Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Dalil-Dalil Yang Diperselisihkan



Sigit Suhandoyo. Perbedaan pendapat fiqih dikalangan ulama juga bisa terjadi dikarenakan perbedaan penggunaan dalil-dalil yang diperselisihkan. Para imam mazhab sepakat akan penggunaan al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas sebagai dalil, dan mereka berbeda pendapat tentang penggunaan dalil selain hal tersebut. Secara global yang akan dibahas dalam naskah makalahi ini adalah mafhum mukhalafah, al-mashalih mursalah, istihab dan amal penduduk madinah.


Mafhum Mukhalafah


Suatu nash sekaligus dapat menunjukkan dua hukum, yaitu; hukum yang langsung ditunjukkan oleh bunyi (manthuq) dan suatu nash dan hukum yang difahami dari kebalikan nash tersebut, atau mafhum mukhalafah. Jika lafadh nash menunjukkan pada hukum halal dengan adanya batasan (qayyid), maka nash tersebut juga dapat dipahami sebagai hukum yang mengharamkan, ini terjadi apabila qayyidnya tidak ada. Sebagai contoh adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Nisa ayat 25,


وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ 

Artinya: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki” (QS. Al-Nisa’: 25).


Secara manthuq, ayat tersebut menunjukkan adanya hukum halal (diperbolehkan) bagi seorang yang merdeka menikahi hamba sahaya dengan batas (qayid): orang tersebut tidak mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Di samping itu, ayat tersebut dapat difahami secara kebalikan (mafhum mukhalafah) dari bunyinya, yakni pertama: haramnya seseorang yang merdeka menikahi hamba sahaya, bila orang tersebut mampu menikah dengan wanita yang merdeka. Kedua, orang yang mampu menikahi wanita merdeka yang beriman, diharamkan menikahi budak wanita ahli kitab.


Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan mafhum mukhalafah sebagai dalil. Mazhab Hanafiyah menolah penggunaan mafhum mukhalafah sebagai dalil. Mereka berpendapat bahwa tetap dibolehkan dua kondisi tersebut, karena tidak ada penafian atas suatu hukum yang asalnya adalah halal.(1) 


Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang memiliki kecukupan menikahi wanita merdeka yang beriman, tidak boleh menikahi budak perempuan secara mutlak, juga tidak dibolehkan menikahi budak perempuan ahli kitab.(2)  Sebab mafhum mukhalafah menurut mereka adalah hujjah yang bisa diterima hingga ada nash yang bersifat eksplisit (sharahah).


Mashalih Mursalah


Penetapan hukum atas suatu perkara dalam Islam bertujuan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghapuskan kemudharatan dalam masyarakat. Demikian pula yang dimaksudkan dengan mashalih mursalah. Menurut Khalaf, mashalih mursalah adalah, “المصلحة التي لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها، ولم يدل دليل شرعي على اعتبارها أو إلغائها”(3)  yaitu kemaslahatan yang tidak disyari’atkan penetapannya oleh hukum syari’at, dan tidak pula terdapat dalil yang menunjukkan pertimbangan atau pembatalannya.


Sebagai contoh dalam hal ini adalah, ketika dalam suatu peperangan orang-orang kafir menjadikan sebagian kaum muslimin sebagai tameng, sehingga untuk mengalahkan pasukan kafir tidak bisa dilakukan kecuali dengan mengorbankan kaum muslimin yang menjadi tameng tersebut, maka menurut Imam Malik berdasarkan mashalih mursalah dibolehkan menyerang mereka. Sedang selain Imam Malik berbeda pendapat tentang hal tersebut.(4) 


Contoh lain tentang mashalih mursalah sebagaimana dikemukakan oleh al-Zuhaili adalah hak jurnalistik. Menurutnya hak penulis untuk mendapatkan keuntungan dari karya ilmiahnya, serta mewariskan hak cetak karya ilmiahnya kepada keturunannya, adalah sejalan dengan prinsip-prinsip tujuan syari’at dan tidak ada dalil khusus untuk dijadikan pegangan maupun untuk membatalkannya.(5) 


Istishab al-Ashl


Istishab adalah menghukumi sesuatu yang akan datang dengan melihat hukum pada masa lalu. Khalaf mengemukakan bahwa istishab adalah,


الحكم على الشيء بالحال التي كان عليها من قبل، حتى يقوم دليل على تغير تلك الحال، أو هو جعل الحكم الذي كان ثابتا في الماضي باقيا في الحال حتى يقوم دليل على تغيره  (6)

Yaitu hukum terhadap sesuatu berdasarkan keadaan yang sebelumnya, sampai ada dalil untuk mengubah keadaan tersebut. Atau menjadikan hukum yang tetap dimasa lalu, dipakai saat ini hingga ada dalil untuk mengubahnya.


Sebagai contoh dalam kasus ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan Syafi’i tentang iddah wanita yang suaminya hilang, dan kondisinya belum diketahui secara pasti. Menurut kedua mazhab, sang istri tidak dibenarkan membatalkan pernikahan, tidak menjalani masa iddah dan tidak menikah lagi dengan laki-laki lain hingga terbukti kematian suaminya, berdasarkan prinsip istishab. Bahwa suaminya dihukumi masih hidup sebagaimana ia masih hidup saat sebelum hilangnya.(7) 


Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat, si istri menunggu suami yang hilang selama 4 tahun, kemudian dia jalani iddah selama 4 bulan 10 hari berdasarkan riwayat dari Umar ibn Khattab ra. Bahwa beliau memerintahkan hal tersebut kepada seorang wanita dan setelah masa itu lewat, Umar memerintahkan wali laki-laki yang hilang tersebut untuk mentalak wanita tersebut. Dan mengatakan kepada wanita itu bahwa ia bisa menikah dengan laki-laki lain. Adapun riwayat dalam kitab al-Muwatha adalah sebagai berikut:


حَدَّثَنِي يحيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: «أَيُّمَا امْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَا فَلَمْ تَدْرِ أَيْنَ هُوَ؟ فَإِنَّهَا تَنْتَظِرُ أَرْبَعَ سِنِينَ، ثُمَّ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ»(8) 

Meriwayatkan kepadaku Yahya dari Malik dari yahya bin Sa’id dari Sa’id ibn al-Musayyab, bahwasanya ‘Umar ibn Khattab berkata, “adalah seorang wanita yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui keberadaanya, maka ia meninggu 4 tahun kemudian menunggu lagi 4 bulan 10 hari, setelah itu selesai” 


Amalan Penduduk Madinah


Maksud dari penduduk Madinah adalah masyarakat Muslim yang hidup di Madinah pada zaman sahabat Rasulullah saw, dan masa tabi’in yang di jumpai oleh Imam Malik. Imam Malik menjadikan amalan yang biasa dilakukan penduduk Madinah, yang tidak bertentangan dengan sebagai dalil untuk suatu hukum fiqh. Hal ini menjadikan perbedaan dengan mazhab fiqih selain Maliki yang berkembang di kota selain Madinah. Contoh dalam kasus ini adalah berbaring dengan sisi kanan setelah shalat sunnah sebelum subuh adalah makruh, karena menurut Malikiyah, hal ini tidak sebagaimana amal yang dilakukan penduduk Madinah.(9)  Mazhab Hanafiyah mengemukakan pendapat yang serupa dengan mengambil pendapat Abdullah bin Umar yang tidak melakukan berbaring miring sebagai pemisah shalat sunnah dan Wajib.(10)  


Contoh lain adalah sujud syukur, menurut ulama Malikiyah, sujud syukur ketika mendengar kabar baik yang membahagiakan, atau sujud syukur karena selamat dari keadaan yang buruk hukumnya adalah makruh. Disunnahkan dalam kondisi demikian adalah sholat sunnah 2 raka’at, karena hal ini adalah amalan ahli madinah.(11)  Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah yang mensunahkan sujud syukur jika mendapat kebahagiaan dan terhindar dari kesulitan. Pendapat ini didasari atas hadits yang dikemukakan oleh Abdurahman bin ‘Auf,


خرج النبي صلّى الله عليه وسلم، فتوجه نحو صَدَفَته فدخل، فاستقبل القبلة، فخر ساجداً، فأطال السجود، ثم رفع رأسه، وقال: إن جبريل أتاني، فبشرني، فقال: إن الله عز وجل يقول لك: «من صلى عليك صليت عليه، ومن سلّم عليك سلمت عليه، فسجدت شكراً لله.(12) 


Nabi saw keluar menuju bangunan tinggi lalu masuk ke dalam, menghadap kiblat dan bersujud. Beliau memanjangkan sujudnya lalu mengangkat kepalanya, beliau bersabda, “Jibril telah mendatangiku dengan membawa kabar gembira, sesungguhnya Allah telah bersabda untukmu, siapa saja yang bershalawat kepadamu, maka Ia akan memaafkannya dan siapa saja yang bersalam kepadamu, maka Ia akan menyelamatkannya,” maka aku bersujud sebagai ungkapan syukurku kepada-Nya.


Demikianlah perbedaan pendapat yang terjadi karena perbedaan penggunaan dalil yang diperselisihkan sebagai landasan penentuan hukum fiqh. Pembahasan ringkas yang terbatas ini semoga memadai sebagai contoh untuk menginspirasi untuk melakukan kajian yang lebih baik. Wallahu a’lam


Catatan Kaki

  1. Alauddin al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet ke 2, 1406 H), Juz 2, hlm 267
  2. Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, tth), juz 7, hlm 136
  3. Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh,(Cairo: Maktabah al-Dakwah, tth), hlm 84  
  4. Abdus Sami’ Ahmad Imam, Minhaj al-Thalib fi Al-Muqaranah Baina al-Mazahib, (Kuwait: Al-Wa’yu al-Islami, 2012), Hlm 100-101
  5. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah: Dar al-Fikr, tth), Juz 4, hlm 386.
  6. Abdul Wahab Khalaf, op.cit, hlm 91.
  7. Wahbah al-Zuhaili, op.cit, Juz 9, hlm 608
  8. Malik bin Anas, al-Muwatho, (Beirut: Dar Ihyau al-Turats, 1985), Juz 2, hlm 575, riwayat no 52
  9. Wahbah al-Zuhaili, op.cit, Juz 2, hlm 238
  10. Ibid
  11. Ahmad al-Shawi, Hasiyatu al-Shawi ‘ala Syarh al-Shagir, (beirut: Dar al-Ma’arif, tth), Juz 1, hlm 422
  12. Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Dar al-hadits, 1993), Juz 3, hlm 126.

Urgensi Tarbiyah Dalam Al-Qur’an Dan Hadits


Sigit Suhandoyo

A. PENDAHULUAN


Diutusnya Nabi Muhammad saw menandai permulaan perubahan besar dalam peradaban manusia akhir zaman. Sejak turunnya wahyu pertama --permulaan surat al-‘Alaq(1) --, agama Islam telah menyerukan pembebasan akal dari belenggu-belenggu khurafat, taqlid dan kebekuan proses berfikir. Abul Hasan an Nadawi mengemukakan,


و قد انسحب رجال الدين من ميدان الحياة، و لا ذوا إلى الأديرة و الكنائس و الخلوات، فرارا بدينهم من الفتن وضناً بأنفسهم، أو رغبة إلى الدعة و السكون، و فراراً من تكاليف الحياة و جدها، أو فشلاً في كفاح الدين و السياسة و الروح و المادة، و من بقى منهم في تيار الحياة اصطلح مع الملوك و أهل الدنيا، و عاونهم على إثمهم و عدوانهم، و أكل أموال الناس بالباطل(2) 


Dalam pengertian lain an-Nadawi menggambarkan bahwa pada masa sebelum diutusnya nabi Muhammad saw, sebagian pemuka agama mengasingkan diri dari kehidupan sosial, bersembunyi dalam tempat-tempat ibadah dan sebagainya untuk menjauhkan iman mereka dari gangguan dan penindasan. Mereka mengasingkan diri karena merasa apatis terhadap diri mereka sendiri, mencari ketenangan dengan melarikan diri dari tugas-tugas hidup, ataupun karena merasa gagal berjuang dalam agama, politik, kehidupan spiritual maupun materi. Sedangkan sebagian lain yang ingin hidup senang, bergaul dengan kelas borjuis dan bekerjasama dengan para penguasa tersebut dalam kejahatan, kezaliman dan memakan harta dengan cara yang batil.


Kemudian turunlah wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw melalui perintah “bacalah!” Perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk membaca namun tidak disertai teks, memberikan makna yang sangat luas.


Ibnu ‘Asyūr mengemukakan pendapat bahwa, perintah ini merupakan isyarat bagi ummat Muhammad saw agar membaca, menulis dan berilmu pengetahuan. Talqīn (bimbingan) Jibril kepada Nabi Muhammad saw memberikan arti otoritas keilmuan serta motivasi akan mudahnya penguasaan terhadap ilmu.(3)  Demikian pula pendapat Az-Zuhaylī, ayat-ayat ini merupakan perintah belajar membaca dan menulis karena itu adalah sarana bagi penguasaan agama dan dunia,  dasar bagi tegaknya ilmu pengetahuan dan moral estetika, serta terbinanya kebudayaan dan peradaban ummat Islam.(4)  Tema tarbiyyah pada ayat-ayat yang mula diturunkan ini menurut al-Biqā’ī menegaskan makna bahwa al-Qur’an adalah kumpulan seluruh kebaikan dunia dan akhirat yang kemudian Allah jadikan Rasulullah saw fasih dengannya. Ketentuan ini merupakan karunia bagi seluruh ummat manusia karena Allah mendidik Rasul dengan sebaik baik pendidikan serta mengajarnya dengan sebaik-baik pengajaran.(5) Hingga Muhammad Abduh menuliskan, 


“و إن لم يسترشدوا بفاتحة هذا المكتاب المبين و لم يستضيئوا بهذا لبضياء الساطع فلا أرشدهم الله أبدا”(6). 


Seandainya ayat-ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan, menggugah semangat ummat Islam, niscaya tidaklah mereka akan bangkit lagi (mencapai kejayaan) selama-lamanya. Hingga pada saatnya gerakan yang dipelopori seorang nabi yang ummi dan sekelompok kecil sahabatnya yang miskin dan tertindas pada masa itu berhasil mencatatkan kegemilangan pembangunan peradaban dunia modern dan dinaungi oleh nilai-nilai spiritual. Keberhasilan yang tak lepas dari peran Nabi mendidik para sahabatnya ini memberikan argumen akan urgensi pendidikan bagi manusia. Pendidikan selain sebagai sebuah kewajiban syari’at, juga merupakan kebutuhan individu dan tuntutan sosial.


B. PEMBAHASAN


1. Pendidikan Merupakan Kewajiban Agama


Pendidikan merupakan kewajiban yang disyari’atkan. Kewajiban ini tertera dalam perintah Allah kepada orang-orang beriman agar tidak mengabaikan belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan meskipun ada perintah berjihad,


وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at taubah 122)


Kewajiban memperdalam pengetahuan dalam ayat ini menurut al-Syafi’i bersifat kifayah.(7)  Meski demikian, sejajarnya perintah jihad perang dan pendidikan dalam ayat ini menjelaskan akan tegasnya misi Islam dalam hal penyebaran pengetahuan mengiringi penaklukan wilayah. Hal ini menunjukkan, kebutuhan suatu bangsa terhadap jihad dan para mujahid sama seperti kebutuhan terhadap ilmu dan para ulama.(8)  Menurut Ibnu ‘Asyūr penyebaran keilmuan, etika Islam dan mencerdaskan akal fikiran adalah manifestasi dari tujuan Islam dalam pengelolaan ummat berdasarkan agama dan penjagaan agama dengan kekuatan ummat.(9)   


Wajibnya pendidikan juga tertera dalam hadits perintah menuntut ilmu serta mengajarkannya. Dari Anas bin Mālik ra, Rasulullah saw telah bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ(10).

 

“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan (mengajarkan) ilmu kepada orang yang bukan ahlinya ibarat orang yang mengalungkan beberapa ekor babi dengan mutiara, permata dan emas.”


Ḫadīṡ ini merupakan perintah agar setiap muslim yang balig dan berakal membebaskan dirinya dari kebodohan. Para ulama ḥadīṡ berbeda pendapat tentang tingkatannya, antara farḍu ‘ain dengan farḍu kifāyah. Sebagian berpendapat ilmu agama dengan ilmu keduniaan. Adapula yang berpendapat ‘ilmu ikhlāṣ merupakan farḍu ‘ain, demikian pula ada yang berpendapat ilmu tauḥīd merupakan farḍu ‘ain, dsb.(11)  Pendapat-pendapat tersebut pada dasarnya bersumber pada pemikiran bahwa setiap muslim selain harus memiliki keilmuan yang memadai bagi dirinya untuk beribadah kepada Allah, juga memiliki spesialisasi keilmuan tertentu yang mendalam.


Ḥadīṡ ini juga berisi perintah agar orang-orang berilmu mengajarkan ilmunya kepada ahli ilmu. Para ulama ḥadīṡ berbeda pendapat tentang ahli ilmu yang dimaksudkan, ada yang berpendapat orang yang memiliki kecenderungan terhadap ilmu, memiliki kefahaman, menuntut ilmu bukan untuk sekedar tujuan dunia, menuntut ilmu karena Allah, dsb.(12)  Dengan demikian para pendidik berkewajiban untuk menumbuhkan motivasi belajar peserta didiknya, mengembangkan bakat, memberikan kefahaman serta menjadikan keikhlasan sebagai landasan atas segala amaliahnya.


Kewajiban pendidikan juga tertera dalam surat al Baqarah ayat 159 tentang larangan menyembunyikan ilmu,

إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى من بعد ما بيناه للناس في الكتاب أولئك يلعنهم الله ويلعنهم اللاعنون


“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,”


Menurut Ibnu ‘Āsyūr pengertian “البينات” dalam ayat ini adalah pokok-pokok syari’ah yang menjadi landasan atas berbagai hukum dalam kehidupan manusia termasuk perkara aqidah, fiqh maupun etika. Sedangkan pengertian “الهدى” adalah penerangan untuk kehidupan yang lebih baik bagi kemashalatan individu dan masyarakat.(13)  Serupa dengan pendapat tersebut, menurut az-Zuhailī, Ilmu-ilmu yang dilarang untuk disembunyikan dalam ayat ini bermakna umum, bisa berupa hukum syari’ah, ilmu yang bermanfaat maupun ide-ide, pandangan, gagasan serta solusi yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat.(14)  Selanjutnya menurut Ibnu ‘Āsyūr ayat ini menunjukkan argumen akan wajibnya penjagaan terhadap ilmu, pendidikan, pengajaran dan penyebarluasan pengetahuan.(15)  Seorang berilmu yang dengan sengaja bermaksud menyembunyikan pengetahuannya kepada masyarakat sungguh telah berbuat dosa.(16)  


Firman Allah tersebut di atas sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 174 berikut,

إن الذين يكتمون ما أنزل الله من الكتاب ويشترون به ثمنا قليلا أولئك ما يأكلون في بطونهم إلا النار ولا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.”


Larangan menyembunyikan ilmu pengetahuan juga dijelaskan dalam beberapa riwayat hadits. Dari Abdullah bin ‘Amr ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,

مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ.(17)  

“Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, niscaya Allah akan mengekangnya dengan kekang dari api pada hari kiamat.”


Demikian pula hadits dari Abu Sa’id al Khudry ra, Rasulullah saw telah bersabda,

مَنْ كَتَمَ عِلْمًا مِمَّا يَنْفَعُ اللَّهُ بِهِ فِي أَمْرِ النَّاسِ أَمْرِ الدِّينِ، أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ.(18) 


“Barang-siapa yang menyembunyikan ilmu yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadanya dalam perkara manusia dan agama, kelak Allah akan mengekangnya dengan kekang dari api pada hari kiamat.


2. Pendidikan Merupakan Kebutuhan Manusia


Meskipun manusia Allah ciptakan dengan sebaik-baik bentuk dengan berbagai potensi akal, fisik, indera, nafsu dan hati namun manusia terlahir dalam keadaan lemah. Dengan demikian manusia membutuhkan pengasuhan dan pendidikan bagi dirinya guna mengembangkan dan mengarahkan potensi-potensi tersebut. Allah ta’ala berfirman dalam surat an-nahl ayat 78,


“والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون”


“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”


Melalui ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia terlahir dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, kemudian Allah memberikan manusia berbagai perangkat yang akan menyampaikannya kepada ilmu pengetahuan.(19)  Manusia diciptakan dengan potensi akal  yang dapat berkembang dengan pendengaran, penglihatan dan hati. Melalui hal tersebut akal manusia dapat berfikir, berpendapat, mendefinisikan sesuatu serta membangun pengetahuan.(20)  Demikianlah pendidikan dibutuhkan oleh manusia dikarenakan manusia memiliki kepribadian yang unik, memiliki tingkah laku, memiliki kecerdasan dan daya pikir, serta memiliki kebutuhan untuk mengembangkan kepribadian.


Sebagai mahluk psikologis manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berfikir, merasa dan berkehendak serta menciptakan dinamisme. Selain terkait pengembangan berbagai potensi, menurut al-Maraghi manusia membutuhkan pendidikan untuk memahami sesuatu dengan mendalam, menimbang antara kebaikan dan keburukan serta menimbang antara petunjuk dan kesesatan.(21)  Dalam sebuah riwayat hadits qudsi dari ‘Iyadh bin Himar ra, pada khutbahnya Rasulullah saw menyampaikan,


وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ(22) 


“Sesungguh Aku (Allah) menciptakan hamba-Ku seluruhnya hanif (berada dalam kebaikan), kemudian datang kepada mereka syaitan yang memalingkan mereka dari agama ”


Menurut Ibnu Abdil Bar, Allah telah menciptakan manusia seluruhnya hanif, yaitu muslim, bersaksi akan keesaan Allah dan menghadapkan dirinya dalam ketundukan kepada Allah semata(23) . Kemudian syaitan memalingkan manusia dari kebenaran agama. Menurut an-Nawawi, pertama-tama syaitan menjadikan manusia meremehkan urusan agama kemudian menjauhkannya, hingga akhirnya manusia menyingkirkan agama dari kehidupannya. Kemudian Syaitan menjadikan manusia terpikat dengan keburukan yang mengasikkan baginya.(24)  Keberhasilan syaitan memalingkan manusia dari kebenaran adalah dikarenakan ia datang kepada manusia dengan “الوسوسة”(25)  hasutan, godaan dan ajakan yang bersifat halus yang dibisikkan kedalam hati manusia.


Pendidikan juga dibutuhkan agar manusia dapat mengambil keputusan dengan benar. Diriwayatkan dari Abu Malik a-Asy’ari ra, bahwasanya Rasulullah saw bersaba,

 

كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا(26) 

“Setiap manusia berbuat, maka ada manusia yang menjual dirinya kemudian memerdekakannya adapula yang membinasakannya.”


Menurut an-nawawi hadits ini menerangkan bahwa, setiap manusia berbuat atas kehendak dirinya dan diantara manusia ada yang menjual dirinya kepada Allah melalui keta’atannya dan memerdekakan dirinya dari siksaan. Dan diantara mereka pula ada yang menjual dirinya kepada syaitan dan  nafsunya dan hal tersebut mencelakakannya.(27) 


3.Pendidikan Merupakan Kebutuhan Sosial


Pendidikan adalah kebutuhan masyarakat. Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,


مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا.(28) 


“Perumpamaan orang-orang yang senantiasa melaksanakan hukum-hukum Allah dan orang yang terperosok di dalamnya adalah laksana orang-orang yang membagi tempat dalam suatu bahtera, sebagian orang diatasnya dan sebagian dibawahnya. ketika orang-orang yang berada dibawah memerlukan air, tentu mereka harus melintasi orang-orang yang dibagian atas. kemudian mereka berkata, “kami akan lubangi saja bagian bawah ini.” jika mereka membiarkan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang dibagian bawah, niscaya akan binasalah semua. Namun bila mereka mencegah perbuatan tersebut, maka akan selamat dan selamatlah semuanya”


Melalui hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan sebuah perumpaan yang indah tentang pendidikan sebagai sebuah kebutuhan sosial. Sebab sebuah kesalahan sebagian pihak tidak hanya berdampak negatif pada lingkup individu semata melainkan juga pada lingkup sosial yang lebih luas. Terlaksananya tugas pendidikan bagi masyarakat berbanding lurus dengan keselamatan dan eksistensi masyarakat tersebut. 


Sebagai kebutuhan social, pendidikan juga merupakan sarana bagi membangkitkan kemuliaan dan menjaga keselamatan masyarakat.Diriwayatkan dari Tsauban ra bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,


يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا» ، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: «بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ» ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: «حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»(29) 


“Nyaris sudah bangsa-bangsa (selain Islam) bersekongkol menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya.” Lalu bertanya seseorang, “Apakah kami pada saat itu sedikit?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak, akan tetapi kalian itu buih seperti buih banjir, dan Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan ke dalam hati-hati kalian wahn (kelemahan).” Maka seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?”. Kata beliau, “Cinta dunia dan takut mati.”


Menurut al-Qari, pengibaratan ummat Islam bagaikan buih adalah dikarenakan, Kondisi ummat Islam yang berpecah belah, lemah kemauan, malas berfikir dan tak punya cita-cita yang kokoh.(30)  Makna kata wahn dalam hadits di atas adalah “الضَّعْف” atau lemah, sehingga pertanyaan para sabahat adalah, “apakah yang menyebabkan kelemahan (wahn) ummat Islam pada masa itu?”


Nilai penting hadits ini adalah sebagai peringatan agar ummat Islam memperhatikan pendidikan bagi kemajuan dan keselamatan ummat Islam. Sebagaimana perkataan al Qaradhawi,


الدولة القومية لن تستعيد قوتها، مالم تستعد الأمة ذاتها قوتها. فإنها قوة الدولة بقوة شعوبها، فالشعوب الميتة لا تقيم دولة حية، و الشعوب الضعيفة لا تبني دولة قوية، كما في الأثر المشهور "كما تكونوا يولّ عليكم"(31) 


Sebuah bangsa tidak dapat mengembalikan kekuatannya selama rakyatnya sendiri tidak mengembalikannya. Kekuatan sebuah bangsa terletak pada kekuatan rakyat. Rakyat yang mati tidak bisa menghidupkan bangsa. Rakyat yang lemah tidak bisa menguatkan bangsa, sebagaimana sebuah pepatah, “sebagaimana adanya kalian begitulah kuasa kalian”.

 

C. KESIMPULAN


Dari kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan sebuah kewajiban syari’at, Allah mewajibkan aktifitas belajar mengajar sebagaimana Ia wajibkan berjihad menegakkan agama-Nya. Demikian pula perintah menuntut ilmu dan larangan menyembunyikannya bagi kemaslahatan bersama. Selain perintah syari’at, pendidikan juga merupakan kebutuhan manusia dan kebutuhan sosial. Pendidikan merupakan sarana pengembangan pribadi dan masyarakat untuk mencapai keberhasilan dunia dan akhirat. 


Catatan Kaki

  1. Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat, sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah ra, bahwa wahyu yang pertama ditunjukkan kepada Nabi saw adalah ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) datangnya malaikat kepada beliau dan membacakan 5 ayat awal surat al Alaq. Lihat Al Bukhari : Shahih al Bukhari, Daar Thuwaiq an Najah, 1422 H, Juz 1, hlm 7 Lihat pula Muslim : Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, tt, Juz 1, hlm 139.
  2. Abu al-Hasan al-Nadawi, Mādza Khasir al -Alam bi Inkhithāt al-Muslimīn, (Mesir: Maktabah al Imān, tth), hlm 29.
  3. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: Dâr at-Tunisiyah li an-Nasyr, 1984), Juz 30, hlm 434.
  4. Wahbah bin Musthofâ az-Zuhaylî,  Tafsir al-Munîr, (Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1418 H), Juz 30, hlm 319.
  5. Burhânuddîn al-Biqâ’î, Nadzmu ad-Durar, (Cairo: Dâr al-Kitâb al-Islâmî, tt), Juz 22, hlm 152-153.
  6. Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim Juz ‘amma,( Mesir : Mathba’atu Mishr, 1341 H), hlm 124.
  7. Muhammad bin Idris al-Syāfi’ī, Tafsīr al-Imām al-Syāfi’ī, (Saudi Arabia: Dar al-Tadmiriyah, cet. pertama 1427 H), Juz 2, hlm 962. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh al-Qurthubī dari kalangan Malikiyah. Lihat Syamsuddîn al Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, (Cairo: Dâr al Kutub al Mishriyah, 1384 H), Juz 8, hlm 294.
  8. Anwar al-Baz, al-Tafsīr al-Tarbawī lil Qur’an al Karīm, (Cairo: Dār an Nashr lil Jami’at, 2007) Juz1, hlm 618.
  9. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, op.cit,  Juz 11, hlm 59.
  10. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dār ihyā`u al-Kutub al-‘Arabiyah, tth), Juz 1, hlm 81, no. 224. Menurut al Haiṡami ḥadīṡ ini ḍa’īf, lihat majma’u az-zawā`id Juz 1, hlm 120. 
  11. Lihat Nūruddīn al-Malā ‘ali al-Qāriy, Muraqātu al-Mafātīh, (Beirut: Dār al Fikr, 1422 H), Juz 1, hlm 301. Lihat pula Zainuddīn al Munāwiy, Faiḍul Qadīr, (Mesir: al-Maktabah al-Tijāriyah, 1356 H), Juz 4, hlm 267.
  12. Ibid.
  13. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, op.cit, Juz 2, hlm 66-67.
  14. Wahbah bin Musthofâ az-Zuhaylî,  op.cit, , Juz 2, hlm 54.
  15. Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, loc.cit,. Lihat juga az-Zuhaylî,Ibid.
  16. Syamsuddîn al Qurthûbî, op.cit, Juz 2, hlm 185. Lihat juga az-Zuhaylî,Ibid.
  17. Abu ‘Abdullah al Ḥākim, al Mustadrak ‘ala aṣ-ṣaḥiḥain, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H), Juz 1, hlm 182, no 346. ḥadīṡ ini ṣaḥīḥ.
  18. Ibnu Majah, op.cit, Juz 1, hlm 97, ḥadīṡ no 265. ḥadīṡ ini ḍa’īf.
  19. Jamāluddīn Ibn al-Jawzī, Zād al-Masīr fī ‘Ilmi at-Tafsīr, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1422 H), Juz 2, hlm 575.
  20. Muhammad Thâhir bin ‘Āsyūr, op.cit, Juz 14, hlm 231.
  21. Ahmad bin Musthofā al Marāghī, Tafsir al Marāghī, (Mesir : Perusahaan Penerbitan Musthofa al-Halby, 1365 H), Juz 14, hlm 118.
  22. Muslim bin al Hajjaj Abu al hasan al Qusyairy an Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Daar ihyau At Turats al Araby, tt ), vol 4, h. 2197, hadits no 2865.
  23. Lihat Ibnu ‘Abdil Bar, at-Tamhid lima Fil Muwatho,, (Maroko: Kementrian Wakaf, 1387 H), vol 18,hlm 74-76
  24. Abu Zakaria Muhyiddin Yahya an Nawawi, al Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al ‘Arabiy, 1392 H), vol 17, hlm 197. 
  25. Nūruddīn al-Malā ‘alî al-Qāriy, op.cit, vol  8, hlm 3367.
  26. Muslim bin al Hajjaj, Op.cit, vol 1, hlm 203, hadits no 223.
  27. An Nawawi, Op.cit, vol 3, hlm 102.
  28. Bukhari, Op.cit, vol 3. Hlm 139, hadits no 2493.
  29. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah, tth), vol 4, hlm 111, hadits no 4297. Shahih menurut al Albani.
  30. Nuruddin al Qari, Op.cit, vol 8, hlm 3366.
  31. Yusuf al Qaradhawi,Ummatuna Baina Qarnain, (Beirut: Daar asy Syuruq, 1421 H), hlm 240.


Pembahasan Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat dalam Khasanah Fiqih


 

Sigit SuhandoyoPerbedaan pendapat dari kalangan ilmuwan fiqih terjadi karena berbagai sebab. Naskah ringkas ini akan membahas perbedaan pendapat yang disebabkan perbedaan memahami makna lafazh, karena periwayatan hadits, karena pertentangan dalil dan karena urf.


A. Perbedaan-Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Perbedaan Memahami Makna Lafazh Dalam Bahasa Arab


1. Perbedaan Memahami Lafazh yang Memiliki Banyak Makna dalam Bahasa Arab.


Keadaan ini terjadi karena lafazh yang ada memiliki lebih dari satu makna, sehingga perbedaan pemahaman terhadap makna menyebabkan perbedaan dalam menentukan hukum fiqih. Sebagai contoh, perbedaan pendapat bisa terjadi, karena satu lafazh memiliki lebih dari satu makna secara bahasa. Seperti halnya lafazh quru dalam surat al-Baqarah ayat 228,


وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ...

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya…


Ayat ini merupakan dalil yang menyatakan tentang ukuran waktu masa iddah wanita yang ditalak oleh suaminya. Kata quru menurut pengertian bahasa adalah sama dengan pengertian haidh dan suci. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengenai waktu iddah apakah 3 kali haidh atau 3 kali suci.


Al-Sarakhsi (w 483 H) dari kalangan ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa yang dimaksud quru’ dalam mazhab kami adalah haidh.(1)  Pendapat ini didukung pula oleh ulama Mazhab Hanabilah.(2)  


Para ilmuwan yang berpendapat seperti ini mendasarkan pemaknaan kata quru sebagai haidh dengan berbagai dalil diantaranya, adalah surat ath-Thalaq ayat 4,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.


Lafazh quru bisa pula digunakan dalam syari’at memiliki makna haidh. Nabi saw pernah bersabda kepada perempuan yang haidh,

دَعِي الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ , ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الْحَصِيرِ.(3) 

Tinggalkanlah sholat pada masa haidhmu,


Sedangkan ulama mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa maksud quru adalah suci. Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Imam al-Nawawi bahwa (والاقراء هي الاطهار)(4) , quru adalah masa suci. Hal ini sebagaimana dalil surat al-Thalaq ayat 1,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).


Menurut al-Nawawi, dari ayat ini difahami bahwa talak hanya boleh dilakukan pada waktu seorang istri sah untuk beriddah, yaitu saat mereka suci. Sehingga 3 kali quru yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 228 adalah 3 kali masa suci.


2. Perbedaan Memahami Lafazh yang Makna Syari’atnya Berbeda dengan Makna Umum.


Perbedaan pendapat dikalangan para ilmuwan Fiqih juga terjadi karena adanya lafazh dalam bahasa Arab yang disepakati makna umumnya, namun syari’at mengkhususkan makna lafazh tersebut. Sebagaimana lafazh Nikah, maknanya secara kebahasaan adalah hubugan badan, akan tetapi syari’at mempergunakan lafaz nikah untuk menunjukkan makna akad (ikatan).


Sebagai contoh ilmuwan fiqih berbeda pendapat tentang hukum menikahi wanita yang sudah dinikahi oleh ayah. Seperti teks surat al-NIsa ayat 22,

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ 

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,


Ulama kalangan Hanafiyah berpendapay bahwa maksud lafazh nikah dalam ayat tersebut adalah hubungan badan, sehingga secara mutlak diharamkan menikahi wanita yang pernah dinikahi oleh ayah, baik melalui akad maupun tidak melalui akad (zina). Sebagaimana dikemukakan oleh al-Sarakhsi,

فَقَدْ قَامَتْ الدَّلَالَةُ لَنَا أَنَّ النِّكَاحَ حَقِيقَةٌ لِلْوَطْءِ وَمَعَ وُجُودِ النَّصِّ لَا يُعْتَبَرُ اخْتِلَافُ الْعُلَمَاءِ.(5) 

Dalil bagi kami adalah bahwa secara faktual pernikahan merupakan hubungan seksual, dan dengan adanya nash (dalil) menjadikan perbedaan ulama tidak dipertimbangkan. 


Demikian pula menurut para ahli ilmu ushul dan bahasa, kata nikah digunakan secara hakikat untuk arti hubungan badanm dan secara majaz (kiasan) untuk arti akad. Sekirannya kata nikah tertera dalam al-Qur’an dan sunnah tanpa disertai indikasi lain, maka yang dimaksud adalah hubungan intim.(6) 


Berdasarkan pengertian ini, maka perempuan yang pernah dinikahi maupun dizinahi oleh seorang ayah diharamkan dinikahi oleh seorang anak dan semua keturunan dari ayah tersebut.


Imam mazhab yang lain berpendapat bahwa makna nikah dalam ayat tersebut adalah akad nikah, sehingga mereka menghukumi bahwa seorang perempuan yang pernah dizinahi oleh seseorang, tidak haram dinikahi oleh anak orang tersebut. al-Nafrawi dari kalangan malikiyah mengemukakan bahwa, 

أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى فَرْعِ الْإِنْسَانِ وَإِنْ سَفُلَ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِمَنْ عَقَدَ عَلَيْهِ أَصْلُهُ وَإِنْ عَلَا(7) 

Diharamkan bagi cabang seorang laki-laki kebawah (dalam urutan nasab) untuk menikah dengan orang yang terikat akad nikah dengan orang tuanya, demikian pula keatas. 


Pendapat serupa dipilih pula oleh Ibnu Qudamah (w 620 H) dari kalangan Hanabilah, ia mengemukakan

وَالصَّحِيحُ مَا قُلْنَا؛ لِأَنَّ الْأَشْهَرَ اسْتِعْمَالُ لَفْظَةِ النِّكَاحِ بِإِزَاءِ الْعَقْدِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَلِسَانِ أَهْلِ الْعُرْفِ.(8) 

Adapun pendapat yang shahih menurut kami, masyhur dalam al-Qur’an, Sunnah dan menurut pakar urf, bahwa lafazh nikah menunjukkan arti akad nikah.


Dengan demikian terjadilah perbedaan pendapat dikalangan para ilmuwan fiqih terkait makna lafazh nikah, yang kemudian berimbas kepada perbedaan dalam pendapat hukum fiqih.


B. Perbedaan-Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Periwayatan


Perbedaan periwayatan terkait dengan hadits, sebagai contoh suatu hadits sampai kepada seseorang namun tidak sampai kepada yang lain. Bisa pula dalam suatu kondisi ada hadits yang sampai kepada seseorang melalui jalur periwayatan yang shahih, sedang sampai kepada yang lain melalui jalur periwayatan yang dhaif, sehingga hadits tersebut tidak digunakannya sebagai dalil.


Sebagai contoh adalah perbedaan pendapat para ulama terkait jumlah rakaat shalat tarawih. Penerimaan dan penggunaan hadits yang berbeda menyebabkan perbedaan pendapat fiqih. 


Menurut sementara ulama, Rasulullah saw tidak menentukan jumlah raka’at tertentu dalam sholat tarawih. Hal ini menunjukkan keluasan bagi kaum Muslimin laki-laki, perempuan, orang tua maupun anak-anak untuk bisa memilih sesuai kesanggupannya.


Jalaluddin as-Suyuthi dari kalangan Syafi’iyyah mengemukakan bahwa Nabi saw tidak menetapkan secara khusus jumlah raka’atnya.

الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ وَالْحِسَانُ وَالضَّعِيفَةُ الْأَمْرُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ، وَالتَّرْغِيبُ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِعَدَدٍ، وَلَمْ يَثْبُتْ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عِشْرِينَ رَكْعَةً


Terdapat banyak hadits shahih, hasan maupun dha’if yang memerintahkan dan menganjurkan untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan sholat tanpa mengkhususkan jumlah. Rasulullah tidak menetapkan sholat sebanyak 20 raka’at.(9) 


1. Pendapat tentang Shalat Tarawih 20 Raka’at.


Adapun pendapat tentang jumlah raka’at sholat tarawih 20 raka’at, diantaranya disandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, berikut:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ(10).  

Bahwasanya Nabi saw sholat di (malam) Ramadhan sebanyak 20 raka’at dan ditambah witir.


Namun menurut Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami, derajat hadits ini sangat lemah.(11)  Jumhur ulama menetapkan bahwa sholat tarawih 20 raka’at tidaklah disandarkan pada kebiasaan Nabi saw, melainkan disandarkan pada Ijma’ para Sahabat Rasulullah saw. Berdasarkan sebuah riwayat pada zaman Umar ra. Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari Saib bin Yazid,

كُنَّا نَقُومُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ(12).  

Kami mengerjakan sholat tarawih pada zaman Umar bin Khattab ra. 20 raka’at dengan witir. 


Al Kasani dari kalangan Hanafiyah mengemukakan,

جَمَعَ عُمَرُ أَصْحَابَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - فَصَلَّى بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ فَيَكُونُ إِجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ(13).  

Umar ra mengumpulkan para sahabat Rasulullah saw pada bulan Ramadhan, untuk bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab ra maka mereka sholat 20 raka’at, dan tidak seorangpun yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’ dikalangan mereka.


Al-Bahuti dari kalangan Hanabilah juga mengemukakan banyak riwayat yang menunjukkan, bahwa sholat tarawih sebanyak 20 raka’at adalah ijma’ para sahabat.(14)  Ad-Dasuqi dari kalangan Malikiyah mengemukakan bahwa sholat tarawih sebanyak 20 raka’at dan witir 3 raka’at adalah amal para sahabat dan tabi’in.(15)   Meski demikian dari kalangan Syafi’iyah, al Imam an-Nawawi mengatakan bahwa Sholat tarawih merupakan sunnah berdasarkan Ijma’ para ulama, dan mazhab kami menetapkan sholat tarawih sebanyak 20 raka’at.(16)  


2. Pendapat tentang Shalat Tarawih 8 Raka’at.


Al-‘Adawi dari kalangan ulama Malikiyah mengemukakan bahwa perintah awalnya adalah 11 roka’at termasuk witir, kemudian pada zaman Umar, para sahabat mengerjakannya 23 raka’at termasuk witir.(17)  


Adapun dalil tentang shalat tarawih 8 raka’at disandarkan diantaranya kepada sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwasanya Ia bertanya kepada Aisyah ra, bagaimana sholat Rasulullah saw di bulan Ramadhan? Maka Aisyah ra berkata, 

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا(18).  

Tidaklah Rasulullah saw menambah sholat di (malam) bulan Ramadhan maupun bulan lainnya kecuali 11 raka’at. Beliau sholat 4 raka’at, maka jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau sholat 4 raka’at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau sholat 3 raka’at. 


Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Jabir bin ‘Abdullah ra,

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ وَالْوِتْرَ(19).  

Kami sholat bersama Rasulullah saw di malam Ramadhan 8 raka’at dan ditambah witir. 


Kamal Ibnu Himam seorang syaikh dari mazhab Hanafi mengemukakan bahwa, sholat tarawih disunnahkan 11 raka’at termasuk witir secara berjama’ah, begitulah yang dilakukan Nabi saw, kemudian beliau meninggalkannya (meninggalkan berjama’ah), karena khawatir menjadi sebuah kewajiban. Adapun 20 roka’at adalah sunnah khulafa ar-Rasyidin, dan Rasulullah saw telah bersabda, “عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ” tetaplah kalian atas sunnahku dan sunnah khulafa ar-Rasyidin. Dengan demikian mengerjakan sholat tarawih yang disunnahkan adalah 8 raka’at dan selebihnya adalah anjuran.(20) 


Demikianlah perbedaan pendapat ilmuwan fiqih tentang bilangan raka’at sholat tarawih. Perbedaan pendapat terjadi karena penggunaan dalil hadits yang berbeda, sebagian besar ilmuwan fiqih menguatkan pendapat bilangan shalat tarawih adalah 8 raka’at, karena riwayat tentang bilangan 20 raka’at dipandang sebagai riwayat hadits yang lemah.


C. Perbedaan-Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Pertentangan Dalil


Pertentangan antara dalil dimaksudkan untuk menunjukkan adanya dalil-dalil yang saling berhadapan dan berlawanan. Misalkan sebuah dalil menujukkan wajibnya melakukan sesuatu, sedangkan dalil lain menunjukkan larangan terhadap sesuatu tersebut.


Para ilmuwan fiqih bersepakat bahwa secara hakikat, tidak mungkin terjadi pertentangan antara dalil-dalil syari’at. Karena tidak mungkin ada pertentangan antara dalil-dalil al-Qur’an demikian dalil-dalil hadits yang shahih. Para ulama menetapkan bahwa harus ada metode untuk keluar dari permasalahan tersebut. Pertama, dengan cara mengkompromikan antara dalil yang bertentangan. Kedua dengan cara menasakh salah satu dalil jika diketahui periodesasi dalil tersebut. dan ketiga melakukan tarjih atas dalil-dalil tersebut.


Sebagai contoh dalam kasus ini adalah tentang hukum batal atau tidaknya wudhu seseorang setelah tertidur. Ilmuwan fiqih berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang berpendapat tidur membatalkan wudhu, ada yang berpendapat tidak membatalkan wudhu dan adapula yang menetapkan ketentuan tentang tidur yang membatalkan wudhu dan tidur yang tidak membatalkan wudhu.


Dalil-dalil yang menjadi sebab perbedaan pendapat diantaranya adalah, pertama hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Anas ibn Malik

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ، ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ.(21) 

Bahwa para sahabat nabi saw menunggu mengakhirkan waktu sholat ‘isya hingga tertidur di masjid dan kepala mereka bergerak-gerak, kemudian mereka melaksanakan sholat tanpa berwudhu terlebih dahulu.


Kedua, hadits yang diriwayatkan al-Nasai dari Abu Hurairah ra,

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي وَضُوئِهِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا.(22) 

Jika salah seorang diantara kalian bangun dari tidur, maka janganlah memasukkan tangannya kedalam bejana air wudhu hingga mencucinya 3 kali.


Atas dasar contoh hadits di atas, ulama yang memadukan kedua hadits di atas berpendapat bahwa tidur yang nyenyak membatalkan wudhu, sedangkan tidur sebentar tidak membatalkan wudhu.


Syafi’i menyatakan bahwa cara tidur yang tidak membatalkan wudhu hanya tidur sambil duduk berdasarkan hadits Abu Dawud di atas.(23) Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidur yang membatalkan wudhu hanyalah tidur miring, berdasarkan hadits dari Abu Dawud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra,

إِنَّمَا الْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا.(24) 

Wudhu itu hanya wajib bagi orang yang tidur miring.


Adapun menurut Malik, tidur membatalkan wudhu adalah tidur yang mendatangkan hadats. Pada prinsipnya jika hadats biasanya dapat terjadi ketika seseorang tertidur, maka berarti hal tersebut membatalkan wudhu. Menurutnya hadats terjadi dalam tidur tidak terkait dengan cara tidur yang dilakukan.(25) 


D. Perbedaan-Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Urf (Adat Kebiasaan)


Urf adalah adat yang sudah masyhur dalam komunitas Muslim. Bagi para ilmuwan fiqih urf bisa menjadi dalil yang dapat dianggap keabsahannya selama tidak ada nash khusus yang membatalkannya.


Sebagai contoh penggunaan dalil urf adalah dalam kasus hukum upah dalam pengajaran al-Qur’an. Kalangan ilmuwan fiqih yang melarang upah dalam pengajaran al-Qur’an berdalil pada keumuman ayat 174 surat al-Baqarah

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.


Dari kalangan hanafiyah, al-Jashas (w.370H), berpendapat ayat tersebut menunjukkan dalil wajibnya menyampaikan ilmu dan larangan menyembunyikannya. Dengan demikian haram mengambil upah bagi pengajarnya, karena tidak ada hak memperoleh upah bagi yang menunaikan kewajibannya.(26) 


Dari kalangan ulama malikiyah, Syamsuddin Al-Qurthubi (w.671H), juga mengemukakan pendapat yang sama, yaitu

وَبِهَا اسْتَدَلَّ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُجُوبِ تَبْلِيغِ الْعِلْمِ الْحَقِّ، دُونَ أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَيْهِ، إِذْ لَا يَسْتَحِقُّ الْأُجْرَةَ عَلَى مَا عَلَيْهِ فِعْلُهُ، كَمَا لَا يَسْتَحِقُّ الْأُجْرَةَ عَلَى الْإِسْلَام.(27) 

Dan ayat ini pula yang digunakan oleh para ulama sebagai dalil kewajiban untuk menyampaikan ilmu kebenaran dan penjelasannya secara keseluruhan, tanpa mengharapkan imbalan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, hal ini dikarenakan seorang yang melakukan kewajiban tidak berhak atas imbalan apapun, sebagaimana Islam tidak mengambil imbalan kepadanya.


Adapun ilmuwan yang membolehkan mengambil upah dalam pengajaran al-Qur’an menyampaikan dalil-dalil, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dari Nabi saw bahwasanya beliau telah bersabda,

أَحَقُّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ.(28) 

sesungguhnya suatu peekerjaan yang paling berhak kamu ambil upahnya ialah (mengajarkan) Kitabullah (al-Qur’an).


Demikian pula riwayat lain yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra,

أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ، فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ المَاءِ، فَقَالَ: هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ، إِنَّ فِي المَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ عَلَى شَاءٍ، فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا: أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا المَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ».(29) 


bahwa beberapa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata; "Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa." Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; "Kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah."


Ilmuwan fiqih kontemporer menyebutkan dalil urf sebagai kebolehan mengambil upah dalam kegiatan pengajaran agama. Menurut Ali ash-Shobuni, upah dalam pengajaran ilmu-ilmu keislaman dibolehkan, agar para pemelihara al Qur’an dan ilmu-ilmu agama tidak hilang dikarenakan orientasi manusia yang terpaku pada dunia semata. Jika tidak dibolehkan mengambil berbagai upah mengajar maka tidak akan ada lagi orang yang mengajarkan ilmu dan belajar.(30) 


Kebolehan mengambil upah dalam mengajarkan ilmu agama juga dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili. Beliau berpendapat,

أفتى المتأخرون بجواز أخذ الأجور على تعليم العلوم الدينية، لتهاون الناس بها، وانصرافهم إلى الاشتغال بمتاع الحياة الدنيا، حتى لا تضيع العلوم، ولانقطاع مخصصات العلماء من بيت مال المسلمين، واضطرار العلماء إلى التزود بما يعينهم على شؤون الحياة.(31) 


Ulama mutaakhirin berfatwa tentang dibolehkan-nya mengambil upah dari mengajar ilmu-ilmu agama, disebabkan manusia meremehkan ilmu agama dengan orientasi mereka terhadap gemerlapnya kehidupan dunia. Sehingga ilmu-ilmu tersebut hilang seiring terputusnya kekhususan perhatian negara (untuk menjaga para ulama) dan memaksa para ulama untuk membekali dirinya dengan urusan-urusan kehidupan.


Catatan Kaki

  1. Ibn Sahl al-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), Juz 6, hlm 13
  2. Manshur bin Yunus al-Bahuty, Kasyāf al-Qinā’, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Juz 5, hlm 417.
  3. Abū al-Hasān ‘Ali al-Dāruquthni, Sunan al-Dāruquthni, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, 2004),Juz 1, hlm 394, hadits no 822.
  4. Abu Zakariya a-Nawawi, al-Majmu’, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 18, hlm 130
  5. Ibn Sahl al-Sarakhsi, op.cit, Juz 9, hlm 117
  6. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), Juz 9, hlm 24.
  7. Syihab al-Din al-Nafrawi, al-Fawakih al-Diwani, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), Juz 2. Hlm 17.
  8. Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Cairo: Maktabah al-Qahirah, tth), Juz 7,  hlm 3.
  9. Jalaluddin as-Suyuthi, al-hawi li al-Fatawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), Juz1, hlm 413
  10. Abul Qasim ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, (Cairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, tth), Juz 11, hlm 393, hadits no 12102 
  11. Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, (Cairo: al-Maktabah al-Islamiyah, tth), Juz 1, hlm 194-195.
  12. Abu Bakar al-Baihaqi asy-Syafi’i, as-Sunan ash-Shagir, (Pakistan: Jami’ah ad-Dirasah al-Islamiyah, cet pertama, 1989), Juz 1, hlm 297, no 821. 
  13. Abu Bakar al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar a-Kutub al-‘Ilmiyah, cet kedua, 1986), Juz 1, hlm 288. 
  14. Manshur bin Yunus al-Bahuti al-Hanbali, Kasyaf al-Qina, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah tth), Juz 1, hlm 425 
  15. Muhammad bin Ahmad ad-Dasuqi al-Maliki, Hasiyatu ad-Dasuqi ‘Ala Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) Juz 1, hlm 315-316.
  16. Abu Zakaria an-Nawawi asy-Syafi’i, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 4, hlm 31.
  17. Abul Hasan al-‘Adawi al-Maliki, Hasiyatu al-‘Adawi ‘ala Kifayati ath-Thalib ar-Rabbani, (Beirut: Dar al-FIkr, tth), Juz 1, hlm 462.
  18. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuqa an-Najah, 1442 H), juz 3, hlm 45, hadits no 2013.
  19. Abu Bakar Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, (Beirut: al-Maktab al-Islami, tth), juz 2, hlm 138, hadits no 1070
  20. Kamal Ibnu Himam, Fathul Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 1, hlm 467.
  21. Abu Dawud al-Sijjistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth),Juz 1, hlm 51, hadits no 200
  22. Abu Abdurrahman al-Nasai, Sunan al-Nasai, (Mesir: Maktabah al-Matbu’at al-Islamiyyah, cet kedua 1406 H),Juz 1, hlm 6, hadits no 1.
  23. Ibn Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, (Cairo: Dar al-Hadits, 2004),Juz 1, hlm 43.
  24. Abu Dawud Al-Sijjistani, op.cit, Juz 1, hlm 52, hadits no 202.
  25. Ibnu Rusyd, Loc.cit
  26. Abu Bakr al-Jashash al-Hanafi, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, 1405 H), vol 1, hlm 125.
  27. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua 1964), vol 2, hlm 185.
  28. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuqa al-Najah, 1422 H), Juz 3, hlm 92.
  29. Ibid, Juz 7, hlm 131, hadits no 5737.
  30. Muhammad Ali al-Shobuni, Rawa’i al-Bayan, (Suriah: Dar ash-Shobuni, tth), vol 1, hlm 151-152.
  31. Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-FIkr al-Mu’ashir, cet. kedua, 1412 H), vol 2, hlm 55.

Keutamaan Dakwah Kepada Allah



Sigit Suhandoyo

Pendahuluan

Da’wah adalah sebuah aktifitas yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Ia adalah keniscayaan bagi kemaslahatan bangsa. Melalui da’wah maka dengan ijin Allah ummat Islam akan sampai pada kejayaan, keagungan dan kepemimpinan. Demikian agungnya aktifitas da’wah, dalam banyak ayat dan ḫadits Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya menjanjikan kepada para pelaku da’wah (dā’i) kemuliaan di dunia dan akhirat.


Pembahasan tentang keutamaan da’wah menjadi penting dalam rangka memotivasi ummat Islam agar tidak mengabaikan perintah da’wah, bersemangat dalam berda’wah serta bersabar di atas jalan da’wah.


Pembahasan

A. Da’wah Merupakan Sebaik-Baik Aktifitas.


Allah ta’ala mensifati da’wah sebagai sebaik-baik aktifitas, sebagaimana firman-Nya dalam surat al Fushilat ayat 33,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?"” 


Ayat ini dimulai dengan bentuk pertanyaan (istifhām) yang bermakna al-nafī al-mutaqarir, Sehingga maksudnya adalah tidak ada sesuatu perkataan pun yang lebih baik kecuali da’wah. Sedangkan teks “qaulan” berarti “kalām, tharīqah dan ḫāl”(1)  atau  perkataan, metode maupun keadaan. Dengan demikian dapatlah diartikan bahwa seluruh aktifitas da’wah merupakan sebaik-baik aktifitas.


Menurut para pakar tafsir, yang dimaksud orang yang menyeru kepada Allah dalam ayat ini adalah, Nabi Muhammad saw, para Nabi Allah, para da’i, Imam ummat Islam dan Mu’adzin.(2)  Karena mereka inilah orang-orang yang menyeru kepada perbuatan baik (ibadah) dan kemudian bersama-sama melaksanakannya. 


Pakar tafsir Abdurrazaq ash-shan’ānī (w. 211 H) mengemukakan bahwa para pelaku da’wah adalah wakil Allah, orang-orang pilihan terbaik yang Allah cintai. Mereka menjawab panggilan Allah untuk menyeru kejalan Allah dengan berda’wah kepada seluruh manusia dengan senantiasa beramal sholeh dalam da’wahnya. Mereka itu adalah para khalifah Allah yang sesungguhnya.(3)  Allah juga mensifati mereka sebagai da’i sejati, yang sesuai perkataan dan amalnya, baik dalam keramaian maupun ketika sendirian.(4)  Allah lapangkan hati mereka dengan keikhlasan, Allah mudahkan segala perkara kehidupan mereka dengan keridho’an-Nya.(5) 


Demikian mulianya kedudukan mereka disisi Allah, hingga Sayyid Quthb mengemukakan, ” و على الداعية أن تتلقى كلمته بالإعراض، أو بسوء الأدب، أو بالتبجح في الإنكار. فهو إنما يتقدم بالحسنة. فهو في المقام الرفيع”(6)  Tidaklah pantas seruan seorang da’i disikapi dengan berpaling, adab yang buruk, atau pengingkaran. Karena seorang da’i datang dengan membawa kebaikan, mereka itu berada dalam kedudukan yang amat mulia.


Demikianlah ayat ini merupakan penetapan dan sanjungan bagi para dā’i bahwa tidak ada seorangpun yang lebih baik aktifitasnya dari mereka, terutama para Nabi dan Rasul, kemudian para pengikutnya sesuai tingkatan mereka dalam berperan di jalan da’wah.


B. Pahala yang Besar


Allah ta’ala menetapkan balasan pahala yang besar bagi para da’i. Hal ini sebagaimana sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw telah bersabda,

«مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا»(7) 

“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, ia berhak mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, ia berhak mendapat dosanya seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun”


Hadits ini seharusnya bisa menjadi motivasi yang kuat “targibun ‘adhīm”, bagi para dā’ī di jalan Allah karena mereka telah meneruskan tugas para Nabi dan Rasul. al-Khaulī mengemukakan, “بيّن الرسول صلى الله عليه وسلم أن الداعي إلى الهدى له من الأجر والثواب مثل من اتبعه مع استيفاء التابعين أجورهم كاملة”(8)  bahwa Rasulullah telah menjelaskan bagi para dā’ī dijalan Allah tersedia ganjaran dan pahala yang besar sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, termasuk pula pahala dari para pengikut selanjutnya secara sempurna. Dengan demikian selama masih ada orang-orang yang mengerjakan kebaikan yang pernah diajarkannya, maka masih mengalir pahala baginya.


Keterangan semacam ini juga tertera dalam hadits berikut yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ.(9)  

“Jika seorang manusia wafat terputuslah amalnya kecuali tiga hal; shodaqoh jariyah, ilmu yang  bermanfaat dan anak shaleh yang senantiasa mendo’a baginya.


Bagi para da’i yang meninggalkan ilmunya diantara manusia, memberikan petunjuk kepada kebaikan, petunjuk menuju surga Allah dan mencintai-Nya, maka tidak akan terputus kebaikan yang mengalir kepadanya. Setiap perbuatan orang yang beramal sholeh, atau belajarnya seorang pelajar maka Allah tuliskan bagi mereka pahala atas investasi kebaikan yang pernah mereka tanamkan.


Penjelasan selanjutnya tentang pahala bagi para dā’ī terdapat dalam sebuah ḫadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, bahwasanya pada saat perang khaibar Rasulullah saw telah berkata kepada ‘Ali,

«انفذ على رسلك حتى تنزل بساحتهم، ثم ادعهم إلى الإسلام، وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله فيه، فوالله لأن يهدي الله بك رجلاً واحداً خير لك من أن يكون لك حمر النعم»(10) 

“Jalanlah perlahan-lahan ke depan hingga kalian sampai di tengah-tengah mereka. Kemudian dakwahilah mereka pada Islam dan kabari mereka tentang perkara-perkara yang wajib. Demi Allah, sungguh jika Allah memberi hidayah pada seseorang lewat perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah”


Menurut Ibnu al-Anbarī, yang dimaksud “ḫumru an-ni’am” atau unta merah dalam hadits ini adalah sebuah kiasan yang menunjukkan “كرامها وأعلاها منزلة”(11)  yaitu kemuliaan dan ketinggian kedudukan bagi dā’ī yang melaluinya Allah memberikan hidayah kepada mitra da'wahnya. Dikatakan pula bahwa kata ini merupakan kiasan  dari kebaikan yang melebihi dunia dan seisinya “كناية عَنْ خَيْرِ الدُّنْيَا كُلِّهِ”(12) . 


Dapatlah dikatakan bahwa unta merah pada masa itu merupakan harta kendaraan yang paling berharga bagi orang Arab. Pakar ḫadits an Nawawi menjelaskan penggunaan kata unta merah ini merupakan analogi perkara akhirat dengan gejala-gejala keduniaan ”تَشْبِيهُ أُمُورِ الْآخِرَةِ بِأَعْرَاضِ الدُّنْيَا”.(13)  Unta merah sebagai kendaraan dunia yang paling berharga digunakan untuk mendekatkan pemahaman akan keutamaan balasan di akhirat. Meski demikian --masih menurut an-Nawawi--, analogi apapun yang Allah berikan tentang keadaan akhirat, sesungguhnya manusia tidak akan sanggup membayangkannya karena keadaan akhirat pasti lebih baik dan manusia memang memiliki keterbatasan akan hal tersebut. 


Para dā’ī juga dimuliakan Allah dengan memerintahkan makhluq-Nya untuk mendo’akan mereka. Hal ini tertera dalam sebuah riwayat dari Abū Umamah al Bahilī, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الخَيْرَ (14). 

“Sesungguhnya Allah swt, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu bershalawat bagi orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain”


Teks “layushollūna” pada hadits ini adalah mendo’akan kebaikan.(15)  Al-Munawi menuliskan bahwa Allah menurunkan kasih-sayang, para malaikat dan berbagai mahluk Allah memohonkan ampunan dan berdo’a bagi kebaikan para dā’ī.(16) 


C. Ummat Terbaik


Da’wah adalah tugas terbesar Nabi Muhammad SAW, yang merupakan keberadaan para nabi dan utusan, dan setelah mereka para ulama, para da’i, pemimpin ummat, dan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kecerdasan. Allah ta’ala mensifati mereka yang bekerjasama dalam da’wah sebagai khairu ummah. Allah berfirman dalam surat ali Imran 104,


كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. 


Sayyid Quthb menafsirkan masyarakat terbaik adalah masyarakat da’wah yang memiliki kedudukan khusus disisi Allah, “إنها حركة خفية المسرى، لطيفة الدبيب. حركة تخرج على مسرح الوجود أمة. أمة ذات دور خاص. لها مقام خاص، ولها حساب خاص”(17)   Ia adalah suatu gerakan yang halus yang rahasia, suatu gerakan yang indah yang merayap perlahan, namun gerakan ini sanggup mengeluarkan ummat kepentas dunia, ummat yang memiliki peranan khusus, maqam khusus dan hisab yang khusus pula.


Karena dalam perspektif Sayyid Quthb da’wah tak mesti harus melalui podium-podium, disambut oleh banyaknya pendengar atau gebyar kegiatan yang meriah. Melainkan da’wah merayap secara masif melalui keluhuran akhlaq setiap da’inya. Senantiasa berwajah ceria, memuliakan tetangga, menghormati yang tua, menyayangi yang muda, menutup aib saudaranya, meringankan beban orang lain, dsb adalah gerakan da’wah indah yang merayap perlahan namun masif.


Al mawardi mengatakan, “أَصْلِحْ نَفْسَك لِنَفْسِك يَكُنْ النَّاسُ تَبَعًا لَك”(18)  perbaikilah dirimu niscaya manusia akan mengikutimu. Muhammad Mahmud al Hijazi berkata “أصلح نفسك ثم ادع غيرك، ولا شك أن مرتبة دعوة الغير إلى الهدى والخير مرتبة عالية، ولا يلقاها إلا أفراد قلائل زكت نفوسهم وطهرت أرواحهم وامتلأت إيمانا ويقينا”(19)  perbaikilah dirimu kemudian serulah kepada orang lain, dan jangan ragu sesungguhnya berda’wah kepada orang lain hingga mendapatkan petunjuk dan kebaikan adalah dejarat yang tinggi, dan derajat yang mulia itu tidak diberikan Allah kecuali kepada sebagian kecil manusia yang mensucikan jiwa dan ruhnya serta memenuhi dirinya dengan iman dan keyakinan.


Pendapat lain tentang masyarakat terbaik adalah yang dikemukakan oleh al Qurthubi. Penyebab generasi pertama disebut sebagai masyarakat terbaik adalah karena kerapihan mereka bekerjasama dalam kebaikan, bahwasanya Abu Hurairah ra berkata, “نَحْنُ خَيْرُ النَّاسِ لِلنَّاسِ نَسُوقُهُمْ بِالسَّلَاسِلِ إِلَى الْإِسْلَامِ”(20)  Kami manusia terbaik diantara manusia karena mengajak manusia secara terkoordinir kepada Islam.”


Hamzah Manshur berkata,” إن الرسالة العظيمة تحتاج إلى قدر عال من الالتزام للنهوض بها” (21) . “Sesungguhnya risalah yang agung ini membutuhkan semua kekuatan terbaik dari komitmen untuk kebangkitannya. Demikianlah da’wah membangun masyarakat Islam, ia merupakan sebuah kerja besar yang membutuhkan banyak sumber daya. Selanjutnya Hamzah Manshur menambahkan, “da’wah merupakan kepentingan mulia yang mendesak, jalan yang tidak terukur, jalur sulit pendakian yang banyak. Hal ini akan menumbuhkan keragu-raguan bersikap dan keinginan menarik diri dari aktifitas amal.” Lemahnya perencanaan, minimnya keteladanan, serta tujuan yang samar adalah bukti pentingnya pengorganisasian da’wah.


Miqdad Yaljan menguraikan bahwa masyarakat terbaik yang dijanjikan memiliki beberapa karakteristik yaitu, Pertama, Masyarakat yang senantiasa memiliki semangat meyebarkan kebaikan. Kedua, masyarakat yang memilki semangat ukhuwwah insaniyyah. Ketiga, masyarakat yang senantiasa memperluas persatuan dan kekuatan. Keempat, masyarakat yang berorientasi kepada kemaslahatan bersama. Kelima, masyarakat yang memiliki semangat tunduk pada peraturan. Keenam, masyarakat yang semangat meraih kemajuan di berbagai bidang. (22) 


D. Terhindar dari Azab Allah.


Allah ta’ala berfirman dalam surat al-A’rāf ayat 165,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang dzalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”


Pakar tafsir al-Wahidi mengutip pendapat Ibnu Zaid, bahwa ayat ini merupakan peringatan yang keras bagi mereka yang meninggalkan da’wah(23).   Menurut ‘Ikrimah keberadaan “Firqatu an-Nāhiyah” golongan yang melarang dari berbuat mungkar adalah fardhu kifāyah.(24)  Artinya harus selalu ada sekelompok ummat Islam yang senantiasa berda’wah, dan fardhu kifāyah itu tetap menjadi fardhu ‘ain hingga ia di tegakkan. Demikianlah Allah selamatkan golongan yang berda’wah dan Dia azab golongan yang membangkang. Aktifitas da’wah adalah kontrol sosial yang harus dilakukan untuk mendominasi kehidupan agar Allah melimpahkan keberkahan.


Da’wah adalah kebutuhan masyarakat. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan keamanan bersama. Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,


مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا.(25) 


“Perumpamaan orang-orang yang senantiasa melaksanakan hukum-hukum Allah dan orang yang terperosok di dalamnya adalah laksana orang-orang yang membagi tempat dalam suatu bahtera, sebagian orang diatasnya dan sebagian dibawahnya. ketika orang-orang yang berada dibawah memerlukan air, tentu mereka harus melintasi orang-orang yang dibagian atas. kemudian mereka berkata, “kami akan lubangi saja bagian bawah ini.” jika mereka membiarkan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang dibagian bawah, niscaya akan binasalah semua. Namun bila mereka mencegah perbuatan tersebut, maka akan selamat dan selamatlah semuanya”


Melalui hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan sebuah perumpaan yang indah tentang da’wah sebagai sebuah kebutuhan sosial. Sebab sebuah kesalahan sebagian pihak tidak hanya berdampak negatif pada lingkup individu semata melainkan juga pada lingkup sosial yang lebih luas. Terlaksananya tugas da’wah bagi masyarakat berbanding lurus dengan keselamatan dan eksistensi masyarakat tersebut. 


Keselamatan masyarakat karena da’wah juga tertera pada sebuah riwayat dari Hudzaifah ibn al-Yaman, bahwasanya Rasulullah telah bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ.(26) 

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan doa kalian”


Hadits ini merupakan peringatan atas pengabaian da’wah. Menurut al-Qari, Rasulullah saw bersumpah, demi Allah jika salah satu perkara dari menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran diabaikan, niscaya Allah akan menurunkan Azab seraya menutup pintu bagi do’a-do’a yang dipanjatkan sebagai hukuman karena mengabaikan da’wah.(27) 


Kesimpulan

Demikianlah da’wah merupakan tuntutan terbesar dalam agama. Ia adalah keniscayaan yang diilhamkan kepada semua Nabi dan Rasul. Diantara rintangan permasalahan ummat yang kompleks maupun tantangan dari kalangan yang membenci da’wah, Allah menetapkan berbagai keutamaan dan pahala yang besar bagi para da’i di dunia dan akhirat.

Nilai penting dari kajian keutamaan-keutamaan da’wah adalah sebagai motivasi untuk senantiasa bersabar melakukan aktifitas da’wah. 

 

Catatan Kaki

  1. ‘Abdurrahmān as-Sa’dī, Taisīr al-Karīm ar-Rahmān, (Beirut: Muassasatu ar-Risālah, cet pertama, 2000), Jilid 1, hlm 796.
  2. Lihat Abū Ja’far ath-Thobarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, (Beirut: Muassasatu ar-Risālah, cet pertama, 2000), Jilid 21, hlm 468. Lihat Juga   Abū Ishāq ats-Tsa’labī, al-Kasyfu wal Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’an, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-Arabī, cet pertama, 2002), Jilid 8, hlm 296. Lihat Juga Abū Muhammad al-Bagawī, Ma’ālim at-Tanzīl Fī Tafsīr al-Qur’ān, ( Beirut: Dār Ihyāu Turats al-Arabī, cet pertama, 1420 H), Jilid 4, hlm 132.
  3. Abdurrazaq ash-shan’ānī, Tafsīr Abdurrazaq, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. pertama, 1419 H), Jilid 3, hlm 155. 
  4. Abū Ja’far ath-Thobarī, Op.cit, Jilid 21, hlm 469.
  5. ‘Abdul Karīm al-Qusyairī, Lathāifu al-Isārāt, (Mesir: al-Haiatu al-Mishriyatu al-‘Āmah lil Kitab, tth ), Jilid 3, hlm 331.
  6. Sayyid Quthb, Fī Dzilāl al-Qur’ān, (Beirut: Dār asy-Syurūq, 1412 H), Jilid 5, hlm 3121.
  7. Muslim bin Hajjaj an Naisabūry, Shahīh Muslim, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabiy, tth), Jilid 4, hlm 2060, hadits no 2674.
  8. Muhammad ‘Abdul ‘Azīz al-Khaulī, al-Adab an-Nabawī, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, Cet. Ke-4, 1423 H), hlm 211.
  9. Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Baaby al-Halaby, cet kedua 1975), Jilid 3, hlm 652, hadits no 1376. Tirmidzi menshahihkan hadits.
  10. Muhammad bin Isma’il al Bukhari, Shahīh al-Bukhārī, (Riyadh: Dār Thuwaiq an-Najah, cet. pertama 1422 H), Jilid 4, hlm 60, hadits no. 3009.
  11. Sebagaimana dikutip oleh Ibnu bathāl, Syarh Shahīh al-Bukhārī li Ibn Bathāl, (Riyadh: Maktabatu ar-Rusyd, cet. ke-2, 2003), Jilid 5, hlm 166. 
  12. ‘Abdurrahmān al-Mubārakfūrī, Tuḫfatu al-Aḫwadzi bi Syarh Jāmi’ at-Tirmidzī, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Jilid 10, hlm 157.
  13. Abu Zakariya an-Nawawi, al-Minḫāj Syarḫ Shaḫīḫ Muslim, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabiy, cet. ke-2 1392 H), Jilid 15, hlm 178. 
  14. Muhammad bin ‘Isya at-Tirmidzī, al-Jāmi’ al-Kabīr, (Beirut: Dār al-Garb al-Islāmī), Jilid 4, hlm 347, hadits no 2685. Tirmidzi menshahihkan ḫadits.
  15. Al-Malā ‘Alī al-Qārī, Mirqāt al-Mafātīh Syarh Misykāt al-Mashābīh, (Beirut: Dār al-Fikr, Cet. Pertama, 1422 H), Jilid 1, hlm 298.
  16. Zainuddin al Munawi, at-Taysīr bi Syarh al-Jāmi’ ash-Shagīr, (Riyadh: Maktabah al-Imām asy-Syāfi’ī, cet ke-3, 1988),Jilid 2, hlm 170.
  17. Sayyid Quthb, op.cit, jilid 1, hlm 447.
  18. Al Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Diin, (Dar al-Maktabah al-Hayah,1986), hlm 358.
  19. Muhammad Mahmud al Hijazy, at Tafsir al Wadhih, (Beirut: Dar al-Jalil al-Jadid, 1413 H), jilid 3, hlm 340.
  20. yamsuddin al-Qurthubi, al Jami’ li Ahkam al Qur’an, (Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H), jilid 4, hlm 170.
  21. Hamzah Manshur, Hakadza ‘Alimtuny Da’wah al Ikhwan al-Muslimin, (Libanon: Dār al Furqān, 1419 H),  hlm 24.
  22. Miqdad Yaljan, Peranan Pendidikan Akhlaq Islam dalam Pembentukan Individu, Masyarakat dan Peradaban manusia, terjemahan Dr. Azra’ie Zakaria, MA. (Jakarta: LP2M Universitas Islam Asy Stafi’iyyah, 2011), hlm .87. 
  23. Abū al-Hasan ‘Alī Al-Wahīdī, al-Wasīth fī Tafsīr al-Qur’ān al Majīd, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. pertama, 1994), Jilid 2, hlm 420.
  24. Sebagaimana dikutip Aḫmad Ibnu ‘Ajībah, al-Bahru al-Madīd Fi Tafsīr al-Qur’ān al-Majīd, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009) Jilid 2, hlm 274.
  25. Muhammad bin Isma’il al Bukhāri, op.cit,  Jilid 3, hlm 139, hadits no 2493.
  26. Muhammad bin ‘Isya at-Tirmidzī, op.cit, Jilid 4, hlm 38, hadits no 2169. Tirmidzi menghasankan ḫadits.
  27. Al-Malā ‘alî al-Qāri, op.cit, Jilid 8, hlm 3211.


Tafsir Tentang Hukum Makanan Haram

 



Sigit Suhandoyo 

PENDAHULUAN

Kajian tentang prilaku konsumsi dalam naskah ini difokuskan pada teks ayat tentang makanan yang diharamkan. Kajian ini merujuk secara khusus pada surat al-Baqarah ayat 173 dan dilengkapi dengan surat al-An’am ayat 145, serta teks-teks hadits yang dikemukakan oleh para ulama tafsir. Naskah ini berupaya mengemukakan ragam pendapat ulama tafsir berdasarkan mazhab fiqh yang diikutinya.


PEMBAHASAN 


Allah telah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 173 sebagai berikut:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi-mu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


1. Pembatasan Makanan Haram


Para ulama tafsir menuturkan bahwa penggunaan teks (إِنَّما) innama pada awal kalimat ayat ini menunjukkan pembatasan makanan haram atas apa yang disebutkan dalam ayat. Pembatasan ini menunjukkan bahwa makanan yang dihalalkan Allah jauh lebih banyak dari yang diharamkan, sehingga perlu disebutkan makanan yang haram, diantaranya yang disebutkan dalam ayat 173 surat al Baqarah ini,


Pakar tafsir hukum dari abad ke 7 Hijriah, Syams al-dīn al Qurthubī menuturkan bahwa, 

إِنَّمَا" كَلِمَةٌ مَوْضُوعَةٌ لِلْحَصْرِ، تَتَضَمَّنُ النَّفْيَ وَالْإِثْبَاتَ، فَتُثْبِتُ مَا تَنَاوَلَهُ الْخِطَابُ وَتَنْفِي مَا عَدَاهُ، وَقَدْ حَصَرَتْ هَا هُنَا التَّحْرِيمَ، لَا سِيَّمَا وَقَدْ جَاءَتْ عُقَيْبَ التَّحْلِيلِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى:" يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّباتِ مَا رَزَقْناكُمْ" (1)

Kata Innama merupakan kata yang digunakan untuk membatasi sesuatu. Yang melingkupi penetapan dan peniadaan. Maka ayat ini menetapkan hukum atas sesuatu yang disebutkan dan meniadakan hukum yang tidak disebutkan. Dan ayat ini khusus membatasi makanan yang diharamkan. Terutama karena ayat ini disebutkan setelah ayat tentang penghalalan “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” (2:172). 


Adapun barang-barang yang diharamkan ini menurut Wahbah al-Zuhaili, ditambah lagi dengan apa yang diharamkan dalam surah al-Maa'idah ayat 3 serta apa yang diharamkan Rasulullah saw., antara lain: memakan setiap hewan buas yang bertaring setiap burung yang berkuku tajam, dan daging keledai yang jinak.(2) 


2. Bangkai


Pakar susatera Arab dari Abad ke 12 Hijriah, Murtadha al-Zabīdī mengemukakan bahwa secara bahasa yang dimaksud bangkai hewan adalah,

مَا فارقَتْه الرُّوحُ بِغَيْر ذَكاة، وَهِي مُحَرَّمةٌ كُلُّها إِلاّ السَّمَكَ والجَراد فإِنَّهما حلاَلانِ بإِجْماع المُسْلِمينَ.(3)

“segala sesuatu yang berpisah ruh dari jasadnya tanpa melalui penyembelihan, semua itu diharamkan kecuali ikan dan belalang. Keduanya halal berdasarkan ijma ummat Islam.


Termasuk dalam pengertian bangkai adalah bagian tubuh hewan yang terpotong dari hewan yang masih hidup. Sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abu Dawud, dari Abu Waqid bahwasanya Nabi saw bersabda,

مَا قَطَعَ مِنَ البَهِيمَةِ و هي حَيَّةٌ، فَهِيَ مَيْتَةٌ.(4)

Segala sesuatu yang terpotong dari hewan yang hidup maka ia adalah bangkai.


Hamad al-Khattabī penulis Ma’alim al-Sunan, memberikan penjelasan sebagai berikut, 

هذا في لحم البهيمة وأعضاءها المتصلة ببدنه دون الصوف المستخلف والشعر ونحوه. (5)

“Bahwa yang dimaksud bangkai pada hadits tersebut adalah daging dan anggota tubuh selain bulu dan rambut pada hewan dan sejenisnya”.  Al-Munawi menambahkan, tak terkecuali penyebab daging atau anggota tubuh yang telepas dari hewan hidup itu karena perilaku manusia atau hewan lain maupun karena tindakannya sendiri.(6) 


Dalam Ahkam al-Qur’an, Abu Bakr al Jashas, seorang penafsir al-Qur’an dari kalangan Hanafiyah mendefinisikan bahwa yang dimaksud bangkai dalam ayat 173 surat al-baqarah adalah,

اسْمٌ حيوان الْمَيِّتِ غَيْرِ الْمُذَكَّى وَقَدْ يَكُونُ مَيْتَةً بِأَنْ يَمُوتَ حَتْفَ أَنْفِهِ مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ لِآدَمِيٍّ فِيهِ  وَقَدْ يَكُونُ مَيْتَةً لِسَبَبِ فِعْلِ آدَمِيٍّ إذَا لَمْ يَكُنْ فِعْلُهُ فِيهِ عَلَى وَجْهِ الذَّكَاةِ الْمُبِيحَةِ لَهُ(7) 

Sebutan bagi hewan yang telah mati tanpa penyembelihan dan telah menjadi bangkai dengan kematian secara wajar tanpa sebab perbuatan manusia padanya. Dan menjadi bangkai pula disebabkan perbuatan manusia jika tidak menyembelihnya dengan menghadapkan penyembelihan tersebut bagi sesuatu yang diperbolehkan baginya.


Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Zuhaili, Masuk dalam kategori "bangkai", yaitu semua hewan yang mati tanpa disembelih secara syar'i, baik ia mati karena tercekik, iatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas dan ketika didapati sudah tidak hidup sehingga tidak dapat disembelih. Demikian pula semua hewan yang tidak boleh dimakan; meskipun ia disembelih, hukumnya sama seperti bangkai, contohnya: binatang buas dan lain-lain.(8) Para Fuqaha  sepakat atas pengharaman memakan bangkai dalam keadaan lapang dan kemampuan berusaha.(9)  Semua pendapat tersebut berdasarkan dalil surat al Baqarah 173.


Pakar tafsir dari abad ke 6 hijriah, Fakhr al-din Al-Razi menjelaskan hikmah pengharaman bangkai sebagai berikut, 

وَاعْلَمْ أنَّ تَحرِيمَ الميتةِ مُوافَقٌ لِمَا فِي العقولِ، لأنَّ الدَّم جَوْهَرٌ لطِيفٌ جِداً، فإِذَا ماتَ الحيوانُ حَتْفُ أَنْفِهِ اِحْتَبَسَ الدَمُ في عُرُوقِ  وَ تَعَفَّنَ وَ فَسَدَ، و حصلَ مِن أكْلِهِ مُضارٌّ عظيمةٌ.(10) 

ketahuilah bahwa diharamkannya bangkai adalah rasional, karena darah adalah zat yang sangat halus, jika bangkai hewan yang mati secara wajar darahnya tertahan pada sumbernya dan rusak membusuk, serta membawa kemudharatan yang berbahaya bagi pemakannya.


Pakar tafsir al-Zuhaili menambahkan, bahwa mengonsumsi bangkai diharamkan, karena darah tertahan di bangkai berbahaya bagi manusia, dagingnya menjadi rusak dan biasanya terkontaminasi dengan penyakit. Iadi, bangkai diharamkan karena ia kotor dan menjijikkan serta karena mengandung mudarat.(11) 


3. Darah yang mengalir


Pakar tafsir al-Zuhaili mengemukakan bahwa yang dimaksud (الدَّمَ) adalah (المسفوح),(12)  yaitu darah yang mengalir dari tubuh hewan, meskipun hewan tersebut disembelih. Syams al-din al-Qurthubi mengemukakan “وَالدَّمَ" اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الدَّمَ حَرَامٌ نَجِسٌ لَا يُؤْكَلُ وَلَا يُنْتَفَعُ بِهِ”(13)  adapun darah para ulama bersepakat bahwa darah itu hukumnya najis dan haram, tidak boleh dimakan dan tidak boleh dimanfaatkan dalam bentuk apapun. Sebagaimana telah mutlak pelarangannya pada ayat ini dan surat al an’am 145 “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." 


Lebih lanjut menurut al-Zuhaili, pengharaman darah dibatasi dengan sifat yang disebutkan pada surah al-An'aam ayat 145, yaitu darah yang mengalir (دَماً مَسْفُوحا)(14) . Para ulama kemudian bersepakat bahwa hukum yang mutlak dalam surah al-Baqarah ini diartikan dengan hukum yang muqayyad (dibatasi) dalam surah al-An'aam, maka dari itu mereka hanya mengharamkan darah yang masfuuh. Kata Aisyah, "Seandainya Allah tidak berfirman au daman masfuuhan (al'An'aam: 145), tentu manusia terpaksa harus mencari-cari darah yang ada di urat-urat." Dengan demikian, darah yang mencampuri daging dan ada di dalam urat-urat tidak haram.


Termasuk darah yang tidak diharamkan adalah hati dan limpa sebagaimana hadits yang diriwayatan oleh al-Imam al-Syafii berikut,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، الْمَيْتَتَانِ: الْحُوتُ وَالْجَرَادِ، وَالدَّمَانِ، أَحْسِبُهُ قَالَ: الْكَبِدُ وَالطِّحَالُ "(15) 

Dari Ibnu Umar ra berkata: bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda; “dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, dua darah adalah hati dan limpa.


Al Qurthubi berkata, darah yang diharamkan adalah yang mengalir (tidak bercam-pur dengan urat dan daging). Kemudian beliau menyampaikan perkataan dari ‘Aisyah ra,

كُنَّا نَطْبُخُ الْبُرْمَةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْلُوهَا الصُّفْرَةُ مِنَ الدَّمِ فَنَأْكُلُ وَلَا نُنْكِرُهُ (16)

Kami pernah memasak daging dalam kuali, di masa Nabi saw, kuali itu mendidih kekuning-kuningan dari warna darah, kemudian kami memakannya dan kami tidak mengingkarinya.


4. Babi


Para ulama fiqh sepakat pengharaman daging babi berdasarkan dalil ayat ini dan al an’am 145, kecuali dalam keadaan darurat. Para ulama sepakat pengharaman memakan babi, daging, lemak, bagian luar dan dalamnya, dan tidak ada khilaf padanya. Dan ulama Malikiyah -jika dalam keadaan darurat- mewajibkan mendahulukan bangkai selain babi daripada babi, karena babi haram zatnya, apalagi bangkainya.


Wahhab al-Zuhaili, ulama dari kalangan Hanafiyah, mengulas pendapat madzhab Zhahiri yang membatasi keharamannya pada daging saja, tidak mencakup lemak. Mereka berpedoman kepada prinsip mereka: berpegang kepada Iahiriah nash saja, karena Allah berfirman: (وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ) dan daging babi, sehingga menurut Zhahiri yang haram hanya dagingnya saja. Pendapat semacam ini menurut al-Zuhaili salah, fungsi penyebutan "daging" adalah karena babi merupakan hewan yang disembelih demi dagingnya, dan tidak masuk akal jika hukum daging dan lemak dibedakan.(17) 


Terdapat khilaf dikalangan ulama, mengenai pemanfaatan bulu babi. Dari kalangan Malikiyah, pakar tafsir hukum al Qurthubi berpendapat,

لَا خِلَافَ أَنَّ جُمْلَةَ الْخِنْزِيرِ مُحَرَّمَةٌ إِلَّا الشَّعْرَ فَإِنَّهُ يَجُوزُ الْخِرَازَةُ بِهِ. وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ رجلا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخِرَازَةِ بِشَعْرِ الْخِنْزِيرِ، فَقَالَ: (لَا بَأْسَ بِذَلِكَ) ذَكَرَهُ ابْنُ خُوَيْزِ مَنْدَادُ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْخِرَازَةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ، وَبَعْدَهُ مَوْجُودَةٌ ظَاهِرَةٌ، لَا نَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْكَرَهَا وَلَا أَحَدَ مِنَ الْأَئِمَّةِ بَعْدَهُ (18)

Tidak ada khilaf mengenai pengharaman babi secara utuh kecuali bulunya yang diperbolehkan dimanfaatkan bagi tukang jahit kulit. Sebagaimana telah diriwayatkan dari seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang  penjahit dengan menggunakan bulu babi, Rasulullah bersabda (tidak apa-apa dengan yang demikian). Ibnu Huwaiz bin Mandad berkata, cara yang demikian telah berlangsung sejak jaman nabi dan sesudahnya, dan kami tidak mengetahui nabi melarangnya demikian juga ulama sesudahnya.


Pendapat al-Qurthubi, diatas dibatasi oleh al-Zuhaili, bahwa yang dihalalkan adalah sekedar melubangi kain dengan bulu babi.(19) Menurut sebuah riwayat, seorang pria pernah menanyai Rasulullah saw tentang melubangi dengan bulu babi, dan beliau mengatakan kebolehannya. Sehingga tetap tidak dibolehkan menggunakan pakaian yang jahitannya menggunakan bulu babi.


5. Hewan yang disembelih bukan atas nama Allah


Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, ulama dari kalangan hanabilah. Hewan yang disembelih atas nama selain Allah adalah bentuk perbuatan yang keji karena menghilangkan nyawa makhluq ciptaan-Nya tetapu bukan atas nama Allah. Ia menuturkan,  

فَاحْتِقَانُ الدَمِ في الميتةِ سببٌ ظاهرٌ، وَ أمّا ذَبِيحةُ المجوسي و المرتدِّ و تارِكِ التسميةِ و من أهلَّ بِذَبِيحتِهِ لغير اللّهِ،  فَنَفْسُ ذَبَيحَةِ هؤلاءِ أَكْتَسَبَتِ المَذْبُوحِ خُبُثاً  أَوْجَبَ تَحْرِيمُهُ، وَ لاَ يُنْكِرُ أَنْ يَكوُنَ ذِكْرُ اسمُ الأوثانِ و الكواكبِ و الجِنِّ على الذَبِيحةِ يُكسبُها خُبُثاً، و ذِكرُ اسم اللّهِ  وَحْدَهُ يَكْسِبُها طيباً  إلاّ مَن قَلَّ نَصِيبُهُ مِن حَقَائِقَ العِلمِ وَ الإِيْمَانِ و ذُوقِ الشريعةِ. (20)

Penetapan pengharaman darah pada bangkai adalah sebab yang terlihat, adapun sembelihan majusi, orang murtad dan mereka yang meninggalkan bacaan bismillah serta sembelihan yang disembelih untuk selain Allah maka pada dasarnya sembelihan mereka itu ditetapkan sebagai sembelihan yang buruk yang ditetapkan pengharamannya. Dan tidak dapat dipungkiri apabila penyembelihan disertai dengan menyebut berhala-berhala, bintang-bintang dan jin atas hewan sembelihan adalah merupakan perlakuan keji padanya. Dan menyebutkan nama Allah semata para hewan sembelihan merupakan kebaikan kecuali sedikit sekali orang yang memahami dari hakikat-hakikat ilmu dan iman serta tabi’at hukum syari’at.


Mengenai makna yang disembelih atas selain nama Allah, Mahaguru Tafsir dari lereng Alborz, Abu Ja’far al-Thobari memerincinya sebagai berikut,

ما ذُبح للآلهةِ والأوثانِ  يُسمَّى عليه بغير اسمِه، أو قُصِدَ به غيرُه من الأصنامِ (21)

Segala yang disembelih bagi patung dan berhala dan yang disebut dan ditujukan sembelihannya pada selain Allah.


Menurutnya para ulama berbeda pendapat mengenai kalimat ini, sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud adalah yang disembelih bagi selain Allah, sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas ra,

ما ذُبِح لغير اللّهِ من أهل الكفرِ، غيرَ اليهودِ والنصارى. (22)

Maksudnya adalah segala sembelihan yang ditujukan bagi selain Allah dari orang-orang kafir, selain yahudi dan Nashrani.  Diriwayatkan pula dari ‘uqbah bin muslim mengenai makna binatang yang disembelih disebut nama selain Allah adalah sembelihan orang majusi, para penyembah berhala dan orang-orang musyrik.(23)  Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hewan yang disembelih tidak disebutkan nama Allah padanya.(24)  


Abu Bakr Al-Jashas berpendapat bahwa diharamkan menyamakan nama selain Allah pada sembelihan.

يُوجِبُ تَحْرِيمَهَا إذَا سُمِّيَ عَلَيْهَا بِاسْمٍ غَيْرِ اللَّهِ لِأَنَّ الْإِهْلَالَ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ هُوَ إظهار غير اسم الله ولم يفرق في الْآيَةُ بَيْنَ تَسْمِيَةِ الْمَسِيحِ وَبَيْنَ تَسْمِيَةِ غَيْرِهِ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ الْإِهْلَالُ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ وَقَوْلُهُ فِي آيَةٍ أُخْرَى  وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ.(25)  

Wajibnya pengharaman jika disamakan atasnya nama selain Allah karena sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya adalah  meninggikan nama selain Allah dan tidak ada perbedaan dalam ayat antara penyebutan nama al masih dan penyebutan sesudahnya adalah sembelihan yang disebutkan atasn nama selain Allah sebagaimana dalam ayat lain dan (diharamkan bagimu) sembelihan yang dilakukan atas nama berhala.


Berbeda dengan al Jashas, Dari kalangan Syafi’iyyah, al Baihaqi menuliskan pendapatnya sebagai berikut,

وَأَحَلَّ اللَّهُ (عَزَّ وَجَلَّ) : طَعَامَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَقَدْ  وَصَفَ ذَبَائِحَهُمْ، وَلَمْ يَسْتَثْنِ مِنْهَا شَيْئًا. فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَحْرُمَ   ذَبِيحَةُ كِتَابِيٍّ وَفِي الذَّبِيحَةِ حَرَامٌ- عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ-: مِمَّا   كَانَ حَرُمَ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ، قَبْلَ مُحَمَّدٍ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). وَلَا يَجُوزُ:- أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ حَلَالًا-: مِنْ جِهَةِ الذَّكَاةِ لِأَحَدٍ، حَرَامًا عَلَى غَيْرِهِ. لِأَنَّ اللَّهَ (عَزَّ وَجَلَّ) أَبَاحَ مَا ذُكِرَ: عَامَّةً لَا: خاصّة. (26)

Allah telah menghalalkan makanan Ahli kitab dan sungguh dia telah menerangkan sifat sembelihan mereka dan tidak mengecualikan sesuatupun darinya. Oleh karena itu sembelihan ahli kitab tidak boleh diharamkan selain itu dalam sembelihan diharamkan atas setiap muslim apa yang diharamkan atas ahli kitab sebelum nabi Muhammad saw.Sesuatu yang halal – dari sisi penyembelihan – bagi seseorang tidak boleh menjadi haram atas yang lain, sebab Allah telah membolehkan apa yang telah disebutkan secara umum dan tidak secara khusus.


Mengenai bagaimana memakan sembelihan yang membuat kita ragu untuk memakannya dapat dirujuk kepada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Daruquthni, dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Nabi saw bersabda

الْمُسْلِمُ يَكْفِيهِ اسْمُهُ فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يُسَمِّيَ حِينَ يَذْبَحُ فَلْيُسَمِّ ثُمَّ لِيَأْكُلْ.  (27)

“seorang muslim itu cukup dengan namanya. Bila ia lupa menyebut nama Allah ketika menyembelih hendaknya ia menyebut nama Allah sebelum makan, kemudian memakannya”


Dalam riwayat lain terdapat pula sebuah riwayat dari Abu Dawud, bahwasanya Nabi saw telah berkata: 

ذَبِيحَةُ الْمُسْلِمِ حَلَالٌ، ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ أَوْ لَمْ يَذْكُرْ، إِنَّهُ إِنْ ذَكَرَ لَمْ يَذْكُرْ إِلَّا اسْمَ اللَّهِ (28)

“umumnya sembelihan orang muslim adalah halal, ia menyebut nama Allah maupun tidak. Seandainya ia lupa tidak menyebutnya pasti nama Allah yang ia maksudkan”.


Sekalipun demikian menurut Al-Shon’ani, hadits ini tidak bisa membantah hadits-hadits yang mewajibkan melafazkan basmalah dengan mutlak. Namun berdasarkan hadits ini pula bagi seorang Muslim penyebutan nama Allah ketika menyembelih menjadi tidak mutlak. Dengan demikian al-Shan’ani menganjurkan sebaiknya tidak memakan sembelihan yang tidak dilafazhkan nama Allah untuk kehati-hatian.(29)


6. Hukum mengkonsumsi makanan yang diharamkan dalam keadaan terpaksa.


Teks yang tertera pada akhir ayat ini menjadi kajian para ulama yang beragam tentang ketentuan hukumnya,

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkan-nya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.


Al-Imam Al-Baihaqi menuliskan pendapat al-Imam Al-Syafi’i mengenai ayat ini, 

فَيَحِلُّ مَا حُرِّمَ: مِنْ   الْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَلَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَكُلُّ مَا حُرِّمَ-: مِمَّا لَا   يُغَيِّرُ الْعَقْلَ: مِنْ الْخَمْرِ.-: لِلْمُضْطَرِّ (30)

bahwa dengan demikian apa yang telah diharamkan berupa bangkai, darah dan daging babi dan semua yang diharamkan dari apa yang tidak merusak akal seperti khamr, menjadi halal saat dalam keadaan darurat. 


Ibnu Katsir mengutip beberapa riwayat mengenai batasan-batasan kebolehan memakan makanan yang diharamkan, sebagai berikut,

غَيْرَ بَاغٍ: يَعْنِي غَيْرَ مُسْتَحِلِّهِ. وَقَالَ السُّدِّيُّ: غَيْرَ بَاغٍ يَبْتَغِي فِيهِ شَهْوَتَهُ، وَقَالَ عَطَاءٌ الْخُرَاسَانِيُّ فِي قَوْلِهِ: {غَيْرَ بَاغٍ} لَا يَشْوِي مِنَ الْمِيتَةِ لِيَشْتَهِيَهُ وَلَا يَطْبُخُهُ، وَلَا يَأْكُلُ إِلَّا العُلْقَة، وَيَحْمِلُ مَعَهُ مَا يُبَلِّغُهُ الْحَلَالَ، فَإِذَا بَلَغَهُ أَلْقَاهُ [وَهُوَ قَوْلُهُ: {وَلا عَادٍ} يَقُولُ: لَا يَعْدُو بِهِ الْحَلَالَ (31)

Maksud “ghair baghin” ialah tidak menghalalkannya. As sudi berkata bahwa “ghairu baghin” adalah tidak mengikuti selera ingin memakannya. Berkata “Atha al Khurasany bahwa “ghairu baghin” ialah seseorang tidak boleh memanggang sebagian dari bangkai itu untuk membuatnya berselera memakannya, tidak boleh memasaknya serta memakannya kecuali hanya sedikit. Ia boleh membawanya hingga ia dapat menemukan makanan yang halal. Jika ia telah menemukan makanan halal maka ia harus membuangnya, demikian yang dimaksud firman Allah “wala ‘aadin” yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya hingga ia menemukan yang halal.


Pakar tafsir al-Jashas mengemukakan pengecualian terhadap makanan yang diharamkan sebagai berikut,

وَ أمَّا فِي حالَةِ الإِلْجَاءِ و الاِظطرَارِ، فَقَد ذهب الفقهاءُ إلى جوازِ أكْلِ الميتَةِ عِنْدَئِذٍ، فَمَنِ اظْطُرَّ إلى أكلِ الميتةِ إمّا بإكراهِ مُلْجىءٍ مِن ظالمٍ أو بِجوعٍ في مَخْمَصَةٍ أو بِفِقْرٍ لاَ يجِدُ مَعَهُ غيرَ الميْتةِ، حَلَّ لهُ ذلك َالدَاعِي الضَرُورَةِ. (32)

Mengenai keadaan terpaksa, maka para fuqaha membolehkan memakan bangkai seperlunya. Maka barangsiapa terpaksa memakan bangkai apakah dengan paksaan dari orang dholim atau karena lapar yang sangat atau karena kefakiran dan tidak menemukan pada sisinya selain bangkai. Dihalalkan baginya yang demikian itu karena sebab keadaan darurat.


Fuqaha kalangan Hanafiyah dari abad 8 hijriah, Fakhr al-Din Al-Zayla’i berpendapat,

فَظَهَرَ أنَّ التَحرِيمَ مَخصوصٌ بِحالةِ الإِخْتِيارِ، و فِي حالةٍ الاِظْطرارِ مباحٌ ،  لأَنَّ الضروراتِ تُبِيحُ المَحْظورَاتِ (33)

Tegasnya suatu pengharaman disebabkan keadaan  bebas untuk berusaha, sehingga dalam keadaan terpaksa maka sesuatu yang diharamkan bisa berubah hukumnya menjadi bolehn. Sebagaimana kaidah “sesungguhnya keadaan terpaksa membolehkan larangan” 


Terkait batasan kondisi darurat yang membolehkan seseorang memakan makanan yang diharamkan, para ulama  berbeda pendapat. Secara ringkas pendapat mereka terbagi dalam tiga kelompok


Pertama, ditakutkan terjadi pada dirinya kematian baik secara pasti maupun perkiraan. Ini adalah pendapat yang masyhur dari kalangan malikiyah.(34) 


Kedua, ditakutkan terjadi para dirinya kematian atau sakit yang mengkhawatirkan dan bertambah parah, dikhawatirkan terpisah atau tertinggal dari rombongan (dalam perjalanan) karena keadaanya yang lemah dalam berjalan maupun berkendara. Maka yang demikian itu adalah kondisi yang takut karena terpaksa. Ini adalah pendapat kalangan syafi’iyyah dan hanabilah.(35) 


Ketiga, dikhawatirkan kerusakan atau kerugian pada jiwanya atau sebagian badannya rusak karena tidak makan, dan ketika mereka sampai pada kondisi demikian mereka tidak menemui kecuali bangkai, atau mereka mendapati selain bangkai, sehingga mereka terpaksa memakannya karena terancam kerusakan pada jiwanya atau sebagian badannya. Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyah.(36)  


KESIMPULAN


Meski teks ayat 173 surat al-Baqarah ini memberikan bembatasan pada barang-barang yang diharamkan, namun teks ayat 145 surat al-An’am menjelaskan keumumannya. Ditambahkan pula dengan keterangan-keterangan dari hadits Nabi saw, bahwa termasuk barang (makanan) yang diharamkan adalah anjing, binatang buas, binatang-binatang menjijikan, dsb.


Ragam perbedaan ulama tentang hukum-hukum yang terdapat dalam ayat merupakan keluasan bagi ummat manusia untuk bisa memilih pendapat yang paling tepat diterapkan dalam situasi dan kondisi yang dialaminya. Meski berpegang kepada prinsip kehati-hatian merupakan hal yang lebih disukai oleh para ulama. Termasuk dalam hal kemudahan yang muncul dalam keadaan darurat atau terpaksa. Ini adalah salah bukti kasih sayang Allah kepada mahluk-Nya dengan memberi kemudahan ketika ada kesulitan yang dihadapi. Wallahu a’lam bishshowab

Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. Syams al-dīn al Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua, 1964), Jilid 2, hlm 216.
  2. Lihat Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-FIkr al-Mu’ashir, cet. kedua, 1412 H), Jilid 2, hlm 79
  3. Murtadha al-Zabīdī, Tāj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, (Beirut: Dār al-Hidāyah), Jilid 5, hlm 103.
  4. Abu Dāwūd al-Sijjistānī, Sunan Abu Dāwūd, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah, tth).  jilid 3, hlm 111, hadits no. 2858. 
  5. Hamad al-Khattābī, Ma’ālim al-Sunan, (Mesir: Mathba’atu al-‘Ilmiyyah, Cet pertama, 1932), Jilid 4, hlm 294.
  6. Zain al-Din al-Munawi, al-Taysir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir, (Riyadh: Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Cetakan ke 3, 1988), Jilid 2, hlm 354.
  7. Abu Bakr al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, 1405 H), Jilid 1, hlm 132.
  8. Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 80.
  9. Lihat al kaafi Ibnu abd bar 1/439, Ahkam al Qur’an, Ibnu Arabi 1/25, Bidayatul Mujtahid 1/440 & 465, Syarh Muntaha al Iradat 3/392, al Mughni Ibnu Qudamah 13/330
  10. Fakhr al-din Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, cet ke3, 1420 H), Jilid 11, hlm 283. 
  11. Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 78
  12. Ibid, Jilid 2, hlm 77.
  13. Syams al-dīn al Qurthubī,  op.cit, jilid 2, hlm 221.
  14. Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 85
  15. Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Musnad al-Imam al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1400 H), Jilid 1, hlm 340.
  16. Syams al-dīn al Qurthubī,  op.cit, jilid 2, hlm 222
  17. Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 86
  18. Syams al-dīn al Qurthubī,  op.cit, jilid 2, hlm 223
  19. Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 86.
  20. Ibn al-Qayyim al-jauziyyah, I’lam al-Muwaqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama 1991), jilid 2,  hlm 118, 
  21. Abu Ja’far ath Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Ayatil Qur’an, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, 1420 H), Jilid 3, hlm 319.
  22. Ibid, jilid 3, hlm 320.
  23. Ibid, jilid 3, hlm 321.
  24. Ibid.
  25. Abu Bakr al-Jashash, op.cit, jilid 1, hlm 155.
  26. Abu Bakr al-Bayhaqi, Ahkam al-Qur’an li Al-Syafi’i, (Cairo: Maktabah al-Khanaji, cet. kedua, 1994), Jilid 2, hlm 98-99.  
  27. Abu al-Hasan Ali al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, Cet. pertama 2004), Jilid, 5, hlm 535, hadits no. 4808.
  28. Abu Dāwūd al-Sijjistānī, al-Marasil, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, cet. pertama 1408 H), Jilid 1, hlm 278, hadits no. 378.
  29. Muhammad  bin Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam, (Beirut: Dar al-Hadits, tth), Jilid 2, hlm 528.
  30. Abu Bakr al-Bayhaqi, op.cit, jilid 1, hlm 291.
  31. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adzim, (Beirut: Dar Thayibah 1420 H), Jilid 1, hlm 482.
  32. Abu Bakr al-Jashash, op.cit, jilid 1, hlm 156.
  33. Fakhr al-Din Al-Zayla’i, Tabyin al-Haqaiq, (Cairo: al-Mathba’atu al-Kubra al-‘Amiriyah, cet. pertama 1313 H), jilid 5, hlm 185.
  34. Lihat. Syams al-dīn al Qurthubī,  op.cit, jilid 2, hlm 231-234.
  35. Ibid
  36. Lihat Abu Bakr al Jashash, op.cit, Jilid 1, hlm159 & Fakhr al-Din al-Zayla’i, op.cit, Jilid 5, hlm185.