PENGERTIAN TARBIYYAH DALAM AL QUR’AN



Pengertian Kata ar Rabb

Dalam kamus as shohah[1] dinyatakan bahwa ar rabb adalah salah satu dari nama Allah azza wa jalla. Nama ini tidak boleh digunakan untuk selain Allah kecuali dengan di sandarkan kepada kata yang lain, orang-orang Arab sejak zaman jahiliyyah menggunakan kata ini untuk mengungkapkan makna al malik (penguasa).

Kata ar rabb tidak boleh digunakan untuk selain Allah hak ini dikarenakan Ketika huruf alif dan lam masuk kedalam kata rabb, maka kata ini khususkan kepada Allah, sebab huruf alif dan lam ini menunjukkan kepada sesuatu yang telah diketahui akal. Tetapi jika tidak menggunakan alif dan lam maka dapat digunakan pula untuk selain Allah misalnya rabbul bait (tuan rumah).

Dalam lisan al arab[2] dinyatakan bahwa secara bahasa kata ar rabb itu bermakna “الرَّبُّ يُطْلَق فِي اللُّغَةِ عَلَى المالكِ، والسَّيِّدِ، والمُدَبِّر، والمُرَبِّي، والقَيِّمِ، والمُنْعِمِ” penguasa, pemimpin, pengatur, pendidik, pengurus, pemberi kebahagiaan.

Sa’id Hawwa mengutip perkataan al wasithy[3] tentang  makna kalimat rabb yaitu “هو الخالق ابتداءً و المربّي غذاءً و الغافر أنتهاءً” Rabb adalah Pencipta pada mulanya, Pendidik setelah itu dan Pengampun pada akhirnya.

Kata ar Rabb yang mensifati Allah lebih khusus menunjukkan makna sangat atau paling. Dengan demikian Allah itu adalah Tuhan para pemilik, Pemimpin para pemimpin dan Pendidik dari para pendidik. Ia adalah Raja atas segala raja yang tak ada sesuatupun yang menyerupai dan menandingi-Nya.

Pemahaman ini juga tersirat dari pengertian kata ar Rabb yang diungkapkan oleh at Thobari[4] yaitu “السيد الذي لا شِبْه لهُ، ولا مثل في سُؤدده، والمصلح أمر خلقه بما أسبغ عليهم من نعمه، والمالك الذي له الخلق والأمر” Penguasa yang tak ada yang menyerupai-Nya, tak ada pula kekuasaan yang menyamai-Nya. Ia memperbaiki segala urusan makhluk-Nya dengan menyempurnakan bagi mereka berbagai kenikmatan hidup. Ia adalah Raja yang kepada-Nyalah semua mahluk dengan segala urusannya bermuara. 

Kalimat ar rabb dapat diungkapkan untuk menunjukkan makna banyak dengan rabbabahu dan tarabbabahu ( banyak mendidik) sebagaimana dalam as Shohah[5] dinyatakan, “ورَبَّ فلان ولده يَرُبُّهُ رَبَّاً، ورَبَّبَهُ، وتَرَبَّبَهُ” seseorang mendidik anaknya, maka dia mendidiknya dengan sebaik-baik pendidikan.

Kalimat ar rabb juga diambil dari kata at tarbiyyah (pendidikan/pemeliharaan). Jika ia diambil dari dari kata ini, maka Alah adalah pengatur mahluknya sekaligus pendidik mereka.[6]  Pengertian ini sebagaimana terdapat pada firman-Nya dalam surat an nisa ayat 23 dan surat al Isra ayat 24,

وَرَبائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
“anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu”.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Dalam tafsirnya At Tastary[7] mengemukakan pengertian ar rabb sebagai suatu sifat perbuatan, yaitu:
سيد الخلق المربّي لهم، والقائم بأمرهم، المصلح المدبر لهم قبل كونهم، وكون فعلهم المتصرف بهم لسابق علمه فيهم، كيف شاء لما شاء، وأراد وحكم وقدر من أمر ونهي، لا رب لهم غيره
Pemilik manusia yang menjadi pendidik bagi mereka, yang telah mengatur segala urusan, memperbaiki dan merencanakan segala hal bagi manusia jauh sebelum mereka diciptakan. Dia berbuat sesuatu sebagaimana yang Ia kehendaki. Dia juga berkehendak memberikan perintah dan larangan, mengaturnya serta memberikan hukum. Tidak ada Rabb yang pantas menjadi pendidik selain-Nya.

Secara ringkas al Mawardi[8] mengemukakan bahwa perbedaan pengertian kata ar rabb terbagi menjadi 4 pengertian, pertama berarti al malik atau Penguasa, kedua berarti as Sayyid atau Pemimpin, ketiga berarti al Mudabbir atau Pengatur dan terakhir berarti at tarbiyyah atau mendidik

Dari beberapa pengertian ar Rabb di atas maka dapat kita simpulkan ia memiliki 2 kategori pengertian yaitu pengertian ar rabb sebagai sifat diri seperti Penguasa dan Pemimpin, serta pengertian ar rabb sebagai sifat bagi sebuah perbuatan seperti Pengatur dan Pendidik.

Pengertian Tarbiyyah

Para ulama tafsir mengemukakan berbagai macam pendapat tentang pengertian tarbiyyah. Pendapat pertama mendefinisikan tarbiyyah sebagai sebuah proses pertumbuhan dan perkembangan perserta didik menuju kesempurnaan. Pendapat kedua mendefinisikan tarbiyyah berdasarkan materi yang diberikan.

Raghib al Ashfahani[9] mengemukakan bahwa kata ar rabb berasal dari tarbiyyah, yang bermakna “التربية، وهو إنشاء الشيء حالا فحالا إلى حدّ التمام” menumbuhkan suatu perilaku, langkah demi langkah hingga mencapai kesempurnaan.

Pendapat tersebut serupa dengan definisi Al Karmani[10] tentang tarbiyyah yaitu “تبليغ الشيء إلى كماله على التدريج” menyampaikan sesuatu hingga sempurna secara bertahap.

Ash Shobuni[11] mengemukakan bahwa tarbiyyah adalah “إصلاح شئون الغير ورعاية” memperbaiki kebutuhan yang beraneka ragam dan menjaga urusannya. Selanjutnya ash shobuni mengutip pendapat serupa dari al harawi tentang tarbiyyah “لمن قام بإصلاح شيء وإتمامه”, siapa saja memperbaiki sesuatu dan menyempurnakannya.

Definisi tarbiyyah berdasarkan materi yang diberikan terbagi dalam dua bentuk.  Muhammad Rashid Ridho[12] berpendapat sebagai berikut, “تَرْبِيَةٌ خَلْقِيَّةٌ بِمَا يَكُونُ بِهِ نُمُوُّهُمْ، وَكَمَالُ أَبْدَانِهِمْ وَقُوَاهُمُ النَّفْسِيَّةُ وَالْعَقْلِيَّةُ - وَتَرْبِيَةٌ شَرْعِيَّةٌ تَعْلِيمِيَّةٌ وَهِيَ مَا يُوجِيهِ إِلَى أَفْرَادٍ مِنْهُمْ لِيُكْمِلَ بِهِ فِطْرَتَهُمْ بِالْعِلْمِ وَالْعَمَلِ إِذَا اهْتَدَوْا بِهِ.” Pertama, pendidikan bawaan termasuk pengembangan dan kesempurnaan tubuh, kekuatan jiwa dan fikiran. Kedua pendidikan dan pengajaran syar’iyyah yang mengarahkan individu untuk menyempurnakan fitrah mereka dengan ilmu dan amal yang mereka diberikan petunjuk dengannya.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al Maraghi[13] dalam tafsirnya sebagai berikut ” وتربية الله للناس نوعان، تربية خلقية تكون بتنمية أجسامهم حتى تبلغ الأشد وتنمية قواهم النفسية والعقلية- وتربية دينية تهذيبية تكون بما يوحيه إلى أفراد منهم ليبلّغوا للناس ما به تكمل عقولهم وتصفو نفوسهم” Dan pendidikan Allah kepada manusia ada dua jenis, pendidikan bawaan menjadi pengembangan tubuh mereka hingga mencapai kedewasaan serta pengembangan kekuatan akal dan mental mereka, kedua pendidikan dan perbaikan agama yang diwahyukan kepada individu yang dengannya kesempuranaan akal dan kebersihan jiwa mereka menjadi sempurna.

Dari pengertian  yang dikemukakan para ulama tafsir tersebut di atas, kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut,

Pertama, Pendidikan merupakan kegiatan terencana yang memiliki tujuan atau target-target yang jelas.

Kedua, Program pendidikan tersusun secara berjenjang atau bertahap menuju kepada pencapaian yang lebih tinggi dan kompleks. Atau dari sebuah penguasaan kepada penguasaan yang lain.

Ketiga, Pendidikan mendewasakan, memandirikan dan memerdekakan peserta didik. Menumbuhkan aspek tanggung jawab atas pilihan-pilihan tindakan yang diambil.

Keempat, Integralitas kurikulum pendidikan mencakup pengembangan semua aspek kecerdasan peserta didik baik fisik, akal dan mental spiritual.

Kelima, Pendidikan tidak memisahkan kewajiban penguasaan atas dalil-dalil aqliyyah maupun naqliyyah. Atau dikotomi dunia dan akhirat.

Keenam, Pendidikan menjadikan agama sebagai ideology menjadi akar pendidikan. Seluruh tabi’at objek didik harus menujukkan karakter manusia beragama.

Demikianlah pendidikan dalam terminology al Qur’an. Sebagai sebuah manhaj rabbani ia tidak membunuh fitrah manusia melainkan membentuk kesempurnaan pada kepribadian manusia.

[1] Abu Nashr al Jauhari : As Shohah Taaj al Lughoh wa as Shohah al ‘Arabiyyah, Beirut : Daar al ‘Ilm, 1407 H, Juz 1, hlm 130.
[2] Ibnu Mandzhur : Lisan al Arab, Beirut : Daar as Shadar, 1414 H, juz 1, hlm 399.
[3] Sa’id Hawwa : al Asas fi Tafsir, Daar as Salam : Yordania, 1405 H, Jilid 1, hlm 41.
[4] Abu Ja’far at Thobary : Jami’ al Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1420 H, juz 1, hlm 142.
[5] As shohah, hlm 130.
[6] Syamsuddin al Qurthubi: al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah : Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, juz 1, hlm 137.
[7] Sahl at Tastary : Tafsir at Tastary, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1423 H,  Juz 1, hlm 23.
[8] Al Mawardy : an Nukat wal Uyun, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, tt,  juz 1, hlm 16.
[9] Ar Raghib al Ashfahani : al Mufradat fi Gharib al Qur’an, Damaskus : Daar al Qalam, 1412 H, Hlm 336.
[10] Burhanuddin al Karmani : Gharaib at Tafsir wa ‘Ajaibu at Ta’wil, Jeddah : Daar al Qiblah li ats Tsaqofah al Islamiyyah, tt, Juz 1, hlm 95.
[11] Muhammad Ali Ash Sobuni : Shofwatu at Tafasir, Qahirah : Daar ash Shobuni, 1417 H, Juz 1, hlm 19.
[12] Muhammad Rasyhid bin Ali Ridho : Tafsir al Manar, Mesir : al Haiah al Mishriyyah al ‘Ammah lil Kitab, 1990, Juz 1, hlm 43
[13] Ahmad bin Musthofa al Maraghi : Tafsir al Maraghi, Mesir : Syirkatu Maktabatu wa Mathba’atu  Musthofa al Baaby al Halby, 1365 H, Juz 1, hlm 30

Husnudzhan



Suatu hari berkatalah seorang istri kepada suaminya,[1] “مَا رَأَيْت قَوْمًا أَلْأَمَ مِنْ إخْوَانِك، قَالَ مَهْ وَلِمَ ذَلِكَ؟ قَالَتْ: أَرَاهُمْ إذَا أَيْسَرْت لَزِمُوك، وَإِذَا أَعْسَرْت تَرَكُوك”  Tidak pernah aku melihat kaum yang keterlaluan melebihi kawan-kawanmu. Mereka mendekatimu ketika kamu berkecukupan, tetapi meninggalkanmu ketika kamu kesulitan. Pernyataan negatif tersebut dijawab oleh suaminya dengan bijaksana “هَذَا وَاَللَّهِ مِنْ كَرَمِهِمْ، يَأْتُونَنَا فِي حَالِ الْقُوَّةِ بِنَا عَلَيْهِمْ،وَيَتْرُكُونَنَا فِي حَالِ الضَّعْفِ بِنَا عَنْهُمْ” Demi Allah hal itu adalah kemuliaan mereka, Mereka mendatangiku saat aku kuat dan mampu beramal membantu mereka jika mereka membutuhkan, mereka tidak mendatangiku saat aku lemah dan tidak mampu karena semata-mata tak ingin membebaniku.

Ialah Thalhah bin Ubaidillah bin Abdurrahman bin Auf az Zuhry, jawaban demikian tidaklah muncul melainkan dari mereka yang menginginkan tersebarnya ikatan persaudaraan yang penuh kasih sayang dan ketentraman hidup berjama’ah.

Hati yang selamat dari prasangka buruk adalah prasyarat terendah bagi mereka yang mengaku dirinya pengawal ukhuwwah dan penjaga kehidupan berjama’ah. Baik sangka adalah jaminan kekekalan sebuah hubungan dan pondasi bagi kekuatan jama’ah.  Allah ta’ala telah mengingatkan,

لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (an Nuur 12)

وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا
“…dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa” (al Fath 12)

Dzhan ; antara yang terpuji dan tercela

Muhammad Mahmud al Hijazi[2] mengemukakan pengertian dzhan secara umum, yaitu “حد وسط بين العلم والوهم” ruang antara ilmu dan keraguan. Dalam pengertian ini maka prasangka tidak bernilai sebuah kesalahan. Lintasan fikiran yang mengandung keraguan atau kecurigaan terhadap suatu peristiwa merupakan hal yang dima’afkan. Sebagaimana sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda[3],
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي مَا وَسْوَسَتْ بِهِ صُدُورُهَا، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمْ
Sesungguhnya Allah mema’afkan hamba-Nya atas apa yang terlintas dari hatinya, selama ia tidak mengerjakan atau mengatakannya.

Prasangka akan menjadi sebuah dosa jika ia terlahir menjadi sebuah proses menghakimi tanpa bukti, tuduhan (at tuhmah) dan pengkhianatan (at takhawwun), sebagaimana pendapat-pendapat berikut. Menurut Ash Shon’ani[4] prasangka adalah “مَا يَخْطِرُ بِالنَّفْسِ مِنْ التَّجْوِيزِ الْمُحْتَمِلِ لِلصِّحَّةِ، وَالْبُطْلَانِ فَيَحْكُمُ بِهِ يَعْتَمِلُ عَلَيْهِ” sesuatu yang terbetik di dalam fikiran yang memiliki kemungkinan benar atau salah, namun dijadikan dalil dan pegangan untuk menghukumi. Ibnu Katsir[5] berpendapat bahwa prasangka adalah “وَهُوَ التُّهْمَةُ وَالتَّخَوُّنُ لِلْأَهْلِ وَالْأَقَارِبِ وَالنَّاسِ فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ” Tuduhan dan pengkhianatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap keluarga dan kerabat (saudara sesama muslim) serta kepada manusia secara umum.

Dr. Ali Abdul Halim Mahmud[6] membagi prasangka menjadi dua, yaitu prasangka yang terpuji dan tercela. Prasangka menjadi terpuji ketika dengan prasangka tersebut agama orang yang memiliki prasangka dan agama obyek prasangka tersebut menjadi selamat. Misalkan terhadap seseorang yang berlaku maksiat secara terbuka atau orang menyebarkan keburukan dirinya sendiri. Berprasangka terhadap orang yang demikian akan menyelamatkan agama karena akan muncul sikap berhati-hati dalam berhubungan dengan orang tersebut. Sikap ini juga akan menyelamatkan agama pelaku keburukan karena akan muncul dari diri kita keinginan untuk menasihatinya.

Sedangkan prasangka yang tercela adalah prasangka yang menimbulkan kerusakan pada agama orang yang berprasangka dan objeknya. Allah ta’ala telah mengingatkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (al Hujurat 12).

Dalam ayat ini bentuk menghakimi, tuduhan dan pengkhianatan itu Allah sifati dengan perilaku mencari-cari kesalahan orang lain dan menghibahnya. Dalam skala pribadi prilaku ini merusak agama karena merusak akhlaq individu. Fokusnya seseorang pada kesalahan dan kekurangan orang lain akan menyebabkannya lalai akan kekurangan dirinya sendiri. Dalam skala kelompok prilaku ini merusak agama karena menyebarkan keresahan, kebencian dan dendam dalam kehidupan berjama’ah.

Kiat berprasangka baik.

Sebagaimana semua akhlaq Islam, berprasangka baik dapat dilatih hingga tertanam kokoh dan menjadi karakter khas, berikut beberapa kiat menumbuhkan prasangka baik,

Pertama, Fokuslah pada kekurangan diri sendiri dan tidak meremehkan orang lain. Ini adalah diantara adab persaudaraan dalam Islam. Sesungguhnya diantara sebab munculnya prasangka buruk terhadap orang lain adalah karena perasaan lebih baik dan mulia dari orang lain. Demikianlah Iblis yang berprasangka buruk atas Adam as dengan perkataannya, “ana khairum minhu”. Maka terjadilah dalam realitas, buruk sangka terjadi antara  pimpinan dengan bawahannya, orang tua dengan anak, suami dengan istri, dst. Jika sudah demikian maka rusaklah hubungan cinta dan kasih sayang atas sesama manusia. Seyogyanya setiap Muslim itu melihat kekurangan pada dirinya kemudian memperbaikinya serta menghormati dan mema’afkan orang lain sebagaimana ia menginginkan orang lain mema’afkan kekurangan dirinya.

Kedua, Menginginkan kebaikan bagi saudaranya, sebagaimana ia menginginkan pula kebaikan itu bagi dirinya.  Perhatikanlah perkataan Abu Mu’awiyyah al Aswad[7], “إخواني كُلُّهُم خَير منى، قيل كيف ذالك؟ قال كلهم يرى لى الفضل عليه، و من فضلنى على نفسه فهو خير منى” wahai saudaraku kalian semua lebih baik dariku, mereka bertanya kenapa demikian? Karena kalian semua memandangku memiliki kemuliaan, maka barangsiapa memuliakanku dalam jiwanya pastilah ia lebih baik dariku”

‘Uthbah bin Ghulam jika ingin berbuka puasa, ia akan berkata kepada orang yang melihat perbuatannya[8], “أَخْرِجْ إِلَيَّ شَرْبَةً مِنْ مَاءٍ أَوْ تَمَرَاتٍ أُفْطِرُ عَلَيْهِمَا فَيَكُونُ لَكَ مِثْلُ أَجْرِي”  keluarkanlah bagiku air minum atau kurma untuk berbuka puasa, aku ingin engkau mendapakan kebaikan pahala sebagaimana yang kudapatkan.

Ketiga, Memandang orang lain pada karakter baik yang dimilikinya. Dengan demikian pandangan kita akan tertutup dari keburukannya hingga akhirnya kita mencintainya karena Allah.

Keempat, Mendengarkan orang lain ketika berbicara, menghargainya dan menghendaki kebaikan datang darinya. Etika ini akan menguatkan jalinan kasih sayang serta menumbuhkan ketawadhu’an pada diri kita.

Beberapa peringatan tentang su’udzhan

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “إيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ” jauhilah prasangka karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta.[9]

al Qurthubi berkata[10], “أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الظَّنَّ الْقَبِيحَ بِمَنْ ظَاهِرُهُ الْخَيْرُ لَا يَجُوزُ، وَأَنَّهُ لَا حَرَجَ فِي الظن القبيح بمن ظاهره القبح” Sebagian besar ulama tidak membolehkan  prasangka buruk meskipun secara lahiriyah terlihat baik, sebab tidaklah didapati dari prasangka buruk itu melainkan keburukan pula.

Al Hasan berkata[11], “كُنَّا فِي زَمَنٍ الظَّنُّ بِالنَّاسِ فِيهِ حَرَامٌ، وَأَنْتَ الْيَوْمَ فِي زَمَنِ اعْمَلْ وَاسْكُتْ وَظُنَّ فِي النَّاسِ مَا شِئْتَ” kami hidup pada masa dimana berprasangka kepada manusia itu haram, dan hari ini kalian hidup pada masa ketika beramal dan diam berprasangka atas manusia sekehendak kalian.
Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil

[1] Al mawardi : Adabud Dunya wa ad Diin, Daar Maktabah al Hayat, 1986, hlm 180
[2] Muhammad Mahmud al Hijazy : Tafsir al Wadhih, Beirut : Daar al Jaliil al Jadiid, 1413 H, Juz 3, hlm 506
[3] Al Bukhari : Shahih al Bukhari, Daar Thuuq an Najah, 1422 H, Juz 3, hlm 165.
[4] Ash Shon’ani : Subul as Salam, Daar al Hadits tt, Juz 2, hlm 664.
[5] Ibnu Katsir : Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Thayyiban li An Nushr wa at Tauzi’, 1420 H, Juz 7, hlm 377.
[6] Ali Abdul Halim Mahmud : Fiqh Ukhuwwah fil Islam, Qahirah : Daar at Tauzi’ wa an Nusyr al Islamiyyah, 1413 H, hlm 110.
[7] ibid, hlm 111.
[8] Abu Nu’aim al Ashbahani : Hilyah al Auliya wa Thabaqot al Ashfiya, Beirut : Daar al Fikr, 1394 H, Juz 6, hlm 235.
[9] Shahih al Bukhari Juz 4 hlm 4.
[10] Al Qurthubi : al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah : Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Juz 16, hlm 332.
[11] Ibid.