Mengingat Allah



Sadar, menaruh perhatian penuh, mempertimbangkan serta berada dalam fikiran hingga mendominasi fikiran adalah kondisi seseorang ketika ia mengingat sesuatu. Al Qurthubi berpendapat[1] bahwa dzikir adalah kondisi seseorang ketika senantiasa waspada, “التَّنَبُّهُ بِالْقَلْبِ لِلْمَذْكُورِ وَالتَّيَقُّظُ لَهُ”  memperhatikan dengan sepenuh hati terhadap sesuatu yang diingat dan senantiasa waspada terhadapnya.

Karena itu berdzikir (mengingat) Allah dalam alQur’an Allah gambarkan sebagai sebuah amal yang melandasi seluruh aktivitas lainnya,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“orang-orang yang mengingat Allah dalam sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (ali Imran 191).

Begitulah karakter ahli dzikir hingga Mujahid bin Jabr[2] menjadikannya sebagai sebuah kategori,
لَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا، حَتَّى يَذْكُرَ اللَّهَ قَائِمًا وَقَاعِدًا وَمُضْطَجِعًا
Seorang hamba tidak termasuk dalam kategori orang-orang yang berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya sehingga ia mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring.

Senantiasa mengingat Allah juga merupakan kepribadian Rasulullah saw, sebagaimana yang diriwayatkan oleh istri beliau Aisyah ra,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“adapun nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingat Allah setiap saat”[3]

Senantiasa mengingat Allah adalah dalam berbagai kondisi adalah situasi ketika berfikirnya seorang hamba, berucap, bertindak maupun diam dan istirahatnya adalah dalam rangka mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Pengertian ini sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ja’far ath Thobari[4] ketika menafsirkan maksud dzikir kepada Allah,
فاذكروني أيها المؤمنون بطاعتكم إياي فيما آمركم به وفيما أنهاكم عنه
Maka ingatlah Aku wahai orang-orang yang beriman dengan ketaatan kalian sepenuhnya kepada-Ku dengan mengerjakan apa yang Aku perintahkan atas kalian dan meninggalkan apa yang Aku larang atas kalian.

Allahpun memotivasi hamba-Nya dengan memberikan balasan setimpal bagi mereka yang mengingat-Nya,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“karena itu ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian.” (al Baqarah 152).

Tentang balasan kemuliaan dari Allah tersebut, Sa’id bin Zubair ra berkata, [5] “اذْكُرُونِي بِالطَّاعَةِ أَذْكُرْكُمْ بِالثَّوَابِ وَالْمَغْفِرَةِ” ingatlah kepada Allah dengan keta’atan maka Allah akan mengingat kalian dengan melimpahkan pahala dan ampunan” as Sudy[6] berkata, “لَا يَذْكُرُهُ مُؤْمِنٌ إِلَّا ذَكَرَهُ اللَّهُ بِرَحْمَتِهِ” tidaklah seorang mukmin mengingat Allah melainkan Allah mengingatnya dengan melimpahkan kasih sayang-Nya.”

Ketenangan Jiwa

Diantara sikap mental yang tumbuh dari mengingat Allah adalah ketenangan jiwa. Jiwa yang meyakini seluruh hakikat wujud merupakan tanda kebesaran Allah, akan sadar bahwa seluruh fenomena yang terjadi adalah dalam genggaman-Nya.

Manusia, dunia dan seluruh ujian yang terdapat didalamnya berada dalam strata sosial yang sama yaitu ciptaan-Nya. Sehingga Maha benar Allah, yang tidak menguji manusia melainkan sebatas kemampuannya.

Biarlah kebahagiaan dan penderitaan, kesehatan dan rasa sakit datang dan pergi, silih berganti dari diri kita, asalkan Allah tetap di jiwa kita.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (ar ra’du 28)

Tsiqah Kepada Allah

Lemah mental, mudah berputus asa atau tidak yakinnya manusia akan adanya jalan keluar yang baik hingga menghalalkan berbagai cara adalah pertanda lemahnya aktivitas mengingat Allah.

Pelajarilah perkataan para tukang sihir Fir’aun ketika nyawa mereka akan terenggut karena keislaman mereka,
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ
Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafat-kanlah kami dalam keadaan berserah diri. Al A’raf 126

Kata-kata yang menggambarkan kekuatan keyakinan kepada Allah, tak gentar menegakkan kebenaran karena keyakinan bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi balasan.

Pelajari pula jalan yang Allah gariskan bagi para nabinya dan sebagian besar pengikutnya yang setia. Jalan perjuangan yang menguji kekuatan keyakinan para pejuang itu kepada Allah,
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (ali Imran 146)

Tak kalah dahsyatnya ujian bagi para sahabat Rasulullah saw ketika menghadapi ancaman musuh dan upaya pelemahan mental perjuangan dari munafikin,
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (ali Imran 173)

Berubahnya cita rasa, selera, prioritas, cara berfikir, gaya hidup bahkan cita-cita dari sebuah bangsa yang hidup dalam gempuran akidah materialis dan hedonis  akankah menyisakan ruang bagi Allah?
hasbunallah wa ni’mal wakil

[1] Syamsuddin al Qurthubi : al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah : Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Jilid 2, hlm 171.
[2] Ibnu katsir : Tafsir al Qur’an al Adzhim, Beirut : Daar Thoyyibah, 1421 H, jilid 8, hlm 123
[3] Muslim : Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at turats al Araby, tt,Jilid 1, hlm 282.
[4] Abu Ja’far ath Thobari : Jami’ al Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, Beirut: Muassasah ar risalah, 1420H, jilid 3, hlm 211.
[5] Al jami’ li ahkam al Qur’an, jilid 2, hlm 171.
[6] Ibid

Misi Rasulullah Mendidik Manusia



Tadabbur Surat Al Baqarah ayat 151

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

Makna Umum

Ayat ini adalah sebuah pemberitahuan Allah ta’ala akan keutamaan para pendidik. Diutusnya Rasulullah saw adalah setinggi-tinggi karunia dan keberkahan dalam hidup manusia. Ibnu Katsir berkata,[1] “يُذكر تَعَالَى عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِينَ مَا أَنْعَمَ بِهِ عَلَيْهِمْ مِنْ بِعْثَةِ الرَّسُولِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ” dalam ayat ini Allah ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman tentang nikmat yang dilimpahkan atas mereka berupa diutusnya Rasulullah saw. Al wahidi bahkan berpendapat[2] “ولأتمَّ نعمتي عليكم كإرسالي إليكم رسولاً” telah sempurna kenikmatan atas manusia dengan diutusnya Rasul bagi kalian.

Ayat ini kemudian menjelaskan bahwa anugerah diutusnya Rasul bagi manusia adalah karena misi yang dibebankan baginya, yaitu membacakan ayat-ayat Allah, menyucikan, mengajarkan al kitab dan sunnah, serta mengajarkan hal-hal yang belum diketahui.

Dengan demikian mengadakan halaqah-halaqah ilmiyyah, ruhiyyah serta jasadiyyah untuk membina, mengembangkan sekaligus mengarahkan potensi para peserta didik adalah tugas yang sangat mulia, karena itulah diantara misi yang diemban oleh Rasulullah saw.

Membacakan ayat-ayat Allah

Membacakan al Qur’an adalah misi utama diutusnya Rasulullah saw. Fakhurrazi berkata[3] al Qur’an adalah “مُعْجِزَةٌ بَاقِيَةٌ” mukjizat yang kekal abadi sepanjang masa. Selanjutnya Fakhrurrazi menjelaskan manfaat dibacakannya al Qur’an bagi peserta didik sebagai berikut,

a. فَيَتَأَدَّى بِهِ الْعِبَادَاتُ, menjelaskan tentang peribadahan.
b. فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ جَمِيعُ الْعُلُومِ, memperoleh prinsip-prinsip pengetahuan dan keilmuan.
c. فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ مَجَامِعُ الْأَخْلَاقِ الْحَمِيدَةِ, mendapatkan prinsip-prinsip akhlaq terpuji.
d. فَكَأَنَّهُ يَحْصُلُ مِنْ تِلَاوَتِهِ كُلُّ خَيْرَاتِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ, dan menyampaikan bahwa membaca al Qur’an adalah kebaikan dunia dan akhirat.

Membacakan al Qur’an juga menjadi dalil bahwa ketauhidan dan petunjuk yang didapatkan darinya adalah hak Allah ta’ala, serta menjadi bukti atas kebenaran kenabian.

Selanjutnya keutamaan dari dibacakannya al Qur’an adalah memerdekakan manusia dari kebodohan fikiran dan kesesatan hawa nafsunya. Muhammad Rashyid Ridho menjelaskan dalam tafsirnya[4] “وَذَكَرَ لَهُمْ فِيهِ آيَاتِ اللهِ فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ، وَوَجْهُ الْمِنَّةِ أَنَّهُ يَقُودُهُمْ إِلَى الْحَقِّ بِالدَّلِيلِ وَالْبُرْهَانِ دُونَ التَّقْلِيدِ وَالتَّسْلِيمِ بِغَيْرِ فَهْمٍ وَلَا إِذْعَانٍ،” Allah ta’ala mengingatkan tentang tanda-tanda kekuasaan-Nya atas semesta dan dalam diri mereka, ketundukan yang dilandasi dengan bukti-bukti dan petunjuk yang benar bukan taqlid, ketundukan dan persetujuan yang tanpa didasari pemahaman atasnya.

Al Qur’an itu memerdekakan akal. Aturan agama adalah penguat dan petunjuk serta sumber inspirasi, tanpa paksaan atas akal atau mematikan potensinya. Demikianlah pendapat al Maraghi[5] dalam tafsirnya“أنه يهديهم إلى الحق مصحوبا بالدليل والبرهان، دون التقليد والتسليم بلا تبصر وفهم، وبذا يكون العقل مستقلا، والدين له مرشدا وهاديا” Sesungguhnya Allah membimbing manusia kepada kebenaran disertai dengan bukti-bukti yang kuat dan penjelasan yang nyata. Bukan taqlid atas tradisi tanpa wawasan atasnya dengan demikian akal manusia menjadi mandiri dan agama menjadi pemimpin dan panduan atasnya.

Menyucikan Diri Manusia

Menyucikan diri manusia memiliki beberapa pengertian, ath thobari[6] mengemukakan bahwa yang dimaksud adalah “يطهّركم من دَنَس الذنوب” membersihkan dari kotosan dosa. Demikian pula Ibnu katsir, ia berpendapat bahwa makna tazkiyah[7]“يُطَهِّرُهُمْ مِنْ رَذَائِلِ الْأَخْلَاقِ ودَنَس النُّفُوسِ وَأَفْعَالِ الْجَاهِلِيَّةِ، وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلَمَاتِ إِلَى النُّورِ” adalah membersihkan manusia dari keburukan-keburukan akhlaq, kekotoran jiwa dan prilaku-prilaku jahiliyyah, serta mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan menuju cahaya kebenaran.

Al Mawardi berpendapat bahwa yang dimaksud menyucikan meliputi 2 hal yaitu[8]  “يطهركم من الشرك”  membersihkan dari kemusyrikan dan “أن يأمركم بما تصيرون به عند الله أزكياء” Allah memerintahkan kepada mereka agar dengan al Qur’an mereka menjadi suci disisi Allah.

Pendapat berikutnya dikemukakan oleh ar Razi,[9] bahwa tazkiyah dalam ayat ini meliputi 3 makna, yaitu “أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يُعَلِّمُهُمْ مَا إِذَا تَمَسَّكُوا بِهِ صَارُوا أَزْكِيَاءَ عَنِ الْحَسَنِ” sesungguhnya Rasulullah saw mengajarkan kepada mereka agar berpegang teguh kepada al Qur’an hingga mereka menjadi bersih dengan kebaikan. Kedua “يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ مَحَاسِنِ الْأَخْلَاقِ فَيَصِفُكُمْ بِهِ” memberitahukan segala sesuatu kepada manusia tentang kebaikan akhlaq yang dengannya kalian tersifati. Ketiga “أَنَّ التَّزْكِيَةَ عِبَارَةٌ عَنِ التَّنْمِيَةِ” bahwa tazkiyah diibaratkan dengan pertumbuhan dari sedikit menjadi banyak.

Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat kita rumuskan maksud mentazkiyah adalah, menyucikan jiwa manusia dengan al Qur’an – setelah dibacakan kepada manusia – hingga dengannya manusia tersifati, menjadi bersih dari dosa dan kemusyrikan serta prilaku-prilaku jahiliyyah, hingga akhlaq manusia bertumbuh secara bertahap menuju kesempurnaan.

Mengajarkan Manusia al Qur’an dan Hikmah

Tahap berikutnya dari misi Rasulullah mendidik manusia adalah mengajarkan manusia al Qur’an dan hikmah. Al asfihani[10] mengemukakan bahwa mengajarkan al Qur’an berarti “تبين أحكامه الشرعية، ومن العبد العمل بها” menjelaskan hukum-hukum  syari’at yang dengannya manusia dapat beramal. Sedangkan pengertian hikmah adalah[11] “والحكمة ثمرة التعليم بهذا الكتاب وهي ملكة يتأتى معها وضع الأمور في مواضعها الصحيحة، ووزن الأمور بموازينها الصحيحة، وإدراك غايات الأوامر والتوجيهات” buah pengajaran dari al Qur’an. Hikmah adalah keahlian khusus yang dengannya seseorang dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya yang benar, menimbang segala perkara dengan timbangan yang benar dan mengetahui tujuan semua perintah dan pengarahan.

Rashid Ridha berkata bahwa al Qur’an adalah[12] “الْكِتَابَ الْإِلَهِيَّ الَّتِي تَخْرُجُونَ بِهَا مِنْ ظُلْمَةِ الْأُمِّيَّةِ وَالْجَهْلِ إِلَى نُورِ الْعِلْمِ وَالْحَضَارَةِ” kitab ilahiyyah yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan buta huruf dan kebodohan kepada cahaya ilmu pengetahuan dan peradaban. Sedangkan al hikmah adalah “فَهِيَ الْعِلْمُ الْمُقْتَرِنُ بِأَسْرَارِ الْأَحْكَامِ وَمَنَافِعِهَا، الْبَاعِثُ عَلَى الْعَمَلِ، وَفَسَّرَهَا بَعْضُهُمْ بِالسُّنَّةِ” pengetahuan yang berhubungan dengan rahasia hukum-hukum (hikmah pensyari’atan hukum) dan kemanfaatannya serta memotivasi manusia untuk beramal dan hal ini diinterpretasikan sebagiannya dengan as sunnah.

Mengajarkan Hal-Hal yang belum diketahui

Misi terakhir Rasulullah saw dalam mendidik manusia pada ayat ini adalah mengajarkan hal-hal yang belum diketahui. Al mawardi berkata bahwa ruang lingkupnya meliputi “من أحكام الدين وأمور الدنيا” hukum-hukum agama dan perkara-perkara keduniaan.

Rashid Ridha berkata[13] “وَيُعَلِّمُكُمْ مَعَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ مَا لَمْ يَسْبِقْ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ مِنْ شُئُونِ الْعَالَمِ وَنِظَامِ الْبُيُوتِ وَالْمُعَاشَرَةِ الزَّوْجِيَّةِ وَسِيَاسَةِ الْحُرُوبِ وَالْأُمَمِ” Mengajarkan manusia dengan al Qur’an dan Sunnah segala pengetahuan tentang alam, aturan-aturan keluarga, pergaulan dalam rumah tangga, serta pengaturan dan kebijakan tentang perang dan kenegaraan. Pendapat lain tentang makna ayat ini adalah adalah pengetahuan tentang khabar yang ghaib dan perihal bangsa-bangsa terdahulu.

Penutup

Demikianlah proses pendidikan yang diembankan Allah kepada Rasulullah saw. Madrasah teragung yang melahirkan banyak pemimpin dunia yang tak tertandingi, kokoh dalam urusan agama dan teratur dalam urusan dunia. Mereka menjaga agama dengan kekuatan dunia dan mengatur dunia dengan kesucian agama.
Sayyid Quthb berkata[14], Manhaj yang pernah melahirkan generasi dan kepemimpinan ini masih mampu melahirkan generasi dan kepemimpinan sepanjang zaman, asalkan ummat Islam benar-benar mengimani al Qur’an dan menjadikannya sebagai sistem kehidupan bukan sekedar bacaan yang dinikmati oleh telinga belaka.
Hasbunallah wa ni’mal wakiil


[1] Ibnu Katsir : Tafsir al Qur’an al Adzhim, Beirut : Daar Thoyyibah li nushr wat tauzi’, 1420 H,  Juz 1, hlm 464.
[2] Al Wahidi : al Wajiiz fi Tafsiir al Kitab al Aziiz, Beirut : Daar al Qolam, 1415 H, Juz 1, hlm 139.
[3] Fakhruddin Razi : Mafatiih al Ghaib, Beirut : Daar Ihya at aturats al Araby, 1420 H, Juz 4, hlm 123.
[4] Muhammad Rasyhid Ridho : Tafsir al Manar, Mesir : al Haiah al Mishriyyah al ‘Ammah lil Kitab, 1990, Juz 2, hlm 23.  
[5] Ahmad bin Musthafa al Maraghi : Tafsir al Maraghi, Mesir : Syirkatu Maktabatu wa Mathba’atu Musthofa al Baaby al Halby, 1365 H, Juz 2, hlm 19.
[6] Abu Ja’far ath Thobari : Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil li Ayyil Qur’an, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1420 H, Juz 3, hlm 211.
[7] Tafsir al Qur’anul Adzhim, Juz 1, hlm 464.
[8] Al Mawardi : an Nukat wal Uyun, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, Juz 1, hlm 208.
[9] Mafatih al Ghaib, Juz 4, hlm 123.
[10] Raghib al Ashfihani : Tafsir Raghib al Ashfihani, Mesir : Kuliiyatul Adab – Jami’ah Thontho, 1420 H, Juz 1, hlm 344
[11] Sayyid Quthb : Fii Dzilal al Qur’an, Mesir : Daar as Syuruq, 1412 H, Juz 1, hlm 139
[12] Tafsir al Manar, Juz 2, hlm 24.
[13] Tafsir al Manar, Juz 2, hlm 26.
[14] Fi Dzilal al Qur’an Juz 1, hlm 139

Ghurur : Tipudaya Kehidupan Dunia



يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ  
Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (QS fathir; 35:5)

Definisi  Ghurur

Ibnu sayyidah berkata al gharur[1] berarti (الدُّنيا، صفة غالبة) dunia dengan segala sifatnya yang mendominasi. Al gharar berarti (الْخَطَرُ) bahaya. Dalam lisan al Arab lafaz gharar[2] berarti (خدعه وأَطعمه بِالْبَاطِلِ) menipu dan memakan sesuatu secara batil.

Sa’id bin Jubair ra, menjelaskan ghurur[3] dalam tiga bentuk sebagai berikut,

Dunia (الْغِرَّةُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا أَنْ يَغْتَرَّ بِهَا وَتَشْغَلَهُ) Lengah terhadap kehidupan dunia hingga menjadikan tertipu dan lalai.

Akhirat (الْغِرَّةُ عَنِ الْآخِرَةِ أَنْ يُمَهِّدَ لَهَا وَيَعْمَلُ لَهَا كَقَوْلِ الْعَبْدِ إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي) Lengah terhadap kehidupan akhirat dengan beramal untuknya, sebagaimana perkataan seorang hamba ketika datang akhirat, “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shaleh) untuk hidupku ini.” Al fajr 24

Allah (أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ فُي مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَيَتَمَنَّى على الله المغفرة) menjadi seorang hamba yang bermaksiat kepada Allah lalu berangan-angan mendapatkan ampunan dari-Nya

Beberapa Fenomena Keterpedayaan Manusia Dalam al Qur’an

Kebencian manusia untuk berjihad dan berperang.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” alBaqarah, 2: 216.

Ketidaksabaran suami atas istrinya.
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. anNisa, 4: 19

Kealpaan manusia akan hisab atas dirinya
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? alAnkabut, 29:2.

Kesalahfahaman manusia akan keadilan Allah.
Dan janganlah kau kira Allah lalai terhadap perbuatan orang-orang yang zhalim. Kami hanyalah menunda mereka sampai suatu hari, saat seluruh mata membelalak. Mereka datang dengan bergegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepala, sedang mata mereka tak berkedip dan hati mereka hampa. Ibrahim, 14:42-43.

Ketidakyakinan manusia akan jalan kebenaran
Dan janganlah sekali-kali engkau mengira Allah menyalahi janji-Nya kepada para rasul-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan menguasai pembalasan. Ibrahim, 14:47.

Terapi Penyakit Ghurur

Ikhlas dan mengikuti syari’at dalam beribadah.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,
لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ» قَالُوا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «وَلاَ أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ، سَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَاغْدُوا وَرُوحُوا، وَشَيْءٌ مِنَ الدُّلْجَةِ، وَالقَصْدَ القَصْدَ تَبْلُغُوا
Tidaklah amalan dari setiap kalian akan menyelamatkan dirinya (dari azab Allah & memasukkannya ke surga) Para sahabat bertanya, “apakah engkau juga demikian wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “demikian pula aku” kecuali Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada ku, maka berlaku luruslah dan medekatlah, beramallah diwaktu pagi, petang dan sebagian dari malam, berlakulah yang sederhana, berlakulah yang sederhana, niscaya kalian akan sampai”[4]

Berakhlaq mulia, meninggalkan debat & segala bentuk dusta.
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah saw bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
Aku menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia benar. Sebuah rumah ditengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dalam bergurau, dan sebuah rumah di bagian atas surga bagi orang yang baik akhlaqnya.[5]
                                                            
Hasbunallah wa ni’mal wakiil

[1] Ibnu sayyidah : al Muhkam wal Muhith al A’dham, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1421 H, Juz 5, hlm 360.
[2] Ibnu  Mandzhur : Lisan al ‘Arab, Beirut: Daar ash Shadr, 1414 H, Juz 5, hlm 11.
[3] Ibnu Abi Hatim ar Razi : Tafsir al Qur’an al Kariim Li Ibni Abi Hatim, Saudi Arabia : Maktabah Musthofa al Baaz, 1419 H, Juz 10, hlm 3171.
[4] Al Bukhari: Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Thuuq an Najah, 1422H, Juz 8, hlm 98 hadits ke 6463. Diriwayatkan pula oleh Muslim 4/2169 hadits ke 2896 dan Ahmad 16/179 hadits ke 10256.
[5] Abu Dawud as Sijjistany : Sunan Abu Dawud, Beirut : Maktabah al ‘Ashriyyah, juz 4, hlm 253 hadits ke 4800. Menurut al Albany hadits ini hasan.