Pembahasan Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat dalam Khasanah Fiqih


 

Sigit SuhandoyoPerbedaan pendapat dari kalangan ilmuwan fiqih terjadi karena berbagai sebab. Naskah ringkas ini akan membahas perbedaan pendapat yang disebabkan perbedaan memahami makna lafazh, karena periwayatan hadits, karena pertentangan dalil dan karena urf.


A. Perbedaan-Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Perbedaan Memahami Makna Lafazh Dalam Bahasa Arab


1. Perbedaan Memahami Lafazh yang Memiliki Banyak Makna dalam Bahasa Arab.


Keadaan ini terjadi karena lafazh yang ada memiliki lebih dari satu makna, sehingga perbedaan pemahaman terhadap makna menyebabkan perbedaan dalam menentukan hukum fiqih. Sebagai contoh, perbedaan pendapat bisa terjadi, karena satu lafazh memiliki lebih dari satu makna secara bahasa. Seperti halnya lafazh quru dalam surat al-Baqarah ayat 228,


وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ...

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya…


Ayat ini merupakan dalil yang menyatakan tentang ukuran waktu masa iddah wanita yang ditalak oleh suaminya. Kata quru menurut pengertian bahasa adalah sama dengan pengertian haidh dan suci. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengenai waktu iddah apakah 3 kali haidh atau 3 kali suci.


Al-Sarakhsi (w 483 H) dari kalangan ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa yang dimaksud quru’ dalam mazhab kami adalah haidh.(1)  Pendapat ini didukung pula oleh ulama Mazhab Hanabilah.(2)  


Para ilmuwan yang berpendapat seperti ini mendasarkan pemaknaan kata quru sebagai haidh dengan berbagai dalil diantaranya, adalah surat ath-Thalaq ayat 4,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.


Lafazh quru bisa pula digunakan dalam syari’at memiliki makna haidh. Nabi saw pernah bersabda kepada perempuan yang haidh,

دَعِي الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ , ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الْحَصِيرِ.(3) 

Tinggalkanlah sholat pada masa haidhmu,


Sedangkan ulama mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa maksud quru adalah suci. Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Imam al-Nawawi bahwa (والاقراء هي الاطهار)(4) , quru adalah masa suci. Hal ini sebagaimana dalil surat al-Thalaq ayat 1,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).


Menurut al-Nawawi, dari ayat ini difahami bahwa talak hanya boleh dilakukan pada waktu seorang istri sah untuk beriddah, yaitu saat mereka suci. Sehingga 3 kali quru yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 228 adalah 3 kali masa suci.


2. Perbedaan Memahami Lafazh yang Makna Syari’atnya Berbeda dengan Makna Umum.


Perbedaan pendapat dikalangan para ilmuwan Fiqih juga terjadi karena adanya lafazh dalam bahasa Arab yang disepakati makna umumnya, namun syari’at mengkhususkan makna lafazh tersebut. Sebagaimana lafazh Nikah, maknanya secara kebahasaan adalah hubugan badan, akan tetapi syari’at mempergunakan lafaz nikah untuk menunjukkan makna akad (ikatan).


Sebagai contoh ilmuwan fiqih berbeda pendapat tentang hukum menikahi wanita yang sudah dinikahi oleh ayah. Seperti teks surat al-NIsa ayat 22,

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ 

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,


Ulama kalangan Hanafiyah berpendapay bahwa maksud lafazh nikah dalam ayat tersebut adalah hubungan badan, sehingga secara mutlak diharamkan menikahi wanita yang pernah dinikahi oleh ayah, baik melalui akad maupun tidak melalui akad (zina). Sebagaimana dikemukakan oleh al-Sarakhsi,

فَقَدْ قَامَتْ الدَّلَالَةُ لَنَا أَنَّ النِّكَاحَ حَقِيقَةٌ لِلْوَطْءِ وَمَعَ وُجُودِ النَّصِّ لَا يُعْتَبَرُ اخْتِلَافُ الْعُلَمَاءِ.(5) 

Dalil bagi kami adalah bahwa secara faktual pernikahan merupakan hubungan seksual, dan dengan adanya nash (dalil) menjadikan perbedaan ulama tidak dipertimbangkan. 


Demikian pula menurut para ahli ilmu ushul dan bahasa, kata nikah digunakan secara hakikat untuk arti hubungan badanm dan secara majaz (kiasan) untuk arti akad. Sekirannya kata nikah tertera dalam al-Qur’an dan sunnah tanpa disertai indikasi lain, maka yang dimaksud adalah hubungan intim.(6) 


Berdasarkan pengertian ini, maka perempuan yang pernah dinikahi maupun dizinahi oleh seorang ayah diharamkan dinikahi oleh seorang anak dan semua keturunan dari ayah tersebut.


Imam mazhab yang lain berpendapat bahwa makna nikah dalam ayat tersebut adalah akad nikah, sehingga mereka menghukumi bahwa seorang perempuan yang pernah dizinahi oleh seseorang, tidak haram dinikahi oleh anak orang tersebut. al-Nafrawi dari kalangan malikiyah mengemukakan bahwa, 

أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى فَرْعِ الْإِنْسَانِ وَإِنْ سَفُلَ أَنْ يَتَزَوَّجَ بِمَنْ عَقَدَ عَلَيْهِ أَصْلُهُ وَإِنْ عَلَا(7) 

Diharamkan bagi cabang seorang laki-laki kebawah (dalam urutan nasab) untuk menikah dengan orang yang terikat akad nikah dengan orang tuanya, demikian pula keatas. 


Pendapat serupa dipilih pula oleh Ibnu Qudamah (w 620 H) dari kalangan Hanabilah, ia mengemukakan

وَالصَّحِيحُ مَا قُلْنَا؛ لِأَنَّ الْأَشْهَرَ اسْتِعْمَالُ لَفْظَةِ النِّكَاحِ بِإِزَاءِ الْعَقْدِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَلِسَانِ أَهْلِ الْعُرْفِ.(8) 

Adapun pendapat yang shahih menurut kami, masyhur dalam al-Qur’an, Sunnah dan menurut pakar urf, bahwa lafazh nikah menunjukkan arti akad nikah.


Dengan demikian terjadilah perbedaan pendapat dikalangan para ilmuwan fiqih terkait makna lafazh nikah, yang kemudian berimbas kepada perbedaan dalam pendapat hukum fiqih.


B. Perbedaan-Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Periwayatan


Perbedaan periwayatan terkait dengan hadits, sebagai contoh suatu hadits sampai kepada seseorang namun tidak sampai kepada yang lain. Bisa pula dalam suatu kondisi ada hadits yang sampai kepada seseorang melalui jalur periwayatan yang shahih, sedang sampai kepada yang lain melalui jalur periwayatan yang dhaif, sehingga hadits tersebut tidak digunakannya sebagai dalil.


Sebagai contoh adalah perbedaan pendapat para ulama terkait jumlah rakaat shalat tarawih. Penerimaan dan penggunaan hadits yang berbeda menyebabkan perbedaan pendapat fiqih. 


Menurut sementara ulama, Rasulullah saw tidak menentukan jumlah raka’at tertentu dalam sholat tarawih. Hal ini menunjukkan keluasan bagi kaum Muslimin laki-laki, perempuan, orang tua maupun anak-anak untuk bisa memilih sesuai kesanggupannya.


Jalaluddin as-Suyuthi dari kalangan Syafi’iyyah mengemukakan bahwa Nabi saw tidak menetapkan secara khusus jumlah raka’atnya.

الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ وَالْحِسَانُ وَالضَّعِيفَةُ الْأَمْرُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ، وَالتَّرْغِيبُ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِعَدَدٍ، وَلَمْ يَثْبُتْ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عِشْرِينَ رَكْعَةً


Terdapat banyak hadits shahih, hasan maupun dha’if yang memerintahkan dan menganjurkan untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan sholat tanpa mengkhususkan jumlah. Rasulullah tidak menetapkan sholat sebanyak 20 raka’at.(9) 


1. Pendapat tentang Shalat Tarawih 20 Raka’at.


Adapun pendapat tentang jumlah raka’at sholat tarawih 20 raka’at, diantaranya disandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, berikut:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ(10).  

Bahwasanya Nabi saw sholat di (malam) Ramadhan sebanyak 20 raka’at dan ditambah witir.


Namun menurut Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami, derajat hadits ini sangat lemah.(11)  Jumhur ulama menetapkan bahwa sholat tarawih 20 raka’at tidaklah disandarkan pada kebiasaan Nabi saw, melainkan disandarkan pada Ijma’ para Sahabat Rasulullah saw. Berdasarkan sebuah riwayat pada zaman Umar ra. Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari Saib bin Yazid,

كُنَّا نَقُومُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ(12).  

Kami mengerjakan sholat tarawih pada zaman Umar bin Khattab ra. 20 raka’at dengan witir. 


Al Kasani dari kalangan Hanafiyah mengemukakan,

جَمَعَ عُمَرُ أَصْحَابَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - فَصَلَّى بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ فَيَكُونُ إِجْمَاعًا مِنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ(13).  

Umar ra mengumpulkan para sahabat Rasulullah saw pada bulan Ramadhan, untuk bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab ra maka mereka sholat 20 raka’at, dan tidak seorangpun yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’ dikalangan mereka.


Al-Bahuti dari kalangan Hanabilah juga mengemukakan banyak riwayat yang menunjukkan, bahwa sholat tarawih sebanyak 20 raka’at adalah ijma’ para sahabat.(14)  Ad-Dasuqi dari kalangan Malikiyah mengemukakan bahwa sholat tarawih sebanyak 20 raka’at dan witir 3 raka’at adalah amal para sahabat dan tabi’in.(15)   Meski demikian dari kalangan Syafi’iyah, al Imam an-Nawawi mengatakan bahwa Sholat tarawih merupakan sunnah berdasarkan Ijma’ para ulama, dan mazhab kami menetapkan sholat tarawih sebanyak 20 raka’at.(16)  


2. Pendapat tentang Shalat Tarawih 8 Raka’at.


Al-‘Adawi dari kalangan ulama Malikiyah mengemukakan bahwa perintah awalnya adalah 11 roka’at termasuk witir, kemudian pada zaman Umar, para sahabat mengerjakannya 23 raka’at termasuk witir.(17)  


Adapun dalil tentang shalat tarawih 8 raka’at disandarkan diantaranya kepada sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwasanya Ia bertanya kepada Aisyah ra, bagaimana sholat Rasulullah saw di bulan Ramadhan? Maka Aisyah ra berkata, 

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا، فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا(18).  

Tidaklah Rasulullah saw menambah sholat di (malam) bulan Ramadhan maupun bulan lainnya kecuali 11 raka’at. Beliau sholat 4 raka’at, maka jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau sholat 4 raka’at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau sholat 3 raka’at. 


Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Jabir bin ‘Abdullah ra,

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ وَالْوِتْرَ(19).  

Kami sholat bersama Rasulullah saw di malam Ramadhan 8 raka’at dan ditambah witir. 


Kamal Ibnu Himam seorang syaikh dari mazhab Hanafi mengemukakan bahwa, sholat tarawih disunnahkan 11 raka’at termasuk witir secara berjama’ah, begitulah yang dilakukan Nabi saw, kemudian beliau meninggalkannya (meninggalkan berjama’ah), karena khawatir menjadi sebuah kewajiban. Adapun 20 roka’at adalah sunnah khulafa ar-Rasyidin, dan Rasulullah saw telah bersabda, “عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ” tetaplah kalian atas sunnahku dan sunnah khulafa ar-Rasyidin. Dengan demikian mengerjakan sholat tarawih yang disunnahkan adalah 8 raka’at dan selebihnya adalah anjuran.(20) 


Demikianlah perbedaan pendapat ilmuwan fiqih tentang bilangan raka’at sholat tarawih. Perbedaan pendapat terjadi karena penggunaan dalil hadits yang berbeda, sebagian besar ilmuwan fiqih menguatkan pendapat bilangan shalat tarawih adalah 8 raka’at, karena riwayat tentang bilangan 20 raka’at dipandang sebagai riwayat hadits yang lemah.


C. Perbedaan-Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Pertentangan Dalil


Pertentangan antara dalil dimaksudkan untuk menunjukkan adanya dalil-dalil yang saling berhadapan dan berlawanan. Misalkan sebuah dalil menujukkan wajibnya melakukan sesuatu, sedangkan dalil lain menunjukkan larangan terhadap sesuatu tersebut.


Para ilmuwan fiqih bersepakat bahwa secara hakikat, tidak mungkin terjadi pertentangan antara dalil-dalil syari’at. Karena tidak mungkin ada pertentangan antara dalil-dalil al-Qur’an demikian dalil-dalil hadits yang shahih. Para ulama menetapkan bahwa harus ada metode untuk keluar dari permasalahan tersebut. Pertama, dengan cara mengkompromikan antara dalil yang bertentangan. Kedua dengan cara menasakh salah satu dalil jika diketahui periodesasi dalil tersebut. dan ketiga melakukan tarjih atas dalil-dalil tersebut.


Sebagai contoh dalam kasus ini adalah tentang hukum batal atau tidaknya wudhu seseorang setelah tertidur. Ilmuwan fiqih berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang berpendapat tidur membatalkan wudhu, ada yang berpendapat tidak membatalkan wudhu dan adapula yang menetapkan ketentuan tentang tidur yang membatalkan wudhu dan tidur yang tidak membatalkan wudhu.


Dalil-dalil yang menjadi sebab perbedaan pendapat diantaranya adalah, pertama hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Anas ibn Malik

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ، ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ.(21) 

Bahwa para sahabat nabi saw menunggu mengakhirkan waktu sholat ‘isya hingga tertidur di masjid dan kepala mereka bergerak-gerak, kemudian mereka melaksanakan sholat tanpa berwudhu terlebih dahulu.


Kedua, hadits yang diriwayatkan al-Nasai dari Abu Hurairah ra,

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي وَضُوئِهِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا.(22) 

Jika salah seorang diantara kalian bangun dari tidur, maka janganlah memasukkan tangannya kedalam bejana air wudhu hingga mencucinya 3 kali.


Atas dasar contoh hadits di atas, ulama yang memadukan kedua hadits di atas berpendapat bahwa tidur yang nyenyak membatalkan wudhu, sedangkan tidur sebentar tidak membatalkan wudhu.


Syafi’i menyatakan bahwa cara tidur yang tidak membatalkan wudhu hanya tidur sambil duduk berdasarkan hadits Abu Dawud di atas.(23) Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidur yang membatalkan wudhu hanyalah tidur miring, berdasarkan hadits dari Abu Dawud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra,

إِنَّمَا الْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا.(24) 

Wudhu itu hanya wajib bagi orang yang tidur miring.


Adapun menurut Malik, tidur membatalkan wudhu adalah tidur yang mendatangkan hadats. Pada prinsipnya jika hadats biasanya dapat terjadi ketika seseorang tertidur, maka berarti hal tersebut membatalkan wudhu. Menurutnya hadats terjadi dalam tidur tidak terkait dengan cara tidur yang dilakukan.(25) 


D. Perbedaan-Perbedaan Pendapat Fiqih Karena Urf (Adat Kebiasaan)


Urf adalah adat yang sudah masyhur dalam komunitas Muslim. Bagi para ilmuwan fiqih urf bisa menjadi dalil yang dapat dianggap keabsahannya selama tidak ada nash khusus yang membatalkannya.


Sebagai contoh penggunaan dalil urf adalah dalam kasus hukum upah dalam pengajaran al-Qur’an. Kalangan ilmuwan fiqih yang melarang upah dalam pengajaran al-Qur’an berdalil pada keumuman ayat 174 surat al-Baqarah

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.


Dari kalangan hanafiyah, al-Jashas (w.370H), berpendapat ayat tersebut menunjukkan dalil wajibnya menyampaikan ilmu dan larangan menyembunyikannya. Dengan demikian haram mengambil upah bagi pengajarnya, karena tidak ada hak memperoleh upah bagi yang menunaikan kewajibannya.(26) 


Dari kalangan ulama malikiyah, Syamsuddin Al-Qurthubi (w.671H), juga mengemukakan pendapat yang sama, yaitu

وَبِهَا اسْتَدَلَّ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُجُوبِ تَبْلِيغِ الْعِلْمِ الْحَقِّ، دُونَ أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَيْهِ، إِذْ لَا يَسْتَحِقُّ الْأُجْرَةَ عَلَى مَا عَلَيْهِ فِعْلُهُ، كَمَا لَا يَسْتَحِقُّ الْأُجْرَةَ عَلَى الْإِسْلَام.(27) 

Dan ayat ini pula yang digunakan oleh para ulama sebagai dalil kewajiban untuk menyampaikan ilmu kebenaran dan penjelasannya secara keseluruhan, tanpa mengharapkan imbalan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, hal ini dikarenakan seorang yang melakukan kewajiban tidak berhak atas imbalan apapun, sebagaimana Islam tidak mengambil imbalan kepadanya.


Adapun ilmuwan yang membolehkan mengambil upah dalam pengajaran al-Qur’an menyampaikan dalil-dalil, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dari Nabi saw bahwasanya beliau telah bersabda,

أَحَقُّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ.(28) 

sesungguhnya suatu peekerjaan yang paling berhak kamu ambil upahnya ialah (mengajarkan) Kitabullah (al-Qur’an).


Demikian pula riwayat lain yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra,

أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ، فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ المَاءِ، فَقَالَ: هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ، إِنَّ فِي المَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ عَلَى شَاءٍ، فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا: أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا المَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ».(29) 


bahwa beberapa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata; "Adakah di antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa." Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; "Kamu mengambil upah atas kitabullah?" setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; "Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah."


Ilmuwan fiqih kontemporer menyebutkan dalil urf sebagai kebolehan mengambil upah dalam kegiatan pengajaran agama. Menurut Ali ash-Shobuni, upah dalam pengajaran ilmu-ilmu keislaman dibolehkan, agar para pemelihara al Qur’an dan ilmu-ilmu agama tidak hilang dikarenakan orientasi manusia yang terpaku pada dunia semata. Jika tidak dibolehkan mengambil berbagai upah mengajar maka tidak akan ada lagi orang yang mengajarkan ilmu dan belajar.(30) 


Kebolehan mengambil upah dalam mengajarkan ilmu agama juga dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili. Beliau berpendapat,

أفتى المتأخرون بجواز أخذ الأجور على تعليم العلوم الدينية، لتهاون الناس بها، وانصرافهم إلى الاشتغال بمتاع الحياة الدنيا، حتى لا تضيع العلوم، ولانقطاع مخصصات العلماء من بيت مال المسلمين، واضطرار العلماء إلى التزود بما يعينهم على شؤون الحياة.(31) 


Ulama mutaakhirin berfatwa tentang dibolehkan-nya mengambil upah dari mengajar ilmu-ilmu agama, disebabkan manusia meremehkan ilmu agama dengan orientasi mereka terhadap gemerlapnya kehidupan dunia. Sehingga ilmu-ilmu tersebut hilang seiring terputusnya kekhususan perhatian negara (untuk menjaga para ulama) dan memaksa para ulama untuk membekali dirinya dengan urusan-urusan kehidupan.


Catatan Kaki

  1. Ibn Sahl al-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), Juz 6, hlm 13
  2. Manshur bin Yunus al-Bahuty, Kasyāf al-Qinā’, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Juz 5, hlm 417.
  3. Abū al-Hasān ‘Ali al-Dāruquthni, Sunan al-Dāruquthni, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, 2004),Juz 1, hlm 394, hadits no 822.
  4. Abu Zakariya a-Nawawi, al-Majmu’, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 18, hlm 130
  5. Ibn Sahl al-Sarakhsi, op.cit, Juz 9, hlm 117
  6. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), Juz 9, hlm 24.
  7. Syihab al-Din al-Nafrawi, al-Fawakih al-Diwani, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), Juz 2. Hlm 17.
  8. Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Cairo: Maktabah al-Qahirah, tth), Juz 7,  hlm 3.
  9. Jalaluddin as-Suyuthi, al-hawi li al-Fatawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), Juz1, hlm 413
  10. Abul Qasim ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, (Cairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, tth), Juz 11, hlm 393, hadits no 12102 
  11. Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, (Cairo: al-Maktabah al-Islamiyah, tth), Juz 1, hlm 194-195.
  12. Abu Bakar al-Baihaqi asy-Syafi’i, as-Sunan ash-Shagir, (Pakistan: Jami’ah ad-Dirasah al-Islamiyah, cet pertama, 1989), Juz 1, hlm 297, no 821. 
  13. Abu Bakar al-Kasani al-Hanafi, Bada’i ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syara’i, (Beirut: Dar a-Kutub al-‘Ilmiyah, cet kedua, 1986), Juz 1, hlm 288. 
  14. Manshur bin Yunus al-Bahuti al-Hanbali, Kasyaf al-Qina, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah tth), Juz 1, hlm 425 
  15. Muhammad bin Ahmad ad-Dasuqi al-Maliki, Hasiyatu ad-Dasuqi ‘Ala Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) Juz 1, hlm 315-316.
  16. Abu Zakaria an-Nawawi asy-Syafi’i, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 4, hlm 31.
  17. Abul Hasan al-‘Adawi al-Maliki, Hasiyatu al-‘Adawi ‘ala Kifayati ath-Thalib ar-Rabbani, (Beirut: Dar al-FIkr, tth), Juz 1, hlm 462.
  18. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuqa an-Najah, 1442 H), juz 3, hlm 45, hadits no 2013.
  19. Abu Bakar Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, (Beirut: al-Maktab al-Islami, tth), juz 2, hlm 138, hadits no 1070
  20. Kamal Ibnu Himam, Fathul Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 1, hlm 467.
  21. Abu Dawud al-Sijjistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth),Juz 1, hlm 51, hadits no 200
  22. Abu Abdurrahman al-Nasai, Sunan al-Nasai, (Mesir: Maktabah al-Matbu’at al-Islamiyyah, cet kedua 1406 H),Juz 1, hlm 6, hadits no 1.
  23. Ibn Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, (Cairo: Dar al-Hadits, 2004),Juz 1, hlm 43.
  24. Abu Dawud Al-Sijjistani, op.cit, Juz 1, hlm 52, hadits no 202.
  25. Ibnu Rusyd, Loc.cit
  26. Abu Bakr al-Jashash al-Hanafi, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, 1405 H), vol 1, hlm 125.
  27. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua 1964), vol 2, hlm 185.
  28. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuqa al-Najah, 1422 H), Juz 3, hlm 92.
  29. Ibid, Juz 7, hlm 131, hadits no 5737.
  30. Muhammad Ali al-Shobuni, Rawa’i al-Bayan, (Suriah: Dar ash-Shobuni, tth), vol 1, hlm 151-152.
  31. Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-FIkr al-Mu’ashir, cet. kedua, 1412 H), vol 2, hlm 55.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion