Keajaiban Penciptaan; Tafsir Surat an-Naba Ayat 6-16


Sigit Suhandoyo Kelompok ayat ini, ayat 6 sampai ayat 16, memaparkan keajaiban fenomena penciptaan. Allah ta’ala menginspirasi orang-orang beriman, dengan cara mengungkapkan bukti-bukti nyata penciptaan, agar mereka mempelajarinya dan meneguhkan keyakinan mereka.

Orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan menolak keniscayaannya, dengan berbagai dalih. Bagaimana mungkin manusia yang telah menjadi tulang-belulang, kembali menjadi utuh? Bagaimana mungkin jasad yang telah bercampur dan menjadi tanah kembali seperti semula?

Bukankah Jika Allah ta’ala mampu menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan? Maka alangkah mudahnya bagi Allah untuk menghidupkan kembali segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Dengan pendekatan empiris, manusia dapat meneliti kebenaran hari berbangkit melalui alam wujud yang Allah ciptakan.

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا (6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7) وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11) وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16)

(6)Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? (7)dan gunung-gunung sebagai pasak?, (8)dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan,. (9)dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, (10)dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, (11)dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, (12)dan Kami bangun di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, (13)dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), (14)dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, (15)supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, (16)dan kebun-kebun yang lebat?

Bumi Sebagai Hamparan. Kata (مِهَادًا) mihada berarti hamparan. Setidaknya terdapat 2 kata lain yang juga digunakan untuk mensifati bumi sebagai hamparan, yaitu (فِرَاشًا) pada surat al-Baqarah ayat 22 dan (بِسَاطًا) pada surat Nuh ayat 19. Adapun kata (مِهَادًا) mihada berasal dari kata (المَهْدُ) almahd. Menurut al-Zabidi, pakar susastera dari Abad ke 13 hijriah, kata (المَهْدُ) berarti (المَوْضِعُ يُهَيَّأُ للصَّبِيِّ ويُوَطَّأُ لِينَام فِيهِ) yaitu tempat yang disiapkan bagi anak-anak untuk masuk dan tidur didalamnya. (Taj al-Arus, 1/190). Hal ini sebagaimana perkataan orang-orang kepada Maryam,

فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا

maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?" (Maryam 29)

Penggunaan kata (مِهَادًا) untuk mensifati bumi menunjukkan bahwa, bumi adalah buaian yang nyaman dan menyenangkan untuk didiami oleh manusia. Sebagaimana perkataan Buya Hamka, dengan menghamparkan bumi bagi manusia, Allah menyelenggarakan segala yang ada dibumi bagi kebaikan hidup manusia. (Tafsir al-Azhar 10/7854).

Gunung Sebagai Pasak. Setelah mensifati bumi sebagai buaian yang nyaman, Allah ta’ala melengkapinya dengan menyebutkan gunung sebagai pasak. Menurut asy-Sya’rawi, pasak dimaksudkan untuk menunjukkan fungsi gunung sebagai pondasi yang mengokohkan suatu bangunan. Bumi itu bergerak, jika ia bergerak maka ia berguncang, jika ia berguncang, maka ia memerlukan pasak. (tafsir asy-Sya’rawi 15/16) Dengan demikian sempurnalah pensifatan bumi sebagai buaian karena ia memiliki pasak yang menahan guncangan.

Manusia Diciptakan Berpasangan. Kalau kita cermati dalam kelompok ayat ini, akan kita temukan bahwa ada dua kata kerja yang menunjukkan arti menjadikan. Yaitu kata (جعل) ja’ala dan (خلق) khalaqa. Kata ja’ala terulang lima kali sedangkan kata khalaqa hanya satu kali. Yaitu pada ayat ke 8, tentang penciptaan manusia.

Secara umum kata khalaqa dan ja’ala dalam bahasa Arab dapat digunakan untuk saling mengartikan. Demikian pula akan kita temukan dalam al-Qur’an, banyak tempat penggunaan kata ini yang saling menggantikan. Sehingga menjadi menarik untuk menelusuri, mengapa dikhususkan penggunaan khalaqa pada penciptaan manusia. 

Sebagian ulama tafsir mengemukakan bahwa kata khalaqa adalah penciptaan awal, dari ketiadaan. Sedang ja’ala berarti penciptaan sesuatu yang baru dari unsur yang sudah ada. Sementara kita ketahui bahwa manusia tercipta dari tanah yang merupakan bagian dari bumi. Dengan demikian maka bumi tentu lebih awal diciptakan dari manusia. Melalui penggunaan teks (خلق) seolah Allah menegaskan makna, bahwa begitu mudahnya Allah menghidupkan kembali manusia. Sedang menciptakan manusia dari ketiadaan pun mudah bagi Allah ta’ala. Demikian ungkap Pakar Tafsir Ibnu ‘Asyur. (at-Tahrir wa at-Tanwir 13/30). Pendapat Ibnu Asyur ini bisa kita dalami lebih lanjut melalui ayat berikut, 

لَخَلْقُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (al Mukmin 57)

Pendapat lain terkait makna (خلق) dikemukakan oleh Al-Alusi, Menurut pakar tafsir kelahiran Baghdad ini, kata khalaqa berarti menciptakan sesuatu berdasarkan ukuran yang tepat. (Ruh al-Ma’ani 2/161) sehingga penggunaan kata khalaqa pada penciptaan manusia yang berpasang-pasangan menunjukkan kebangkitan kembali manusia pada hari kebangkitan sebagaimana awalnya. Dengan demikian secara kebahasaan, penggunaan kata (خلق) ini menjawab pengingkaran orang-orang kafir terhadap kebangkitan kembali manusia sebagaimana awalnya.

وَقالُوا أَإِذا كُنَّا عِظاماً وَرُفاتاً أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقاً جَدِيداً

Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?" (al-Isra 49)

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ (3) بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ (4)

Apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. (al-Qiyamah 3-4)

Tidur untuk Istirahat, Malam Sebagai Pakaian dan Siang Untuk Mencari Penghidupan. Firman Allah ta’ala terkait hal ini terdapat pula dalam surat al-Furqan ayat 47,

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُورًا

Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.

Penulis Lisan al-‘Arab, Ibnu Manzhur mengemukakan bahwa kata (سُبَاتًا) subata berarti bahagian yang terputus. Jika seseorang itu tidur, maka ia terputus dari hubungan dengan manusia. Kemudian Ibnu Manzhur mengutip pendapat al-Zajaj bahwa (السُّباتُ) adalah (أَن يَنْقَطِعَ عَنِ الْحَرَكَةِ، والروحُ فِي بَدَنِهِ) yaitu terputus dari pergerakan, dan terlepasnya ruh dari badan. (Lisan al-‘Arab, 2/37).  Sehingga kata ini selain memiliki makna (رَاحَةً) yaitu waktu senggang atau istirahat, kata ini juga bermakna (موتاً) yaitu kematian. (Asas al-Balaghah 1/432). Dengan demikian jika dikaitkan dengan penolakan orang-orang kafir terhadap kebangkitan kembali, maka peristiwa tidur sehari-hari, adalah suatu bukti betapa Allah Maha Kuasa menarik ruh seseorang dan mengembalikannya kembali, tanpa manusia bisa berbuat apapun.

Demikian pula pengaturan Allah ta’ala terhadap alam semesta. Allah jadikan siang dan malam sebagai penanda waktu bagi manusia untuk mengalihkan aktifitasnya utamanya yaitu beristirahat dan beramal. Sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Quthb, bahwa alam semesta Allah jadikan tempat yang sesuai bagi manusia, dan manusia pun Allah berikan berbagai karakteristik yang selaras dengan penciptaan alam semesta. (fi dzilal al-Qur’an 13/32)

Setelah ayat-ayat yang menunjukkan keajaiban penciptaan di bumi. Ayat-ayat selanjutnya –ayat 12 hingga16- menunjukkan keajaiban penciptaan langit dan kemanfaatannya bagi manusia.

Tujuh Langit yang Kokoh. Penggunaan kata tujuh menurut sementara ulama menunjukkan arti banyak, bukan merupakan urutan jumlah setelah 6 atau sebelum 8. Sebagaimana dikemukakan oleh Buya Hamka, bahwa Allah membina langit yang sangat banyak, tempat berbedar berbagai benda-benda langit. Allah ciptakan langit berjuta-juta tahun lalu, sangat luas, hingga berada diluar kemampuan manusia untuk menalarnya. Keterbatasan manusia hendaknya menjadikan manusia menginsafi diri. (tafsir al-Azhar 10/7854-7855).

Matahari, Hujan, Tanaman dan Kebun-Kebun yang Subur.  Diantara benda-benda langit yang Allah ciptakan adalah pelita yang sangat terang, yaitu matahari. Sayyid Quthb mengemukakan ayat-ayat ini menunjukkan runtutan yang serasi dengan desain alam semesta. Langit-langit yang kokoh adalah tempat beredanya matahari, yang memberikan sinar terang bagi terbentuknya awan yang menurunkan hujan. Hingga kemudian tumbuh berbagai tanaman dan terciptalah kebun-kebun yang subur.

Berbagai fakta tentang penataan, pengaturan dan penentuan kadar yang sangat cermat selayaknya menumbuhkan kesadaran akan adanya pencipta Yang Maha Kuasa. Mengilhamkan adanya maksud dan tujuan dibalik kehidupan. Disinilah konteks ayat-ayat ini bertemu dengan berita besar mengenai kebangkitan kembali, yang diperselisihkan oleh orang-orang kafir. (fi Dzilal al-Qur’an 13/35-36).

Ibnu Asyur, seorang pembaharu dari Tunisia memerinci, bahwa secara teks, kata (لِنُخْرِجَ) seharusnya berarti Agar Kami mengeluarkan, --pada terjemah ayat ke 15 ini tertulis “agar Kami menumbuhkan”-- untuk arti menumbuhkan, teks kata yang lebih cocok adalah (لِنُنْبِتَ). Seperti terdapat dalam surat nuh ayat 17-18,

وَاللَّهُ أَنْبَتَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ نَباتاً. ثُمَّ يُعِيدُكُمْ فِيها وَيُخْرِجُكُمْ إِخْراجاً

Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya.

Pemilihan kata linukhrija pada ayat ini, dengan demikian terkait pada tujuan pemaparan kandungan ayat-ayat di atas yaitu untuk membuktikan kuasa Allah mengeluarkan kembali manusia dari kubumya dalam keadaan hidup (at-Tahrir wat Tanwir 26/30-31).

Shihab menambahkan bahwa, penggunaan bentuk kata kerja masa lampau (madhi) pada ayat-ayat di atas mengesankan bahwa hal itu semua telah dilakukan Allah, dan jika Dia berkehendak Dia dapat menghentikan anugerah-Nya itu sehingga bumi dapat tidak nyaman dihuni, malam tidak lagi gelap atau manusia tidak dapat tidur, siang pun dapat dijadikannya tidak dapat dimanfaatkan. (Tafsir al-Misbah 15/8) Semuanya dapat berubah pada waktunya, baik karena kerusakan akibat perbuatan manusia, maupun karena telah habis masa yang Allah tetapkan. Semesta dihancurkan dan kemudian manusia dibangkitkan kembali. Wallahu a’lam bisshowab.

Daftar Pustaka

  1. Abu al-Faidh Murtadha Az-Zabidi, Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, (Mesir: Dar al-Hidayah,tth)
  2. Abu al-Qasim Az-Zamakhsyari, Asas al-Balaghah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet pertama 1998)
  3. Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional Singapura, 1989)
  4. Ibnu Manzhur al-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar sadhr, cet ketiga 1414 H)
  5. Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2016)
  6. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
  7. Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir Min Tafsir al-Kitab al-Majid, (Tunisia: Dar At-Tunisiyah li An-Nasyr, 1984)
  8. Sayyid Quthb Ibrahim, Fi Dzilal al-Qur’an, (edisi terjemah, Jakarta: Rabbani Press, 2001)
  9. Syihabuddin al-Alusi, Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet Pertama, 1415H)


Ancaman Kepada Para Pengingkar Hari Berbangkit

Tafsir Surat an-Naba Bagian Kedua

Sigit Suhandoyo

عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلَّا سَيَعْلَمُونَ (5

(1).Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? (2).Tentang berita yang besar, (3).yang mereka perselisihkan tentang ini. (4).Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, (5). kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui.

Kelompok ayat-ayat ini menjelaskan tentang perilaku orang-orang Quraisy. Mereka bertanya-tanya tentang berita hari berbangkit. Sebagian meyakini, namun sebagian lainnya tidak bermaksud mencari penjelasan, melainkan menjadikannya bahan cemoohan dan pengingkaran. Padahal hari berbangkit adalah sebuah kepastian yang benar adanya.

Pakar tafsir hukum al-Qurthubi mengemukakan, hari berbangkit bukanlah sesuatu yang bisa diperselisihkan. Kelak orang-orang beriman kepadanya akan mengetahui kebenarannya, demikian pula orang-orang yang ingkar kepadanya akan mengetahuinya pula. Inilah penegasan sekaligus ancaman dari Allah ta’ala bagi mereka yang mengingkari kebenaran hari berbangkit (هُوَ وَعِيدٌ بَعْدَ وَعِيدٍ), ini adalah ancaman setelah ancaman, demikian kutipnya dari al-Hasan (al jami’ li ahkam al-Qur’an 19/170-171).

Menurut Asy-Sya’rawi, pada hari akhir nanti, ketika orang-orang tersebut melakukan perbandingan, maka yang ada adalah kerugian bagi yang diazab. Siksaan berat yang menyakitkan itu, menjadi lebih menyakitkan lagi, ketika melihat kelompok lain mendapat nikmat pada saat penyiksaan berlangsung. Sedangkan orang yang mendapat nikmat kemudian melihat kelompok lain disiksa akan merasakan nikmat yang bertambah-tambah. Saat itulah kerugian akan menjadi nyata bagi orang-orang kafir. (Tafsir asy-Sya’rawi 15/13)

Hari berbangkit adalah sebuah kepastian, sehingga dalam al-Qur’an digunakan pula ungkapan bahwa hari kiamat itu dekat. Karena sesuatu yang pasti terjadi berarti dekat. Orang-orang yang mengingkarinya akan berada dalam kerugian yang berlapis-lapis. Pada dasarnya orang-orang yang mengingkari hari berbangkit adalah karena mereka mengingkari Allah sebagai Pencipta, sehingga dalam kelompok ayat selanjutnya Allah ta’ala berfirman tentang berbagai fenomena penciptaan.

Daftar Pustaka

  1. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964)
  2. Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Duta Azhar, 2016)