KONDISI JIWA MANUSIA DALAM AL QUR’AN



Allah ta’ala mengilhamkan pada jiwa manusia karakteristik berupa kemampuan untuk mengetahui kebaikan dan keburukan, serta kesiapan untuk melaksanakan keduanya, sebagaimana firman-Nya dalam surat asy syams ayat 7-8 dan  surat al insaan ayat 3,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
Dan demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Kami ilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan takwa.

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
Sungguh telah Kami tunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur

Menurut al Fairuz Abadi[1] jiwa manusia itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut; jiwa itu memiliki kecenderungan kepada sesuatu yang diinginkannya, menghendaki sesuatu yang disukainya, kecintaannya terhadap sesuatu itu akan dapat menjadikan sesuatu itu keutamaan dalam hidupnya dan jika ia menikmati sesuatu yang disukainya itu lambat laun kesenangannya itu akan menguasai isi hatinya.

Sehingga jiwa manusia ini akan selalu tunduk dan patuh kepada Allah serta menyenangi kebaikan hingga kebaikan itu akan menguasai segenap isi hatinya jika mendapat bimbingan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Begitu pula sebaliknya bila ia dibiarkan tanpa pengendalian maka ia akan mengendalikan manusia mengikuti gejolak jiwa yang rendah yang mengajak kepada kemaksiatan hingga kemaksiatan itu pada puncaknya akan menguasai pula hatinya.

Secara garis besar dari berbagai ayat yang terdapat di al Qur’an dapat disimpulkan bahwa kondisi jiwa manusia terdiri dari tiga jenis, yaitu jiwa yang mengajak berbuat buruk (nafsu ammarah bi suu’), jiwa yang menyesali diri (nafsu lawwamah) dan jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).

Jiwa yang Mengajak Berbuat Keburukan

Al Jurzani[2] memaknai jiwa semacam ini sebagai berikut,
هي التي تميل إلى الطبيعة البدنية، وتأمر باللذات والشهوات الحسية، وتجذب القلب إلى الجهة السفلية، فهي مأوى الشرور، ومنبع الأخلاق الذميمة
Sesuatu yang cenderung kepada pembawaan tubuh, mengajak menikmati kelezatan dan selera inderawi serta menarik hati kearah kenistaan. Itulah tempat bagi berbagai kejahatan dan mata air segala perilaku tercela.

Allah ta’ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 53,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak mampu membebaskan jiwaku (dari kesalahan), sungguh jiwa itu menyuruh berbuat keburukan, kecuali jiwa yang dirahmati Tuhanku, sungguh Tuhanku Mahapengampun dan Mahapengasih.

Jiwa yang mengajak berbuat keburukan ini juga dijelaskan oleh Ibnu Katsir[3] dalam tafsirnya tentang perkataan istri al Aziiz yang menggoda nabi Yusuf as, “وَلَسْتُ أُبَرِّئُ نَفْسِي، فَإِنَّ النَّفْسَ تَتَحَدَّثُ وَتَتَمَنَّى؛ وَلِهَذَا رَاوَدَتْهُ لِأَنَّهَا أَمَارَةٌ بِالسُّوءِ”, Aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, sebab hawa nafsu diriku selalu membisikkan godaan dan angan-angan kepadaku. Karena itulah aku menggoda Yusuf dikarenakan jiwaku yang mengajak berbuat keburukan.

Jiwa yang memerintahkan perbuatan buruk ini adalah jiwa yang menipu akal dan menghilangkan rasa malu manusia, ia menjadikan sesuatu yang buruk menjadi indah dan baik. Sifat jiwa yang demikian akhirnya menjadi kesempatan bagi Iblis untuk membisikkan kejahatan, menyesatkan, menggelincirkan dan menjerumuskan manusia kepada kemaksiatan.

Ibnul Qayyim al Jauziyyah[4] menjelaskan bisikan setan ini pada jiwa yang lemah sebagai berikut, “وَأما النَّفس الأمارة فَجعل الشَّيْطَان قرينها وصاحبها الَّذِي يَليهَا فَهُوَ يعدها ويمنيها ويقذف فِيهَا الْبَاطِل ويأمرها بالسوء” adapun jiwa yang memerintahkan berbuat keburukan, maka syetan akan menjadi pendamping dan sahabatnya yang memberi janji-janji, angan-angan kosong kemudian menyusupkan kebatilah pada hati manusia serta memerintahkan berbuat keburukan.

Manusia yang tertipu adalah mereka yang berjalan dibelakang kehendak jiwanya (nafsunya) tanpa pengendalian akal dan syari’at serta tidak memperhitungkan dampak perbuatannya.  Menjadikan hawa nafsunya sebagai panglima adalah kesesatan. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Qashash ayat 50,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.”

Jiwa yang mengajak pada keburukan ini harus diperangi dengan sungguh-sungguh agar terbebas dari belenggu keindahan kenikmatan maksiat yang bersifat fana dan menipu. Mengajari dan melatih jiwa untuk memikul beban dan kesulitan seperti merutinkan shalat malam, puasa sunnah, shadaqah dan sebagainya.

Dari ‘Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tiadalah (sempurna) keimanan seorang Mukmin sehingga menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”[5]

Jiwa yang Menyesali Diri

Jiwa yang menyesali diri adalah jiwa yang senantiasa mengingatkan pemiliknya dari perbuatan maksiat dan mengajak pemiliknya segera bertaubat ketika bermaksiat. Jiwa semacam ini dapat meningkat hingga mengembalikannya kepada kondisi fitrahnya yang bersih.

Allah ta’ala berfirman dalam surat al qiyamah ayat 2,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri)”

Ibnu Katsir[6] mengungkapkan perkataan al Hasan dalam tafsirnya tentang jiwa orang beriman, “إِنَّ الْمُؤْمِنَ -وَاللَّهِ-مَا نَرَاهُ إِلَّا يَلُومُ نَفْسَهُ: مَا أَرَدْتُ بِكَلِمَتِي؟ مَا أَرَدْتُ بِأَكْلَتِي؟ مَا أَرَدْتُ بِحَدِيثِ نَفْسِي؟ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَمْضِي قُدُما مَا يُعَاتِبُ نَفْسَهُ” Sesungguhnya orang beriman itu, demi Allah  menurut penilaian kami amat sangat menyesali dirinya sendiri dan mencelanya, Apa tujuanku dengan perkataanku, apa tujuanku dengan makananku, apa tujuanku dengan bisikan jiwaku. Sedangkan para perdurhaka itu melaju terus dalam kedurhakaannya tanpa pernah menyesali diri.

Al Qurthubi[7] mengutip perkataan Mujahid dalam tafsirnya tentang jiwa yang menyesali diri, “هِيَ الَّتِي تَلُومُ عَلَى مَا فَاتَ وَتَنْدَمُ، فَتَلُومُ نَفْسَهَا عَلَى الشَّرِّ لِمَ فَعَلَتْهُ، وَعَلَى الْخَيْرِ لِمَ لَا تَسْتَكْثِرُ مِنْهُ” ia adalah jiwa yang mengecam segala sesuatu yang lepas terlewat dan menyesalinya, ia mengecam dirinya atas keburukan yang dilakukannya, ia mengecam dirinya pula ketika berbuat kebaikan dengan perasaan kurang sempurna dan kurang optimal.

Al Jurzani[8] berkata “هي التي تنورت بنور القلب قدر ما تنبهت به عن سنة الغفلة، كلما صدرت عنها سيئة، بحكم جبلتها الظلمانية، أخذت تلوم نفسها وتتوب عنها”Jiwa ini bersinar dengan cahaya hati, yang menyadarkan dari kelalaian. Setiap kali ia mengerjakan keburukan dan terjerumus dalam kegelapan, ia akan menyesali diri dan bertaubat atasnya.

Jiwa yang menyesali diri adalah kondisi jiwa pada level berikutnya, setidaknya inilah kondisi jiwa yang harus dimiliki oleh orang beriman, manakala ia lalai maka jiwanya mengingatkan atas kelalaiannya.

Setiap mukmin wajib mewaspadai ketika jiwanya merasa nyaman akan kemaksiatan, tidak tergerak jiwanya untuk membenci kemungkaran, sementara membenci kemungkaran dengan hati adalah selemah-lemah iman.

Jiwa yang Tenang

Ini adalah tingkatan jiwa yang tertinggi, jiwa yang tenang dengan keta’atan kepada Allah, tenang dengan janji-janji Allah. Merasakan nikmat dalam beribadah kepada Allah. Allah memenuhi segenap jiwanya, Allah selalu ada dalam segala aktivitasnya. Jika Allah memberinya kenikmatan maka ia bersyukur dan bertambah keta’atannya. Jika Allah mengujinya dengan musibah maka ia bersabar dan bertambah kedekatannya kepada Allah, dan ia kembalikan segala urusannya kepada Allah.

Jiwa semacam ini tak mengenal kecewa dalam kebaikan, tak mengenal gentar dalam ujian. Ia memahami betul hakikat kehidupan, dunia itu fana dan sementara, akhiratlah tujuan utama. Jiwa ini tenang karena surga adalah terminal akhir yang akan diraihnnya. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Fajr ayat 27-30,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”

Al Jurzani[9] menjelaskan bahwa jiwa yang tenang adalah “هي التي تم تنورها بنور القلب حتى انخلعت عن صفاتها الذميمة، وتخلقت بالأخلاق الحميدة” jiwa yang sempurna cahayanya dengan cahaya hati hingga terlepas dari sifat-sifat buruk, dan terbingkai deng akhlaq yang terpuji.

Keberhasilan yang besar dari tazkiyatun nafs adalah jiwa yang tenang, tenang dalam beribadah, tenang dalam perjuangan dan pengorbanannya, tenang karena Allah menjadi poros segala amalnya, hati, ucapan dan tindakan.

Allah ta’ala berfirman dalam surat ar ra’du ayat 28

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tenteram dengan mengingat Allah, Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.”

Hasbunallah wa ni’mal wakil

[1] Lihat al Fairuuz Abadi : Bashairu Dzawi at Tamyiz fi Lathaif al Kitab al Aziz, Qahirah : Lajnah Ihya at Turats al ‘Araby, 1412 H, Jilid 5, hlm 359.
[2] Asy Syariif Al Jurzani: Kitab at Ta’rifat, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1403 H, hlm 243.
[3] Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Thayyibah li nushr wa at tauzi’, 1420 H, Jilid 4, hlm 394.
[4] Ibnul Qayyim al Jauziyah : Ar Ruuh fil kalami ala arwah al amwati wal ahyai bid dalaili min al kitab wa sunnah , Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, tt, hlm 227.
[5] Ibnu Abi Ashim : Kitab as Sunah wa Ma’ahu Dzilal al Jannah fi Takhrij as Sunnah. Al Maktab al Islamy, Jilid 1, hlm 12. Menurut Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini dhaif.
[6] Tafsir al Qur’an al Adzhim, jilid 8, hlm 275.
[7] Syamsuddin al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an. Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Jilid 19, hlm 193.
[8] At Ta’rifat, hlm 243.
[9] idem.

DEFINISI FIQH



Kata Fiqh dalam bahasa arab berarti pemahaman, sebagaimana pengertian yang terdapat pada surat Huud ayat 91 “قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ” Mereka berkata, Wahai Syu’aib! Kami tidak banyak mengerti (memahami) tentang apa yang engkau katakan itu…”

Dalam Lisan al Arab[1] kata al fiqh diartikan dengan “الْعِلْمُ بِالشَّيْءِ والفهمُ لَهُ” mengetahui sesuatu dan memahami dengannya. Dalam kamus al muhith[2] disebutkan pula pengertian serupa, al fiqh adalah “العِلْمُ بالشيءِ، والفَهْمُ له، والفِطْنَةُ، وغَلَبَ على عِلمِ الدينِ لشَرَفِه” mengetahui sesuatu dan memahami dengannya, kepandaian, dan melingkupi pengetahuan agama dengan keutamaan-keutamaannya.

Menurut asy Syafi’i[3] fiqh adalah “العلم بالأحكم الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية” mengetahui hukum-hukum syari’at yang terkait dengan amalan-amalan praktis yang diperoleh dari dalil-dalil syari’at yang terperinci.

Az Zuhaili[4] menjelaskan pengertian di atas, bahwa yang dimaksud pengetahuan (al ‘ilmu) dalam deifinisi di atas adalah semua jenis kualitas pengetahuan, baik yang mencapai derajat keyakinan maupun yang baru berupa dugaan (dzhan), karena menurutnya hukum-hukum amalan praktis kadang disimpulkan dari dalil yang dangat kuat dan terkadang pula disimpulkan dari dalil yang bersifat dugaan (dzhanni).

Adapun kata ahkam adalah segala tuntutan Allah yang berupa perintah dan larangan yang berkenaan dengan perilaku manusia mukallaf (muslim, baligh, berakal dan pekerjaannya menjadi objek tuntutan syari’at). Sedangkan yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci adalah dalil-dalil yang bersumber dari al Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas. Dengan demikian menurut az Zuhaili untuk mengetahui dalil yang terperinci seorang mukallaf dapat membandingkan dalil-dalil yang dikemukakan para imam madzhab terhadap sebuah amalan ibadah.

Dengan demikian mempelajari ilmu fiqh menjadi penting karena pada dasarnya seluruh tindakan manusia, niat, ucapan maupun perbuatan baik dalam lingkup individu, kelompok, bermasyarakat hingga bernegara semuanya mengandung hukum.

Sebagai agama yang sempurna maka seluruh hukum tersebut diambil dari nash-nash yang terdapat dari al Qur’an dan Sunnah dengan metode pengambilan hukum (istinbath) yang kemudian disusun dalam ilmu fiqh.

[1] Ibnu Mandhur : Lisan al ‘Arab, Beirut, 1414 H, jilid 13, hlm 522.
[2] al Fairuz Abady : al Qamus al Muhith, Beirut: Muassasah ar risalah, 1426 H, hlm 1250.
[3] al Isnawi : Nihayatu as Sual Syarh Minhaj al Wushul, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1420 H, hlm 11.
[4] Wahbah az Zuhaili : al Fiqhu al Islamy wa Adillatuhu, Damaskus : Daar al Fikr, 1428 H, hlm 14-16.

Senandung para pejuang 3 (bagian akhir)



Kesatuan Amal
Pemikir Islam Dr Yusuf al Qaradhawi mengatakan, Untuk kebangkitannya, ummat ini tidak hanya membutuhkan para pejuang yang ikhlas, melainkan para pejuang ikhlas yang bergerak dalam kesatuan amal.

Kesatuan memerlukan iman dan persaudaraan. Kesatuan niat dan tujuan, kesatuan langkah, kesatuan perintah dan sumber perintah takkan terwujud tanpa iman dan persaudaraan. Jika harakah mustamirrah, ghayah shahihah, manahij wadhihah, qiyadah mukhlishah dan junud muthi’ah adalah unsur utama pergerakan da’wah maka perhatikanlah, tidakkah unsur itu tegak atas iman dan persaudaraan.

Kemudian Allah ta’ala berfirman dalam surat ash shaf ayat 4 “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
Nash ini menjelaskan bahwa keteraturan barisan itu kekuatan, perlindungan dan cinta Allah. Ibnu Abbas berkata, “مُثَبَّتٌ لَا يَزُولُ مُلْصَقُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ” teguh, tidak akan tumbang, masing-masing bagian merekat erat dengan yang lain.

Qadatah berkata “أَلَمْ تَرَ إِلَى صَاحِبِ الْبُنْيَانِ، كَيْفَ لَا يُحِبُّ أَنْ يَخْتَلِفَ بُنْيَانُهُ؟ فَكَذَلِكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَخْتَلِفُ أَمْرُهُ، وَإِنَّ اللَّهَ صَفَّ الْمُؤْمِنِينَ فِي قِتَالِهِمْ وَصَفَّهُمْ فِي صَلاتِهِمْ، فَعَلَيْكُمْ بِأَمْرِ اللَّهِ فَإِنَّهُ عِصْمَةٌ لِمَنْ أَخَذَ بِهِ” tidakkah engkau perhatikan pemilik bangunan, bagaimana ia tidak menginginkan bangunannya berantakan. Demikian pula Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia tidak menyukai jika perintah-Nya tidak dipatuhi. Dia telah membariskan orang-orang beriman dalam peperangan dan sholat. Maka kalian harus berpegang teguh pada perintah-Nya karena ia merupakan pelindung bagi orang yang mau berpegang padanya. (tafsir Ibnu Abi Hatim 10/3354)

Al Qur’an itu telah diturunkan kepada Rasul-Nya yang mulia, menghapus masa-masa suram kejahiliyahan dan permusuhan antar manusia, kebenaran itu satu tidaklah ia berbilang. Mereka yang mengaku mempelajarinya apa pasal menyerukan perpecahan atasnya? Nikmat Rabbmu yang mana lagi yang kamu dustakan? “Fabiayyi aalaa-i Rabbikuma tukadzibaan”.   Hasbunallah wa ni’mal wakil

Senandung Para Pejuang 2



Kekuatan Ukhuwwah
Adalah Sa’ad bin al Rabi’ al Anshari ra, orang terkaya madinah pada masa itu, menawarkan separuh miliknya bagi Abdurrahman bin ‘Auf ra -- Ikhwah yang baru saja dikenalnya -- dengan tawaran yang sungguh-sungguh mengandung banyak implikasi itu dengan hati yang tulus.

Kekuatan ukhuwwah semacam ini terlahir dari kesempurnaan iman, sebab diantara tanda sempurnanya iman ialah rasa cinta bagi saudaranya. Dan tidaklah dicabut rasa kasih sayang itu melainkan dari orang yang celaka.

Pembahasan tentang persaudaraan iman dari saksi sejarah para pendahulu adalah sebuah paradoksal, ketika masyarakat modern larut dalam keinginan menonjolkan diri, keutamaan dan kebenaran hanyalah milik sendiri. Lalu ada dimana Allah di hatimu, jika dunia memenuhi segenap hatimu.

Susah melihat orang senang, senang melihat orang susah. Menutupi wajah dan dirinya dengan kepura-puraan. Manis topengnya dan takwa pakaiannya sementara mulutnya berbau busuk bangkai saudaranya.
Mereka yang miskin jiwanya sulitlah untuk berbagi, mereka itu sebagaimana dikatakan oleh ibnul qayyim, setiap bertambah ilmunya bertambah kesombongan dan kesesatannya. Setiap bertambah amalnya bertambah pula kebanggaan dan baik sangkanya hanya terhadap dirinya serta penghinaannya terhadap orang lain. Setiap bertambah usianya bertambah pula ambisi dunianya. Dan setiap bertambah hartanya bertambah pula kekikirannya. Itulah kemalangan hidup.

Sungguh betapa mulia dan berkilaunya persaudaraan iman, tegak karena cinta, suci karena pengorbanan, dan keutamaan adalah milik mereka yang bertaqwa. Kalaulah kau akui kesempurnaan itu hanya milik Allah, maka syukurilah ketaksempurnaan kita dengan saling menjaga. Ketaksempurnaan itu pula yang membuat kita sebenarnya saling membutuhkan, ketaksempurnaan itu pula yang membuat terciptanya amal sholeh.

Rasulullah saw bersabda “الْمُؤْمِنُ مَأْلَفٌ، وَلَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يَأْلَفُ، وَلَا يُؤْلَفُ” orang beriman itu menyatu dan bersatu. Tak akan ada kebaikan bagi orang yang tidak menyatu dan bersatu. (HR Ahmad 15/106) Ruh-ruh mereka bagaikan prajurit dalam satu barisan perang saling mengenal dan bermesraan, saling mengangkat kesulitan, menjaga dari serangan musuh dari depan maupun belakang.

Keteladanan Dalam Da'wah Ilallah 3 (bagian akhir)



Husnul Khuluq
Kebaikan akhlak adalah asas pertama keteladanan dalam da’wah, ia adalah hujjah yang sanggup melawan keragu-raguan orang-orang yang bimbang, mematahkan serangan orang-orang yang membenci  serta penentram hati mereka yang mengikuti seruan da’wah.

Jika engkau ingin menang tanpa perang, tanpa melukai, tanpa rasa sakit, tanpa dendam dan permusuhan maka ialah senjata yang harus kau produksi. Menyenangkan jika sosok muslim itu terkenal karena fitrahnya yang bersih, hatinya penyayang, jiwanya tenang, ikhlas, santun dan pembuat kebaikan.

Al mawardi mengatakan, “أَصْلِحْ نَفْسَك لِنَفْسِك يَكُنْ النَّاسُ تَبَعًا لَك”[1] perbaikilah dirimu niscaya manusia akan mengikutimu. Muhammad Mahmud al Hijazi berkata “أصلح نفسك ثم ادع غيرك، ولا شك أن مرتبة دعوة الغير إلى الهدى والخير مرتبة عالية، ولا يلقاها إلا أفراد قلائل زكت نفوسهم وطهرت أرواحهم وامتلأت إيمانا ويقينا”[2] perbaikilah dirimu kemudian serulah kepada orang lain, dan jangan ragu sesungguhnya berda’wah kepada orang lain hingga mendapatkan petunjuk dan kebaikan adalah dejarat yang tinggi, dan derajat yang mulia itu tidak diberikan Allah kecuali kepada sebagian kecil manusia yang mensucikan jiwa dan ruhnya serta memenuhi dirinya dengan iman dan keyakinan.

Demikianlah akhlaq yang baik, Ia adalah mata air, mereka yang dahaga pasti meminumnya. Ia adalah cahaya, mereka yang merasakan kegelapan pada jiwanya akan mencarinya.

Demikian pula junjungan kita Rasulullah saw memerintahkan kepada Ali ibn Abi Thalib ra,[3]
يَا عَلِيُّ، اطْلُبُوا الْمَعْرُوفَ مِنْ رُحَمَاءَ أُمَّتِي تَعِيشُوا فِي أَكْنَافِهِمْ، وَلَا تَطْلُبُوهُ مِنَ الْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ فَإِنَّ اللَّعْنَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
“wahai Ali carilah kebaikan dari umatku yang memiliki kasih sayang, maka engkau akan hidup dalam kemuliaan, dan janganlah mencarinya dari orang-orang yang keras hatinya, karena laknat akan turun kepada mereka.”

يَا عَلِيُّ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَلَقَ الْمَعْرُوفَ وَخَلَقَ لَهُ أَهْلًا فَحَبَّبَهُ إِلَيْهِمْ وَحَبِّبْ إِلَيْهِمْ فِعَالَهُ وَوَجَّهَ إِلَيْهِمْ طُلَّابَهُ كَمَا وَجَّهَ الْمَاءَ فِي الْأَرْضِ الْجَرِيبَةِ لِتُحْيِيَ بِهِ وَيَحْيَى بِهَا أَهْلُهَا
“Wahai Ali, sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan kebaikan dan pelaku kebaikan, Allah cintakan kebaikan itu kepada ahlinya dan pelakunya Allah cintakan kepadanya. Allah arahkan kepadanya para pencarinya, sebagaimana mengarahkan air ke sawah ladang agar tanah itu hidup dengan air itu dan penghuninya bisa hidup dengannya .”

يَا عَلِيُّ، إِنَّ أَهْلَ الْمَعْرُوفِ فِي الدُّنْيَا هُمْ أَهْلُ الْمَعْرُوفِ فِي الْآخِرَة
“Wahai Ali, sesungguhnya ahli kebaikan di dunia itu adalah ahli kebaikan di akhirat.”
           
Muthobaqah Amal Qaulan

Abul Hasan an Nadawi berkata, “Kata adalah sepotong hati”, hati adalah ruh dari perkataan yang bukti kebenarannya adalah amal yang selaras. Tidaklah jujur melainkan mereka yang bersih hatinya dan tidaklah lurus amal seseorang melainkan yang bersih pula hatinya.

Orang-orang terlaknat itu  memberi contoh terbaik untuk kita waspadai, menjual diri pada kekafiran, menukar kebenaran dengan kebatilan, kebenaran terselimuti debu-debu nifaq dan menjadi komoditas yang bisa dipesan, dieksploitasi bagi keuntungan dunia.

Da’wah seharusnya lahir dari kebersihan hati seorang da’i, menginginkan kebaikan bagi ummat, ia bukan ambisi dan nafsu pribadi. Perbuatan da’i sesuai dengan jalan lurus yang digariskan. Gaya hidupnya merupakan aktualisasi perkataannya, yang terlihat darinya adalah cerminan hatinya. Jika ia mengajak kepada sesuatu ia berkomitmen dengan hal itu. Jika ia melarang sesuatu ia pula yang pertama meninggalkan hal tersebut.

Da’i semacam ini diberkahi cahaya, da’wahnya meninggalkan jejak kebaikan bagi diri dan sesamanya.
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
Allah menyinari orang yang telah mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya dengan baik dan menyampaikannya kepada orang lain persis seperti apa yang didengarnya, maka betapa banyak orang yang menyampaikan itu lebih mengerti dari pada orang yang mendengar saja.[4]
           
Waqfah Tarbawiyah

Berhenti sejenak untuk mendidik diri, menjadi murid guru, menjadi mad’u, menjadi mutarabbi. Mempelajari al Qur’an untuk mendapatkan energi rabbaniyyah yang menyuburkan kembali jiwa mereka. Sebagaimana perintah Sang Pencipta, “Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kalian tetap mempela-jarinya” ( ali Imran 79)

Proses yang tak pernah henti, para rabbaniyyun itu “من يتعلم ، ويعمل ، ويعلم” terus menerus belajar, beramal dan mengajarkan al Qur’an[5].

Malik bin Dinar berkata,[6] “يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ، مَاذَا زَرَعَ الْقُرْآنُ فِي قُلُوبِكُمْ؟ فَإِنَّ الْقُرْآنَ رَبِيعُ الْقُلُوبِ كَمَا أَنَّ الْغَيْثَ رَبِيعُ الْأَرْضِ” wahai para pemilik al Qur’an, apa yang ditumbuhkannya dalam hati kalian? Karena sesungguhnya al Qur’an itu membasahi hati sebagaimana hujan membasahi bumi. Al Qurthubi berkata,[7] “وَسَمَّاهُ رُوحًا لِأَنَّ فِيهِ حَيَاةً النُفُسِ مِنْ مَوْتِ الْجَهْل” al Qur’an dinamakan ruh karena ia menghidupkan jiwa yang mati karena kebodohan.

Mereka yang menginginkan lisan, hati dan amalnya hidup dan berkesan dengan al Qur’an haruslah hidup bersama al Qur’an, saling menasihati dengannya. Karena Ia adalah ruh, ia adalah kehidupan bagi jiwa yang mati, ia adalah penenang bagi jiwa yang gelisah, sumber hidayah, penumbuh iman dan penjaga orientasi.

Yazid bin Abi habib[8] pernah berkata,
إِنَّ مِنْ فِتْنَةِ الْعَالِمِ الْفَقِيهِ أَنْ يَكُونَ الْكَلَامُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الِاسْتِمَاعِ وَإِنْ وَجَدَ مَنْ يَكْفِيهِ، فَإِنَّهُ فِي الِاسْتِمَاعِ سَلَامَةٌ، وَزِيَادَةٌ فِي الْعِلْمِ.
Sesungguhnya diantara ujian para ulama yang faqih adalah dijadikannya lebih menyukai berbicara daripada mendengar dan merasa apa yang dimiliki itu cukup baginya, sesungguhnya dalam mendengar itu ada keselamatan, dan tambahan atas ilmu. 

Keteladanan yang utama bagi mad’u ketika sang da’i berhenti sejenak secara periodik di terminal pembelajaran bagi dirinya, terminal yang menempatkan da’i menjadi objek da’wah, tempat sang da’i mendengarkan nasihat dan taujih bagi dirinya, mengevaluasi dan mengembangkan diri.

Inilah rahasia kenapa Islam menekankan bagi penganutnya untuk selalu saling menasihati agar tak ada seorangpun dari mereka yang tertipu dan tersesat dalam hidupnya, dan menjadikan seluruh aturan itu kembali dan berputar kepada Islam. Tidak kepada pribadi da’i, karena da’i adalah penyampai risalah bukan pembuat risalah. 

Rasulullah saw bersabda,[9]
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Ad Diin itu nasihat, kami bertanya : kepada siapa? Beliau menjawab: “Kesetiaan kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya, kepada pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan kepada mereka secara keseluruhan.

Demikian pula rahasia kenapa Islam memerintahkan penganutnya untuk tolong menolong, agar mereka terjaga kehormatan agama dan diri mereka. Rasulullah saw bersabda,[10]
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ، وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، يَكُفُّ عَلَيْهِ ضَيْعَتَهُ، وَيَحُوطُهُ مِنْ وَرَائِهِ
Mukmin itu cerminan bagi mukmin lainnya. Mukmin itu saudara mukmin lainnya, menjaga hartanya dan melindunginya dari belakang.

Para du’at yang bergerak bersama jama’ah, bercermin dari sesama mukmin, mendengarkan nasihat niscaya akan terhindar dari penyakit ‘ijab bin nafsi. Karena penyakit ini muncul dari keengganan melihat dan mengoreksi diri.
           
Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil

[1] Al Mawardi: Adab ad-Dunya wa ad-Diin, Daar al Maktabah al Hayah, 1986 M, hlm 358.
[2] Muhammad Mahmud al Hijazy: at Tafsir al Wadhih, Beirut: Daar al Jaliil al Jadiid, 1413 H, jilid 3, hlm 340.
[3] Abu Abdullah Al Hakim: al Mustadrak ‘ala Shahihain, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1411 H, jilid 4, hlm 357 hadits ke 7908.
[4] Muhammad bin Isa at Tirmidzi : Sunan at Tirmidzi, Mesir, 1395 H, jilid 5, hlm 34 hadits ke 2657, shahih menurut al Albany
[5] Yusuf al Qaradhawi : al hayat ar Rabbaniyyah wal Ilm, Maktabah Wahbah, 1416 H, hlm 90.
[6] Al Qurthubi: al Jami’ li ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, jilid 16, hlm 55.
[7] ibid
[8] Ibnul Mubarak : az Zuhdu wa ar Raqaa-iq li Ibnu al Mubarak, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyah, tt, jilid 1, hlm 16.
[9] Muslim bin Hajjaj : Shahih Muslim, Beirut : Daar Ihya at Turats al Araby, tt, jilid 1, hlm 74. Hadits dari Tamim ad Dariry ra.
[10] Abu Dawud as Sijjistany : Sunan Abi Dawud, Beirut: Maktabah al ‘Ashriyah, tt, jilid 4, hlm 280, hadits ke 4918. Hadits dari Abu Hurairah ra. Hasan menurut al Albany.

Keteladanan Dalam Da'wah Ilallah 2


Terminologi Keteladanan (al qudwah)

Menurut bahasa al qudwah berarti “الأَصْلُ تَتَشَعَّبُ مِنْهُ الفُرُوعُ”[1] cabang-cabang yang mengikuti pokoknya. Sholih bin Hamid berkata alqudwah adalah “السَيرُ وَالِاتِبَاعُ عَلَى طَرِيقِ الْمُقْتَدِي بِهِ”[2] mengikuti seseorang dalam sebuah perjalanan.

Dengan demikian qudwah dalam da’wah dapat kita artikan keteladanan da’i kepada objek da’wah agar mengikutinya dalam perkara da’wah yang ia serukan.

Menurut Jum’ah Amin, “hikmah ilahiyyah keteladanan dalam da’wah adalah Allah jadikan manusia tidak mengambil ilmu agama melainkan dari mereka yang benar-benar beriman dan menerapkan manhaj Islam dalam diri mereka.[3] 
  
Kecenderungan meniru figur teladan pada diri manusia adalah karena adanya perasaan yang sama dalam kelompok sosialnya serta naluri ketundukan kepada figur utama dalam kelompoknya. Budaya dalam kelompok organisasi adalah cerminan dari hal tersebut.

Semakin sulit situasi yang dihadapi, kondisi-kondisi yang tak bisa diramalkan, resiko-resiko yang menuntut pengorbanan berat akan memunculkan kecenderungan akan  sosok teladan dan panutan. Padahal itulah karakter jalan da’wah ini.

Hamzah Manshur berkata[4], “Sesungguhnya risalah yang agung ini membutuhkan semua kekuatan terbaik dari komitmen untuk kebangkitannya. Kepentingan mulia yang mendesak, jalan yang tidak terukur, jalur sulit pendakian yang banyak. Hal ini akan menumbuhkan keragu-raguan bersikap dan keinginan menarik diri dari aktifitas amal.” Keteladanan adalah pembangkit kekuatan yang letih, semangat yang memudar, dan inspirasi untuk mencari solusi atas permasalahan. 
... bersambung

[1] Ibrahim Musthofa et.al. : Al Mu’jam al Wasith. Turki: al Maktabah al Islamiyyah li at thiba’ah wa annashr wa attauji’. tt, hlm 721.
[2] Shalih bin Hamid: al Qudwah mabadi wa namudaj, Saudi arabia: wizaratu al Auqaf as Su’udiyyah, tt, hlm 5.
[3] Jum’ah Amin Abdul Aziz: Fiqh Da’wah (edisi terjemah), Solo: Intermedia, 1998 M, hlm 209.
[4] Hamzah Manshur : Hakadza ‘Alimtany Da’wah al Ikhwan, 1419 H, hlm 24.

Senandung Para Pejuang 1



لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الحَقِّ ظَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ يَخْذُلُهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
Segolongan orang dari kalangan umatku masih terus menerus “berperang” membela perkara yang benar, orang-orang yang menentang mereka tiada membuat kemudaratan kepadanya hingga datang ketentuan Allah. (sunan at tirmidzi 4/504 hadits ke 2229, )
Kekuatan Iman, Bagi mereka yang mengetahui tujuan utama jalan hidup akan membayar tiketnya berapapun harga yang diminta. Kesulitan menjadi gairah, beban menjadi kehormatan, anugrah menambahi kekuatan dan ujian itu menjadi kemenangan. Manusia macam ini tak takut masuk angin karena mereka terbiasa selamat mengarungi badai. Jika keteguhan komitmen itu berarti perjumpaan dengan kekasih sejati maka untuk apa mencari jalan untuk berpaling.
Sungguh jika kita telah beriman dengan keimanan yang tidak diragukan lagi, tidak ada tuduhan atasnya dan tiada kebutuhan lain bagi jiwa kita selain keimanan itu, niscaya ia akan menjadi rasa dalam amal, tashawur atas akal dan bashirah atas hati. Tenang di atas jalan keselamatan.
Iman itu mengungkapkan rasa manis yang begitu nyata atas amal mereka, kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan hati. Kelezatan hati dalam menunaikan ketaatan dan kesabaran yang indah dalam menahan derita. Manis karena Allah menjadi poros segala cinta di hatinya.
Iman itu menembus batas kemampuan indera lahiriahnya. Adalah kecerdasan yang menembus batas meyakini sesuatu yang abstrak menjadi nyata dan beramal atasnya, meski tak semua itu rasional bagi akalnya. Hakikat atas wujud dan hakikat kekuatan-kekuatan yang bergerak di dalam entitas wujud adalah bukti nyata kelemahan peradaban akal manusia. “orang beriman itu cerdas dan pandai”, karena akal mereka mampu merasionalisasi hakikat di balik realita itu.
Jika bashirah -- bukti yang nyata seakan terlihat -- adalah derajat tertinggi dalam mengungkap dalil iman, maka  Para pemiliknya adalah mereka yang Rasul mulia saw gambarkan, beribadah seakan-akan melihat Allah, surga dan neraka. Dimana perbandingan apa yang diketahui padanya kepada hati adalah sebagaimana benda yang terlihat oleh pandangan mata. Hati itu ”melihat” Allah, surga dan neraka sebagaimana pandangan mata mereka melihat benda lahiriah. Sungguh pengungkapan dalil iman yang tak terbantahkan.
Seorang mukmin itu pejuang yang ahli ibadah atau ahli ibadah yang pejuang, janganlah sekali-kali engkau hanya menjadi salah satu dari keduanya. “الْمُؤْمِنُ هو الُمَتَحَامِلُ وَالمُؤْمِنُ هُوَ الْمُتَقَوِّى وَالمُؤْمِنُ هُوَ الْمُتَشَدِّدُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنِينَ هُمُ الْعَجَاجُونَ اِلَى اللهِ اللَّيْلَ وَالنَّهَارِ” mukmin itu penjaga amanah, mukmin itu kuat, mukmin itu berkemauan keras, dan sesungguhnya mereka senantiasa mesra dalam memohon kepada Allah siang dan malam. (Qatadah)
Nenek moyang kami adalah darah dan air mata
Darah itu kami tanam pada tiap jengkal kemuliaan tanah kelahiran
Air mata itu kami bentang di atas sajadah takut, harap dan cinta.
Duhai Sang Pemilik semua jalan kembali, ijinkan kami meraih kemenangan dan gugur di jalan itu

...bersambung

Memahami Makna Jihad Dalam Islam



Pengertian Jihad
Secara bahasa jihad berasal dari kata “الجَهْدُ” yang bermakna “الْمَشَقَّةُ” kesulitan dan kesukaran, juga “الجُهْدُ” yang bermakna “الطَّاقَةُ” kemampuan menahan derita.[1] Juhdu juga bermakna “طلب حَتَّى وصل إِلَى الْغَايَة وَبلغ الْمَشَقَّة” menuntut sesuatu hingga menembus batas kesulitan untuk mendapatkan yang diinginkan.[2] Ibnul Atsir mengatakan “المُبَالَغة واسْتِفْراغ مَا فِي الوُسْع والطَّاقة مِنْ قَوْلٍ أَوْ فعْل” berlebih-lebihan dan mengeksploitasi semua kemampuan dari perkataan dan perbuatan.[3] Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pengertian jihad secara bahasa adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghadapi seluruh rintangan kesulitan guna meraih tujuan.

Ibnu Taimiyyah mendefinisikan istilah jihad secara menyeluruh dengan pengertian sebagai berikut “الجهاد إما أن يكون بالقلب كالعزم عليه، أو بالدعوة إلى الإسلام و شرائعه، أو بإقمة الحجة على المبطل، أو ببيان الحق و إزالة الشبهة، أو بالرأي و التدبير فيما فيه نفع المسلمين، أو بالقتال بنفسه. فيجب الجهاد بغاية ما يمكنه” Adapun Jihad dengan hati adalah bertekad kuat untuk berjihad, menda’wahkan Islam dan syari’atnya, menegakkan kebenaran atas orang yang berbuat kebatilan, menjelaskan kebenaran dan menghapus syubhat, dengan pemikiran dan perencanaan yang bermanfaat bagi ummat Islam maupun dengan memerangi jiwanya sendiri. Jihad adalah wajib dengan tujuan sebagaimana yang memungkinkannya.[4]

Adapun penggunaan kalimat jihad dalam istilah fiqh adalah “بَذْلُ الْجَهْدِ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ أَوْ الْبُغَاةِ” berjuang dengan mengerahkan seluruh kemampuan dalam memerangi orang kafir dan pemberontak[5]. Alauddin as Samarqandy berkata jihad adalah “الدُّعَاء إِلَى الدّين الْحَقِّ وَالقِتَالِ مَعَ مَنِ امْتَنَعَ عَنِ الْقبُولِ بِالْمَالِ وَالنَّفْسِ” seruan kepada agama yang benar dan berperang termasuk kepada mereka yang menghindarkan diri dari menerima seruan itu dengan harta dan jiwa.[6] Demikian pula pendapat Al Kasani “يُسْتَعْمَلُ فِي بَذْلِ الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ بِالْقِتَالِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِالنَّفْسِ وَالْمَالِ وَاللِّسَانِ” mengerahkan seluruh potensi dalam berperang dijalan Allah azza wa jalla dengan jiwa, harta dan lisan.[7]  Abdurrahman Abdul Khaliq mendefinisikan jihad adalah “المبالغة واستفراغ الوسع والطاقة في الحرب أو اللسان أو أي جهد يثمر إعلاء كلمة الله سبحانه وتعالى وإعزاز دينه‏” berusaha keras dan mencurahkan seluruh kemampuan dan kekuatan baik dalam perang, berbicara dengan lisan maupun usaha lainnya dalam rangka menegakkan kalimat Allah ta’ala dan memuliakan agamanya.[8]

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa jihad terbagi dalam tiga kategori. Pertama, berbentuk informasi, hujjah dan argumentasi. Kedua berbentuk pendidikan dan pelatihan. Terakhir memerangi orang-orang yang memusuhi agama Allah dengan berbagai metode.

Pensyari’atan Jihad (Perang)
Sesungguhnya prinsip hidup bersama yang diserukan oleh agama Islam adalah as salam (perdamaian). Islam mencintai kehidupan dan membebaskan manusia dari rasa takut dan mengarahkan kehidupan kepada keluhuran dan kemajuan.

Dengan demikian sebenarnya perang tidak dikenal dalam Islam, kecuali dalam dua kondisi darurat yaitu,[9]

Pertama “الدفاع عن النفس، والعرض، والمال، والوطن عند الاعتداء” mempertahankan diri, nama baik, harta dan tanah air ketika diserang musuh. Dari Sa’ad bin Zaid bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda,
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“siapa yang gugur mempertahankan hartanya ia syahid, siapa yang gugur mempertahankan jiwanya ia syahid, siapa yang gugur membela agamanya ia syahid dan siapa yang gugur membela keluarganya ia juga syahid.”[10]

Kedua, “الدفاع عن الدعوة إلى الله إذا وقف أحد في سبيلها. بتعذيب من آمن بها، أو بصد من أراد الدخول فيها، أو بمنع الداعي من تبليغها” mempertahankan da’wah ilallah. Jika ada yang menghentikan da’wah ini dengan menyiksa orang-orang yang seharusnya keamanannya terjamin, atau merintangi mereka yang ingin memeluk ajaran Allah. Atau melarang dengan kekerasan juru da’wah menyampaikan ajaran Allah. Allah ta’ala berfirman dalam surat an Nisa ayat 90,
فإن اعتزلوكم فلم يقاتلوكم وألقوا إليكم السلم، فما جعل الله لكم عليهم سبيلا
... Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak memerangimu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan kepadamu untuk memerangi mereka.

Da’wah Sebelum Jihad
Da’wah ke jalan Allah ta’ala merupakan kewajiban yang paling pokok untuk meraih kemenangan dan kemuliaan ummat, karena melalui da’wah lah proses menghimpun dan menyatukan ummat dimulai. Dengan demikian jika syarat-syarat perang terpenuhi secara syari’at maka masih ada kewajiban yang harus ditunaikan sebelum perang yaitu da’wah. Jika da’wah itu berhasil maka perang dibatalkan.

Para ulama sepakat tentang wajibnya jihad melalui da’wah sebelum perang fisik. Imam as sarakhsi berkata,[11]
ولو قاتلهم المسلمون قبل الدعوة أثموا للنهي، ولا يضمن المسلمون شيئا مما أتلفوه من الدماء و الأموال, و هذا لعدم العاصم و هو الدين، أو الإخراز بالدار
“seandainya orang-orang Islam memerangi mereka (kafir) sebelum sampai da’wah kepada mereka maka itu adalah kesalahan dan dosa yang dilarang, kemudian orang-orang Islam tidak menjamin akibat perbuatan mereka atas kebinasaan dari darah dan harta dikarenakan tidak adanya perlindungan yaitu agama dan negara bagi mereka.

Demikian pula pendapat al mawardi tentang wajibnya da’wah sebelum jihad,
وَأَنْ نَبْدَأَهُمْ بِالْقَتْلِ قَبْلَ إظْهَارِ دَعْوَةِ الْإِسْلَامِ لَهُمْ، وَإِعْلَامِهِمْ مِنْ مُعْجِزَاتِ النُّبُوَّةِ وَإِظْهَارِ الْحُجَّةِ بِمَا يَقُودُهُمْ إلَى الْإِجَابَةِ
Terlarang bagi kita untuk memulai perang sebelum menampakkan da’wah dan memberitahukan mereka mukjizat kenabian serta mengemukakan argumentasi yang memungkinkan mereka menerimanya.[12]

Reaktualisasi Jihad
Meskipun tidak dalam kondisi wajibnya perang kewajiban jihad perang tentu saja tidak gugur. Hadits berikut mengajarkan kita untuk senantiasa bertekad dan bersiap siaga berperang jika memang diperlukan untuk membela tanah air. Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ، مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
Siapa yang mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan berjihad, ia mati dalam salah satu cabang sifat munafik.[13]

Hadits ini adalah dalil yang mewajibkan senantiasa bertekad kuat untuk berjihad. Dan hal tersebut bukanlah sebuah mimpi melainkan terealisasi dalam langkah-langkah yang nyata.

Mempersiapkan Perbekalan
Allah ta’ala berfirman dalam surat al Anfaal ayat 60,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَع  ْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ....
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka ke-kuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan itu) kamu menggentarkan mu-suh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.

Izzuddin bin Abdus Salam[14] mengartikan persiapan berupa kekuatan itu adalah “السلاح، أو التظافر واتفاق الكلمة، أو الثقة بالله - تعالى - والرغبة إليه، أو الرمي مروي أو ذكور الخيل” persenjataan, kesatuan ummat, tsiqah kepada Allah ta’ala serta rindu dan berharap kepada-Nya, memanah dan kuda perang.

Melatih Diri & Melakukan Spesialisasi
Allah ta’ala berfirman dalam surat an Nisa ayat 71
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا
Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!

Ayat ini adalah perintah atas seluruh ummat Islam untuk menjadi pejuang Islam, oleh karena itu sunnah bagi mereka untuk berlatih berenang, berkuda (kendaraan) dan memanah. Langkah selanjutnya adalah melakukan spesialisasi dalam setiap bidang dari ilmu perang.

Dari Uqbah bin Amir al Juhani bahwa Rasulullah saw bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ الرَّمْيَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَقَدْ عَصَانِي
Barangsiapa yang berlatih memanah kemudian ia meninggalkannya maka ia telah berbuat dosa.[15]

Senantiasa Menegakkan Kebenaran
Dari Tsauban ra,  Rasulullah saw pernah bersabda:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الحَقِّ ظَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ يَخْذُلُهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
Segolongan orang dari kalangan umatku masih terus menerus “berperang” dalam rangka membela perkara yang benar, orang-orang yang menentang mereka tiada membuat kemudaratan kepadanya hingga datang ketentuan Allah.[16]

Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
Allah menyinari orang yang telah mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya dengan baik dan menyampaikannya kepada orang lain persis seperti apa yang didengarnya, maka betapa banyak orang yang menyampaikan itu lebih mengerti dari pada orang yang mendengar saja.[17]

Sesungguhnya berbagai macam permasalahan bangsa merupakan tanggung jawab bersama untuk menuntaskannya, kemiskinan, pengangguran, kerusakan moral, generasi penerus memerlukan jihad dari kita. Permasalahan semacam ini membutuhkan keahlian dan kerja keras. Masih banyak penghalang yang menghadang dan tidak akan sanggup ditembus kecuali dengan anugrah Allah dan usaha optimal dalam setiap aspeknya.
Hasbunallah wa ni'mal wakil
sigit suhandoyo

Catatan Pustaka
[1] Ibnu Mandzhur : Lisan al arab, Beirut: Daar as Shadar, 1414H, jilid 3, hlm 133.
[2] Ibrahim Musthofa et.al. : Al Mu’jam al Wasith. Turki: al Maktabah al Islamiyyah li at thiba’ah wa annashr wa attauji’, tt, jilid 1, hlm 142.
[3] Ibnul Atsir: An Nihayatu fi Gharib al Hadits wal Atsar, Beirut : Maktabah al Ilmiyah, 1399 H, Jilid 1, hlm 369.
[4] Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh al Bahuty dalam Kasyaf al Qana’ ‘an Matan al Iqna’, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, tt, jilid 3, hlm 36.
[5] Muhammad bin Ismail Ash Shon’any: Subulus Salam, Daar al Hadits, tt, Jilid 2, hlm 459.
[6] Alauddin as Samarqandy : Tuhfatu al Fuqaha, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1414 H, jilid 3, hlm 293.
[7] Abu Bakar al Kasani: Bada’i as Shona’i fi Tartibi as Sara’i, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1406 H, Jilid 7, hlm 97.
[8] Abdurrahman Abdul Khaliq: Fushulun min as Siyasati Syari’ati fi Da’wati Ilallah, Kuwait : Daar al Qolam, 1405 H, hlm 6.
[9] Sayyid Sabiq : Fiqh Sunnah, Beirut : Daar al Kitab al ‘Araby, 1397 H, jilid 2, hlm 613.
[10] Muhammad bin Isa at Tirmidzi : Sunan at Tirmidzi, Mesir: Syirkatu Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al baby al halby, 1395 H, Jilid 4, hlm 30, hadits ke 1421. Menurut Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini shahih.
[11] As Sarakhsi : al Mabsuth, Beirut: Daar al Ma’rifah, 1414H, Jilid 10, hlm 30.
[12] Imam al Mawardi : Ahkam as sulthoniyah, Qahirah: Daar al Hadits, tt, hlm 72.
[13] Muslim bin Hajjaj : Shahih Muslim, Beirut: Daar ihya at Turats al Araby, tt, jilid 3, hlm 1517.
[14] Izzuddin bin Abdus Salam : Tafsir al Qur’an, Beirut : Daar Ibnu Hazm, 1416H, jilid 1, hlm 542.
[15] Ibnu Majah : Sunan Ibnu Majah, Daar Ihya al Kutub al Arabiyah, Jilid 2, hlm 940. Shahih menurut Muhammad Nashirudin al Albany.
[16] Sunan at tirmidzi, jilid 4, hlm 504. Hadits ke 2229. Shahih menurut Muhammad Nashirudin al Albani.
[17] Ibid, jilid 5, hlm 34. Hadits ke 2567, Shahih menurut Muhammad Nashirudin al Albany.