَتَمْنَعُونِي (2) حَتَّى أُنْفِذَ عَنِ اللهِ مَا بَعَثَنِي بِهِ
“Wahai Banu Fulan, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah bagi kalian. Aku memerintahkan kepada kalian agar kalian menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, membenarkan aku dan membelaku hingga aku dapat melaksanakan misi yang ditugaskan Allah kepadaku.”

Setiap kali Nabi saw selesai dari perkataannya, orang lain yang ada di belakangnya itu berkata, “wahai banu fulan sesungguhnya orang ini menginginkan agar kalian meninggalkan latta, uzza dan sekutu-sekutu kalian dari bangsa jin dan banu Malik bin Aqmas, lalu kalian mengikuti bid’ah dan kesesatan yang dibawanya. Karena itu janganlah kalian mendengarnya dan mengikutinya.” Kemudian aku bertanya kepada bapakku, “siapa orang ini?” Bapakku menjawab, “pamannya, Abu Lahab.”[3]

Selain itu jika ada utusan dari daerah lain yang ingin bertemu Rasulullah saw, Abu Lahab senantiasa berusaha menemui mereka terlebih dahulu, lalu ia bertanya-tanya tentang apa yang  mereka ketahui dari diri nabi saw, mereka menjawab, “tentu engkau lebih mengenalnya dibanding kami”. Lalu Abu Lahab akan berkata, “dia adalah seorang pendusta dan penyihir.” Maka para utusan tersebut pun kembali ke daerahnya dan mengurungkan niat untuk menemui nabi saw.[4]

Al Mawardi meriwayatkan bahwa setelah istri Abu Lahab mendengar apa yang terjadi dengan suaminya dan apa yang disebutkan di dalam al Qur’an ia mencari-cari Nabi saw. Pada saat itu beliau sedang duduk bersama dengan Abu Bakar. Akan tetapi ketika istri Abu Lahab yang membawa batu yang sangat keras tiba di masjid, seketika Allah mengambil penglihatannya atas Nabi saw. Ia hanya melihat  Abu Bakar saja. Lalu ia berkata kepada Abu Bakar, “wahai Abu Bakar, aku mendengar sahabatmu telah menyindirku, aku bersumpah apabila aku bertemu dengannya maka akan aku pukul mulutnya dengan batu ini. Dengarkanlah syairku ini wahai Abu Bakar,

مُذَمَّمًا عَصَيْنَا  وَأَمْرَهُ أَبَيْنَا  ودينه قلينا
“kepada Mudzammam (orang yang tercela) kami menentang dan menolak segala perintahnya, dan kami membenci agama yang dibawanya.”

Setelah ditinggal oleh istri Abu Lahab, Abu Bakar  kebingungan dan berkata kepada Nabi saw, “wahai Rasulullah, apakah engkau tidak melihat bagaimana ia tidak bisa melihatmu?” Nabi saw menjawab, “ia memang tidak dapat melihatku, Allah telah mengambil penglihatannya terhadapku.”[5]

Demikianlah beberapa peristiwa yang menggambarkan perilaku Abu Lahab menghalangi da’wah Nabi Muhammad saw, hingga ia mendapatkan kecaman dari Allah ta’ala.

Mengenai kata tabba menurut al Farra’ berarti “خسر” atau merugi. “فالأول: دعاء، والثاني: خبر” yang pertama disebutkan dalam ayat adalah do’a, sedangkan yang kedua adalah pemberitahuan.[6]
 
Definisi lain sebagaimana disampaikan qatadah, ia mengartikannya “خسرت” merugi, Ibnu Abbas mengartikannya “خَابَتْ” kecewa. Atha mengartikannya “ضَلَّتْ” tersesat. Dan Ibnu Jubair mengartikanya dengan “هَلَكَتْ” binasalah. Menurut al Qurthubi penyebutan tangan secara khusus adalah untuk makna celaka. Bahkan masyarakat Arab terkadang menyebutkan kata tangan untuk mewakili seluruh tubuh. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al hajj 10 “بِما قَدَّمَتْ يَداكَ” yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu.” Maksudnya adalah segala yang kamu lakukan terdahulu. [7]

Demikianlah ayat pertama ini merupakan pembelaan Allah terhadap Rasulullah saw atas segala makar orang-orang yang membenci beliau terutama Abu Lahab
.
Sayyid Quthb menyebutkan “ففي آية قصيرة واحدة في مطلع السورة تصدر الدعوة وتتحقق، وتنتهي المعركة ويسدل الستار!” di dalam satu ayat yang pendek di awal surat ini do’a itu muncul dan terwujudkan, sehingga pertempuran berakhir dan layar ditutup.[8]

Rasulullah saw pun pernah berkata terkait dengan hal ini, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah ra,
أَلاَ تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللَّهُ عَنِّي شَتْمَ قُرَيْشٍ وَلَعْنَهُمْ، يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا، وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا وَأَنَا مُحَمَّدٌ
Lihatlah bagaimana Allah telah menghilangkan cacian kaum Quraisy dariku, mereka telah mencela dan mencercaku dengan panggilan mudzammam padahal namaku adalah Muhammad.[9]

مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan

Ibnu Jarir ath Thobari menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah “أيّ شيء أغنى عنه ماله، ودفع من سخط الله عليه ” Harta bendanya tidak berguna baginya dan tidak dapat mencegah kemurkaan Allah terhadapnya.[10] Demikian pula pendapat al Qurthubi “أَيْ مَا دَفَعَ عَنْهُ عَذَابَ اللَّهِ مَا جَمَعَ مِنَ الْمَالِ، وَلَا مَا كَسَبَ مِنْ جَاهٍ” bahwa segala harta yang ia miliki dan semua kehormatan yang ia cari tidak akan dapat menyelamatkannya dari azab Allah.[11] Sayyid Quthb mengaitkan ayat kedua ini dengan ayat pertama, “لقد تبت يداه وهلكتا وتب هو وهلك. فلم يغن عنه ماله وسعيه ولم يدفع عنه الهلاك والدمار” sungguh kedua tangannya telah putus dan binasa dan sungguh dia telah binasa dan hancur. Sehingga harta benda dan usahanya tidak berguna baginya dan tidak bisa menolak kebinasaan dan kehancuran baginya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa semua ini adalah balasan yang terjadi di dunia dan di akhirat kelak ia & istrinya akan masuk neraka sebagai mana ayat selanjutnya.[12]

Kalimat “كَسَبَ” menurut Mujahid berarti “وَلَدَهُ” anak-anaknya.[13] Hal  ini sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw pernah bersabda
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
Sesungguhnya makanan yang paling baik yang dimakan seseorang adalah makanan yang didapat dari hasil usahanya sendiri. Dan anak-anaknya juga termasuk hasil usahanya.[14]

سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak
           
Ayat ini menegaskan bahwa kelak Abu Lahab akan masuk kedalam api neraka yang bergejolak. Al Qurthubi menjelaskan makna al lahab sebagaimana dalam surat al mursalat ayat 31 “لَا ظَلِيلٍ وَلا يُغْنِي مِنَ اللَّهَبِ” yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka. Al lahab adalah “يَعْلُو عَلَى النَّارِ إِذِ اضْطَرَمَتْ مِنْ أَحْمَرَ وَأَصْفَرَ وَأَخْضَرَ” Lidah api yang sangat panas yang berwarna merah kuning dan hijau.[15] Ibnu Katsir menjelaskan bahwa lahab adalah “ذَاتَ شَرَرٍ وَلَهِيبٍ وَإِحْرَاقٍ شَدِيدٍ” percikan dan lidah api dan pembakaran yang keras.[16]

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai makna pembawa kayu bakar. Sebagian berpendapat istri Abu Lahab datang dengan membawa duri, lalu melemparkannya ke jalanan Rasulullah saw agar kaki beliau tertusuk duri itu ketika pergi sholat. Mereka yang berpendapat demikian menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas,
كانت تحمل الشوك، فتطرحه على طريق النبي صلى الله عليه وسلم، ليعقره وأصحابه
Ia (istri Abu Lahab) membawakan duri, lalu melemparkannya ke jalanan Rasulullah saw agar dapat menyakiti beliau dan para sahabatnya.[17]

Mujahid berpendapat bahwa maksud pembawa kayu bakar adalah “حَمَالَةَ النَّمِيمَةِ، تَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ” penyebar fitnah yang berjalan menyebarkan fitnah.[18] Sebagian lain berpendapat bahwa maksudnya adalah wanita yang menukil perkataan orang dan menyebarkannya kepada yang lainnya, sebagaimana riwayat dari Qatadah “كَانَت تنقل الْأَحَادِيث من بعض النَّاس إِلَى بعض” mengatakan perkataan sebagian manusia kepada sebagian yang lainnya.[19] Sa’id bin Jubair menafsirkan maknanya adalah “حَمَّالَةُ الْخَطَايَا وَالذُّنُوبِ” wanita yang selalu membawa kesalahan dan dosanya. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al an’am ayat 31
وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزارَهُمْ عَلى ظُهُورِهِمْ
“sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggung mereka”[20]

Mengenai balasan atas kejahatan menyebar fitnah dan mengadu domba ini, Hudzaifah ra mendengar bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ”  “tidak akan pernah masuk surga orang yang suka mengadu domba”[21]

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ
Yang dilehernya ada tali dari sabut

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna masad, sebagian mereka berpendapat maksudnya adalah tali biasa yang terdapat di Mekah, sebagian lain berpendapat sabut, ada pula yang berpendapat al masad adalah besi yang terdapat pada penggulung tali dan kalung yang terbuat dari rumah siput. Ath thobari menyatakan bahwa tali itu terbuat dari berbagai macam bahan[22]

Sayyid Quthb mengatakan bahwa maksudnya adalah “” tali yang dipergunakan untuk mengikatnya dineraka. Adh dhohak  mengatakan bahwa “فِي الدُّنْيَا مِنْ لِيفٍ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْ نَارٍ” itu adalah tali yang terbuat dari sabut didunia dan diakhirat terbuat dari neraka pada lehernya.[23]

Hikmah

1. Perbuatan tercela yang Allah janjikan neraka bagi Abu Lahab dan istrinya dalam surat ini adalah menyebarkan fitnah dan adu domba untuk menghalang-halangi manusia dari da’wah kepada Allah. Allah mengabadikan peristiwa ini dengan kehancuran, kebinasaan, penghinaan dan perendahan martabat bagi mereka yang berbuat makar kepada-Nya.
2. Jalanilah kehidupan sesuai dengan syari’at Allah dan yakinlah bahwa harta kekayaan, jabatan sosial, keturunan dan semua hasil usaha yang kita bangga-banggakan tidak akan dapat menolak murka Allah.

Wallahu a’lam.
Sigit Suhandoyo

[1] Abul Hasan Ali bin Ahmad al Wahidiy: Asbab an Nuzul al Qur’an. Ad Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, 469. Juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Fath al Bari 8/837, Muslim dalam shahihnya 1/193, Ahmad dalam al fath ar rabbani 18/324, at Tirmidzi dalam sunannya 5/451, dan al baihaqi dalam dalail an nubuwwah 2/181. Dalam lafadzh Imam Muslim disebutkan bahwa peristiwa tersebut setelah diturunkan firman Allah “Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (at taubah 214)
[2] Sayyid Quthb: Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. 1412 H. 6/3999. Lahab dalam bahasa arab memiliki arti menyala, lidah api dan nyala api.
[3] Ahmad bin Hanbal: al Musnad. Beirut: Muassasah ar Risalah. 1421 H. 25/407 hadits ke 16025. At Thabrani juga meriwayatkannya dalam Mu’jam al Kabir 5/53 hadits ke 4589. Sanad hadits ibnu ishaq ini lemah karena lemahnya Husain bin Abdullah bin Ubaidillah bin Abbas.
[4] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an 20/235. Al mawardi juga menuliskannya dalam an nukat wal uyun 6/364 dan Ibnu ‘Adil dalam al lubab fi ulumil kitab 20/551.
[5] Abul hasan ali al mawardi: an nukat wal uyun. Beirut: Daar al kutub al ilmiyyah, tt. 6/368. Riwayat serupa juga terdapat dalam al Jami’ li Ahkam al Qur’an 20/234.
[6] Yahya bin Ziyad al Farra’: Ma’ani al Qur’an. Mesir: Daar al al Mishriyah li at ta-lif wa at tarjamah, tt,  3/298.
[7] Imam al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, 20/235-236.
[8] Fii Dzilal al Qur’an 6/4000.
[9] Muhammad bin Ismail al Bukhari: Shahih Bukhari. Daar at Thuuq an Najah, 1422H, 4/185 hadits ke 3533.
[10] Ibnu Jarir ath Thobari: Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an. Beirut: Muassasah ar Risalah, 1420 H, 24/677.
[11] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an 20/238.
[12] Fi Dzilal al Qur’an 6/4000.
[13] Mujahid bin Jabr: Tafsir Mujahid. Mesir: Daar al Fikr al Islami al Haditsah, 1410 H, 759.
[14] Abu Dawud as Sajjistani: Sunan Abi Dawud. Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah, tt.   3/288 hadits ke 3528. Hadits ini juga diriwayatkan an Nasa-i dalam sunannya 7/240. Ibnu Majah dalam sunannya 2/723. Ibnu Hibban dalam Shahihnya 10/73. Dan Imam Ahmad dalam Musnadnya 40/34. Menurut Ahmad hadits ini hasan lighairihi, sedangkan menurut Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini shahih.
[15] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 19/162
[16] Imaduddin Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim. Daar thoyyibah li an nashr wa at tauzi’, 1420 H, 8/515.  
[17] Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/678.
[18] Tafsir Mujahid, 759.
[19] Jalaluddin as Suyuti: ad Duur al Mantsur. Beirut: Daar al Fikr, tt. 8/667
[20] Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 20/240.
[21] Muslim bin Hajjaj: Shahih Muslim. Beirut: Daar Ihya at Turats al Arabi. tt, 1/101 hadits ke 105.
[22] Lihat Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al Qur’an, 24/680 – 683.
[23] Abu Muhammad al Baghawi: Ma’alim at Tanzil, Beirut: Daar Ihya at Turats al Arabi, 1420 H. 5/328

Prinsip Utama Memilih Pasangan Hidup



Prinsip utama memilih pasangan hidup dalam Islam adalah berdasarkan kebaikan agamanya (ad diin). Menurut Abdullah Nashih ‘Ulwan yang dimaksud dengan agama atau ad diin dalam hal ini adalah,

الفهم الحقيقي للإسلام، و التطبيق العملي السلوكي لكل فضائله السامية، و آدابه الرفيعة.. و نقصد كذلك الالتزام الكامل بمناهج الشريعة، و مبادئها الخالدة على مدى الزمان و الأيام.
Pemahaman yang hakiki tentang Islam dan aplikasi setiap keutamaan dan adabnya yang tinggi dalam perbuatan dan tingkah laku. Termasuk memiliki komitmen melaksanakan aturan-aturan syari’at dan prinsip-prinsip yang abadi secara sempurna sepanjang zaman. 
 
Dengan demikian berdasarkan pengertian ini tidaklah cukup memilih seseorang itu berdasarkan status keislamannya saja, melainkan lebih teliti lagi kepada pemahaman keislaman dan pengamalan pemahamannya tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

Pemilihan berdasarkan karakter dan kepribadian Islami ini akan sangat berpengaruh dalam pendidikan dalam keluarga yaitu dalam hal keteladanan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk dan harta kalian melainkan Dia menilai hati dan amal kalian.[1]

Memilih istri atau suami berdasarkan kebaikan agamanya merupakan  prinsip utama yang diajarkan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam. Agar suami dan istri, ayah dan ibu kelak akan mampu menjalankan kewajibannya secara benar sesuai dengan syari’at Islam sehingga rumah tangga menjadi sumber kebaikan dan keberkahan hidup.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ
Pilihlah untuk nuthfah kalian, dan nikahilah oleh kalian orang-orang yang sama derajatnya.[2](Sekufu dalam hadits ini adalah kesamaan derajat dan sepadan dalam agama, pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُنْكَحُ المَرْأَةُ  لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, dapatkanlah wanita yang memiliki ad din nicaya kedua tanganmu akan penuh dengan debu (merupakan kata-kata petunjuk anjuran dan do’a semoga mendapatkan banyak keutamaan)[3]

Demikian pula dalam memilih calon suami, dari Abi Hatim al Muzaniy Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ
Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang agama dan akhlaknya kamu ridhoi, maka nikahkanlah ia, jika kamu sekalian tidak melaksanakannya, maka akan terjadilah fitnah di muka bumi dan tersebarlah kerusakan.[4]

Sebagai penekanan terhadap anjuran memilih berdasarkan agama, Umar bin Khattab pernah menjelaskan bahwa hak seorang anak dari ayahnya adalah,
أَنْ يَنْتَقِيَ اُمَّهُ، وَ يُحَسِّنُ اِسْمَهُ، وَ يُعَلِمَهُ القُرْآنَ
Memilihkan baginya ibunya, memberinya nama yang baik dan mengajarkan al Qur’an kepadanya.

Demikianlah dalam Islam landasan utama pemilihan pasangan hidup adalah karena kebaikan agamanya. Sehingga sejak awal terbentuknya rumah tangga sudah berlandaskan kemuliaan, dan terbentuknya keturunan yang shalih akan lebih mudah dan terencana.

Diadaptasi dari Dr Abdullah Nashih ‘Ulwan: Tarbiyatul Aulad fil Islam.

[1] Muslim bin Hajaj an Naisabury: Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Araby, 1374 H.  4/1987 .
[2] Ibnu Majah: Sunan Ibnu Majah, Beirut: Daar Ihya al Kitab al Arabiyah, 1418H, 1/633 hadits ke 1968. Menurut ad Daruquthni hadits ini matruk, Muhammad Nashirudin al Albani menyebutkan hadits ini hasan.
[3] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhari: Shahih Bukhari, Damaskus: Daar Thuuq an Najah. 1422 H, 7/7 hadits ke 5090.
[4] Muhammad bin Isa at Tirmidzi: Sunan at Tirmidzi, Mesir: syirkatu maktabatu wa mathba’ah musthofa al baaby al halby. 1375 H, 3/387 hadits ke 1085. Menurut at Tirmidzi hadits ini hasan gharib. Muhammad Nashirudin al Albani mengatakan hadits ini hasan lighairih.