Prinsip utama memilih pasangan hidup dalam Islam adalah berdasarkan kebaikan agamanya (ad diin). Menurut Abdullah Nashih ‘Ulwan yang dimaksud dengan agama atau ad diin dalam hal ini adalah,
الفهم الحقيقي للإسلام، و التطبيق العملي السلوكي لكل فضائله السامية، و آدابه الرفيعة.. و نقصد كذلك الالتزام الكامل بمناهج الشريعة، و مبادئها الخالدة على مدى الزمان و الأيام.
Pemahaman yang hakiki tentang Islam dan aplikasi setiap keutamaan dan adabnya yang tinggi dalam perbuatan dan tingkah laku. Termasuk memiliki komitmen melaksanakan aturan-aturan syari’at dan prinsip-prinsip yang abadi secara sempurna sepanjang zaman.
Dengan demikian berdasarkan pengertian ini tidaklah cukup memilih seseorang itu berdasarkan status keislamannya saja, melainkan lebih teliti lagi kepada pemahaman keislaman dan pengamalan pemahamannya tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Pemilihan berdasarkan karakter dan kepribadian Islami ini akan sangat berpengaruh dalam pendidikan dalam keluarga yaitu dalam hal keteladanan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak menilai bentuk dan harta kalian melainkan Dia menilai hati dan amal kalian.[1]
Memilih istri atau suami berdasarkan kebaikan agamanya merupakan prinsip utama yang diajarkan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam. Agar suami dan istri, ayah dan ibu kelak akan mampu menjalankan kewajibannya secara benar sesuai dengan syari’at Islam sehingga rumah tangga menjadi sumber kebaikan dan keberkahan hidup.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ
Pilihlah untuk nuthfah kalian, dan nikahilah oleh kalian orang-orang yang sama derajatnya.[2](Sekufu dalam hadits ini adalah kesamaan derajat dan sepadan dalam agama, pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُنْكَحُ المَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, dapatkanlah wanita yang memiliki ad din nicaya kedua tanganmu akan penuh dengan debu (merupakan kata-kata petunjuk anjuran dan do’a semoga mendapatkan banyak keutamaan)[3]
Demikian pula dalam memilih calon suami, dari Abi Hatim al Muzaniy Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ
Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang agama dan akhlaknya kamu ridhoi, maka nikahkanlah ia, jika kamu sekalian tidak melaksanakannya, maka akan terjadilah fitnah di muka bumi dan tersebarlah kerusakan.[4]
Sebagai penekanan terhadap anjuran memilih berdasarkan agama, Umar bin Khattab pernah menjelaskan bahwa hak seorang anak dari ayahnya adalah,
أَنْ يَنْتَقِيَ اُمَّهُ، وَ يُحَسِّنُ اِسْمَهُ، وَ يُعَلِمَهُ القُرْآنَ
Memilihkan baginya ibunya, memberinya nama yang baik dan mengajarkan al Qur’an kepadanya.
Demikianlah dalam Islam landasan utama pemilihan pasangan hidup adalah karena kebaikan agamanya. Sehingga sejak awal terbentuknya rumah tangga sudah berlandaskan kemuliaan, dan terbentuknya keturunan yang shalih akan lebih mudah dan terencana.
Diadaptasi dari Dr Abdullah Nashih ‘Ulwan: Tarbiyatul Aulad fil Islam.
[1] Muslim bin Hajaj an Naisabury: Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Araby, 1374 H. 4/1987 .
[2] Ibnu Majah: Sunan Ibnu Majah, Beirut: Daar Ihya al Kitab al Arabiyah, 1418H, 1/633 hadits ke 1968. Menurut ad Daruquthni hadits ini matruk, Muhammad Nashirudin al Albani menyebutkan hadits ini hasan.
[3] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhari: Shahih Bukhari, Damaskus: Daar Thuuq an Najah. 1422 H, 7/7 hadits ke 5090.
[4] Muhammad bin Isa at Tirmidzi: Sunan at Tirmidzi, Mesir: syirkatu maktabatu wa mathba’ah musthofa al baaby al halby. 1375 H, 3/387 hadits ke 1085. Menurut at Tirmidzi hadits ini hasan gharib. Muhammad Nashirudin al Albani mengatakan hadits ini hasan lighairih.