Ibrahim as



Tadabbur surat an Nahl 120
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia tidak termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.(16:120)

Abdurrahman bin Hasan berpendapat bahwa imam adalah,
قُدْوَةً وَإِمَاماً مُعَلِّماً لِلْخَيْرِ. وَمَا ذَاكَ إِلاَّ لِتَكْمِيلِهِ مَقَامَ الصَبْرِ وَالْيَقِينِ اللذينَ تَنَالُ بِهِمَا الإِمَامَةُ فيِ الدِينِ
keteladanan dan imam pengajar kebaikan. Hal ini tidak lain karena kesempurnaannya dalam derajat kesabaran dan keyakinan yang dengan keduanya derajat imamah dalam agama diraih.

Ibnu Taimiyyah berkata tentang makna qunut adalah,
دَوَامُ الطَاعَةِ، وَالْمُصَلِي إِذاَ أَطاَلَ قِيَامَهُ أَوْ رُكُوعَهُ أَوْ سُجُودَهُ فَهُوَ قَانِتٌ. {أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ}
ketaatan yang terus menerus. Orang yang sholat disebut qaanitun jika dia memanjangkan berdirinya atau rukuknya atau sujudnya. Allah ta’ala berfirman, apakah kamu wahai orang-orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah panjang diwaktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada azab akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya. (az zumar 9)

Ibnul Qayyim berpendapat bahwa hanif adalah,
المُقْبِلُ عَلَى اللهِ، اَلْمُعْرِضُ عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ، بِصِحَةٍ إِخْلاَصٍ وَكَمَالٍ صِدْقٍ
Orang yang menghadap kepada Allah serta berpaling dari selain-Nya, dengan keikhlasan yang shahih dan kesempurnaan kejujuran.

Muhammad bin Abdul Wahab berkata mengenai maksud ayat ini bahwa penetapan Ibrahim sebagai ummat adalah,
لِئَلاَّ يَسْتَوْحِشُ سَالِكُ الطَرِيقَ مِنْ قِلَّةِ السَالِكِينَ، قَانِتاً لِلَّهِ لاَ لِلْمُلُوكِ وَلاَ لِلتِجَارِ المُتْرَفِينَ، لاَ يَمِيلُ يَمِينًا وَلَا شِمَالاً; كَفِعْلِ العُلَمَاءِ الْمَفْتًونِينَ، خِلَافًا لِمَنْ كَثُرَ سَوَادُهُمْ وَزَعْمُ أَنَّهُ مِنَ المُسْلِمِينَ.
agar orang yang meniti jalan ini tidak merasa rendah diri karena sedikitnya orang yang menitinya, mereka taat kepada Allah bukan kepada raja-raja, serta tidak goyah pendiriannya ke kiri dan kanan seperti perbuatan para ulama yang tidak berpendirian dan tidak mempersekutukan Allah sebagaimana perbuatan orang-orang yang hanya memperbanyak pengikut dan mengklaim bahwa dia termasuk orang-orang Islam.

Ibrahim as begitu visioner ketika meminta Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”. Dahulu dan sekarang ternyata itu biang keladi dari segala kejahatan. Ketika orang memberhalakan pangkat maka ia akan hidup sebaga orang rakus dan gila hormat, ketika orang memberhalakan nafsu maka ia akan hidup lebih keji dan binal daripada hewan, jika ia memberhalakan uang, ia jadikan segala jalan untuk mendapat keuntungan, bahkan dalam ibadah dan pelayanan ibadah sekalipun (Rahmat Abdullah)

Kehidupan Dunia



وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
 
Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (thaha 131)

يَقُولُ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ: لَا تَنْظُرْ إِلَى هَؤُلَاءِ الْمُتْرَفِينَ  وَأَشْبَاهِهِمْ وَنُظَرَائِهِمْ، وَمَا فِيهِ مِنَ النِّعَمِ فَإِنَّمَا هُوَ زَهْرَةٌ زَائِلَةٌ، وَنِعْمَةٌ حَائِلَةٌ، لِنَخْتَبِرَهُمْ بِذَلِكَ، وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ.

Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya Muhammad saw, Janganlah kamu melihat kenikmatan yang ada pada orang-orang yang berlebih-lebihan dan yang semisalnya, karena sesungguhnya semua itu merupakan bunga yang akan punah dan kenikmatan yang tidak dapat bertahan. Yang dengan semua itu mereka Kami uji, tetapi hanya sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur. (Ibnu Katsir)

Di dalam hadits shahih disebutkan bahwa ketika ‘Ummar ibn Khattab masuk dan menemui Rasulullah saw di tempat itu, dimana ia mengasingkan diri dari istrinya ketika beliau bersumpah untuk tidak menggauli istri mereka. Ia melihat Rasulullah saw berbaring di atas kerikil sebagai tikar, sedang di rumah itu tidak terdapat apapun kecuali secuil daun yang tergantung. Maka Umar menangis. Lalu beliau berkata kepadanya: Hai Umar kenapa kamu menangis? Umar menjawab: Ya Rasulullah sesunguhnya Kisra dan Kaisar menikmati apa yang mereka miliki sedangkan engkau adalah yang dipilih Allah diantara mahluknya, maka beliau berkata:

أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلت لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي حَيَاتِهِمُ الدُّنْيَا
“apakah kamu masih ragu, hai putra al khathtab? Mereka itu merupakan kaum yang kesenangan mereka didahulukan dalam kehidupan dunia.” (shahih ibnu hibban 2/480. shahih bukhari 2468,5191. At Tirmidzi 3315. An nasai 4/127-138, jami’al ushul 2/400-401)

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.

Imam at Tirmidzi dan ibnu Majah telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia bercerita Rasulullah saw bersabda:

يَا ابْنَ آدَمَ تَفَرَّغ لِعِبَادَتِي أمْلأ صَدْرَكَ غِنًى، وَأَسُدَّ فَقْرَكَ، وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ ملأتُ صَدْرَكَ شُغْلًا وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ
Allah ta’ala berfirman: “hai anak cucu Adam, luangkanlah waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku tutup kemiskinanmu. Dan jika kamu tidak melakukannya, maka akan Aku penuhi dadamu dengan kesibukan dan tidak pula Aku menutupi kemiskinanmu. (sunan Ibnu Majah 2/1376 hadits ke 4071. At tartiib al amali al khamisiyah li asy syajari 2/285 hadits ke 2463. Menurut Muhammad Nashiruddin Al albani hadits ini shahih)

Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, aku pernah mendengar Nabi saw bersabda:

مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمّ دُنْيَاهُ. وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ
Barang siapa yang menjadikan semua kesusahan menjadi satu kesusahan saja, yaitu kesusahan pada hari kembali kepada-Nya (kiamat), maka Allah akan mencukupkan baginya dari kesusahan dunianya. Dan barangsiapa yang menjadikan kesusahannya bercabang-cabang dalam berbagai kehidupan dunia, maka Allah tidak akan peduli kepadanya, di lembah mana dari bumi-Nya ini ia akan binasa. (sunan ibnu Majah 2/1385 hadits ke 4106. Menurut Muhammad Nashiruddin Al albani hadits ini hasan)

Di riwayatkan pula hadits dari Syu’bah dari Zaid bin Tsabit Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّه فرَّق اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ. وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نيَّته، جَمَعَ لَهُ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai pusat perhatiannya maka Allah akan menceraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan ada dihadapan matanya. Tidak ada sesuatupun dari dunia ini datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan menyatukan urusannya dan melimpahkan kekayaan-Nya di dalam hatinya, lalu dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina. (sunan ibnu majah 4105. Berkata al bushairi dalam az zawaid 3/271: hadits ini shahih para perawinya tsiqat)

Minuman Keras & Perjudian



1. Nash Ayat
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir, (al Baqarah 219)

2. Sebab Turunnya Ayat
Abul Hasan al Wahidi an Naisabury berpendapat sebagai berikut:
نزلت في عمر بن الخطاب و معاذ بن جبل و نفر من الأنصار أتوا رسول الله صلى الله عليه و سلم، فقالوا: افتنا في الخمر و الميسر فإنمهما مذهبة للعقل مسلبة للمال، فأنزل الله تعالى هذه الآية.
bahwa ayat ini diturunkan kepada Umar ibn Khattab dan Mu’adz bin Jabal dan sekelompok orang dari kalangan anshar. Mereka datang kepada Rasulullah saw dan bertanya: berikan fatwa kepada kami mengenai khamr dan maisir karena keduanya melenyapkan akal  dan merampas harta. Kemudian Allah menurunkan ayat ini. (asbab an nuzul 38)

Ibnu Katsir menuliskan sebuah riwayat dari Imam Ahmad sebagai berikut:
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ، عَنْ عُمَرَ أنَّه قَالَ: لَمَّا نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ قَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّن لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ التِي فِي الْبَقَرَةِ: {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ} فدُعي عُمَرُ فقرئتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ الْآيَةُ التِي فِي النِّسَاءِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى} [النِّسَاءِ: 43] ، فَكَانَ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَقَامَ الصَّلَاةَ نَادَى: أَلَّا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سكرانُ. فدُعي عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا. فَنَزَلَتِ الْآيَةُ التِي فِي الْمَائِدَةِ. فَدَعِي عُمَرُ، فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَلَمَّا بَلَغَ: {فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ} [الْمَائِدَةِ: 91] ؟ قَالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنَا، انْتَهَيْنَا .
Bahwa ketika ayat pengharaman khamr diturunkan Umar berkata, “ Ya Allah berilah kami penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.” Maka turunlah firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya" (al baqarah 219).
Kemudian Umar dipanggil & dibacakan kepada-nya ayat ini. Maka ia mengatakan, “Ya Allah berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan,” kemudian turun ayat pada surat an nisa, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian dekati sholat sedang kalian dalam keadaan mabuk” (an nisa 43).
Kemudian muadzin Rasulullah saw apabila mendirikan sholat senantiasa berseru, “orang yang mabuk tidak boleh mendekati sholat!” kemudian Umar dipanggil lagi dan dibacakan kepadanya ayat tersebut. Maka Umar berkata, “Ya Allah berilah kamu penjelasan tentang khamr ini yang lebih memuaskan lagi,” kemudian Turunlah ayat yang ada pada surat al maidah. Ketika bacaan ayat sampai pada firman-Nya: “maka berhentilah kalian” (al maidah 91) maka Umar berkata, “kami telah berhenti, kami telah berhenti.” (tafsir al Qur’an al adzhim 1/578)

3. Definisi Kalimat Penting
a. Khamr
Dalam lisan al arab disebutkan pengertian khamr secara bahasa ialah,
ما أسكر من عصير العنب، و سميت بذلك لأنّها تخامر العقل. و حقيقة الخمر إنّها هي ما كان من العنب دون ماكان من سائر الأشياء.
Segala sesuatu yang memabukkan dari perasan buah anggur, dan yang semisal dengannya dikarenakan merusak akal. Dan hakikat khamr adalah sesuatu yang terbuat dari anggur bukan sesuatu yang terbuat dari selainnya. (lisan al arab pembahasan khamr)
Al fairuz abadi berpendapat bahwa khamr adalah,

ما أسكر من عصير العنب، أو هو عام، و العموم أصح، لأنّها حرمت و ما بالمدينة خمر عنب، و ما كان شرابهم إلا البسر و التمر.
segala sesuatu yang memabukkan dari perasan buah anggur, atau perasan buah secara umum. Dan keumuman inilah yang benar. Karena sesungguhnya khamr itu diharamkan dan di Madinah tidak ada khamr dari buah anggur dan mereka tidak menjadikannya sebagai minuman keras melainkan dari kurma yang belum masak dan telah masak (kamus al muhith pembahasan khamr)

Az zubaid berpendapat khamr adalah,
ما أسكر من عصير كل شيء، لأن المدار على السكر و غيبوبة العقل، و هو الذي اختاره الجماهير. و سمي الخمر خمرا، لأنّها تخمر العقل و تستره، أو لأنّها تركت حتى أدركت و اختمرت.
Segala sesuatu yang memabukkan dari perasan buah apapun, karena intinya adalah yang memabukkan dan menghilangkan akal (kesadaran), dan ini adalah yang dipilih jumhur. Dan yang serupa dengan khamr adalah khamr, karena memabukkan akal dan menutupinya, atau dikarenakan khamr itu dapat melalaikan akal hingga menghinakannya dan melampaui batas   (taaj al ‘arus pembahasan khamr)
Berdasarkan beberapa definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan,
إطلاق اسم الخمر على سائر الأتبذة المسكرة من باب القياس اللغوي لما فيها من مخامرة العقل
penetapan nama khamr segala macam minuman yang memabukkan, ini adalah qiyas secara bahasa bagi sesuatu yang merusak akal. (raudhah an naadhir 88)

Para fuqaha berbeda pendapat mengenai pengertian khamr menurut istilah, hal ini terjadi karena perbedaan mereka tentang hakikatnya secara bahasa sehingga terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum.

Menurut ulama madinah dan sebagian ulama hijaz, penetapan khamr itu berdasarkan atas sifatnya yang memabukkan baik sedikit maupun banyak dan sama saja apakah ia terbuat dari anggur, kurma, gandum atau jewawut (rumput-rumputan) atau yang lainnya.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah saw:
كل مسكر خمر، و كل خمر حرام.
“segala yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr itu haram” [1]

Sebagaimana sebuat atsar yang diriwayatkan al Bukhari bahwa Umar ra berkata:
أيها الناس : إنه نزل تحريم الخمر، و هي من خمسة : من العنب، و التمر، و العسل، و الحنطة، و الشعير. و الخمر ما خامر العقل.
wahai sekalian manusia sesungguhnya telah diharamkan khamr dan dia terbuat dari lima, dari anggur, kurma, madu, gandum dan jewawut. Dan khamr adalah sesuatu yang merusak akal.[2]

Sesungguhnya ketika turun pengharaman khamr kepada sahabat, dan khamr termasuk yang dilarang dalam Islam, maka para sahabat segera menumpahkan khamr yang terbuat dari  asam dan kurma dan tidak mengkhususkan hanya yang terbuat dari anggur saja, karena penamaan semua yang memabukkan adalah pengertian syari’at dan itulah hakikat hukumnya. [3]

Sebagian besar kalangan syafi’iyyah dan abu yusuf dan muhammad dari hanafiyah dan sebagian malikiyyah  berpendapat bahwa khamr adalah,
 المسكر من عصير العنب إذا اشتد، سواء أقذف بالزبد أم لا. Minuman yang memabukkan dari sari buah anggur jika menjadi keras (berdampak kuat hingga memabukkan), sama saja apakah  berbuih maupun tidak.[4]

Menurut Abu Hanifah dan sebagian kalangan syafi’iyah sesungguhnya khamr adalah Sari buah anggur jika menjadi keras, dan abu hanifah mensyaratkannya dengan berbuih, dan selain berdampak keras[5]

b. Maisir
Dalam kamus misbah al munir disebutkan bahwa maisir adalah قمار العرب بالأزلام perjudian bangsa arab dengan panah. Dalam al muhith disebutkan هو اللعب بالقداح أو هو النرد، أو كل قمار ini adalah permainan dengan gelas dan dengan dadu, atau semua bentuk perjudian.

Ibn Hajar al Makki berpendapat bahwa maisir adalah , القمار بأي نوع كان  Perjudian atau yang semisal dengannya. Al muhalli berkata صورة القمار المحرم التردد بين أن يغنم و أن يغرم sejenis perjudian yang diharamkan yang membuat keraguan antara keuntungan dan kerugian (Ibnu hajar al haitami almakki: Az zawajir ‘an iqtarafa al kabair 2/200)

Imam Malik berkata maisir terdiri dari dua jenis, yaitu
ميسر اللهو و ميسر القمار فمن ميسر اللهو النرد و الشطرنج و الملاهي كلها، و ميسر القمار ما يتخاطر الناس عليه.
Maisir yang merupakan hiburan dan maisir perjudian. Maisir yang merupakan hiburan adalah permainan dadu, permainan catur maupun permainan musik hiburan. Sedangkan maisir yang merupakan perjudian adalah segala sesuatu yang manusia bertaruh atasnya. Definisi ini juga semisal dengan pendapat ibnu taimiyah.[6]

4. Hukum-Hukum Yang Terdapat Pada Ayat.

a. Minuman Keras
Pengharaman meminumnya baik sedikit maupun banyak & terbuat dari buah apapun
Telah sepakat pengharaman minuman keras berdasarkan kitabullah, sunnah Rasulullah saw dan ijma’  ummat. Allah berfirman dalam surat al maidah ayat 90-91
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (-) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Dari Aisyah ra, bahwa Nabi saw bersabda,
كل شراب أسكر فهم حرام.
Semua minuman yang memabukkan maka itu adalah haram.[7]
Rasulullah saw bersabda
كل مسكر خمر، و كل خمر حرام.
Semua yang memabukkan itu khamr dan semua khamr itu haram.[8]
Dari Sa’id bin Abi Waqash ra, Rasulullah saw telah bersabda:
أنهاكم عن قليل ما أسكر كثيره.
Aku larang bagi kalian semua yang memabukkan baik sedikit maupun banyak.[9]
Rasulullah saw bersabda
ما أسكر كثيره فقليله حرام
Semua yang memabukkan baik sedikit maupun banyak itu haram.[10]
Rasulullah saw bersabda
كل مسكر حرام، وما أسكر منه الفرق فملء الكف منه حرام.
Semua yang memabukkan haram, meskipun hanya memenuhi telapak tangan yang memabukkan itu haram. [11]

Dari Umum salamah ra berkata:
نهى رسول الله صلي الله عليه و سلم عن كل مسكر و مفتر.
Rasulullah saw melarang bagi kalian semua yang memabukkan dan mengada-adakan dusta.[12]
Dapat disimpulkan berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas maka minuman memabukkan itu pada hakikatnya adalah haram, sedikit maupun banyak, memabukkan maupun tidak tetap haram. Ini adalah pendapat jumhur.[13]

Hukum memanfaatkan khamr
Pada masa sebelum Islam masyarakat jahiliyah telah meminum khamr untuk maksud mengatasi dinginnya cuaca dan pengobatan, tetapi hal ini dilarang oleh Islam. (fiqh sunnah 3/138)
Jumhur ulama menyepakati bahwa diharamkan memanfaatkan khamr untuk pengobatan maupun dalam bentuk pemanfaatan yang lain. Rasulullah saw bersabda,
إن الله لمْ يجْعل شفاءكم فيما حرم عليكم.
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan bagi kalian dengan apa yang diharamkan bagi kalian.[14]
Diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya dan yang lainnya dari Thariq bin Suwaid ra, bahwa beliau pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang khamr. Nabi melarangnya lalu thariq berkata, “saya buat khamr ini hanya untuk obat” Rasulullah saw menjawab:
إنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ، وَلَكِنَّهُ دَاءٍ
Khamr itu bukanlah obat melainkan penyakit. (diriwayatkan oleh Muslim 3/1573).
Jumhur ulama melarang meminum khamr sebagai obat.[15] Ulama kalangan syafi’iyyah berpendapat pengobatan dengan khamr adalah haram. Jika ia murni dan tidak bercampur dengan sesuatu yang lain maka sudah pasti kerusakannya dan wajib meninggalkannya.
Adapun jika khamr itu telah bercampur dengan sesuatu yang lain dan mengubah hakikat khamr itu, maka diperbolehkan dalam pengobatan sebatas untuk membersihkan, diperbolehkannya hal tersebut dalam keadaan darurat syar’iyah.
Khamr itu juga diperbolehkan digunakan untuk mempercepat penyembuhan dengan syarat ditentukan oleh seorang dokter muslim yang adil dan memiliki pengetahuan dalam hal itu dan juga dengan kadar yang sedikit dan tidak memabukkan.
Imam Nawawi menetapkan pengharamannya. ia berkata pendapat yang benar adalah khamr itu diharamkan untuk pengobatan.[16]

b. Perjudian
Para fuqaha sepakat atas pengharaman maisir perjudian. Syafi’iyyah berpendapat jika disyarat-kan padanya pemberian dan pengambilan uang pada para pemain, maka ia adalah perjudian yang diharamkan. Merupakan dosa besar. Haram akadnya, pengambilan hartanya karena itu adalah pencurian uang diantara para pemain.[17]
Wallahu a’lam

[1] Hadits yang diriwayatkan muslim 3/1578 dan abu dawud 4/85.
[2] Atsar dari Umar ibn khattab ra, diriwayatkan oleh bukhari 35/10 dan muslim 3/2322.
[3] al mughni 9/159, kasyaf al qana’ 6/116, al mudawanah 6/261, ar raudhah 10/168, al khattabi ‘ala sunan abi dawud 4/262-263, hasyiyatu al banana ‘ala syarh az zarqani 4/112, fath al bari 10/48, ibnu daqiq al ied: ihkam al ahkam 4/383-384, tafsir ar razi 6/42, al qurthubi: ahkam al qur’an 3/52 & 6/286, asy syaukani: fath al qadir 2/74.
[4] ibnu ‘abidin 5/288, tuhfah al muhtaj 7/636, ar raudhah 10/168, nihayah al muhtaj 8/9, tafsir al alusi 2/112, ath thobari 2/357, al karmani: syarh al bukhari 20/140
[5] Ibnu abidin 5/288, fath al qadir 9/26, mughni al muhtaj 4/186.
[6] Al Jurjaaniy: At ta’rifat 179, al Qurthubi: al jami’ li ahkam al qur’an 3/53, tafsir ar raazi 6/46, ibn al arabi: syarh at tirmidzi 7/18, al jamal ala al manhaj 2/425, ibnu taimiyah: majmu fatawa 32/232.
[7] diriwayatkan oleh Bukhari 10/41 dan muslim 3/1585.
[8] diriwayatkan oleh muslim 3/1587 & Abu Dawud 4/85.
[9] diriwayatkan oleh ad daruquthny 4/251 & an nasa-i 8/301.
[10] diriwayatkan oleh ibnu majah 2/1125, ad daruquthniy 4/254. ibnu hajar menshohihkannya dalam alfath 10/43
[11] diriwayatkan oleh abu dawud, at tirmidzi dan ibnu hibban dari hadits 'Aisyah ra, at tirmidzi berkata hadits ini hasan, al mundziri mengkritiknya. ('aunul ma'bud 3/379, tuhfah al ahwadzi 5/607, mawarid ibnu hibban  336, nail al authar 9/65)
[12] diriwayatkan oleh abu dawud dari hadits umu salamah ra. al mundziri berkata padanya ada Sahr bin hawsyib dan ditsiqohkan imam ahmad bin hanbal dan yahya bin ma'in. abdul qadir al arnauth pentahqiq jami’ al ushul berkata, “pada sanadnya dhaif, tetapi alhafidz menghasankannya dalam al fath (‘Aunul Ma’bud 3/370-377, jami’ al ushul 5/93, tahdzib at tahdzib 2/432)
[13] mughni al muhtaj 4/187, al mughni 8/304, al mudawanah 6/261, kasyaf al qona 6/117, tafsir al kabir 6/44-45
[14] diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam mawarid adh dhomaan 39 dan Abu Ya’la dalam Majmu’ az Zawa-id 5/86. al haitsami berkata para perawinya shahih.
[15] haasyiyatu ad dashuqy ma’a asy syarh al kabir 4/352, mughni al muhtaj 4/188, kasyaf al qana’ 6/116-117, bada-i’ ash shona-i’ 6/2935
[16] al majmu’ 9/51, al qalyubi 4/203, niyayah al muhtaj 8/12, mughni al muhtaj 4/188
[17] al bida-i’ 5/127, takmilah fath al qadir 8/132, qawanin al fiqhiyah 105, al qalyubi 4/319, ibnu qudamah: al mughni 9/372, ibn hajar: az zawaajir 2/200

Makanan Yang DIharamkan



1. Teks Ayat
Allah telah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 173 sebagai berikut:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi-mu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2.Penjelasan Kalimat
إِنَّما حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
(Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah)

Imam al Qurthubi berkata,
إِنَّمَا" كَلِمَةٌ مَوْضُوعَةٌ لِلْحَصْرِ، تَتَضَمَّنُ النَّفْيَ وَالْإِثْبَاتَ، فَتُثْبِتُ مَا تَنَاوَلَهُ الْخِطَابُ وَتَنْفِي مَا عَدَاهُ، وَقَدْ حَصَرَتْ هَا هُنَا التَّحْرِيمَ، لَا سِيَّمَا وَقَدْ جَاءَتْ عُقَيْبَ التَّحْلِيلِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى:" يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّباتِ مَا رَزَقْناكُمْ" فَأَفَادَتِ الْإِبَاحَةَ عَلَى الْإِطْلَاقِ، ثُمَّ عَقَّبَهَا بِذِكْرِ الْمُحَرَّمِ بِكَلِمَةٍ" إِنَّمَا" الْحَاصِرَةُ
Innama adalah kalimat isim maf’ul untuk membatasi. Melingkupi penolakan dan penetapan. Maka ia menetapkan yang diambil dari pembicaraan dan menolak yang selainnya. Dan telah dibatasi makanan yang diharamkan. Terutama yang telah datang setelah pengesahan dari firman Allah ta’ala “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” (2:172). Maka ia memberikan kebolehan atas pengumuman kemudian datang sesudahnya dengan mengingat-kan yang diharamkan dengan kalimat innama yang membatasi. (al Jami’ li ahkamil Qur’an 2:216)

Maksud penegasan dan pembatasan makanan yang haram juga dikemukakan Ath thobari dalam tafsirnya,
لا تُحَرِّمُوا عَلَى أَنْفُسَكُمْ مَا لَمْ أُحَرِّمُهُ عَلَيْكُمْ أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ، بَل كُلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَمْ أُحَرِّمُ عَلَيْكُمْ غَيرَ الْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَلَحْمِ الخِنْزِيرِ، ومَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِي.
Janganlah kalian haramkan diri kalian atas segala sesuatu yang tidak Aku haramkan bagi kalian wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi makanlah, karena sesungguhnya Aku tidak mengharamkan bagi kalian selain bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. (jami’ul bayan an ta’wil li ayyil qur’an, 3:317)

Mengenai definisi bangkai dalam kamus al muhith disebutkan,
عَلَى مَا مَاتَ حَتْفَ أَنْفِهِ مِنَ الحَيَوَانِ مِنَ المَوتِ الذِي هُوَ مُفارَقَةُ الرُوحِ   وَ الجَسَدِ
Segala sesuatu yang mati secara wajar dari hewan dengan kematian yang memisahkan ruh dan jasad.

Rasulullah saw juga pernah bersabda mengenai definisi bangkai yaitu,   
مَا قَطَعَ مِنَ البَهِيمَةِ و هي حَيَّةٌ، فَهِيَ مَيْتَةٌ
Segala sesuatu yang terpotong dari hewan yang hidup maka ia adalah bangkai.[1]

Kemudian al Jashas mendefinisikan bangkai menurut istilah syari’at yaitu,
اسْمٌ حيوان الْمَيِّتِ غَيْرِ الْمُذَكَّى وَقَدْ يَكُونُ مَيْتَةً بِأَنْ يَمُوتَ حَتْفَ أَنْفِهِ مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ لِآدَمِيٍّ فِيهِ  وَقَدْ يَكُونُ مَيْتَةً لِسَبَبِ فِعْلِ آدَمِيٍّ إذَا لَمْ يَكُنْ فِعْلُهُ فِيهِ عَلَى وَجْهِ الذَّكَاةِ الْمُبِيحَةِ لَهُ
Sebutan bagi hewan yang telah mati tanpa penyembelihan dan telah menjadi bangkai dengan kematian secara wajar tanpa sebab perbuatan manusia padanya. Dan menjadi bangkai pula disebabkan perbuatan manusia jika
tidak menyembelihnya dengan menghadapkan penyembelihan tersebut bagi sesuatu yang diperbolehkan baginya.  (ahkam al Qur’an, 1:132)

Mengenai makna yang disembelih atas selain nama Allah, ath thobari menjelaskan sebagai berikut,
ما ذُبح للآلهةِ والأوثانِ  يُسمَّى عليه بغير اسمِه، أو قُصِدَ به غيرُه من الأصنامِ
Segala yang disembelih bagi patung dan berhala dan yang disebut dan ditujukan sembelihannya pada selain Allah. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 3:319)

Menurutnya para ulama berbeda pendapat mengenai kalimat ini, sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud adalah yang disembelih bagi selain Allah, sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas ra,
ما ذُبِح لغير اللّهِ من أهل الكفرِ، غيرَ اليهودِ والنصارى.
Maksudnya adalah segala sembelihan yang ditujukan bagi selain Allah dari orang-orang kafir, selain yahudi dan Nashrani. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 3:320)
Diriwayatkan pula dari ‘uqbah bin muslim mengenai makna binatang yang disembelih disebut nama selain Allah adalah sembelihan orang majusi, para penyembah berhala dan orang-orang musyrik.  (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 3:321)

Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hewan yang disembelih tidak disebutkan nama Allah padanya. Sebagaimana riwayat dari rabi’
عن الرَبيعِ قوله:"وما أهلّ به لغير الله"، يقول: ما ذَكَرَ عَلَيهِ غيرُ اسمُ اللّهِ.
Bahwa yang dimaksud adalah hewan yang disembelih atasnya nama selain Allah. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 3:321)
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
(Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkan-nya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.)

Mujahid berkata maksud kalimat tersebut adalah,
غَيْرَ قَاطِعِ السَّبِيلِ، وَلَا مَفَارِقٍ الْأَئِمَّةَ، وَلَا خَارِجٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak memisahkan jalan, tidak meninggalkan imam dan tidak keluar dalam rangka bermaksiat kepada Allah azza wajalla. (Tafsir Mujahid,1:28)

Al Baihaqi menuliskan pendapat asy Syafi’i mengenai ayat ini,
فَيَحِلُّ مَا حُرِّمَ: مِنْ   الْمَيْتَةِ وَالدَّمِ وَلَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَكُلُّ مَا حُرِّمَ-: مِمَّا لَا   يُغَيِّرُ الْعَقْلَ: مِنْ الْخَمْرِ.-: لِلْمُضْطَرِّ
bahwa dengan demikian apa yang telah diharamkan berupa bangkai, darah dan daging babi dan semua yang diharamkan dari apa yang tidak merusak akal seperti khamr, menjadi halal saat dalam keadaan darurat. (Ahkam al Qur’an li asy Syafi’i, 2:91)

Ibnu Katsir mengutip beberapa riwayat mengenai batasan-batasan kebolehan memakan makanan yang diharamkan, sebagai berikut,
قَالَ سَعِيدٌ -فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ وَمُقَاتِلُ بْنُ حَيَّانَ: غَيْرَ بَاغٍ: يَعْنِي غَيْرَ مُسْتَحِلِّهِ. وَقَالَ السُّدِّيُّ: غَيْرَ بَاغٍ يَبْتَغِي فِيهِ شَهْوَتَهُ، وَقَالَ عَطَاءٌ الْخُرَاسَانِيُّ فِي قَوْلِهِ: {غَيْرَ بَاغٍ} لَا يَشْوِي مِنَ الْمِيتَةِ لِيَشْتَهِيَهُ وَلَا يَطْبُخُهُ، وَلَا يَأْكُلُ إِلَّا العُلْقَة، وَيَحْمِلُ مَعَهُ مَا يُبَلِّغُهُ الْحَلَالَ، فَإِذَا بَلَغَهُ أَلْقَاهُ [وَهُوَ قَوْلُهُ: {وَلا عَادٍ} يَقُولُ: لَا يَعْدُو بِهِ الْحَلَالَ
Sa’id di dalam riwayat yang lain dan Muqatil mengatakan yang dimaksud dengan “ghair baghin” ialah tidak menghalalkannya. As sudi berkata bahwa “ghairu baghin” adalah tidak mengikuti selera ingin memakannya. Berkata “Atha al Khurasany bahwa “ghairu baghin” ialah seseorang tidak boleh memanggang sebagian dari bangkai itu untuk membuatnya berselera memakannya, tidak boleh memasaknya serta memakannya kecuali hanya sedikit. Ia boleh membawanya hingga ia dapat menemukan makanan yang halal. Jika ia telah menemukan makanan halal maka ia harus membuangnya, demikian yang dimaksud firman Allah “wala ‘aadin” yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya hingga ia menemukan yang halal. (Tafsir al Qur’anul ‘Adzhim, 1:482)

3. Hukum – Hukum Yang Terdapat Pada Ayat.

a. Pengharaman Bangkai
Para Fuqaha  sepakat atas pengharaman memakan bangkai dalam keadaan lapang dan kemampuan berusaha.[2] Semua pendapat tersebut berdasarkan dalil surat al Baqarah 173.

Ar Raazi mena’wilkan hikmah pengha-raman bangkai yang mati secara wajar (tidak disembelih)
وَاعْلَمْ أنَّ تَحرِيمَ الميتةِ مُوافَقٌ لِمَا فِي العقولِ، لأنَّ الدَّم جَوْهَرٌ لطِيفٌ جِداً، فإِذَا ماتَ الحيوانُ حَتْفُ أَنْفِهِ اِحْتَبَسَ الدَمُ في عُرُوقِ  وَ تَعَفَّنَ وَ فَسَدَ، و حصلَ مِن أكْلِهِ مُضارٌّ عظيمةٌ
ketahuilah bahwa diharamkannya bangkai adalah rasional, karena darah adalah zat yang sangat halus, jika bangkai hewan yang mati secara wajar darahnya tertahan pada sumbernya dan rusak membusuk, serta membawa kemudharatan yang berbahaya bagi pemakannya. (Tafsir ar Raazi, 11:132)

فَاحْتِقَانُ الدَمِ في الميتةِ سببٌ ظاهرٌ، وَ أمّا ذَبِيحةُ المجوسي و المرتدِّ و تارِكِ التسميةِ و من أهلَّ بِذَبِيحتِهِ لغير اللّهِ،  فَنَفْسُ ذَبَيحَةِ هؤلاءِ أَكْتَسَبَتِ المَذْبُوحِ خُبُثاً  أَوْجَبَ تَحْرِيمُهُ، وَ لاَ يُنْكِرُ أَنْ يَكوُنَ ذِكْرُ اسمُ الأوثانِ و الكواكبِ و الجِنِّ على الذَبِيحةِ يُكسبُها خُبُثاً، و ذِكرُ اسم اللّهِ  وَحْدَهُ يَكْسِبُها طيباً  إلاّ مَن قَلَّ نَصِيبُهُ مِن حَقَائِقَ العِلمِ وَ الإِيْمَانِ و ذُوقِ الشريعةِ
Penetapan pengharaman darah pada bangkai adalah sebab yang terlihat, adapun sembelihan majusi, orang murtad dan mereka yang meninggalkan bacaan bismillah serta sembelihan yang disembelih untuk selain Allah maka pada dasarnya sembelihan mereka itu ditetapkan sebagai sembelihan yang buruk yang ditetapkan pengharamannya.  Dan tidak dapat dipungkiri apabila penyembelihan disertai dengan menyebut berhala-berhala, bintang-bintang dan jin atas hewan sembelihan adalah merupakan perlakuan keji padanya. Dan menyebutkan nama Allah semata para hewan sembelihan merupakan kebaikan kecuali sedikit sekali orang yang memahamI dari hakikat-hakikat ilmu dan iman serta tabi’at hukum syari’at. (I’lamul Muwaqi’in, 2:154)

وَ أمَّا فِي حالَةِ الإِلْجَاءِ و الاِظطرَارِ، فَقَد ذهب الفقهاءُ إلى جوازِ أكْلِ الميتَةِ عِنْدَئِذٍ، فَمَنِ اظْطُرَّ إلى أكلِ الميتةِ إمّا بإكراهِ مُلْجىءٍ مِن ظالمٍ أو بِجوعٍ في مَخْمَصَةٍ أو بِفِقْرٍ لاَ يجِدُ مَعَهُ غيرَ الميْتةِ، حَلَّ لهُ ذلك َالدَاعِي الضَرُورَةِ.
Mengenai keadaan terpaksa, maka para fuqaha membolehkan memakan bangkai seperlunya. Maka barangsiapa terpaksa memakan bangkai apakah dengan paksaan dari orang dholim atau karena lapar yang sangat atau karena kefakiran dan tidak menemukan pada sisinya selain bangkai. Dihalalkan baginya yang demikian itu karena sebab keadaan darurat.(Maushu’at Fiqh, 39:383)[3]

Az Zayla’i berpendapat,
فَظَهَرَ أنَّ التَحرِيمَ مَخصوصٌ بِحالةِ الإِخْتِيارِ، و فِي حالةٍ الاِظْطرارِ مباحٌ ،  لأَنَّ الضروراتِ تُبِيحُ المَحْظورَاتِ
jelasnya pengharaman disebabkan keadaan  bebas untuk berusaha, sehingga dalam keadaan terpaksa dibolehkan. Sebagaimana kaidah “sesungguhnya keadaan terpaksa membolehkan larangan” (tabayina al haqaiq 5/185)

Batasan Kondisi Darurat Yang Membolehkan Memakan Bangkai

Para ulama  berbeda pendapat mengenai batasan kondisi darurat yang membolehkan memakan bangkai sebagai berikut,
Pertama, ditakutkan terjadi pada dirinya kematian baik secara pasti maupun perkiraan. Ini adalah pendapat yang masyhur dari kalangan malikiyah.[4]
Kedua, ditakutkan terjadi para dirinya kematian atau sakit yang mengkhawatirkan dan bertambah parah, dikhawatirkan terpisah atau tertinggal dari rombongan (dalam perjalanan) karena keadaanya yang lemah dalam berjalan maupun berkendara. Maka yang demikian itu adalah kondisi yang takut karena terpaksa. Ini adalah pendapat kalangan syafi’iyyah dan hanabilah.[5]
Ketiga, dikhawatirkan kerusakan atau kerugian pada jiwanya atau sebagian badannya rusak karena tidak makan, dan ketika mereka sampai pada kondisi demikian mereka tidak menemui kecuali bangkai, atau mereka mendapati selain bangkai, sehingga mereka terpaksa memakannya karena terancam kerusakan pada jiwanya atau sebagian badannya. Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyah.[6]

Hukum Memakan Bangkai Dalam Keadaan Terpaksa
Pertama, wajib, jika dalam keadaan terpaksa, wajib baginya untuk memakannya, maka jika menahan dari makan dan sabar hingga mati adalah tercela. Ini adalah pendapat jumhur fuqaha dari kalangan hanafiyah, malikiyah, syafi’iyyah dan juga hanabilah.[7] Berdasarkan dalil firman Allah “...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (2:195)
Kedua, Mubah, ini adalah pendapat Abu Yusuf dari kalangan hanafiyah dan suhnun dari kalangan malikiyah, Abu Ishaq asy Syairazi dari kalangan syafi’iyyah. Mereka berpendapat, jika mendapati keadaan terpaksa hingga mengakibat-kan kematian maka tidak ada dosa memakan bangkai[8] karena kebolehan memakannya adalah rukhsah (keringanan), sedang tidak wajib baginya mengambil semua keringanan. Dan baginya kemaslahatan dengan meninggalkan sesuatu yang kotor dan mengambil keutamaan. (al Mughni 13/332)

Kadar dibolehkannya memakan bangkai ketika terpaksa.
Para ulama berbeda pendapat tentang kadar kebolehan memakan bangkai sebagai berikut:
Pertama, Jumhur ulama dari kalangan hanafiyah, hanabilah dan syafi’iyah dalam penjelasan ibn majasyun dan ibn Hubaib dari kalangan malikiyah dan selainnya, tidak dibolehkan memakan bangkai dalam keadaan terpaksa kecuali dalam kadar sekedar menjaga hidupnya.[9]
Kedua, dalam pendapat kalangan malikiyah yang dikuatkan kalangan syafi’iyyah dan Ahmad dalam riwayatnya bahwa boleh dalam keadaan terpaksa memakan bangkai hingga kenyang, karena keadaan darurat itu menghilangkan pengharam-an.[10] Sebagaimana sebuah riwayat dari Jabir bin Samurah ra,
أنَّ رَجُلًا نَزَلَ الحرّةَ، فنفقتْ عِنْدَهُ ناَقةٌ، فَقَالَتْ اِمْرَأتُهُ: اِسْلَخْهَا حَتَّى نُقَدِّدَ شَحْمَهَا وَ لَحْمَهَا وَ نَأْكُلُهُ، فقال: حتَّى أَسْأَلَ رسولَ اللّهِ صلى الله عليه و سلم، فسألَهُ فقال: هَل عِنْدَكَ غَنِيٌّ يَغْنِيكَ؟ قال: لا، قَالَ: فَكُلُوهَا
Sesungguhnya seorang datang ke daerah yang panas, pada saat itu ia mendapati unta betinanya telah mati, kemudian berkata istrinya kepadanya: “kulitilah unta itu sehingga kita dapat memotong lemak dan dagingnya kemudian memakannya”. Kemudian ia berkata: hingga aku bertanya kepada Rasulullah saw. Rasulullah bertanya: “apakah engkau memiliki sesuatu yang mencukupkan kebutuhanmu?” ia berkata: “tidak”. Rasulullah bersabda: “maka makanlah”[11]

b.  Pengharaman Darah

Yang dimaksud darah adalah,
هُوَ ذَلِكَ السائلُ الأحْمَرِ الذِي يُجْزِي في عُرُوقِ الحيواناتِ، و عليه تقومُ الحياةُ
cairan merah yang mengalir pada urat hewan, dan padanya ada kehidupan. (lisanul arab bab- دمى )
Para ulama fiqh bersepakat bahwa darah adalah haram, najis tidak dibolehkan makan dan mengambil manfaat atasnya, sebagaimana telah mutlak pelarangannya pada ayat ini dan surat al an’am 145 “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Al Qurthubi berkata, darah yang diharamkan adalah yang mengalir (tidak bercam-pur dengan urat dan daging). Kemudian beliau menyampaikan perkataan dari ‘Aisyah ra,
كُنَّا نَطْبُخُ الْبُرْمَةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْلُوهَا الصُّفْرَةُ مِنَ الدَّمِ فَنَأْكُلُ وَلَا نُنْكِرُهُ
Kami pernah memasak daging dalam kuali, di masa Nabi saw, kuali itu mendidih kekuning-kuningan dari warna darah, kemudian kami memakannya dan kami tidak mengingkarinya. (al jami’ li ahkam al qur’an 2/222)     
    
c. Pengharaman Daging Babi

Para ulama fiqh sepakat pengharaman daging babi berdasarkan dalil ayat ini dan al an’am 145, kecuali dalam keadaan darurat. Para ulama kalangan hanabilah menda-hulukan memakan anjing dari babi dalam keadaan darurat. (mausu’at fiqh 22/30)

Para ulama sepakat pengharaman memakan babi, daging, lemak, bagian luar dan dalamnya, dan tidak ada khilaf padanya. Dan ulama Malikiyah -jika dalam keadaan darurat- mewajibkan mendahulukan bangkai selain babi daripada babi, karena babi haram zatnya, bangkainya.[12]

Mengenai pemanfaatan bulu babi, al Qurthubi berpendapat,
لَا خِلَافَ أَنَّ جُمْلَةَ الْخِنْزِيرِ مُحَرَّمَةٌ إِلَّا الشَّعْرَ فَإِنَّهُ يَجُوزُ الْخِرَازَةُ بِهِ. وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ رجلا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخِرَازَةِ بِشَعْرِ الْخِنْزِيرِ، فَقَالَ: (لَا بَأْسَ بِذَلِكَ) ذَكَرَهُ ابْنُ خُوَيْزِ مَنْدَادُ، قَالَ: وَلِأَنَّ الْخِرَازَةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ، وَبَعْدَهُ مَوْجُودَةٌ ظَاهِرَةٌ، لَا نَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْكَرَهَا وَلَا أَحَدَ مِنَ الْأَئِمَّةِ بَعْدَهُ
Al Qurthubi berkata, tidak ada khilaf mengenai pengharaman babi secara utuh kecuali bulunya yang diperbolehkan dimanfaatkan bagi tukang jahit kulit. Sebagaimana telah diriwayatkan dari seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang  penjahit dengan menggunakan bulu babi, Rasulullah bersabda (tidak apa-apa dengan yang demikian). Ibnu Huwaiz bin Mandad berkata, cara yang demikian telah berlangsung sejak jaman nabi dan sesudahnya, dan kami tidak mengetahui nabi melarangnya demikian juga ulama sesudahnya. (al jami’ li ahkam al Qur’an 2/223)

c. Hewan yang disembelih tidak atas nama Allah.

Al Jashas berpendapat bahwa diharamkan menyamakan nama selain Allah pada sembelihan.
يُوجِبُ تَحْرِيمَهَا إذَا سُمِّيَ عَلَيْهَا بِاسْمٍ غَيْرِ اللَّهِ لِأَنَّ الْإِهْلَالَ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ هُوَ إظهار غير اسم الله ولم يفرق في الْآيَةُ بَيْنَ تَسْمِيَةِ الْمَسِيحِ وَبَيْنَ تَسْمِيَةِ غَيْرِهِ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ الْإِهْلَالُ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ  وَقَوْلُهُ فِي آيَةٍ أُخْرَى  وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Wajibnya pengharaman jika disamakan atasnya nama selain Allah karena sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya adalah  meninggikan nama selain Allah dan tidak ada perbedaan dalam ayat antara penyebutan nama al masih dan penyebutan sesudahnya adalah sembelihan yang disebutkan atasn nama selain Allah sebagaimana dalam ayat lain dan (diharamkan bagimu) sembelihan yang dilakukan atas nama berhala. (al Jashas : ahkam al quran 1/155)

Berbeda dengan al Jashas, al Baihaqi pendukung syafi’i menuliskan,
وَأَحَلَّ اللَّهُ (عَزَّ وَجَلَّ) : طَعَامَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَقَدْ  وَصَفَ ذَبَائِحَهُمْ، وَلَمْ يَسْتَثْنِ مِنْهَا شَيْئًا.
فَلَا يَجُوزُ أَنْ تَحْرُمَ   ذَبِيحَةُ كِتَابِيٍّ وَفِي الذَّبِيحَةِ حَرَامٌ- عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ-: مِمَّا   كَانَ حَرُمَ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ، قَبْلَ مُحَمَّدٍ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
وَلَا يَجُوزُ:- أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ حَلَالًا-: مِنْ جِهَةِ الذَّكَاةِ  لِأَحَدٍ، حَرَامًا عَلَى غَيْرِهِ. لِأَنَّ اللَّهَ (عَزَّ وَجَلَّ) أَبَاحَ مَا ذُكِرَ: عَامَّةً لَا: خاصّة.
Allah telah menghalalkan makanan Ahli kitab dan sungguh dia telah menerangkan sifat sembelihan mereka dan tidak mengecualikan sesuatupun darinya.

Oleh karena itu sembelihan ahli kitab tidak boleh diharamkan selain itu dalam sembelihan diharamkan atas setiap muslim apa yang diharamkan atas ahli kitab sebelum nabi Muhammad saw.
Sesuatu yang halal – dari sisi penyembelihan – bagi seseorang tidak boleh menjadi haram atas yang lain, sebab Allah telah membolehkan apa yang telah disebutkan secara umum dan tidak secara khusus. (al baihaqi: ahkam al Qur’an 2/98-99)

Mengenai bagaimana memakan sembelihan yang membuat kita ragu untuk memakannya dalam kitab subulus salam as shan’ani menuliskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ad daruquthni,
(وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: الْمُسْلِمُ يَكْفِيهِ اسْمُهُ فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يُسَمِّيَ حِينَ يَذْبَحُ فَلْيُسَمِّ ثُمَّ لِيَأْكُلْ . أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَفِيهِ رَاوٍ فِي حِفْظِهِ ضَعْفٌ)
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda, “seorang muslim itu cukup dengan namanya. Bila ia lupa menyebut nama Allah ketika menyembelih hendaknya ia menyebut nama Allah sebelum makan, kemudian memakannya”[13]

 وَأَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ إلَى ابْنِ عَبَّاسٍ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ وَلَهُ شَاهِدٌ عِنْدَ أَبِي دَاوُد فِي مَرَاسِيلِهِ بِلَفْظِ: ذَبِيحَةُ الْمُسْلِمِ حَلَالٌ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا أَمْ لَمْ يَذْكُرْ وَرِجَالُهُ مُوَثَّقُونَ
Abdurrazzaq juga meriwayatkannya dengan sanad shahih mauquf kepada Ibnu Abbas. Pada hadits ini ada syahid riwayat abu Dawud dalam kitab Marasil dengan lafaz “sembelihan orang muslim adalah halal, ia menyebut nama Allah maupun tidak.” Para perawinya terpercaya.

As shon’ani mengatakan sekalipun demikian hadits ini tidak bisa membantah hadits-hadits yang mewajibkan melafazkan basmalah dengan mutlak. Meskipun demikian hadits ini berdasarkan persangkaan tidak pula mewajibkan basmalah dengan mutlak. Dengan demikian ditafsirkan bagi sembelihan yang tidak dilafazhkan basmalah untuk tidak memakannya dalam bab kehati-hatian. (subulus salam 2/528)

Wallahu a’lam

[1] Sunan Abu Dawud, 3/277, Sunan at Tirmidzi 4/74, dari hadits abi waqid al laitsi, berkata at tirmidzi, hadits ini hasan gharib.
[2] Lihat al kaafi Ibnu abd bar 1/439, Ahkam al Qur’an, Ibnu Arabi 1/25, Bidayatul Mujtahid 1/440 & 465, Syarh Muntaha al Iradat 3/392, al Mughni Ibnu Qudamah 13/330
[3] Lihat Al Jashas : Ahkam al Qur’an 1/156-159, Ibnu al Arabi: Ahkam al Qur’an 1/55, Ibnu Qudamah: al Mughni 13/330.
[4] Lihat al Kharasyi 3/28, Ibn Abd Bar: al Kaafi 1/439, al Qawaanin al fiqhiyah 178, Ibn Arabi: Ahkam al Qur’an 1/55, Bidayah al Mujtahid 1/476, al Qaraafi : adz Dzakhiirah 4/109.
[5] Lihat Mughni al Muhtaj 4/306, an Nawawi: al Majmu’ 9/42, Tuhfah al Muhtaj 9/390, Syarh al Muntaha 3/400 & Kifayah al Akhyar 2/144.
[6] Lihat al Jashash: Ahkam al Qur’an 1/159 & Tabyiin al Haqaiq 5/185.
[7] Lihat Rad al Muhtaar 5/215, Tabyiin al Haqaiq 5/185, al Jashas: Ahkam al Qur’an 1/157, Ibn Arabi: Ahkam al Qur’an 1/56, Ibn Jazi: at Tashil 69, an Nawawi: al Majmu’ 9/42, Mughni al Muhtaj 4/306, Kasyaf al Qona’ 9/42, Syarh al Muntaha 3/400, al Mughni 13/331, Ibnul Qayyim: ‘Iddat as Shobirin 35, Adz Dzakhirah 4/110 & al Inshaf 10/37
[8] Lihat Tabyin al Haqaiq 5/185, adz Dzahirah 4/110, al Majmu Syarh al Muhadzab 9/40, al Mughni 13/332.
[9] Lihat al Jashas : ahkam al qur’an 1/157 & 160, tafsir ar raazi 5/24, al Qadhi abd wahab: al ishraf 2/257, ibn arabi: ahkam al qur’an 1/55-56, bidayatul mujtahid 1/476, al majmu’ 9/43, mughni al muhtaj 4/307, ibnu qudamah: al mughni 13/330, kasyaf al qana’ 6/194, syarh al muntaha 3/400, al mubdi’ 9/206 & kifayah al akhyar 2/143.
[10] Lihat Ibn Arabi: ahkam al qur’an 1/55, al qarafi: adz dzakhirah 4/109, ad dardiri: syarh ash shogiir 2/184, Ibn Jazi: at tashil 69, al qashafi: lubab al libab 75, qawanin al fiqhiyah 178, Ibn Jalaab: at tafrii’ 1/407, ibn abd baar: al kaafi 1/439, al kharasy 3/28, bidayah al mujtahid 1/466, al majmu’ syarh al muhadzabn 9/40 & 42, kifayah al akhyar 2/144, al mubdi’ 9/40 & 42, al mughni 13/331 & tafsir ar raazi 5/24.
[11] Diriwayatkan abu dawud 4/166-167, Ahmad 5/104, al Mundziri tidak mengkritiknya 5/326, asy Syaukani: nail al authar 9/30 “tidak ada cacat pada sanadnya”
[12] Lihat hasiyah ibn ‘abidin 5/196, al Majmu’ 9/2&39.
[13] Hadits ini lemah, dalam sanadnya ada seorang perawi yang lemah hafalannya, bernama Muhammad bin Yazid bin Sinan. Ia seorang yang jujur tetapi lemah hafalannya.

Larangan Menyembunyikan Ilmu & Hukum Mengambil Upah Dalam Pengajaran Agama



1. Nash Ayat
Allah telah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 159-160 sebagai berikut:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ (*) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (*)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyi-kan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.
kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. 

 2.  Sebab Turunnya Ayat

Imam as Suyuthi meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa,
سَأَلَ معَاذ بن جبل أَخُو بني سَلمَة وَسعد بن معَاذ أَخُو بني الْأَشْهَل وخارجة بن زيد أَخُو الْحَرْث بن الْخَزْرَج نَفرا من أَحْبَار الْيَهُود عَن بعض مَا فِي التَّوْرَاة فكتموهم إِيَّاه وأبوا أَن يخبروهم
Mu’adz bin Jabal ra, dan sebagian sahabat bertanya kepada segolongan Pendeta Yahudi tentang sebagian isi taurat, kemudian mereka menyembunyikannya dan menolak untuk memberitahukannya, kemudian turunlah ayat ini. (ad Duur al Manshur fi Tafsir bil Ma’tsur: 1:390)
Abul Hasan an Naisabury meriwayatkan ayat ini diturunkan pada ulama ahli kitab dan mereka yang menyembunyikan ayat-ayat tentang kebenaran Muhammad saw (Asbaabun Nuzul : 25)

Imam Ath Thobari meriwayatkan dari Qotadah,
أولئكَ أهلُ الكتاب، كتموا الإسلام وهو دين الله، وكتموا محمدًا صلى الله عليه وسلم، وهم يَجدونه مكتوبًا عندهم في التوراة والإنجيل.
bahwa ayat ini diturunkan kepada ahlul kitab yang menyembunyikan Islam yang merupakan agama Allah,  & menyembunyikan kebenaran Muhammad saw yang mereka temukan secara tertulis dalam taurat dan injil. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an , 3:251)
Ath Thobari meriwayatkan pula dari as Sudy,
زعموا أن رجلا من اليهود كان له صديقٌ من الأنصار يُقال له ثَعلبة بن غَنَمة، قال له: هل تجدون محمدًا عندكم؟ قال: لا! قال: مُحمد:"البينات"
Seorang pemuda yahudi yang menjadi sahabat seorang anshor, berkata kepadanya tsa’labah bin ghanamah. Apakah engkau mendapati Muhammad saw disisimu (dalam kitabmu) ia berkata: tidak. Tsa’labah bin Ghanamah berkata: Muhammad itu keterangan yang jelas. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an , 3:251)

Dari beberapa riwayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa ayat ini diturunkan terkait dengan perilaku ahli kitab yang ketika ditanyakan kepada mereka mengenai kebenaran Kenabian Muhammad saw dan risalahnya, maka mereka menyembunyikan kebenaran tersebut, padahal perkara tersebut adalah perkara yang jelas terdapat pada kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Hal ini sebagaimana firman Allah pada surat al Baqarah 146,
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.

3.  Pemahaman Kalimat
Beberapa kalimat yang penting untuk difahami:
(إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا) Mujahid bin Jabr berpendapat bahwa maksud kalimat tersebut ditujukan bagi
هُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ كَتَمُوا نَعْتَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصِفَتَهُ
Para ahli kitab yang menyembunyikan watak dan sifat Nabi Muhammad saw. (Tafsir Mujahid, 1:218) Demikian pula menurut Ath Thobari maksud kalimat ini adalah

علماءَ اليهود وأحبارَها، وعلماءَ النصارى، لكتمانهم الناسَ أمرَ محمد صلى الله عليه وسلم، وتركهم اتباعه وهم يجدونه مكتوبًا عندهم في التوراة والإنجيل
Ulama-ulama dan pendeta-pendeta Yahudi dan Nashrani, karena mereka menyembunyikan perkara Muhammad saw kepada manusia dan mereka menolak untuk mengikutinya, padahal mereka temukan hal itu secara tertulis pada taurat dan injil mereka. (Jami’ul Bayan an Ta’wil li Ayyil Qur’an, 3:249)

(مِنَ الْبَيِّنَاتِ) Menurut ath Thobari kalimat ini bermakna
ما بيّن من أمر نبوة محمد صلى الله عليه وسلم ومبعثه وصفته، في الكتابين اللذين أخبر الله تعالى ذكره أنّ أهلهما يجدون صفته فيهما
segala yang menjelaskan tentang perkara kenabian Muhammad saw, tempat diutus serta karakter-nya, dalam kedua kitab yang telah Allah kabarkan sebelumnya. Yang di dalamnya telah Allah sebutkan bahwa pemilik kedua kitab tersebut akan mendapati sifat Nabi Muhammad saw dalam kedua kitab tersebut. (Jaami’ul Bayan ‘An Ta’wili Ayil Qur’an, 3:249)

(وَالْهُدَى) Menurut ath Thobari kalimat ini bermakna
ما أوضح لَهم من أمره في الكتب التي أنزلها على أنبيائهم
yang menjelaskan kepada mereka mengenai perkara Muhammad dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi sebelumnya.  (Jaami’ul Bayan ‘An Ta’wili Ayil Qur’an, 3:249)

 (أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ) mereka itu dilaknati oleh Allah. Dengan isyarat jauh (ulaaika) Hal ini menunjukkan betapa buruk dan jauhnya kedurhakaan serta kerusakan yang mereka  lakukan (Bahrul Muhith fi Tafsiir, 2:70). Laknat juga berarti
الطرد في غضب وزجر، وأولئك الخلق يلعنهم الله فيطردهم من رحمته
pengusiran dalam suasana kemurkaan dan kecaman keras. Mereka dilaknati Allah dan diusir dari Rahmat-Nya. (Fi Dzilalil Qur’an, 1:150)

(التَّوَّابُ الرَّحِيمُ) Menurut menurut Abu Hayyan maksud kalimat ini adalah
فَمَنْ رَجَعَ إِلَيْهِ عَطَفَ عَلَيْهِ وَرَحِمَه
Bahwa barang siapa yang kembali kepada Allah maka Allah akan memaafkannya dan mengasihinya. (bahrul Muhith fi Tafsir bil Ma’tsur, 2: 71)

4. Hukum-Hukum Yang Terdapat Pada Ayat.

a.  Hukum Menyembunyikan Ilmu
Sebagaimana pembahasan sebelumnya bahwa ayat ini diturunkan terkait dengan perihal  ahli kitab dari pendeta Yahudi dan Nashrani yang menyembunyikan ilmu yang terdapat dalam taurat dan injil berkenaan dengan ayat-ayat kutukan dan kebenaran kenabian Muhammad saw dan risalah yang dibawanya.

Meskipun demikian ancaman dalam ayat ini tidak hanya diperuntukkan bagi pendeta-pendeta Yahudi dan Nashrani saja, melainkan berlaku secara umum.

Hal ini ditegaskan oleh ash shobuni sebagaimana dikatakan oleh ulama ushul bahwa, (لِأَنَ العِبْرَةَ بِعُمُومِ اللَفْظِ لاَ بِخُصُوصِ السَبَبِ) hikmah yang terpakai adalah keumuman lafadz dan bukan karena kekhususan sebabnya. Sedang ayat ini bersifat umum menggunakan sighat isim maushul, oleh karenanya berarti umum. (Rowai’ul Bayan:150)

Al Qurthubi mengemukakan pula penda-pat yang serupa bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah setiap orang yang menyembunyikan kebenaran.
الْمُرَادُ كُلُّ مَنْ كَتَمَ الْحَقَّ، فَهِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا مِنْ دِينِ اللَّهِ يُحْتَاجُ إِلَى بَثِّهِ
Ayat ini bersifat umum. Mencakup semua orang yang menyembunyikan ilmu agama yang harus disyiarkan. (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2:148)

Abu Hayyan berpendapat,
عُمُومُ الْآيَةِ فِي الْكَاتِمِينَ، وَفِي النَّاسِ، وَفِي الْكِتَابِ وَإِنْ نَزَلَتْ عَلَى سَبَبٍ خَاصٍّ، فَهِيَ تَتَنَاوَلُ كُلَّ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا مِنْ دِينِ اللَّهِ يُحْتَاجُ إِلَى بَثِّهِ وَنَشْرِه
bahwa keumuman ayat ini tentang mereka yang menyembunyikan ilmu, kepada manusia dan kepada al kitab, meskipun ayat ini turun dengan sebab khusus. Maka ia mengena kepada setiap orang yang menyembunykan ilmu agama Allah yang diperlukan untuk disebarkan. (Bahrul Muhith fi Tafsiir, 2:69 )
Dan memang demikianlah seharusnya keadaan al Qur’an bahwa ia menjadi petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Sa’id Hawwa menuliskan dengan lugas tentang maksud al Qur’an,

إِنَّهُ مَا مِنْ آيةٍ فِي القُرآنِ إِلَّا وَ هِيَ مُوَجَّهَةُ الْمُؤمِنِينَ بِشَكْلٍ مِنَ الْأَشْكَالِ لِأَنَّهُم هُمُ المُسْتَفِيدُونَ وَحْدَهُمْ مِنْ كِتَابِ اللهِ. وَ عَلَى هَذَا فَمَا مَرَّ وَمَا يَمُرُّ لَابُدَّ أَنْ تَعْرِيفَ فِيهِ هَذِهِ الْقَاعِدَةِ كَيْ نأْخُذُ خَطَّنَا مِنْ كُلِّ آيَةٍ
Saya berpendapat, setiap ayat dalam al Qur'an diarahkan kepada orang-orang beriman, dengan satu cara maupun cara lain. Karena hanya orang berimanlah yang mengambil manfaat dari kitabullah. berdasarkan hal itu kita perlu camkan kaidah ini agar kita dapat mengambil bagian kita dari setiap ayat al Qur'an. (Al asaas fi Tafsir)

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari, Abu Hurairah ra, berkaitan dengan keumuman ancaman tersebut,
مَنْ سُئِل عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ، أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Siapa yang ditanya tentang suatu ilmu, lalu dia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat ia akan dikekang dengan kekangan yang terbuat dari api neraka. (al Musnad 2/263).

Meskipun ayat ini merupakan dalil atas wajibnya mengungkapkan ilmu syari’at tetapi ada pengecualiannya. Al Alusy berpendapat
واستدل بهذه الآية على وجوب إظهار علم الشريعة وحرمة كتمانه لكن اشترطوا لذلك أن لا يخشى العالم على نفسه
Meskipun ayat ini menjadi dalil wajibnya menjelaskan ilmu syari’at dan haram menyembunyikanya, akan tetapi disyaratkan tidak adanya kekhawatiran ‘ulama tersebut akan keselamatan dirinya (Ruuh al Ma’ani, 1:426)

Pengecualian terhadap kewajiban menyampaikan ilmu juga dikemukakan oleh al Qurthubi,
أَنَّهُ لَا يَجُوزُ تَعْلِيمُ الْكَافِرِ الْقُرْآنَ وَالْعِلْمَ حَتَّى يُسْلِمَ، وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ تَعْلِيمُ الْمُبْتَدِعِ الْجِدَالَ وَالْحِجَاجَ لِيُجَادِلَ بِهِ أَهْلَ الْحَقِّ، وَلَا يُعَلَّمُ الْخَصْمُ عَلَى خَصْمِهِ حُجَّةً يَقْطَعُ بِهَا مَالَهُ، وَلَا السُّلْطَانُ تَأْوِيلًا يَتَطَرَّقُ بِهِ إِلَى مَكَارِهَ الرَّعِيَّةِ، وَلَا يَنْشُرُ الرُّخَصَ فِي السُّفَهَاءِ فَيَجْعَلُوا ذَلِكَ طَرِيقًا إِلَى ارْتِكَابِ الْمَحْظُورَاتِ، وَتَرْكِ الْوَاجِبَاتِ وَنَحْوُ ذَلِك
bahwa tidak dibenarkan mengajarkan al Qur’an dan ilmu lainnya kepada orang kafir hingga ia masuk Islam. Tidak dibenarkan mengajarkan cara berdebat dan berhujjah kepada orang yang suka mengada-ada karena khawatir dia akan menggunakannya untuk mendebat para pendukung kebenaran. Tidak dibenarkan mengajarkan saling bermusuhan sehingga terputus hubungan diantara mereka. Tidak boleh mengajarkan takwil kepada penguasa, jika dikhawatirkan ia akan menggunakannya untuk menipu rakyat. Tidak boleh mengajarkan ruhksah kepada orang yang bodoh, karena mereka akan meninggalkan kewajiban. (al Jami’ li ahkamil Qur’an, 2:185)

Kemudian al Qurthubi mengemukakan sebuah hadits dari Abu Hurairah yang menyembunyikan ilmu karena kekhawatiran,
حَفِظْتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ، فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُومُ
Saya menyimpan dari Rasulullah saw dua wadah. Salah satu dari keduanya saya siarkan. Sementara yang lain kalau saya siarkan, maka kerongkongan ini akan terpotong. (HR Bukhari)

b. Hukum Mengambil Upah Mengajar al Qur’an dan Ilmu-Ilmu Agama
Abu Bakar al Jashas berpendapat ayat ini menunjukkan dalil wajibnya menyampaikan ilmu dan larangan menyembunyikannya. Dengan demikian haram mengambil upah bagi pengajar-nya, karena tidak ada hak memperoleh upah bagi yang menunaikan kewajibannya. (Ahkamul Qur’an, 1:125) Sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqarah 174,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyi-kan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.
Ayat ini secara dzahir menunjukkan larangan mengambil upah secara keseluruhan.

Sependapat dengan al Jashas, diantaranya As Sais, berlandaskan dalil ayat yang sama. Beliau berpendapat,
وقد ذكروا أن الآية تدل على عدم جواز أخذ الأجر على التعليم
Bahwa ayat tersebut menunjukkan dalil tidak dibolehkannya mengambil upah atas pengajaran (ilmu syari’at) (Tafsir Ayat al Ahkam,1:49)

Demikian pula pendapat Muhammad bi Ali alKiya hirasyi asy Syafi’i. beliau berpendapat,
ودلت الآية أيضا على لزوم إظهار العلم وترك كتمانه ومنع أخذ الأجرة عليه إذ لا تستحق الأجرة على ما عليه فعله كما لا يستحق الأجرة على الإسلام.

Ayat ini juga menjadi dalil lazimnya menjelaskan ilmu dan larangan menyembunyi-kannya serta menahan mengambil upah atasnya, tidak diperkenankan mengambil upah atas perbuatan itu sebagaimana tidak diperkenankan upah atas islam (ibadah). (ahkaam al Qur’an, 1:25)

Imam Al Qurthubi ulama malikiyah, juga sependapat sama, yaitu
وَبِهَا اسْتَدَلَّ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُجُوبِ تَبْلِيغِ الْعِلْمِ الْحَقِّ، دُونَ أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَيْهِ، إِذْ لَا يَسْتَحِقُّ الْأُجْرَةَ عَلَى مَا عَلَيْهِ فِعْلُهُ، كَمَا لَا يَسْتَحِقُّ الْأُجْرَةَ عَلَى الْإِسْلَام
bahwa ayat ini menjadi dalil ulama mewajibkan menyampaikan ilmu yang benar, tanpa mengambil upah atasnya sebagai-mana kewajiban-kewajiban dalam Islam tanpa mengambil upah pula (al Jami’ li ahkamil Qur’an, 2:185)

Diantara yang membolehkan mengambil upah atas pengajaran ilmu syari’at adalah ash Shobuni. Agar para pemelihara al Qur’an dan ilmu-ilmu agama tidak hilang dikarenakan orien-tasi manusia yang terpaku pada dunia semata. Jika tidak dibolehkan mengambil berbagai upah mengajar maka tidak akan ada lagi orang yang mengajarkan ilmu dan belajar. (Rowai’ul Bayan, 1:151-152)

Dalam sebuah riwayat, sekelompok sahabat singgah di suatu suku Arab yang saat itu pemimpin mereka tersengat binatang berbisa. Mereka telah berusaha mengobatinya dengan berbagai cara tapi tidak berhasil, lalu mereka meminta kepada para sahabat itu untuk meruqyah, kemudian salah seorang sahabat meruqyahnya dengan surat Al-Fatihah, dan Allah menyembuhkan dan menyehatkannya. Sebelum nya, para sahabat itu telah mensyaratkan pada mereka untuk dibayar dengan daging domba. Maka setelah itu mereka pun memenuhinya. Namun para sahabat tidak langsung membagi-kannya di antara mereka sebelum bertanya kepada Nabi saw, maka Nabi saw bersabda.“Kalian benar. Bagikanlah dan berikan pula bagian untukku” [1]

Dalam hadits lain disebutkan, bahwa beliau bersabda.“Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil upetinya adalah Kitabullah” [2]     Kebolehan mengambil upah dalam mengajarkan ilmu agama juga dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili. Beliau berpendapat,

أفتى المتأخرون بجواز أخذ الأجور على تعليم العلوم الدينية، لتهاون الناس بها، وانصرافهم إلى الاشتغال بمتاع الحياة الدنيا، حتى لا تضيع العلوم، ولانقطاع مخصصات العلماء من بيت مال المسلمين، واضطرار العلماء إلى التزود بما يعينهم على شؤون الحياة.
Ulama mutaakhirin berfatwa tentang dibolehkan-nya mengambil upah dari mengajar ilmu-ilmu agama, disebabkan manusia meremehkan ilmu agama dengan orientasi mereka terhadap gemerlapnya kehidupan dunia. Sehingga ilmu-ilmu tersebut hilang seiring terputusnya kekhususan perhatian negara (untuk menjaga para ulama) dan memaksa para ulama untuk membekali dirinya dengan urusan-urusan kehidupan. (Tafsir al munir fil Aqidati, wa Syari’ati wal Manhaj, 2:55)

5. Hikmah Pensyari’atan Ayat
Hikmah yang dapat diambil dari pensyari’atan ayat ini diantaranya adalah,
Pertama, bahwa Islam adalah agama yang memberikan sumbangsih yang besar bagi perkembangan peradaban ummat manusia.
Kedua, bahwa meskipun diperkenankan mengambil upah dari mengajarkan al Qur’an dan ilmu-ilmu agama, namun alangkah baiknya seorang da’i membagi waktunya antara mencari nafkah dan mengajarkan ilmunya. Hal ini akan menjadikannya lebih terhormat karena tidak bergantung kepada objek da’wahnya serta lebih terjaga keikhlasannya dari tipuan menjadikan upah tersebut sebagai tujuan da’wahnya.
Ketiga, kelalaian dari menyampaikan ilmu adalah suatu perkara yang harus ditaubati dengan memperbaiki amal serta ikhlas dalam mengerjakannya agar pelakunya mendapatkan ampunan dari Allah swt. Wallahu a’lam

[1] HR Al-Bukhari, kitab Al-ijarah (2276). Muslim, kitab As-Salam (2201)
[2] HR Al-Bukhari, kitab Ath-Thibb (5737)