Kajian Nilai-Nilai Dakwah Nabi Musa AS



Sigit Suhandoyo

PENDAHULUAN. Kisah Nabi Musa as dan Fir’aun, adalah sebuah keajaiban sejarah tentang perjalanan da’wah salah seorang Rasul dari kalangan ulul ‘azmi. Keteguhan hati ibunda Musa as(1)  untuk melarung bayinya mengawali langkah “kalīmallāh”(2)  ini masuk menerobos dinding istana musuh Rabb-nya sejak dini hari. Sebuah blue print keteladanan, tentang keyakinan dan keteguhan hati seorang  pejuang da’wah melawan tiran yang mengaku tuhan.


Naskah ini membahas biografi ringkas Nabi Musa as, metode-metode da’wahnya kepada Fir’aun termasuk didalamnya merumuskan beberapa hikmah sebagai teladan.


PEMBAHASAN


A. BIOGRAFI RINGKAS NABI MUSA AS


1. Nasab dan Kelahirannya


Ia adalah Mūsa bin Imrān bin Qāhits bin ‘Azar bin Lawi bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim as.(3)  Setelah melahirkan, ibunda musa as, merasa cemas atas keselamatan bayinya. Dikarenakan perintah Fir’aun untuk membunuh setiap bayi laki-laki Bani Israil yang lahir pada tahun itu.(4)  Allah mengilhami fikiran ibunda Musa as untuk memasukkan bayinya kedalam peti lalu menghanyutkannya di sungai Nil. Seperti perasaan seorang ibu pada umumnya, ibunda Musa as, sangat berduka ketika berpisah dengan buah hatinya, bahkan ia sangat mengkhawatirkan anaknya yang bisa saja tenggelam di sungai atau dipungut prajurit Firaun dan dibunuh. Tetapi, Allah memberi ketenangan kepada ibunda Musa as untuk tidak berduka dan cemas, karena sejatinya Allah akan memulangkan Musa as. kepangkuannya dan menyampaikan kepadanya bahwa Musa as. akan diangkat sebagai Rasul-Nya. Al-Qur’an mengabadikan peristiwa ini dalam ayat berikut QS. al-Qashash ayat 7-13.


وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ (7) فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ (8) وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لَا تَقْتُلُوهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (9) وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَى فَارِغًا إِنْ كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ لَوْلَا أَنْ رَبَطْنَا عَلَى قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (10) وَقَالَتْ لِأُخْتِهِ قُصِّيهِ فَبَصُرَتْ بِهِ عَنْ جُنُبٍ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (11) وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِنْ قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ نَاصِحُونَ (12) فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (13)


“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.(7) Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.(8) Dan berkatalah istri Fir'aun: "(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak", sedang mereka tiada menyadari.(9) Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah)(10). Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia" Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya,(11) dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui (nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlulbait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?"(12) Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.(13).”


Peristiwa yang tertera dalam rangkaian ayat tersebut di atas memberikan beberapa kandungan hikmah sebagai berikut,


a). Totalitas dalam menjalankan perintah Allah,


Ibunda Musa as mengijabah Ilhām(5)  dari Allah ta’ala, tsiqah kepada-Nya, dan berserah diri mengikuti perintah-Nya. Ketundukannya kepada Allah diikuti dengan perannya menyusupkan saudara perempuan Musa as ke lingkungan istana untuk mengetahui perihal Musa as. Merupakan suatu hal yang sederhana bagi Allah ta’ala untuk menolong hamba-Nya, meski tanpa sebab apapun. Sikap ibunda Musa as merupakan bentuk totalitas dalam menjalankan perintah Allah ta’ala. Mengupayakan seluruh potensi yang dimilikinya untuk keberhasilan tugas. Ibnu al-Qayyim menuturkan “أفضل العبادات التجرد”(6)  sebaik-baik ibadah adalah yang dilakukan secara totalitas. Ulama yang lain bahkan mensifati ibadah sebagai bentuk totalitas penghambaan.(7) 


b). Kehendak Allah diatas segala sesuatu.


Keselamatan Nabi Musa as dari penyembelihan, pada akhirnya berdampak pada kebahagiaan manusia dengan turunnya risalah, demikian pula hidayah bagi Asiyah berupa keimanan kepada Allah.(8)  Hal ini merupakan kehendak Allah yang tidak bisa terlawan. Perintah pembunuhan bayi laki-laki pada masa kelahiran Musa as merupakan sesuatu yang dibenci oleh Bani Israil, terdapat kebaikan yang telah Allah tetapkan. Sebaliknya bagi Fir’aun, sesuatu yang disenanginya membawa keburukan baginya. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah tentang perintah berjihad,


وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم وعسى أن تحبوا شيئا وهو شر لكم والله يعلم وأنتم لا تعلمون


“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” 


c). Kesiagaan menjaga rahasia dan mengamankan perintah.


Dalam peristiwa ini dikisahkan bahwa hampir saja Ibunda Musa menceritakan rahasia Musa as. Allah ta’ala meneguhkan hati Ibunda Musa as untuk tetap menjaga rahasia perencanaan dan pengoperasian gerakan da’wah. Cukuplah kehancuran sebuah rencana besar dengan pengkhianatan seorang kawan sendiri.


2. Karakteristik Musa as


a) Ikhlas


Ikhlas merupakan perkara yang utama, terpenting dan paling mendasar dari amal-amal hati. Ia adalah hakikat agama, dan kunci da'wah para rasul alaihumus salam. Sifat Nabi Musa as ini tertulis dalam surat Maryam ayat 51,


وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَى إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا


“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.”


Ibnu Katsir mengemukakan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa kata “مُخْلَصًا” berasal dari “الْإِخْلَاصِ فِي الْعِبَادَةِ” ikhlas dalam beribadah, sedang sebagian lain berpendapat maknanya adalah “مُصْطَفًى” yang dipilih.(9)  Al-Zuhaili mengatakan maksudnya adalah “أخلصناه مطهرا من الآثام والذنوب” memilihnya dengan membersihkannya dari kekejian dan perbuatan dosa.(10)  Dikatakan pula maknanya, “من خَلّصَ شيئا من أشياء، أي: استخرج شيئاً من أشياء كانت مختلطة به، كما نستخلص مثلاً العطور من الزهور، فقد أخذت الجيد وتركت الرديء،”(11)  berasal dari membersihkan sesuatu dari asalnya yaitu mengeluarkan sesuatu dari benda tertentu sehingga terpisah dengannya, sebagaimana menyarikan parfum dari bunga, hingga mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk. Dengan demikian dua pendapat ini memiliki kedekatan makna. Karena ikhlas juga didefinisikan dengan membersihkan niat dari segala tujuan selain Allah ta’ala. Hal ini berarti membuang segala keburukan niat dalam amal.


Lebih lanjut Ibnu Katsīr menuliskan sebuah riwayat dari Abu Lubabah tentang pertanyaan al-Ḫawāriyūn tentang makna ikhlas, “يَا رُوحَ اللَّهِ، أَخْبِرْنَا عَنِ الْمُخْلِصِ لِلَّهِ. قَالَ: الَّذِي يَعْمَلُ لِلَّهِ، لَا يُحِبُّ أَنْ يَحْمَدَهُ النَّاسُ.”(12)  Wahai ruh Allah, kabarkan kepada kami orang-orang yang ikhlas kepada Allah? Beliau menjawab, “orang yang beramal dan tidak senang dipuji oleh manusia”


Kisah keikhlasan Musa as, diantaranya tertera dalam surat al-Qashash ayat 24,

 

فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ 


“Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku".”


Ibnu abbas ra meriwayatkan, bahwa sebelum peristiwa ini Musa as menempuh perjalanan ke Madyan selama 8 malam, tidak makan kecuali memakan dedaunan dan dan kedua telapak kakinya melepuh karena tanpa alas kaki. Kemudian ia duduk di tempat teduh, dalan keadaan kelaparan karena hanya dedaunan yang masuk kedalam perutnya(13)  Namun melihat kesulitan dua orang wanita penggembala ternak dan ternaknya yang kurus-kurus ia segera bangkit dan memberikan pertolongan.


Setelah itu Musa as memohon kepada Rabbnya bagi kebaikan dirinya. Al-Sya’rāwī mengemukakan bahwa Musa as dalam do’anya memilih sifat rububiyah Allah, “أمّا الرب فهو المتولِّي للتربية والرعاية”(14)  karena al-Rabb adalah Penguasa yang memelihara dan melindungi. Musa as tidak meminta imbalan kepada orang lain, melainkan memohon kepada Allah ta’ala sebagai pemberi rezeki yang hakiki.


b) Memiliki fisik yang kuat dan Amanah


Sifat ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat al Qashas ayat 26,


قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ


“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".”


Musa as memiliki kekuatan fisik dalam bekerja, dan amanah dalam menjaga harta orang lain, sebagaimana pengamatan kedua wanita anak orang tua tersebut. Sayyid Thantāwi mengemukakan bahwa kekuatan dan amanah merupakan sifat yang utama, manusia akan merasa tsiqah terhadap kepemimpinan dan tanggung-jawab serta keluhuran pekertinya.(15) 


B. DA’WAH NABI MUSA AS KEPADA FIR’AUN


Eksplorasi atas peradaban rakyat Mesir yang jenuh, tertindas kedzaliman Fir’aun, hingga manusia dipertuhankan menunjukkan keseriusan situasi yang dihadapi nabi Musa as. Meski demikian Allah ta’ala mempersiapkan misi da’wah Musa as sejak dibesarkannya Nabi Musa as di pusat kerajaan. Kisah tentang masa kerasulan Musa as dapat di rinci sebagai berikut


1. Dialog Allah Ta’ala Dengan Musa as 


Allah ta’ala memilih Musa as dengan berbicara langsung kepadanya, untuk menguatkan hatinya. Pakar Tafsir Ibnu Katsīr mengemukakan peristiwa ini sebagai nubuwwah dan permulaan risalah Musa as.(16)  Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat Thaha,


إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (12) وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى (13) إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي (14) إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى (15) فَلَا يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لَا يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَتَرْدَى (16)


“Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa".”


Pakar tafsir al-Tsa’labī (w. 427 H) menuturkan penegasan Allah kepada Musa as bahwa Ia adalah Rabbnya merupakan cara Allah untuk mengokohkan bukti, menghilangkan keraguan dan memberikan pengetahuan yang hakiki kepada Musa as.(17)  Pemikir Muslim ternama dari daulah Abasiyah, al-Māwardī (w. 450 H), mengemukakan bahwa tujuan Allah ta’ala secara langsung memberikan pengetahuan kepada Musa as tentang Rabbnya adalah untuk menenangkan jiwanya dengan keyakinan, menguatkan kesabaran dalam mengemban perintah-Nya serta mempersiapkan pendidikan bagi dirinya.(18)  Demikianlah Allah ta’ala mempersiapkan diri Musa as dan memilihnya untuk mengemban risalah serta menyampaikan seruan da’wah kepada kaumnya pada masa itu. 


Kajian atas makna peristiwa ini menggambarkan korelasi yang kuat terhadap makna peristiwa pembelahan dada Nabi Muhammad saw. Hikmah yang penting bagi para da’i adalah untuk senantiasa memperbaharui kesiapan dan perbekalannya dalam meneruskan gerakan da’wah. Allah ta’ala berfirman dalam surat a Zumar ayat 18,


الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَاب


“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”


Sebagaimana Musa as, Allah perintahkan baginya untuk mendengar wahyu Allah. Begitu pula hendaknya para da’i yang menginginkan bimbingan dan petunjuk dari Allah. Pakar tafsir al-Tsa’labī mengutip perkataan sahabat mulia Abu Darda ra, tentang tiga bekal bagi kehidupan sehari-hari, “الظما بالهواجر، والسجود في جوف الليل، ومجالسه أقوام ينتقون من خير الكلام”(19)  berhaus-haus (berpuasa) disiang hari, sujud di pertiga malam yang terakhir dan berada di majelis yang senantiasa menghasilkan perkataan yang baik.


Ayat-ayat dalam surat Thaha tersebut di atas juga menjelaskan bahwa risalah yang Allah bebankan kepada Musa as adalah, mentauhidkan aqidah, mentauhidkan Ibadah dan keimanan kepada hari akhir.


2. Perintah Ilahiyah Kepada Musa as untuk Berda’wah Kepada Fir’aun 


Setelah peristiwa nubuwwah, datang wahyu berikutnya kepada Musa as untuk berda’wah kepada Fir’aun dan pembebasan bani Isra’il.(20)  Allah ta’ala berfirman dalam surat thoha,

 

اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (24) قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي (25) وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي (26) وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي (27) يَفْقَهُوا قَوْلِي (28) وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي (29) هَارُونَ أَخِي (30) اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي (31) وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي (32) كَيْ نُسَبِّحَكَ كَثِيرًا (33) وَنَذْكُرَكَ كَثِيرًا (34) إِنَّكَ كُنْتَ بِنَا بَصِيرًا (35)


“Pergilah kepada Fir'aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas". Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami".”


Perintah kepada Musa as untuk menda’wahi Fir’aun dalam ayat ini menjelaskan beberapa nilai-nilai da’wah, yaitu; Pertama, Bersabar atas perintah da’wah Kedua, menjaga kemuliaan da’wah dengan perkataan yang jelas dan mudah dimengerti. Ketiga, beramal jama’i dalam aktifitas da’wah.


3. Dialog Musa as dengan Fir’aun


Dialog yang terjadi antara Musa as dan Fir’aun merupakan pembelajaran yang menarik. Dalam dialog tersebut Musa as tidak merendahkan posisi dan kemampuan Fir’aun dihadapan pengikutnya. Sikap Fir’aun yang sombong tidak ditanggapi secara opensif oleh Musa as. Dalam surat thaha ayat 44, model dialog ini disebutkan sebagai “’qaulan layyina”,


فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى


“maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".”


Da’wah dengan perkatan yang lemah lembut kepada Fir’aun merupakan metode yang tepat, karena memungkinkan tersampaikannya pesan da’wah kepada objek da’wah yang sombong dan arogan. Ibnu Katsir berpendapat, “أَنَّ دَعْوَتَهُمَا لَهُ تَكُونُ بِكَلَامٍ رَقِيقٍ لَيِّنٍ قَرِيبٍ سَهْلٍ، لِيَكُونَ أَوْقَعَ فِي النُّفُوسِ وَأَبْلَغَ وَأَنْجَع”(21)  Dapat disimpulkan bahwa seruang keduanya kepada Fir’aun yang disampaikan dengan lemah lembut itu diharapkan menyentuh jiwa, menanamkan kesan yang mendalam dan tepat sasaran.


Selain dimaknai oleh banyak pakar tafsir sebagai perkataan yang “اللين” lemah lembut, “الشفقة” simpatik dan ‘’الرفق” santun, Ibnu Abi Hatim Mengutip perkataan Ali ra, bahwa maksud qaulan layyina adalah perkataan yang esensial.(22)  Dialog Musa as merupakan dialog yang langsung pada hakikat da’wahnya, sesuai dengan kondisi dan waktu, sehingga mitra dialog tidak menangkap hal lain selain tema da’wah yang hendak disampaikan. 


Dalam surat Thoha berikut, tertulis dialog tentang Rububiyatullah antara Musa dan Harun as dengan Fir’aun,


قَالَ فَمَنْ رَبُّكُمَا يَا مُوسَى (49) قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى (50) قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى (51) قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى (52) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ مَهْدًا وَسَلَكَ لَكُمْ فِيهَا سُبُلًا وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْ نَبَاتٍ شَتَّى (53) كُلُوا وَارْعَوْا أَنْعَامَكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِأُولِي النُّهَى (54) مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى (55)


“Berkata Fir'aun: "Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa? Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. Berkata Fir'aun: "Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?" Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa; Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal. Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”


Dasar pertanyaan fir’aun "Siapa Tuhan semesta alam itu?" adalah sebagaimana tertera dalam surat al-Qashas ayat 38 “ما عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلهٍ غَيْرِي” bahwa Fir’aun menyangsikan ada tuhan selain dirinya. Kemudian Musa as menjawab dengan mengemukakan hakikat-hakikat besar tentang Rububiyah Allah. Bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk terbaik, memberikan rizki, ketaatan dan memberikan petunjuk.


Selanjutnya Fir’aun membantah jawaban tersebut dengan mengemukakan pertanyaan berikutnya, “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?" Maksudnya adalah ummat-ummat terdahulu juga tidak menyembah Allah. Musa as menjawab dengan mengemukakan bahwa atas setiap perbuatan pasti ada balasannya dan Allah tidak akan salah membalasi segala amal perbuatan manusia. Kemudian Musa as mengemukakan bukti-bukti keberadaan Allah dengan mengungkapkan tanda-tanda penciptaan dan kekuasaan Allah.


4. Berda’wah dengan Mukjizat dari Allah.


Mu’jizat secara bahasa berarti menetapkan kelemahan penantang. Sehingga dapatlah dikatakan mu’jizat adalah menampakkan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Allah dengan menetapkan kelemahan para penentang risalah Allah. Mu’jizat adalah sesuatu hal yang luar biasa yang muncul karena tantangan. Mu’jizat nabi Musa as dalam hal ini bersifat inderawi, yaitu tongkat yang digunakannya untuk melawan para penyihir fir’aun, dan menyebabkan keislaman para penyihir Fir’aun. Peristiwa ini terabadikan dalam surat thaha ayat 69-73.


وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى (69) فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى (70) قَالَ آمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ عَذَابًا وَأَبْقَى (71) قَالُوا لَنْ نُؤْثِرَكَ عَلَى مَا جَاءَنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ إِنَّمَا تَقْضِي هَذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (72) إِنَّا آمَنَّا بِرَبِّنَا لِيَغْفِرَ لَنَا خَطَايَانَا وَمَا أَكْرَهْتَنَا عَلَيْهِ مِنَ السِّحْرِ وَاللَّهُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (73)


“Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang". (69) Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: "Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa". (70) Berkata Fir'aun: "Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya". (71) Mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah mencipt

akan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.(72)” Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (adzab-Nya)"(73).


Dalam rangkaian ayat tersebut di atas, dikisahkan para penyihir Fir’aun melawan Musa as dengan menggunakan sihir, sedangkan Musa as melawan sihir tersebut dengan mu’jizat. Menurut al-Sya’rāwī (w. 1418), sihir adalah perbuatan menipu daya penglihatan orang lain dengan mengangankan sesuatu yang tidak ada sehingga nampak ada. Hal ini berbeda dengan mu’jizat Nabi Musa as, yang benar-benar ada secara hakikat.(23)  Mengetahui bahwa perbuatan Musa as mu’jizat dan bukan sihir sebagaimana yang biasa mereka lakukan, maka 70 orang penyihir Fir’aun beriman kepada Allah dan kemudian menjadi syuhada pada sore hari.(24)  Fir’aun memotong kaki dan tangan para penyihirnya kemudian menyalibnya pada pohon kurma. Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan bahwa Fir’aun adalah orang pertama yang melakukan siksaan semacam ini.(25) 


KESIMPULAN


Allah ta’ala telah memilih Musa as menjadi utusan-Nya, untuk menyampaikan risalah-Nya kepada Bani Israil. Masa kecilnya yang penuh tantangan sejak kelahirannya, hingga ia dibesarkan dalam lingkungan istana memberikan hikmah akan keteladanan dan kemurnian tarbiyyah ilahiyyah. 


Kajian atas metode-metode da’wah Nabi Musa as, adalah sebagai salah satu keteladanan da’wah kepada penguasa yang mengangkat dirinya sebagai Tuhan. Hingga mengatur hidup dan mati rakyatnya.


Catatan Kaki

  1. Lihat al-Qur’an Surat al-Qashas ayat 7-13
  2. Julukan kalīmallāh ini dikarenakan Allah ta’ala berfirman kepada Musa as tanpa perantara. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al A’raf ayat 144. 
  3. Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1986), Jilid 1, hlm 237.
  4. Ibid.
  5. Ilhām berbeda dengan waḫyu, menurut al-Zuhaili, Allah menurunkan waḫyu hanya kepada Nabi-Nya, sedangkan Ilhām diturunkan Allah secara umum sebagaimana Allah memberikan ilhām kepada lebah untuk membangun sarangnya. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr, (Beirut: Dār al-Fikr al-Mu’ashir, cet. kedua, 1418 H),  Jilid 20, hlm 68.
  6. Ibnu al-Qayim al-Jauziyah, Tafsir ibnu al-Qayim, (Beirut: Dār al-Hilāl, cet. pertama 1410 H), Hlm 80.
  7. Ibnu ‘Ādil al-Hanbali, al-Lubāb Fi ‘Ulūm al-Kitāb, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama 1998), Jilid 1, hlm 198.
  8. Wahbah al-Zuhaili, op.cit,  Jilid 20, hlm 69.
  9. Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm, (Dār Thayibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1999)  Jilid 5, hlm 237.
  10. Wahbah al-Zuhaili, op.cit, Jilid 16, hlm 114.
  11. Muhammad Mutawalī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī , (Mesir: Mathābi’ akhbār al-Yaum, 1997), Jilid 15, hlm 9117.
  12. Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm, loc.cit.
  13. Muhammad Ali al-Shabuny, Al-Nubuwwah wa al-Anbiyā’,  (Mesir: Dār al- Fatah, 1390 H), hlm 173
  14. Muhammad Mutawalī al-Sya’rāwī, op.cit , Jilid 17, hlm 10906.
  15. Muḫammad Sayyid Thantawi, al-Tafsīr al-Wasīth li al-Qur’ān al-Karīm, (Mesir: Dār Nahdhah, Cet. Pertama, 1998), Jilid 10, hlm 397.
  16. Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, op.cit, Jilid 1, hlm 263.
  17. Abū Isḫāq al-Tsa’labi, al-Kasyfu wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān, (Beirut: Dār Ihyāu al-Turāts al-‘Arabiy, cet.pertama, 1422 H),  Jilid 6, hlm 239.
  18. Abū al-Ḫasan al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Jilid 3, hlm 396.
  19. Abū Isḫāq al-Tsa’labi, op.cit, Jilid 8, hlm 227.
  20. Muhammad al-‘Adawī, Da’watu ar-Rasul ila Allah, (Mesir: Mathba’ah al-Bābī al Halabī, 1985), hlm 78.
  21. Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm, op.cit, Jilid 5, hlm 295.
  22. Al-Rāzī Ibnu Abī Hatīm, Tafsir Ibnu Abī Hatīm, (Saudi Arabia: Maktabah Musthofā al-Bāz, cet. ketiga, 1419 H), Jilid 7, hlm 2423.
  23. Muhammad Mutawalī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī , (Mesir: Mathābi’ akhbār al-Yaum, 1997),  Jilid 9, hlm 5678
  24. Lihat Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, op.cit, Jilid 5, hlm 303.
  25. Ibid, Jilid 5, hlm 304.