Kajian Tafsir Tentang Pengharaman Riba


Sigit Suhandoyo.  Kajian tentang pengharaman riba pada naskah ini difokuskan pada ayat 275-279 surat al-Baqarah. Ayat ini merupakan ayat terakhir yang diturunkan kepada nabi saw terkait pengharaman Riba. Sebagaimana halnya pengharaman khamr (minuman keras) pengharaman riba juga melalui pentahapan dalam penerapan hukumnya pada masyarakat Arab pada masa lampau. Ayat-ayat ini secara final memberikan ketetapan hukum tentang haramnya perbuatan riba dalam segala jenisnya, baik berupa riba nasi’ah maupun riba fadhl. 


Penambahan teks hadits untuk memerinci penjelasan yang bersifat global pada al-Qur’an serta menguatkan penguasaan dalil atas pendapat yang dikemukakan oleh para penafsir hukum.


PEMBAHASAN


1. Teks Ayat  


الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)


Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (275) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (276) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (279)


2. Makna Ringkas Kata-Kata Penting Dalam Ayat


(الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا) "orang-orang yang makan riba." Pada teks ini, kata mengambil disebutkan dengan memakan karena maksud sebenamya dari pengambilan riba memang untuk dimakan.


(الرِّبَا) Secara bahasa berarti tambahan. Dikatakan (رَبَا الشَّيْءُ يَرْبُو) adalah bila sesuatu itu bertambah. Menurut terminologi syari'at, riba mengandung dua arti, yaitu riba fadhl (tambahan kelebihan dari pokok harta yang dipinjamkan) dan riba nasiah (tambahan kelebihan atas pokok harta yang dipiniamkan karena unsur penangguhan waktu pengembalian).


(لَا يَقُومُونَ) tidak dapat berdiri pada hari kiamat. Bahwa kelak pemakan riba akan dibangkitkan seperti orang gila, sebagai hukuman dan hinaan baginya di padang mahsyar.


(يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا) Allah memusnahkan riba, yakni menghilangkan keberkahannya di dunia, walaupun namun tidak akan bertahan di tangan pemiliknya. Pendapat lain menyatakan: Allah memusnahkan keberkahannya pula di akhirat.


(وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ) dan menyuburkan sedekah, yakni: Menambahkan pada harta yang dikeluarkan sedekahnya. pendapat lain menyatakan: Allah memberkahi pahala sedekah dan melipat gandakannya serta menambahkan pahala orang yang bersedekah. Dalam hal  ini termasuk pula dalam pengertian shodaqah adalah meminjamkan sejumlah harta dalam jangka panjang dengan pengembalian yang sama (tidak bertambah).

3. Sebab Turunnya Ayat  278-279


Pakar Tafsir al-Zuhali mengemukakan dalam tafsirnya sebuah riwayat sebagai berikut, 


أخرج أبو يعلى في مسنده وابن منده عن ابن عباس قال: بلغنا أن هذه الآية نزلت في بني عمرو بن عوف من ثقيف، وفي بني المغيرة من بني مخزوم، وكان بنو المغيرة يربون لثقيف  ، فلما أظهر الله رسوله على مكة، وضع يومئذ الرّبا كلّه، فأتى بنو عمرو وبنو المغيرة إلى عتاب بن أسيد، وهو على مكة، فقال بنو المغيرة: ما جعلنا أشقى الناس بالرّبا، ووضع عن الناس غيرنا. فقال بنو عمرو: صالحنا على أن لنا ربانا، فكتب عتاب في ذلك إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم، فنزلت هذه الآية والتي بعدها.  (1)


“Abu Ya'la di dalam musnadnya dan Ibnu Mindah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, "Telah sampai kepada kami bahwa ayat ini turun berkaitan dengan bani Amr bin Auf dari Tsaqif dan bani al-Mughirah dari bani Makhzum. Dikisahkan bahwa bani Amr bin Auf memberikan pinjaman kepada bani al-Mughirah dengan riba. Lalu ketika Allah SWT memenangkan atau menguasakan kota Mekkah kepada Rasulullah saw maka ketika itu, semua riba yang ada dibatalkan. Lalu bani Amr bin Auf dan bani al-Mughirah datang menemui Attab bin Usaid yang menjadi penguasa kota Mekkah kala itu. Lalu bani alMughirah berkata, "Kenapa kami dijadikan orang-orang yang paling sengsara dengan adanya riba, padahal riba telah dihapuskan dari orang-orang selain kami." Lalu bani Amr bin Auf berkata, "Kita telah sepakat dengan pinjaman riba." Lalu Attab bin Usaid melaporkan hal itu kepada Rasulullah saw. lalu turunlah ayat ini dan ayat yang setelahnya.”


4. Tahapan Pengharaman Riba


Sebenarnya persoalan riba telah dibicarakan al-Qur’an sebelum ayat ini. Kata riba ditemukan dalam empat surah al-Qur’an, yaitu al-Baqarah, Ali ‘Imran, an-Nisa’ dan ar-Rum. Tiga surah pertama turun di Madinah setelah Nabi berhijrah dari Mekah, sedang ar-Rum turun di Mekah. Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah ayat 39 surah tersebut yang menyatakan, 


وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ


“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”


Adapun ayat terakhir tentang riba adalah ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah, dimulai dari ayat 275-279. Bahkan ayat ini dinilai sebagai ayat hukum terakhir, atau ayat terakhir yang diterima oleh Rasul saw. Karena ayat ini telah didahului oleh ayat-atat lain yang berbicara tentang riba, maka tidak heran jika kandungannya bukan saja melarang praktek riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka


al-Zuhaili mengemukakan tahapan-tahaoan pengharaman riba sebagai berikut:(2)


Pertama, di Mekah Allah SWT menurunkan ayat, "Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. (ar-Ruum:39). 


Ayat ini merupakan langkah atau fase awal sebagai persiapan penghraman riba. Ayat ini mengandung sindiran atau isyarat akan hukum haram riba serta mengandung isyarat bahwa menjauhi kedua hal ini merupakan suatu keharusan.


Kedua, Kemudian di Madinah, Al-Qur'an mengisahkan kepada kita cerita tentang perilaku kaum Yahudi yang tetap mengambil riba padahal Allah SWT telah mengharamkannya bagi mereka, sehingga Allah SWT mengancam akan menghukum mereka akibat perbuatan mereka tersebut. “dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”(an-Nisa 161). 


Ayat ini merupakan peringatan akan hukum haram riba, serta merupakan pemberitahuan bahwa orang yang membangkang dalam masalah ini akan dihukum.


Ketiga, Kemudian Allah Ta’ala melarang mengambil riba Faahisy, yaitu riba yang selalu bertambah hingga menjadi berlipat-lipat, yaitu riba yang umum terjadi di dalam komunitas bangsa Arab masa jahiliah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran 130). 


Ayat ini mengandung larangan yang jelas. Namun baru bersifat sebagian, belum secara umum. Ayat riba ini secara jelas melarang salah satu bentuk riba yang sangat jelek, yaitu riba faahisyah yang berlipat-lipat. Bentuk riba ini adalah yang umum terjadi dalam bangsa Arab zaman jahiliah.


Keempat, Kemudian fase yang terakhif, barulah pengharaman yang ada benar-benar pasti dan menyeluruh terhadap semua bentuk riba dan khamr. Adapun riba, Allah SWT melarang semua bentuk kelebihan atau tambahan dari pokok harta orang yang memberi utang. Sebagaimana surat al-Baqarah ayat 275 di atas.


Dengan ayat ini Allah Ta’ala mengharamkan semua jenis riba, bukan hanya riba yang telah diketahui dan dipraktekkan oleh orang-orang Arab masa itu. Tetapi umum mencakup semua jenis riba. 

5. Pengertian Riba


Riba menurut bahasa artinya az-Ziyaadah yang berarti tambahan secara mutlak. Sedangkan riba menurut fiqh adalah tambahan harta di dalam akad penukaran harta dengan harta. Riba ada dua macam, riba nasii'ah dan riba fadhl. 


Riba nasif'ah adalah suatu pembayaran lebih yang nyata yang terdapat pada salah satu pengganti dikarenakan adanya batas waktu, atau mengakhirkan penyerahan salah satu pengganti sampai pada waktu tertentu tanpa adanya tambahan. Seperti halnya riba nasi'ah yang terdapat dalam akad utang piutang atau yang terdapat di dalam akad jual beli. Gambaran riba nasi'ah dalam akad utang piutang adalah ada seseorang yang memberikan pinjaman harta dalam jumlah tertentu untuk waktu tertentu, seperti setahun atau sebulan dengan syarat adanya tambahan ketika melakukan pembayaran dikarenakan panjangnya waktu pengembalian pinjaman tersebut. 


Gambaran riba seperti inilah yang lazim di kalangan bangsa Arab pada masa jahiliah, mereka hanya mengetahui bentuk riba seperti ini tidak yang lainnya. Biasanya mereka memberikan pinjaman harta dengan syarat setiap bulannya mereka meminta sejumlah harta, kemudian ketika waktu pengembalian pinjaman tersebut telah jatuh tempo, maka mereka meminta seluruh pinjaman yang pernah diberikan. Namun, jika orang yang berutang belum bisa mengembalikan pinjaman tersebut maka mereka memberikan batas tempo pembayaran yang kedua dengan syarat si peminjam nantinya membayar lebih banyak dari jumlah pinjaman yang sebenarnya. Mereka biasanya berkata, "Kamu membayar utang yang ada sekarang atau kamu boleh menundanya lagi namun jumlah yang harus kamu bayar nantinya lebih banyak dari jumlah utang yang sebenarnya." Begitulah, orang yang memberi piniaman bersedia bersabar dengan memberikan tenggang waktu pembayaran lagi, tetapi dengan syarat orang yang meminjam nantinya harus membayar lebih dari jumlah utang yang sebenarnya. 


Bentuk riba seperti inilah yang digunakan oleh bank-bank pada masa sekarang, dan bentuk riba seperti inilah yang termaktub dalam Al-Qur'an sebagai bentuk riba yang diharamkan. Para ulama sepakat bahwa bentuk riba seperti ini haram hukumnya dan termasuk dosa besar. Di samping itu, penghraman ini tidak hanya terbatas pada orang yang mengambilnya saja, tetapi mencakup juga orang yang memberikan, menulis dan orang yang menjadi saksinya. Hal ini berdasarkan hadits yang telah kami sebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Mas'ud,


لَعَنَ اللهُ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَهُ، وَكَاتِبَهُ.  (3)


"Allah SWT melaknati orang yang memakan riba, orang yang membayar riba, orang yang menjadi penulisnya dan orang yang menjadi saksinya.


Adapun riba nasi'ah dalam akad jual beli gambarannya adalah seperti menjual satu takaran beras dibayar dengan satu setengah takaran beras, tetapi pembayarannya setelah dua bulan. Termasuk praktek membeli buah yang pada suatu pohon, sebelum pohon itu berbuah. Bentuk riba ini hukumnya haram karena adanya kelebihan yang nyata. Bentuk jual beli seperti ini haram hukumnya berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari hadits Usamah,


لاَ رِبًا إِلَّا فِي النَّسِيئَةِ.  (4)

"Tidak ada riba kecuali di dalam nasi'ah (jual beli yang dilakukan tidak kontan)."


Riba fadhl di dalam transaksi jual beli adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi dengan jumlah yang lebih banyak seperti menjual satu liter beras dengan dua liter beras dengan kualitas yang berbeda, atau menukar satu gram emas dengan dua gram emas dengan karat yang berbeda. Bentuk transaksi jual beli seperti ini haram hukumnya berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri ra. dan 'Ubadah bin ash-Shamit ra. dari Rasulullah saw.


يَنْهَى عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرِ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحِ بِالْمِلْحِ، إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ، عَيْنًا بِعَيْنٍ، فَمَنْ زَادَ، أَوِ ازْدَادَ، فَقَدْ أَرْبَى.  (5)

 

Emas dengan emas, perak dengan perak, alBurru (salah satu jenis gandum) dengan al-Burru, asy-Sya'iir (salah satu jenis gandum) dengan asy Sya'iir, kurma kering dengan kurma kering, garam dengan garam, barang sejenis dengan barang yang sejenis, jumlahnya harus sama, barangsiapa menambahkan telah berbuat riba.


Intinya adalah bahwa ayat-ayat ini -yang menyebutkan kata ar-Ribaa secara mutlak tanpa dibatasi dengan kata yang menjelaskan bahwa yang dimaksud hanya riba nasii'ahmenunjukkan bahwa segala bentuk riba haram hukumnya, baik riba nasii'ah maupun riba fadhl dikarenakan adanya tambahan atau kelebihan.


Mayoritas ulama dan di antaranya adalah para Imam madzhab empat berpendapat bahwa penghraman ini tidak hanya terbatas pada keenam jenis barang tersebut akan tetapi mencakup semua jenis barang yang memiliki kesamaan dengan keenam jenis barang tersebut. Karena nash mengandung fllat (sebab, alasan) yang bisa dipahami, sehingga penghraman ini mencakup semua jenis barang yang di dalamnya terdapat'illat yang sama. Karena tidak bisa diterima oleh akal sikap membedakan di antara dua hal yang memiliki kemiripan. Hadits Nabi saw. di atas hanya bertujuan menjelaskan jenis-jenis barang pokok yang ditemukan pada masa beliau.


Adapun menurut al-Zuhaili, Cara bertobat dari harta riba adalah dengan cara mengembalikannya kepada orang yang darinya, riba tersebut diambil, jika ia tidak ada, maka wajib berusaha mencarinya sampai ketemu. Lalu jika tetap tidak ketemu juga maka harta riba tersebut disedekahkan dan hadiah pahalanya bagi orangyang darinya riba tersebut diambil. Begitu juga dengan harta haram yang dihasilkan dengan cara tidak sah atau dengan cara yang mengandung unsur zalim. (6)

KESIMPULAN


Islam adalah agama yang mengajarkan untuk berusaha dan bekerja, saling mengasihi dan menyayangi, menjaga keharmonisan hubungan antar sesama, menjaga kebersihan jiwa dari perasaan benci, iri dan dengki serta agama yang mengajarkan untuk menjaga kebenaran dan keadilan. 


Oleh karena itu, Islam melarang mendapatkan keuntungan tanpa adanya usaha dan kerja, sangat menganjurkan untuk berderma dan memberikan pinjaman yang baik, mengharamkan sikap memanfaatkan kondisi butuh orang lemah, melarang segala hal yang bisa memicu munculnya permusuhan, rasa benci dan perselisihan, mewajibkan mencari harta melalui cara yang sah dan halal tanpa mengandung unsur kezaliman serta membenci kondisi pengakumulasian kekayaan di tangan sekelompok kecil orang-orang tertentu, mereka memegang kendali nasib ekonomi banyak orang bahkan mereka mampu mempermainkan ekonomi suatu negara dan umat.


Ayat-ayat pengharaman riba delam segala bentuknya turun secara bertahap dan diterapkan oleh Nabi saw secara bertahap pula. Hal ini menunjukkan suatu metode yang baik bagi pendidikan masyarakat terhadap praktik pelanggaran ekonomi Islam. Selain itu memberikan wawasan dalam hal penghapusan praktek riba di kalangan masyarakat Muslim.


Ancaman yang keras bagi para pelaku riba dalam ayat-ayat ini laiknya menjadikan para pelaku ekonomi berhati-hati terhadap hal tersebut. Serta menggerakkan para pelakunya untuk bertaubat.


Hasbunallah wa ni’mal wakil

Sigit Suhandoyo


Catatan Kaki

  1. Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-FIkr al-Mu’ashir, cet. kedua, 1412 H), Juz 3, hlm 84-85.
  2. Ibid, Juz 3, hlm 91-93.
  3. Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Beirut: Muassasatu ar-risalah, cet. pertama, 1421 H), Juz 6, hlm 358, hadits no 3809. 
  4. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuwaiq an-Najh, 1422H), Jilid 3, hlm 75.
  5. Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Musim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, tth) Jilid 3, hlm 1210, hadit no. 1587.
  6. Wahbah Zuhaili, op.cit, juz 3, hlm 100.