Sigit Suhandoyo
PENDAHULUAN
Kajian tentang prilaku konsumsi dalam naskah ini difokuskan pada teks ayat tentang makanan yang diharamkan. Kajian ini merujuk secara khusus pada surat al-Baqarah ayat 173 dan dilengkapi dengan surat al-An’am ayat 145, serta teks-teks hadits yang dikemukakan oleh para ulama tafsir. Naskah ini berupaya mengemukakan ragam pendapat ulama tafsir berdasarkan mazhab fiqh yang diikutinya.
PEMBAHASAN
Allah telah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 173 sebagai berikut:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi-mu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
1. Pembatasan Makanan Haram
Para ulama tafsir menuturkan bahwa penggunaan teks (إِنَّما) innama pada awal kalimat ayat ini menunjukkan pembatasan makanan haram atas apa yang disebutkan dalam ayat. Pembatasan ini menunjukkan bahwa makanan yang dihalalkan Allah jauh lebih banyak dari yang diharamkan, sehingga perlu disebutkan makanan yang haram, diantaranya yang disebutkan dalam ayat 173 surat al Baqarah ini,
Pakar tafsir hukum dari abad ke 7 Hijriah, Syams al-dīn al Qurthubī menuturkan bahwa,
إِنَّمَا" كَلِمَةٌ مَوْضُوعَةٌ لِلْحَصْرِ، تَتَضَمَّنُ النَّفْيَ وَالْإِثْبَاتَ، فَتُثْبِتُ مَا تَنَاوَلَهُ الْخِطَابُ وَتَنْفِي مَا عَدَاهُ، وَقَدْ حَصَرَتْ هَا هُنَا التَّحْرِيمَ، لَا سِيَّمَا وَقَدْ جَاءَتْ عُقَيْبَ التَّحْلِيلِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى:" يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّباتِ مَا رَزَقْناكُمْ" (1)
Kata Innama merupakan kata yang digunakan untuk membatasi sesuatu. Yang melingkupi penetapan dan peniadaan. Maka ayat ini menetapkan hukum atas sesuatu yang disebutkan dan meniadakan hukum yang tidak disebutkan. Dan ayat ini khusus membatasi makanan yang diharamkan. Terutama karena ayat ini disebutkan setelah ayat tentang penghalalan “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” (2:172).
Adapun barang-barang yang diharamkan ini menurut Wahbah al-Zuhaili, ditambah lagi dengan apa yang diharamkan dalam surah al-Maa'idah ayat 3 serta apa yang diharamkan Rasulullah saw., antara lain: memakan setiap hewan buas yang bertaring setiap burung yang berkuku tajam, dan daging keledai yang jinak.(2)
2. Bangkai
Pakar susatera Arab dari Abad ke 12 Hijriah, Murtadha al-Zabīdī mengemukakan bahwa secara bahasa yang dimaksud bangkai hewan adalah,
مَا فارقَتْه الرُّوحُ بِغَيْر ذَكاة، وَهِي مُحَرَّمةٌ كُلُّها إِلاّ السَّمَكَ والجَراد فإِنَّهما حلاَلانِ بإِجْماع المُسْلِمينَ.(3)
“segala sesuatu yang berpisah ruh dari jasadnya tanpa melalui penyembelihan, semua itu diharamkan kecuali ikan dan belalang. Keduanya halal berdasarkan ijma ummat Islam.
Termasuk dalam pengertian bangkai adalah bagian tubuh hewan yang terpotong dari hewan yang masih hidup. Sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abu Dawud, dari Abu Waqid bahwasanya Nabi saw bersabda,
مَا قَطَعَ مِنَ البَهِيمَةِ و هي حَيَّةٌ، فَهِيَ مَيْتَةٌ.(4)
Segala sesuatu yang terpotong dari hewan yang hidup maka ia adalah bangkai.
Hamad al-Khattabī penulis Ma’alim al-Sunan, memberikan penjelasan sebagai berikut,
هذا في لحم البهيمة وأعضاءها المتصلة ببدنه دون الصوف المستخلف والشعر ونحوه. (5)
“Bahwa yang dimaksud bangkai pada hadits tersebut adalah daging dan anggota tubuh selain bulu dan rambut pada hewan dan sejenisnya”. Al-Munawi menambahkan, tak terkecuali penyebab daging atau anggota tubuh yang telepas dari hewan hidup itu karena perilaku manusia atau hewan lain maupun karena tindakannya sendiri.(6)
Dalam Ahkam al-Qur’an, Abu Bakr al Jashas, seorang penafsir al-Qur’an dari kalangan Hanafiyah mendefinisikan bahwa yang dimaksud bangkai dalam ayat 173 surat al-baqarah adalah,
اسْمٌ حيوان الْمَيِّتِ غَيْرِ الْمُذَكَّى وَقَدْ يَكُونُ مَيْتَةً بِأَنْ يَمُوتَ حَتْفَ أَنْفِهِ مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ لِآدَمِيٍّ فِيهِ وَقَدْ يَكُونُ مَيْتَةً لِسَبَبِ فِعْلِ آدَمِيٍّ إذَا لَمْ يَكُنْ فِعْلُهُ فِيهِ عَلَى وَجْهِ الذَّكَاةِ الْمُبِيحَةِ لَهُ(7)
Sebutan bagi hewan yang telah mati tanpa penyembelihan dan telah menjadi bangkai dengan kematian secara wajar tanpa sebab perbuatan manusia padanya. Dan menjadi bangkai pula disebabkan perbuatan manusia jika tidak menyembelihnya dengan menghadapkan penyembelihan tersebut bagi sesuatu yang diperbolehkan baginya.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Zuhaili, Masuk dalam kategori "bangkai", yaitu semua hewan yang mati tanpa disembelih secara syar'i, baik ia mati karena tercekik, iatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas dan ketika didapati sudah tidak hidup sehingga tidak dapat disembelih. Demikian pula semua hewan yang tidak boleh dimakan; meskipun ia disembelih, hukumnya sama seperti bangkai, contohnya: binatang buas dan lain-lain.(8) Para Fuqaha sepakat atas pengharaman memakan bangkai dalam keadaan lapang dan kemampuan berusaha.(9) Semua pendapat tersebut berdasarkan dalil surat al Baqarah 173.
Pakar tafsir dari abad ke 6 hijriah, Fakhr al-din Al-Razi menjelaskan hikmah pengharaman bangkai sebagai berikut,
وَاعْلَمْ أنَّ تَحرِيمَ الميتةِ مُوافَقٌ لِمَا فِي العقولِ، لأنَّ الدَّم جَوْهَرٌ لطِيفٌ جِداً، فإِذَا ماتَ الحيوانُ حَتْفُ أَنْفِهِ اِحْتَبَسَ الدَمُ في عُرُوقِ وَ تَعَفَّنَ وَ فَسَدَ، و حصلَ مِن أكْلِهِ مُضارٌّ عظيمةٌ.(10)
ketahuilah bahwa diharamkannya bangkai adalah rasional, karena darah adalah zat yang sangat halus, jika bangkai hewan yang mati secara wajar darahnya tertahan pada sumbernya dan rusak membusuk, serta membawa kemudharatan yang berbahaya bagi pemakannya.
Pakar tafsir al-Zuhaili menambahkan, bahwa mengonsumsi bangkai diharamkan, karena darah tertahan di bangkai berbahaya bagi manusia, dagingnya menjadi rusak dan biasanya terkontaminasi dengan penyakit. Iadi, bangkai diharamkan karena ia kotor dan menjijikkan serta karena mengandung mudarat.(11)
3. Darah yang mengalir
Pakar tafsir al-Zuhaili mengemukakan bahwa yang dimaksud (الدَّمَ) adalah (المسفوح),(12) yaitu darah yang mengalir dari tubuh hewan, meskipun hewan tersebut disembelih. Syams al-din al-Qurthubi mengemukakan “وَالدَّمَ" اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الدَّمَ حَرَامٌ نَجِسٌ لَا يُؤْكَلُ وَلَا يُنْتَفَعُ بِهِ”(13) adapun darah para ulama bersepakat bahwa darah itu hukumnya najis dan haram, tidak boleh dimakan dan tidak boleh dimanfaatkan dalam bentuk apapun. Sebagaimana telah mutlak pelarangannya pada ayat ini dan surat al an’am 145 “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Lebih lanjut menurut al-Zuhaili, pengharaman darah dibatasi dengan sifat yang disebutkan pada surah al-An'aam ayat 145, yaitu darah yang mengalir (دَماً مَسْفُوحا)(14) . Para ulama kemudian bersepakat bahwa hukum yang mutlak dalam surah al-Baqarah ini diartikan dengan hukum yang muqayyad (dibatasi) dalam surah al-An'aam, maka dari itu mereka hanya mengharamkan darah yang masfuuh. Kata Aisyah, "Seandainya Allah tidak berfirman au daman masfuuhan (al'An'aam: 145), tentu manusia terpaksa harus mencari-cari darah yang ada di urat-urat." Dengan demikian, darah yang mencampuri daging dan ada di dalam urat-urat tidak haram.
Termasuk darah yang tidak diharamkan adalah hati dan limpa sebagaimana hadits yang diriwayatan oleh al-Imam al-Syafii berikut,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، الْمَيْتَتَانِ: الْحُوتُ وَالْجَرَادِ، وَالدَّمَانِ، أَحْسِبُهُ قَالَ: الْكَبِدُ وَالطِّحَالُ "(15)
Dari Ibnu Umar ra berkata: bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda; “dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, dua darah adalah hati dan limpa.
Al Qurthubi berkata, darah yang diharamkan adalah yang mengalir (tidak bercam-pur dengan urat dan daging). Kemudian beliau menyampaikan perkataan dari ‘Aisyah ra,
كُنَّا نَطْبُخُ الْبُرْمَةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْلُوهَا الصُّفْرَةُ مِنَ الدَّمِ فَنَأْكُلُ وَلَا نُنْكِرُهُ (16)
Kami pernah memasak daging dalam kuali, di masa Nabi saw, kuali itu mendidih kekuning-kuningan dari warna darah, kemudian kami memakannya dan kami tidak mengingkarinya.
4. Babi
Para ulama fiqh sepakat pengharaman daging babi berdasarkan dalil ayat ini dan al an’am 145, kecuali dalam keadaan darurat. Para ulama sepakat pengharaman memakan babi, daging, lemak, bagian luar dan dalamnya, dan tidak ada khilaf padanya. Dan ulama Malikiyah -jika dalam keadaan darurat- mewajibkan mendahulukan bangkai selain babi daripada babi, karena babi haram zatnya, apalagi bangkainya.
Wahhab al-Zuhaili, ulama dari kalangan Hanafiyah, mengulas pendapat madzhab Zhahiri yang membatasi keharamannya pada daging saja, tidak mencakup lemak. Mereka berpedoman kepada prinsip mereka: berpegang kepada Iahiriah nash saja, karena Allah berfirman: (وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ) dan daging babi, sehingga menurut Zhahiri yang haram hanya dagingnya saja. Pendapat semacam ini menurut al-Zuhaili salah, fungsi penyebutan "daging" adalah karena babi merupakan hewan yang disembelih demi dagingnya, dan tidak masuk akal jika hukum daging dan lemak dibedakan.(17)
Terdapat khilaf dikalangan ulama, mengenai pemanfaatan bulu babi. Dari kalangan Malikiyah, pakar tafsir hukum al Qurthubi berpendapat,
لَا خِلَافَ أَنَّ جُمْلَةَ الْخِنْزِيرِ مُحَرَّمَةٌ إِلَّا الشَّعْرَ فَإِنَّهُ يَجُوزُ الْخِرَازَةُ بِهِ. وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ رجلا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخِرَازَةِ بِشَعْرِ الْخِنْزِيرِ، فَقَالَ: (لَا بَأْسَ بِذَلِكَ) ذَكَرَهُ ابْنُ خُوَيْزِ مَنْدَادُ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْخِرَازَةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ، وَبَعْدَهُ مَوْجُودَةٌ ظَاهِرَةٌ، لَا نَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْكَرَهَا وَلَا أَحَدَ مِنَ الْأَئِمَّةِ بَعْدَهُ (18)
Tidak ada khilaf mengenai pengharaman babi secara utuh kecuali bulunya yang diperbolehkan dimanfaatkan bagi tukang jahit kulit. Sebagaimana telah diriwayatkan dari seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang penjahit dengan menggunakan bulu babi, Rasulullah bersabda (tidak apa-apa dengan yang demikian). Ibnu Huwaiz bin Mandad berkata, cara yang demikian telah berlangsung sejak jaman nabi dan sesudahnya, dan kami tidak mengetahui nabi melarangnya demikian juga ulama sesudahnya.
Pendapat al-Qurthubi, diatas dibatasi oleh al-Zuhaili, bahwa yang dihalalkan adalah sekedar melubangi kain dengan bulu babi.(19) Menurut sebuah riwayat, seorang pria pernah menanyai Rasulullah saw tentang melubangi dengan bulu babi, dan beliau mengatakan kebolehannya. Sehingga tetap tidak dibolehkan menggunakan pakaian yang jahitannya menggunakan bulu babi.
5. Hewan yang disembelih bukan atas nama Allah
Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, ulama dari kalangan hanabilah. Hewan yang disembelih atas nama selain Allah adalah bentuk perbuatan yang keji karena menghilangkan nyawa makhluq ciptaan-Nya tetapu bukan atas nama Allah. Ia menuturkan,
فَاحْتِقَانُ الدَمِ في الميتةِ سببٌ ظاهرٌ، وَ أمّا ذَبِيحةُ المجوسي و المرتدِّ و تارِكِ التسميةِ و من أهلَّ بِذَبِيحتِهِ لغير اللّهِ، فَنَفْسُ ذَبَيحَةِ هؤلاءِ أَكْتَسَبَتِ المَذْبُوحِ خُبُثاً أَوْجَبَ تَحْرِيمُهُ، وَ لاَ يُنْكِرُ أَنْ يَكوُنَ ذِكْرُ اسمُ الأوثانِ و الكواكبِ و الجِنِّ على الذَبِيحةِ يُكسبُها خُبُثاً، و ذِكرُ اسم اللّهِ وَحْدَهُ يَكْسِبُها طيباً إلاّ مَن قَلَّ نَصِيبُهُ مِن حَقَائِقَ العِلمِ وَ الإِيْمَانِ و ذُوقِ الشريعةِ. (20)
Penetapan pengharaman darah pada bangkai adalah sebab yang terlihat, adapun sembelihan majusi, orang murtad dan mereka yang meninggalkan bacaan bismillah serta sembelihan yang disembelih untuk selain Allah maka pada dasarnya sembelihan mereka itu ditetapkan sebagai sembelihan yang buruk yang ditetapkan pengharamannya. Dan tidak dapat dipungkiri apabila penyembelihan disertai dengan menyebut berhala-berhala, bintang-bintang dan jin atas hewan sembelihan adalah merupakan perlakuan keji padanya. Dan menyebutkan nama Allah semata para hewan sembelihan merupakan kebaikan kecuali sedikit sekali orang yang memahami dari hakikat-hakikat ilmu dan iman serta tabi’at hukum syari’at.
Mengenai makna yang disembelih atas selain nama Allah, Mahaguru Tafsir dari lereng Alborz, Abu Ja’far al-Thobari memerincinya sebagai berikut,
ما ذُبح للآلهةِ والأوثانِ يُسمَّى عليه بغير اسمِه، أو قُصِدَ به غيرُه من الأصنامِ (21)
Segala yang disembelih bagi patung dan berhala dan yang disebut dan ditujukan sembelihannya pada selain Allah.
Menurutnya para ulama berbeda pendapat mengenai kalimat ini, sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud adalah yang disembelih bagi selain Allah, sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas ra,
ما ذُبِح لغير اللّهِ من أهل الكفرِ، غيرَ اليهودِ والنصارى. (22)
Maksudnya adalah segala sembelihan yang ditujukan bagi selain Allah dari orang-orang kafir, selain yahudi dan Nashrani. Diriwayatkan pula dari ‘uqbah bin muslim mengenai makna binatang yang disembelih disebut nama selain Allah adalah sembelihan orang majusi, para penyembah berhala dan orang-orang musyrik.(23) Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hewan yang disembelih tidak disebutkan nama Allah padanya.(24)
Abu Bakr Al-Jashas berpendapat bahwa diharamkan menyamakan nama selain Allah pada sembelihan.
يُوجِبُ تَحْرِيمَهَا إذَا سُمِّيَ عَلَيْهَا بِاسْمٍ غَيْرِ اللَّهِ لِأَنَّ الْإِهْلَالَ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ هُوَ إظهار غير اسم الله ولم يفرق في الْآيَةُ بَيْنَ تَسْمِيَةِ الْمَسِيحِ وَبَيْنَ تَسْمِيَةِ غَيْرِهِ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ الْإِهْلَالُ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ وَقَوْلُهُ فِي آيَةٍ أُخْرَى وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ.(25)
Wajibnya pengharaman jika disamakan atasnya nama selain Allah karena sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya adalah meninggikan nama selain Allah dan tidak ada perbedaan dalam ayat antara penyebutan nama al masih dan penyebutan sesudahnya adalah sembelihan yang disebutkan atasn nama selain Allah sebagaimana dalam ayat lain dan (diharamkan bagimu) sembelihan yang dilakukan atas nama berhala.
Berbeda dengan al Jashas, Dari kalangan Syafi’iyyah, al Baihaqi menuliskan pendapatnya sebagai berikut,
وَأَحَلَّ اللَّهُ (عَزَّ وَجَلَّ) : طَعَامَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَقَدْ وَصَفَ ذَبَائِحَهُمْ، وَلَمْ يَسْتَثْنِ مِنْهَا شَيْئًا. فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَحْرُمَ ذَبِيحَةُ كِتَابِيٍّ وَفِي الذَّبِيحَةِ حَرَامٌ- عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ-: مِمَّا كَانَ حَرُمَ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ، قَبْلَ مُحَمَّدٍ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ). وَلَا يَجُوزُ:- أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ حَلَالًا-: مِنْ جِهَةِ الذَّكَاةِ لِأَحَدٍ، حَرَامًا عَلَى غَيْرِهِ. لِأَنَّ اللَّهَ (عَزَّ وَجَلَّ) أَبَاحَ مَا ذُكِرَ: عَامَّةً لَا: خاصّة. (26)
Allah telah menghalalkan makanan Ahli kitab dan sungguh dia telah menerangkan sifat sembelihan mereka dan tidak mengecualikan sesuatupun darinya. Oleh karena itu sembelihan ahli kitab tidak boleh diharamkan selain itu dalam sembelihan diharamkan atas setiap muslim apa yang diharamkan atas ahli kitab sebelum nabi Muhammad saw.Sesuatu yang halal – dari sisi penyembelihan – bagi seseorang tidak boleh menjadi haram atas yang lain, sebab Allah telah membolehkan apa yang telah disebutkan secara umum dan tidak secara khusus.
Mengenai bagaimana memakan sembelihan yang membuat kita ragu untuk memakannya dapat dirujuk kepada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Daruquthni, dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Nabi saw bersabda
الْمُسْلِمُ يَكْفِيهِ اسْمُهُ فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يُسَمِّيَ حِينَ يَذْبَحُ فَلْيُسَمِّ ثُمَّ لِيَأْكُلْ. (27)
“seorang muslim itu cukup dengan namanya. Bila ia lupa menyebut nama Allah ketika menyembelih hendaknya ia menyebut nama Allah sebelum makan, kemudian memakannya”
Dalam riwayat lain terdapat pula sebuah riwayat dari Abu Dawud, bahwasanya Nabi saw telah berkata:
ذَبِيحَةُ الْمُسْلِمِ حَلَالٌ، ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ أَوْ لَمْ يَذْكُرْ، إِنَّهُ إِنْ ذَكَرَ لَمْ يَذْكُرْ إِلَّا اسْمَ اللَّهِ (28)
“umumnya sembelihan orang muslim adalah halal, ia menyebut nama Allah maupun tidak. Seandainya ia lupa tidak menyebutnya pasti nama Allah yang ia maksudkan”.
Sekalipun demikian menurut Al-Shon’ani, hadits ini tidak bisa membantah hadits-hadits yang mewajibkan melafazkan basmalah dengan mutlak. Namun berdasarkan hadits ini pula bagi seorang Muslim penyebutan nama Allah ketika menyembelih menjadi tidak mutlak. Dengan demikian al-Shan’ani menganjurkan sebaiknya tidak memakan sembelihan yang tidak dilafazhkan nama Allah untuk kehati-hatian.(29)
6. Hukum mengkonsumsi makanan yang diharamkan dalam keadaan terpaksa.
Teks yang tertera pada akhir ayat ini menjadi kajian para ulama yang beragam tentang ketentuan hukumnya,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkan-nya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Al-Imam Al-Baihaqi menuliskan pendapat al-Imam Al-Syafi’i mengenai ayat ini,
فَيَحِلُّ مَا حُرِّمَ: مِنْ الْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَلَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَكُلُّ مَا حُرِّمَ-: مِمَّا لَا يُغَيِّرُ الْعَقْلَ: مِنْ الْخَمْرِ.-: لِلْمُضْطَرِّ (30)
bahwa dengan demikian apa yang telah diharamkan berupa bangkai, darah dan daging babi dan semua yang diharamkan dari apa yang tidak merusak akal seperti khamr, menjadi halal saat dalam keadaan darurat.
Ibnu Katsir mengutip beberapa riwayat mengenai batasan-batasan kebolehan memakan makanan yang diharamkan, sebagai berikut,
غَيْرَ بَاغٍ: يَعْنِي غَيْرَ مُسْتَحِلِّهِ. وَقَالَ السُّدِّيُّ: غَيْرَ بَاغٍ يَبْتَغِي فِيهِ شَهْوَتَهُ، وَقَالَ عَطَاءٌ الْخُرَاسَانِيُّ فِي قَوْلِهِ: {غَيْرَ بَاغٍ} لَا يَشْوِي مِنَ الْمِيتَةِ لِيَشْتَهِيَهُ وَلَا يَطْبُخُهُ، وَلَا يَأْكُلُ إِلَّا العُلْقَة، وَيَحْمِلُ مَعَهُ مَا يُبَلِّغُهُ الْحَلَالَ، فَإِذَا بَلَغَهُ أَلْقَاهُ [وَهُوَ قَوْلُهُ: {وَلا عَادٍ} يَقُولُ: لَا يَعْدُو بِهِ الْحَلَالَ (31)
Maksud “ghair baghin” ialah tidak menghalalkannya. As sudi berkata bahwa “ghairu baghin” adalah tidak mengikuti selera ingin memakannya. Berkata “Atha al Khurasany bahwa “ghairu baghin” ialah seseorang tidak boleh memanggang sebagian dari bangkai itu untuk membuatnya berselera memakannya, tidak boleh memasaknya serta memakannya kecuali hanya sedikit. Ia boleh membawanya hingga ia dapat menemukan makanan yang halal. Jika ia telah menemukan makanan halal maka ia harus membuangnya, demikian yang dimaksud firman Allah “wala ‘aadin” yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya hingga ia menemukan yang halal.
Pakar tafsir al-Jashas mengemukakan pengecualian terhadap makanan yang diharamkan sebagai berikut,
وَ أمَّا فِي حالَةِ الإِلْجَاءِ و الاِظطرَارِ، فَقَد ذهب الفقهاءُ إلى جوازِ أكْلِ الميتَةِ عِنْدَئِذٍ، فَمَنِ اظْطُرَّ إلى أكلِ الميتةِ إمّا بإكراهِ مُلْجىءٍ مِن ظالمٍ أو بِجوعٍ في مَخْمَصَةٍ أو بِفِقْرٍ لاَ يجِدُ مَعَهُ غيرَ الميْتةِ، حَلَّ لهُ ذلك َالدَاعِي الضَرُورَةِ. (32)
Mengenai keadaan terpaksa, maka para fuqaha membolehkan memakan bangkai seperlunya. Maka barangsiapa terpaksa memakan bangkai apakah dengan paksaan dari orang dholim atau karena lapar yang sangat atau karena kefakiran dan tidak menemukan pada sisinya selain bangkai. Dihalalkan baginya yang demikian itu karena sebab keadaan darurat.
Fuqaha kalangan Hanafiyah dari abad 8 hijriah, Fakhr al-Din Al-Zayla’i berpendapat,
فَظَهَرَ أنَّ التَحرِيمَ مَخصوصٌ بِحالةِ الإِخْتِيارِ، و فِي حالةٍ الاِظْطرارِ مباحٌ ، لأَنَّ الضروراتِ تُبِيحُ المَحْظورَاتِ (33)
Tegasnya suatu pengharaman disebabkan keadaan bebas untuk berusaha, sehingga dalam keadaan terpaksa maka sesuatu yang diharamkan bisa berubah hukumnya menjadi bolehn. Sebagaimana kaidah “sesungguhnya keadaan terpaksa membolehkan larangan”
Terkait batasan kondisi darurat yang membolehkan seseorang memakan makanan yang diharamkan, para ulama berbeda pendapat. Secara ringkas pendapat mereka terbagi dalam tiga kelompok
Pertama, ditakutkan terjadi pada dirinya kematian baik secara pasti maupun perkiraan. Ini adalah pendapat yang masyhur dari kalangan malikiyah.(34)
Kedua, ditakutkan terjadi para dirinya kematian atau sakit yang mengkhawatirkan dan bertambah parah, dikhawatirkan terpisah atau tertinggal dari rombongan (dalam perjalanan) karena keadaanya yang lemah dalam berjalan maupun berkendara. Maka yang demikian itu adalah kondisi yang takut karena terpaksa. Ini adalah pendapat kalangan syafi’iyyah dan hanabilah.(35)
Ketiga, dikhawatirkan kerusakan atau kerugian pada jiwanya atau sebagian badannya rusak karena tidak makan, dan ketika mereka sampai pada kondisi demikian mereka tidak menemui kecuali bangkai, atau mereka mendapati selain bangkai, sehingga mereka terpaksa memakannya karena terancam kerusakan pada jiwanya atau sebagian badannya. Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyah.(36)
KESIMPULAN
Meski teks ayat 173 surat al-Baqarah ini memberikan bembatasan pada barang-barang yang diharamkan, namun teks ayat 145 surat al-An’am menjelaskan keumumannya. Ditambahkan pula dengan keterangan-keterangan dari hadits Nabi saw, bahwa termasuk barang (makanan) yang diharamkan adalah anjing, binatang buas, binatang-binatang menjijikan, dsb.
Ragam perbedaan ulama tentang hukum-hukum yang terdapat dalam ayat merupakan keluasan bagi ummat manusia untuk bisa memilih pendapat yang paling tepat diterapkan dalam situasi dan kondisi yang dialaminya. Meski berpegang kepada prinsip kehati-hatian merupakan hal yang lebih disukai oleh para ulama. Termasuk dalam hal kemudahan yang muncul dalam keadaan darurat atau terpaksa. Ini adalah salah bukti kasih sayang Allah kepada mahluk-Nya dengan memberi kemudahan ketika ada kesulitan yang dihadapi. Wallahu a’lam bishshowab
Hasbunallah wa ni’mal wakil
Catatan Kaki
- Syams al-dīn al Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua, 1964), Jilid 2, hlm 216.
- Lihat Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-FIkr al-Mu’ashir, cet. kedua, 1412 H), Jilid 2, hlm 79
- Murtadha al-Zabīdī, Tāj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, (Beirut: Dār al-Hidāyah), Jilid 5, hlm 103.
- Abu Dāwūd al-Sijjistānī, Sunan Abu Dāwūd, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah, tth). jilid 3, hlm 111, hadits no. 2858.
- Hamad al-Khattābī, Ma’ālim al-Sunan, (Mesir: Mathba’atu al-‘Ilmiyyah, Cet pertama, 1932), Jilid 4, hlm 294.
- Zain al-Din al-Munawi, al-Taysir bi Syarh al-Jami’ al-Shagir, (Riyadh: Maktabah al-Imam al-Syafi’i, Cetakan ke 3, 1988), Jilid 2, hlm 354.
- Abu Bakr al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, 1405 H), Jilid 1, hlm 132.
- Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 80.
- Lihat al kaafi Ibnu abd bar 1/439, Ahkam al Qur’an, Ibnu Arabi 1/25, Bidayatul Mujtahid 1/440 & 465, Syarh Muntaha al Iradat 3/392, al Mughni Ibnu Qudamah 13/330
- Fakhr al-din Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, cet ke3, 1420 H), Jilid 11, hlm 283.
- Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 78
- Ibid, Jilid 2, hlm 77.
- Syams al-dīn al Qurthubī, op.cit, jilid 2, hlm 221.
- Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 85
- Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Musnad al-Imam al-Syafi’i, (Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1400 H), Jilid 1, hlm 340.
- Syams al-dīn al Qurthubī, op.cit, jilid 2, hlm 222
- Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 86
- Syams al-dīn al Qurthubī, op.cit, jilid 2, hlm 223
- Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, Jilid 2, hlm 86.
- Ibn al-Qayyim al-jauziyyah, I’lam al-Muwaqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama 1991), jilid 2, hlm 118,
- Abu Ja’far ath Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Ayatil Qur’an, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, 1420 H), Jilid 3, hlm 319.
- Ibid, jilid 3, hlm 320.
- Ibid, jilid 3, hlm 321.
- Ibid.
- Abu Bakr al-Jashash, op.cit, jilid 1, hlm 155.
- Abu Bakr al-Bayhaqi, Ahkam al-Qur’an li Al-Syafi’i, (Cairo: Maktabah al-Khanaji, cet. kedua, 1994), Jilid 2, hlm 98-99.
- Abu al-Hasan Ali al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, Cet. pertama 2004), Jilid, 5, hlm 535, hadits no. 4808.
- Abu Dāwūd al-Sijjistānī, al-Marasil, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, cet. pertama 1408 H), Jilid 1, hlm 278, hadits no. 378.
- Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, Subul al-Salam, (Beirut: Dar al-Hadits, tth), Jilid 2, hlm 528.
- Abu Bakr al-Bayhaqi, op.cit, jilid 1, hlm 291.
- Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adzim, (Beirut: Dar Thayibah 1420 H), Jilid 1, hlm 482.
- Abu Bakr al-Jashash, op.cit, jilid 1, hlm 156.
- Fakhr al-Din Al-Zayla’i, Tabyin al-Haqaiq, (Cairo: al-Mathba’atu al-Kubra al-‘Amiriyah, cet. pertama 1313 H), jilid 5, hlm 185.
- Lihat. Syams al-dīn al Qurthubī, op.cit, jilid 2, hlm 231-234.
- Ibid
- Lihat Abu Bakr al Jashash, op.cit, Jilid 1, hlm159 & Fakhr al-Din al-Zayla’i, op.cit, Jilid 5, hlm185.