BERHARAP KEPADA ALLAH



Berharap kepada Allah (ar roja’) merupakan suatu sikap positif yang diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah al Anshary ra dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda[1],
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian mati melainkan dia berbaik sangka terhadap Allah.

Berharap kepada Allah merupakan pengakuan kelemahan seorang hamba kepada Rabbnya. Berharap kepada Allah merupakan bukti penyerahan diri, ketundukan, ketawadhu’an. Para pemiliknya adalah mereka yang Allah hindarkan dari hati mereka rasa sombong akan kehebatan dan keakuan diri. Para pemiliknya teguh, konsisten  dan tak mengenal kata putus asa dalam beramal.

Antara Harapan & Angan-Angan Kosong

Dalam kitab at ta’rifat[2] istilah ar roja atau harapan berarti, “تعلق القلب بمحصول محبوب في المستقبل” ketergantungan hati kepada pencapaian hasil yang disukai para masa yang akan datang. Al Haraliy berkata harapan [3] adalah “تَرَقّبُ الانْتِفاعِ بِمَا تقدَّمَ لَهُ سَبَب ما”  menantikan  datangnya kemanfaatan disebabkan atas apa yang telah diusahakan sebelumnya.  Al Muhasibi[4] berkata harapan adalah “أَنْ تَرْجُوَ قَبُولَ الاَعْمَالِ وَجَزِيلَ الثَّوَابِ عَلَيْهَا” berharap diterimanya amal perbuatan dan balasan yang berlipat ganda atas amal tersebut. Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa harapan adalah masa penyerahan diri kepada Allah menanti hasil usaha yang diharapkan akan membuahkan kebahagiaan atau kesenangan bagi pelaku.

Allah mensifati bahwa harapan terkait dengan amal nyata dalam firman-Nya pada surat al Baqarah ayat 218,
“الَّذين آمنُوا وَالَّذين هَاجرُوا وَجَاهدُوا فِي سَبِيل الله أُولَئِكَ يرجون رَحْمَة الله”
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah.

Benarlah harapan Ja’far bin Abu Thalib ra akan surga dalam senandungnya ditengah-tengah peperangan[5],
يا حبّذا الجنة واقترابها طيّبة، وبارد شرابها ... والروم روم، قد دنا عذابها كافرة بعيدة أنسابها ... عليّ اذا لاقيتها ضرابها
Wahai surga yang kudamba, semerbak harum mewangi, menyejukkkan meminum airnya,   tentara romawi telah menghampiri kuburnya, terhalang dari keluarganya, kewajibanku lah memeranginya.

Maka harapan yang benar berkorelasi dengan kerja keras. Al Muhasibi berkata “الرَّجَاءُ الصَّادِقُ إِنَّمَا يَكوُنَ عَلَى قَدَرِ الْعَمَلِ بالطَّاعَاتِ” harapan yang benar itu melahirkan kesanggupan beramal dengan penuh keta’atan.[6] Ia merupakan sikap positif yang aktif bukan sikap menunggu-nunggu yang pasif tanpa usaha atau  panjang angan-angan dan malas. Asy Syaibani[7] berkata ” وَالأَعْمَالُ الصَالِحَةُ يَجِبُ أَنْ يَقْتَرِنَ بِهَا الرَجَاءُ” Pastilah harapan itu terkait erat dengan amal shalih. Perwujudan kebenaran iman bukanlah sebatas angan-angan, ia adalah keyakinan yang menghujam dalam hati dan teruji dalam segala medan dan keadaan.

Jika iman telah terlantar, akhlaq tenggelam dalam kehinaan dan ibadah menjauh dari aktivitas kita, kemudiaan  kita menanti datangnya kebaikan pahala dan ampunan Allah, inilah orang-orang yang tertipu. Allah ta’ala berfirman dalam surat al A’raf 169
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا…
Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun".

Demikian pula Allah ta’ala berfirman dalam surat an nisa ayat 123 tentang orang-orang yang berharap pahala kebaikan tanpa usaha yang nyata,
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
(pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-angan yang kosong dan tidak (pula) angan-angan ahli kitab. Barangsiapa mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.

Rasulullah saw pun mensifati orang-orang yang panjang angan-angan ini dengan lemah, sebagaimana hadits yang dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, [8]
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ، مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، ثُمَّ تَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Orang perkasa itu yang mengarahkan jiwanya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian, dan orang lemah itu adalah yang jiwanya mengikuti nafsunya kemudian berangan-angan tentang Allah.

Karakter khas orang-orang lemah dan tertipu itu menukar kerja keras beramal sholeh dengan hawa nafsu kemudian berangan-angan tentang Allah dengan berbagai angan-angan.

[1] Muslim : Shahih Muslim, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Araby, tt, Juz 4, hlm 2206.
[2] Asy Syarief al Jurzaniy: Kitab at Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1403 H, Hlm 109.
[3] Murtadho az Zubaidi : Taaj al ‘Aruus min Jawahiri al Qamus, Daar al Hidayah,  Juz 38, hlm 127.
[4] Al Haarits al Muhasibi : Adab an Nufus, Beirut : Daar al Jiil, tt, hlm 67
[5] Khalid Muhammad Khalid : Rijal Haula ar Rasul, Beirut : Daar al Fikr, 1421 H, hlm 203.
[6] Adab an Nufus, hlm 68.
[7] Asy Syaibani : Mukafiratu adz Dzunub wa Muwajibatu Jannah, Beirut : Daar al I’thisam, tt, hlm 35.
[8] Ibnu Majah : Sunan Ibnu Majah, Beirut : Daar Ihya al Kutub al ‘Arabiyah, tt, Juz 2, hlm 1423. Menurut Muhammad Nashirudin al Albany hadits ini dha’if.

SUMBER ILMU PENGETAHUAN



Tafsir Surat Al Alaq Ayat 1-5

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Tentang Turunnya Ayat

Ayat ini adalah ayat yang pertama kali di turunkan kepada Rasulullah saw menurut sebagian besar ulama tafsir. Surat ini diturunkan kepada Nabi saw melalui malaikat Jibril as pada saat nabi sedang berada di gua Hira. Pada awalnya Jibril mengajarkan Nabi saw untuk menghafal lima ayat dari surat ini.

Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat, sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah ra[1] bahwa wahyu yang pertama ditunjukkan kepada Nabi saw adalah ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) datangnya malaikat kepada beliau dan membaca 5 ayat ini.

Pendapat lain mengatakan bahwa yang diturunkan pertama kali adalah surat al mudatsir[2]. Ada pula yang berpendapat bahwa yang pertama kali diturunkan adalah surat al fatihah.[3] Namun menurut as suyuthi[4] pendapat pertamalah yang benar, kemudian beliau mengemukakan alasan-alasannya.

Keutamaan Ayat

Permulaan ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw ini  memberikan dalil bahwa Allah adalah sumber segala sumber ilmu serta  memberikan penilaian tertinggi akan pentingnya membaca dan menulis bagi ummat Islam. Hingga pada saatnya Beliau saw dengan pengajarannya memalingkan wajah kehidupan manusia dari kejahiliyahan khamar, maisir, menumpuk-numpuk harta dengan segala macam cara, dusta dalam berniaga serta syahwat wanita dan kekuasaan kepada kerja besar membangun peradaban dunia yang modern dengan kekuasaan yang berkeadilan, penghormatan akan hak laki-laki dan perempuan, serta kecintaan akan kebaikan yang sesuai fitrah kemanusiaan. Nilai-nilai yang bahkan hingga saat ini menjadi pertanyaan besar bagi budaya materialis yang kering kerontang dari nilai.

Muhammad Abduh[5] menggambarkan dalam tafsirnya betapa pentingnya ayat ini bagi ummat Islam
,
فَإنْ لَمْ يَهْتَدُ المُسْلِمُونَ بِهَذَا الهُدَى وَ لَمْ ينبههم النظر فيه الى النهوض الي تمزيق تلك الحجب التى حجبت عن أبصار هم نور العلم و كسر تلك الأبواب التى غلقها عليهم رؤساؤهم و حبسوهم بها في ظلمات من الجهل و إن لم يسترشدوا بفاتحة هذا المكتاب المبين و لم يستضيئوا بهذا لبضياء الساطع فلا أرشدهم الله أبدا
Jika ummat Islam tidak mendapat petunjuk dengan ayat ini dan tidak memperhatikan jalan-jalan untuk maju, merobek segala macam hijab yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap cahaya ilmu pengetahuan atau memecahkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik kegelapan, sebab dikunci erat-erat oleh para pemimpin mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan kebodohan. Kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, niscaya tidaklah mereka akan bangkit (mencapai kejayaan) lagi selama-lamanya.
               
Sumber Ilmu dalam al Qur’an

Berbeda dengan berbagai pemikiran filsafat, Islam menegaskan bahwa Allah adalah sumber ilmu dan kebenaran. Pada ayat-ayat ini Allah menegaskan bahwa dirinya adalah Rabb, pencipta serta pengajar manusia hal-hal yang tidak mereka ketahui.

Allah memerintahkan manusia untuk membaca dengan menyebut nama-Nya. Membaca adalah pembuka cakrawala ilmu pengetahuan. Melalui membaca kegelapan kebodohan akan menjadi terang benderang karena pengetahuan & rahasia-rahasia yang terselubung akan terungkap.

Maha suci Allah yang memerintahkan manusia untuk menyebut nama-Nya ketika membaca, karena Dia lah sumber segala bahan bacaan, Dia lah pencipta semesta. Dengan demikian segala proses membaca -- pendekatan, observasi, penelitian dan uji coba --  untuk menjalani kehidupan di dunia adalah karena hakikat yang tak terbantahkan manusia yaitu Allah. Inilah iman, ketika kita meyakini bahwa segala sesuatu bermula, berjalan, tertuju dan kembali kepada-Nya.

Sayyid Quthb berkata,[6] “توجه الرسول- صلى الله عليه وسلم- أول ما توجه، في أول لحظة من لحظات اتصاله بالملأ الأعلى، وفي أول خطوة من خطواته في طريق الدعوة التي اختير لها..توجهه إلى أن يقرأ باسم الله” surat ini mengarahkan Rasulullah saw untuk pertama kalinya, pada detik pertama di antara saat-saat hubungannya dengan Sang Penguasa Tertinggi serta pada langkah awal diantara langkah-langkahnya meniti jalan da’wah yang dirinya dipilih untuk mengembannya itu dengan mengarahkannya membaca dengan menyebut nama-Nya.

Inilah awal mula perubahan besar dalam peradaban manusia, pada saatnya kelak sejarah yang menjadi romantisme milik para raja-raja dan bangsawan itu mencatatkan kegemilangan pembangunan peradaban dunia yang modern namun kaya akan nilai-nilai spiritual. Dan itu semua dimulai oleh gerakan yang dipelopori seorang nabi yang ummi dan sekelompok kecil sahabatnya yang miskin dan tertindas pada masa itu. Karena mereka melandasi langkah-langkahnya dengan menyebut nama Allah.

Bacalah dengan menyebut nama Allah, perintah ini mengisyaratkan pula bahwa antara ilmu pengetahuan dan keimanan kepada Allah haruslah seiring.  Dr. Yusuf al Qaradhawi[7] menegaskan pula pandangan ini, bahwa iman adalah pembungkus ilmu “أن العلم في الإسلام إنما هو علم في حضانة الإيمان، فالعلاقة بينهما علاقة التواصل والتلاحم ، لا التقاطع والتنافر ، علاقة التكامل، لا علاقة التعارض.”  Ilmu dalam Islam terbungkus oleh keimanan, hubungan antara keduanya merupakan hubungan langsung dan senyawa, bukan hubungan yang terputus dan terpisah, juga merupakan hubungan yang saling melengkapi dan tidak bertentangan.

Sebagai pencipta segala sesuatu, maka Allah adalah Zat pemilik seluruh pengetahuan tentang ciptaan-Nya. Demikian Sayyid Quthb[8] menegaskan dalam tafsirnya,

والله هو الذي خلق. وهو الذي علم. فمنه البدء والنشأة، ومنه التعليم والمعرفة.. والإنسان يتعلم ما يتعلم، ويعلم ما يعلم.. فمصدر هذا كله هو الله الذي خلق والذي علم.
Dialah Allah yang mencipta dan yang mengajarkan. Dari-Nyalah permulaan dan pertumbuhan. Dari-Nyalah pengajaran dan ilmu pengetahuan. Manusia bisa mempelajari apa yang dipelajarinya dan mengajarkan apa yang diajarkannya, namun sumber semuanya adalah Allah yang menciptakan dan mengajarkan.

Sa’id Hawwa mengutip perkataan al wasithy[9] tentang  makna kalimat rabb yaitu “هو الخالق ابتداءً و المربّي غذاءً و الغافر أنتهاءً” Rabb adalah Pencipta pada mulanya, Pemelihara setelah itu dan Pengampun pada akhirnya.

Dengan demikian sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pengampun, Dialah sumber awal segala ilmu, karena-Nyalah pengetahuan manusia meningkat secara bertahap. Lihatlah bagaimana pemberitahuan Allah atas penglihatan manusia yang terbatas tentang gunung yang disangkanya diam,

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” An naml 88

Demikian pula koreksi Allah atas fatamorgana kehidupan dunia yang menipu yang manusia sangka adalah hakikat,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” Fathir 5

Karunia Allah atas Manusia

Ayat-ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah telah memuliakan manusia dengan berbagai karunia yaitu, menjadikannya ciptaan yang sempurna dan berakal, berlaku lemah lembut serta memuliakannya dengan melimpahkan kepada manusia ilmu pengetahuan.

Al Qurthubi[10] menjelaskan bahwa maksud penyebutan manusia yang diciptakan dari ‘alaqah adalah wujud karunia Allah kepada manusia.  “أَرَادَ أَنْ يُبَيِّنَ قَدْرَ نِعْمَتِهُ عَلَيْهِ، بِأَنْ خَلَقَهُ مِنْ عَلَقَةٍ مَهِينَةٍ، حَتَّى صَارَ بَشَرًا سَوِيًّا، وَعَاقِلًا مميزا” menjelaskan kadar kenikmatan yang diberikan kepada manusia. Dari segumpal darah yang hina, kemudian menjadi manusia yang sempurna, berakal sempurna.

Lebih lanjut al Qurthubi[11] mengutip pendapat al kalby yang menjelaskan bahwa makna kata al akram adalah berasal dari kata al Haliim “الْحَلِيمُ عَنْ جَهْلِ الْعِبَادِ، فَلَمْ يُعَجِّلْ بِعُقُوبَتِهِمْ” yaitu lemah lembut terhadap ketidak tahuan hamba-Nya, hingga mereka tidak disegerakan hukumannya ketika melakukan kesalahan.

Karunia Allah selanjutnya adalah Allah melimpahkan pengetahuan kepada manusia dengan mengajarkan manusia segala yang tidak diketahuinya melalui ilmu penulisan. Al Qurthubi[12] menuliskan dalam tafsirnya tentang keutamaan menulis, “وَلَوْلَا هِيَ مَا اسْتَقَامَتْ أُمُورُ الدِّينِ وَالدُّنْيَا” tidak bisa tidak bahwa segala perkara kehidupan agama dan dunia tegak diatasnya.

Jika membaca merupakan pembuka cakrawala ilmu pengetahuan maka menulis adalah pengunci pengetahuan tersebut agar tidak hilang dan menjadi dasar pengembangan keilmuan selanjutnya. Bahkan ilmu pengetahuan itu akan bertambah-tambah jika di amalkan, sebagaimana sebuah atsar yang diriwayatkan dari Abdul Wahid bin Zaid,[13] ia berkata,” مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ فَتَحَ اللهُ لَهُ مَا لَا يَعْلَمُ” barang siapa yang mengamalkan ilmunya maka Allah akam bukakan baginya apa-apa yang belum diketahuinya.

Demikianlah ayat-ayat yang diturunkan pertama kali ini merupakan pemberitaan besar akan hakikat Sang Penguasa Tertinggi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ia melimpahkan kasih sayangnya kepada manusia berupa pengajaran ilmu pengetahuan agar mereka selamat menjalani kehidupannya, yang dalam ayat-ayat lain disebutkan sebagai hamba dan khalifah-Nya.

Hasbunallah wa ni’mal wakil

[1] Lihat Al Bukhari : Shahih al Bukhari, Daar Thuuq an Najah, 1422 H, Juz 1, hlm 7 Lihat pula Muslim : Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, tt, Juz 1, hlm 139.
[2] Lihat  Shahih al Bukhari, Juz 1, hlm 7. Lihat pula Shahih Muslim, Juz 1, hlm 143.
[3] Abu Bakar al Baihaqi: Dalaail an Nubuwwah, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1405 H, Juz 2, hlm 156.
[4] Lihat As Suyuthi : al Itqan fi Ulum al Qur’an, al Haiah al Mishriyah al A’mmah lil Kitab, 1394 H, Juz 1, hlm 91-100.
[5] Muhammad Abduh : Tafsir al Qur’an al Karim (juz ‘amma), Mesir : Mathba’atu Mishr, 1341 H, hlm 124.
[6] Sayyid Quthb : Fi Dzilal al Qur’an, Beirut : Daar asy Syuruq, 1412 H, jilid 6, hlm 3938.
[7] Dr. Yusuf al Qaradhawi : al Hayat ar Rabbaniyyah wal ‘Ilm, Qahirah : Maktabah Wahbah, 1416 H, hlm 54.
[8] Fi Dzilal al Qur’an, hlm 3939.
[9] Sa’id Hawwa : al Asas fi Tafsir, Daar as Salam : Yordania, 1405 H, Jilid 1, hlm 41.
[10] Syamsuddin al Qurthubi : al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah : Daar al Kutub al Mishriyyah, 1384 H, Juz 20, hlm 119.
[11] ibid
[12] ibid, hlm 120.
[13] Abu Na’im al Ashbahany: Hilyatul Auliya wa Thobaqot al Ashfiya,  Beirut: Daar al Kitab al ‘Araby, 1394 H, juz 6, hlm 163