Tulang Rusuk Yang Bengkok


Sigit Suhandoyo. 

Hawa. Para penafsir muslim menuturkan penciptaan wanita pertama ini dari tulang rusuk Adam as. Sebut saja ath-Thobari (w.310H), Mahaguru tafsir dari lereng Alborz ini mengutip pendapat Qatadah.(1)  Tulang rusuk sebelah kiri, kata Ibnu Mundzir (w.319H) setelah mengutip riwayat Abdullah bin ‘Amr.(2)  Tulang rusuk paling bawah, sahut Ibnu Abi Hatim (w.327H) dalam kutipannya dari adh Dhahak.(3) 


Karena Allah mengambil tulang rusuk yang bengkok ini untuk menciptakan Hawa. Maka para pria harus memperlakukan wanita dengan lembut dan sabar. Jika ditekuk akan patah, jika dibiarkan akan semakin bengkok. Pakar Hadits al-Bukhari (w.256H) meriwayatkan sebuah narasi dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Muhammad saw, memerintahkan untuk menasihati para wanita dengan bijaksana. (hadits no 5186).(4)  Adakah karunia yang lebih utama dari wanita (istri) yang shalihah?(5)  Siapakah pula yang sedia menerima tulang rusuk yang telah patah? 


Gagasan ini tak semerta-merta meremehkan posisi wanita dalam pandangan pria. Sang Perindu dari Isfahan (w.502H), memberikan penekanan adanya keterkaitan erat unsur maskulin pada wanita. Menurutnya penciptaan dapat pula dimaknai sebagai proses menemukan sesuatu yang baru dari sesuatu yang ada.(6)   Bukankah Hawa tercipta dari tulang rusuk seorang pria? Sehingga bagi seorang pria, hakikat menasihati wanita secara bijaksana, dapat diartikan sebagai perwujudan menasihati diri sendiri, memperbaiki diri sendiri.


Mahaguru tafsir dari lereng Alborz kembali menegaskan, Allah telah menyatakan bahwa Dialah satu-satunya Dzat yang menciptakan seluruh manusia dari sosok yang satu, dari  jiwa yang satu. Sebagian dari mereka berasal dari sebagian yang lain, dan hak sebagian dari mereka merupakan kewajiban bagi sebagian lain.(7) 


Disebabkan tulang rusuk bengkok itu merupakan bagian dari keseluruhan seorang pria, beberapa penafsir mengemukakan pandangan yang cukup berani tentang hasrat dan kerinduan yang terus menerus dari bagian itu kepada keseluruhannya dengan tak terbagi. Tulang rusuk bengkok itu menempuhi jalan berliku untuk menepati janji kesetiaannya atas kesucian. Ibnu Mundzir, penafsir abad ke 2 hijriah ini, mengutip Mahaguru Tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas ra. Bahwa terciptanya wanita dari bahagian pria menjadikan gairah dan kesetiaannya hanya pada pria (suaminya),(8)  maka balaslah cinta wanita (istri) kalian. Hal ini berbeda dengan pria yang tercipta dari tanah, yang Allah jadikan kecenderungannya untuk menyenangi berbagai keindahan dunia. Kalau boleh mengutip pepatah jalanan, “gagal dalam cinta bagi seorang pria adalah pengalaman, sedang bagi wanita gagal dalam cinta adalah kehancuran.”


Tulang rusuk yang bengkok itu adalah karunia Sang Penggenggam Jiwa. Tercipta dengan tujuan memberikan arti bagi keberadaan kaum pria, akan hasrat seorang pria (suami) untuk dihargai seutuhnya dengan tak terbagi dari wanita (istri). Melalui tulang rusuk bengkok itu, sebagaimana disadari secara mendalam oleh penulis tafsir al-Qayyim, Allah telah mengungkapkan tanda-tanda keagungan diri-Nya dalam cara yang paling indah pada diri wanita.(9) Bukan hanya karena kecantikan atau kesempurnaan fisiknya. Hanya dalam dongeng imajinatiflah, wanita memainkan perannya dalam peradaban melalui kecantikannya yang digambarkan dalam warna-warna penuh cahaya. Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. Abû Ja’far al-Thobarî, Jâmi’ al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’ân, (Beirut: Muassasatu al-Risâlah, 1420H), Juz 7, hlm 515
  2. Abu Bakar Muhammad Ibn al-Mundzir, Tafsir Ibn al-Mundzir, (Madinah: Dar al-Matsir, 2002), Juz 2, hlm 547
  3. Ibn Abi Hatim al-Razi, Tafsir Ibn Abi Hatim, (Saudi Arabia: Maktabah Nizar Musthafa al-Baz, Cetakan ke 3, 1419 H), Juz 3, hlm 852.
  4. Teks haditsnya adalah “وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا” nasihatilah wanita kalian dengan baik, karena sesungguhnya mereka telah diciptakan dari tulang rusuk.
  5. Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri yang shalihah “الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ” hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Amru. Lihat Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, tth), Juz 2, hlm 1090, hadits no 1467.
  6. Raghib al-Ashfahani, Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, (Beirut: Dal al-Qalam, cetakan pertama 1412 H), Juz 1, hlm 296.
  7. Abû Ja’far al-Thobarî, op.cit, Juz 7, hlm 512
  8. Teksnya adalah “خُلِقَتِ الْمَرْأَةُ مِنَ الرَّجُلِ، فَجَعَلَ نَهْمَتَهَا فِي الرِّجَالِ” lihat Ibn Abi Hatim al-Razi, loc.cit. 
  9. Menurut Ibnu Qayyim cinta itu Allah sematkan dalam jiwa, keserasian akhlak menjadikan cinta itu lebih memiliki makna. Lihat Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tafsir al-Qayyim, (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, cet pertama 1410 H), Juz 1, hlm 259.

Peristiwa Hari Kebangkitan



Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 34-41

Sigit Suhandoyo. Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan betapa Maha Kuasanya Allah atas segala ciptaan-Nya,  dan bahwa kesemuanya itu menunjukkan pentingnya manusia menyadari bahwa begitu mudah dirinya dibangkitkan kembali, dan dimintai pertanggung-jawaban atas segala yang pernah dilakukannya. Maka dalam kelompok ayat 34-41 ini menjelaskan persitiwa yang terjadi pada hari kebangkitan.

فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى (34) يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى (35) وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِمَنْ يَرَى (36) فَأَمَّا مَنْ طَغَى (37) وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (38) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (39) وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)


Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).


Malapetaka Besar. Hari kiamat adalah malapetaka  besar, yang mengerikan dan menakutkan yang merampas seluruh perhatian manusia. Hari kiamat merupakan malapetaka besar, yang mengungguli  segala macam malapetaka, ia adalah malapetaka yang tidak terbendung, petaka di atas petaka. Hari ketika manusia dibangkitkan kembali dari kematiannya, untuk kemudian digiring ke surga atau neraka.(1) Dan pada hari itu pula manusia teringat segala hal yang pernah dikerjakannya di dunia, kebaikan maupun keburukan.


Kata (الطَّامَّةُ) berasal dari kata (طمّ) yang berarti segala yang mengisi sesuatu hingga tertutupi. Jika dikatakan (طم الْفرس طميما) adalah seekor kuda yang dengan mudah melampaui lawannya berlari.(2)  Menurut al-Azhari (w 370 H), kata (طمّ) juga berarti (الشَّيْء الّذي يَكثُر حَتَّى يَعْلُو) yaitu sesuatu yang lebih banyak hingga lebih tinggi melampaui. Seperti air bah yang melampaui dan mengalahkan segala sesuatu.(3)


Neraka diperlihatkan. Pada hari kebangkitan, neraka akan diperlihatkan dengan sangat jelas. Ibnu Abbas ra berkata, (يُكْشَفُ عَنْهَا فَيَرَاهَا تَتَلَظَّى كُلُّ ذِي بَصَرٍ) yaitu, neraka dibuka hingga semua orang yang memiliki penglihatan dapat melihamya berkobar-kobar.(4) Pakar Tafsir asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa, setiap orang pasti melewati neraka. Melihat berbagai siksa didalamnya dan kemudian Allah selamatkan orang-orang yang bertakwa.(5) Sebagaimana teks surat Maryam ayat 71,


وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (71) ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا (72)

Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang dzalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.


Lebih lanjut asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa dalam hal ini, Orang yang bertakwa mendapat nikmat dua kali: (1). nikmat ketika melihat azab yang dia diselamatkan darinya; dan (2) nikmat melihat surga yang ia akan dimasukkan ke dalamnya.


Karakteristik Penghuni Neraka. Ayat 37 dan 38 surat ini menerangkan bahwa penghuni neraka adalah orang-orang yang melampaui batas dan orang yang lebih mengutamakan kehidupan dunia.


Menurut asy-Sya’rawi, kata (طَغَى) artinya berbuat semena-mena hingga melampaui batas kewajaran. Perbuatan melampaui batas bersumber dari kerusakan akal, hingga zalim, atau bersikap sombong. Lebih lanjut menurut asy-Sya’rawi, Orang yang dapat berbuat zhalim disebabkan 2 hal. Pertama, karena merasa dirinya kuat dan orang lain yang dizhalimi lemah. Kedua, orang tersebut tidak merasa bahwa suatu saat ada kemungkinan dirinya juga akan menjadi lemah.(6) 


Dari keterangan ayat selanjutnya diketahui bahwa orang berlaku sombong juga dikarenakan tidak memiliki rasa takut terhadap Allah ta’ala. 


Neraka juga dihuni oleh orang-orang yang lebih mementingkan kehidupan dunianya, tidak diingatnya lagi bahwa hidup di dunia ini hanyalah buat sementara, lalu hatinya terpaut kepada dunia yang akan ditinggalkan itu, sehingga tersesatlah dia daripada jalan yang benar. (7)


Karakteristik Penghuni Surga. Ayat 40 surat ini menerangkan bahwa penghuni surga adalah orang-orang yang takut kepada kebesaran tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsu.


Pakar tafsir hukum al-Qurthubi, mengemukakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah, terkait dengan Mush’ab bin Umair. Ia menjadikan tubuhnya sebagai tameng bagi Rasulullah SAW pada perang Uhud. Ketika orang-orang sedang kocar-kacir, hingga beberapa anak panah menembus tubuhnya. 


Selanjutnya al-Qurthubi juga mengutip pendapat Ibnu Abbas ra bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang takut kepada Tuhannya adalah “مَنْ خَافَ عِنْدَ الْمَعْصِيَةِ مَقَامَهُ بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ، فَانْتَهَى عَنْهَا” yaitu orang yang takut keberadaannya dihadapan Allah, ketika akan melakukan kemaksiatan, maka dia pun berhenti melakukannya.(8) 


Penggalan ayat ini ditutup dengan  janji Allah akan surga bagi orang-orang yang takut kepada Allah dan menahan hawa nafsunya. Merupakan dorongan bagi manusia untuk berbakti kepada Allah dengan ikhlas, mengutamakan kehidupan akhirat, serta menginsafi diri sebagai mahluk yang tidak berhak memiliki kesombongan. Hasbunallah wa ni’mal wakil.


Catatan Kaki

  1. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 19, hlm 206
  2. Ibnu Darid, Zamharatu al-Lughah, (Beirut: Dar al’Ilm, cet pertama 1987), Juz 1, hlm 151
  3. Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, 2001), juz 13, hlm 209.
  4. al-Qurthubi, op.cit, Juz 19, hlm 207.
  5. Mutawalli asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2016), Juz 15, hlm 98
  6. Ibid, hlm 100.
  7. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1989) Juz 10, hlm 7883
  8. al-Qurthubi, Op.cit, Juz 19, hlm 208.


Taubat Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali



Pendahuluan

Kehadiran Al-Ghazali di abad kelima Hijriah diterima oleh sebagian Muslim, memberikan kontribusi besar untuk mengembalikan tasawuf kepada pendekatan yang sesuai dengan syariah. Kemurnian pemikiran dan idenya meletakkan dasar-dasar epistemologi dan jalan spiritual mendorong komunitas Muslim untuk mendekati syariah dan menjauh dari mistisisme filosofis.


Namanya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamid Al-Ghazali yang diberi gelar Hujjatul Islam, ahli fiqih mazhab Syafi'i, pemikir kalam As’ariyah dan sufi.(1)  


Ia lahir di kota Iran pada tahun 450 H. Kota ini penuh dengan konflik dimensi agama, karena banyaknya pemeluk Kristen dan pendukung Syiah. Al-Ghazali lahir dari keluarga pemintal wol. Orang tuanya sering mendoakan Ghazali kecil - dengan air mata berlinang - untuk menjadi seorang yang faqih. Di bawah bimbingan seorang guru sufi yang menerima wasiat dari ayahnya, Al-Ghazali mengenyam pendidikan dan masuk ke sekolah tinggi Madrasah Nizamiyyah.(2)  Madrasah yang terletak di Naisabur ini juga tercatat menjadi tempat Shalahuddin al-Ayyubi menimba ilmu.


Pernah ada peristiwa bersejarah yang menjadi momentum bagi Al-Ghazali memujahadah dirinya dalam belajar. Seperti yang ditulis al-Subki, dalam perjalanan dari Gorgia ke Thus, Al-Ghazali dicegat oleh perampok dan semua miliknya termasuk catatannya dicuri. Sejak itu, Al-Ghazali mendisiplinkan diri menghafal semua ilmu yang dia catat.(3) 


Diantara guru yang berpengaruh kepadanya adalah Imamul Haramain Dhiyauddin al-Juwaini, Guru Besar Pimpinan Madrasah Nizamiyah pada masa itu. Di madrasah ini pula Ia menemukan banyak guru yang mumpuni di bidangnya; fiqih, ushul fiqih, manthiq, ilmu kalam, dan lain-lain. Di Naisabur, Al-Ghazali mencapai masa paling produktif dalam menulis buku dan berbagai kehidupan ilmiahnya.


Sepeninggal Imam Al-Juwayni pada 478 H, Al-Ghazali pergi ke markas militer untuk bertemu dengan menteri Nizam al-Muluk. Saat itu, usia Al-Ghazali belum genap 18 tahun. Istana Menteri Nizam al-Muluk saat itu menjadi tempat berkumpulnya para ulama untuk berdiskusi dan berdebat di bidang fiqih dan Kalam. Dalam berbagai diskusi ilmiah Al-Ghazali menunjukkan kecerdasan dan membuatnya terkenal. Al-Ghazali kemudian ditugaskan untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah cabang Baghdad. Madrasah ini adalah sekolah elit yang menjadi acuan para ilmuan masa itu untuk dapat mengajar disana.


Kegemilangan al-Ghazali mencapai puncaknya, para pencari ilmu dari berbagai belahan dunia datang kepadanya. Namun setelah masa-masa itu pula hidupnya diliputi kegelisahan, sehingga kemudian ia mundur dari jabatannya dan menjalani hidup sederhana dan banyak melakukan uzlah. Al-Ghazali meninggalkan Baghdad menuju Mekah, Madinah dan kemudian menetap di Syam beberapa tahun dengan beri’tikaf di menara Masjid. Pada tahun 429 H ia kembali ke Baghdad dan akhirnya pulang ke tanah kelahirannya Thus. Ia banyak melakukan muhasabah dan kembali mengajar hingga wafatnya pada tahun 505 H.


Al-Ghazali banyak meninggalkan karya ilmiah yang berharga, diantara karyanya adalah; dalam bidang tasawuf, Ihya Ulumiddin, Asnaful Maghrurin, al-Munqid minad dholal,  Bidayatul Hidayah, kimiya as-sa’adah,  Misykatul Anwar, dll. Karyanya Dalam bidang aqidah adalah; al-Iqtishad fil I’tiqad, al-Maqsudul Asna, Fadhaihul Bathiniyah, Qawa’idul ‘Aqa’id, dll. Karyanya dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh; al-Mustasyfa, al-Mankhul min Ta’liqatil Ushul, dan al-Wasith fil Mazhab. Dan masih banyak lagi karyanya yang meliputi berbagai bidang termasuk dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an hingga siyasah syar’iyah.


Makna Taubat 

Taubat menurut bahasa adalah (الرّجوع) yaitu kembali. Dalam kamus ash-shohah disebutkan bahwa taubat adalah (الرّجوع من الذّنب) kembali dari sesuatu yang tercela.(4)  Hal ini dimaksudkan seseorang yang menyesali perbuatannya yang tercela dan kembali kepada perbuatan yang terpuji.


Menurut mayoritas ulama, taubat adalah anak tangga pertama yang harus dilalui oleh para salik.(5)  Imam Al-Ghazali berkata, "Taubat dari dosa dengan meletakkan penghalang yang menutupi dosa serta kembali kepada Zat yang Mengetahui alam gaib adalah prinsip pertama jalan seorang salik. Taubat adalah modal utama orang yang beruntung; Iangkah pertama seorang murid; dan kunci keistiqamahan seorang yang hatinya cenderung kepada Allah”.(6) 


Imam Al-Ghazali mengatakan "Ketahuilah, taubat adalah sebuah ungkapan tentang makna yang disusun secara berurutan di atas tiga pilar: ilmu, hal, dan perbuatan. Ilmu mewujudkan keberadaan hal, dan hal meniscayakan keberadaan perbuatan.”(7) 


Menurut al-Ghazali taubat bisa dilakukan jika syaratnya telah dipenuhi, yaitu pengetahuan tentang taubat. Jika pengetahuan tersebut telah dimiliki, maka dibutuhkan hal. Jika hal telah ada, maka diperlukan tindakan nyata sebagai wujud pelaksanaan taubat. 


Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh orang yang hendak bertaubat adalah memiliki pengetahuan. Menurut al-Ghazali pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang bahaya yang ditimbulkan dosa secara umum. Dan secara khusus bahaya atas perbuatan tercela yang dilakukannya. Dosa adalah penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya dan segala sesuatu yang dicintainya. Kesadaran akan bahaya dosa bagi dunia dan akhiratnya akan menimbulkan penyesalan (الندم). Penyesalan sejati ditandai dengan hati yang merasa sedih karena merasa jauh dan ditinggalkan Allah. 


Selanjutnya adalah niat. Jika penyesalan itu telah begitu mendalam dalam hatinya, maka penyesalan itu akan membangkitkan sebuah hal (keadaan) yang disebut dengan iradah  dan niat (القصد) untuk melakukan sesuatu yang mempunyai keterikatan dengan masa kini, masa lalu, dan masa mendatang. ]ika seorang hamba telah mencapai maqam penyesalan ini, ia harus meninggalkan dosa dan tidak akan kembali melakukannya lagi. Hamba itu harus bertekad menjauhi dosanya di masa mendatang hingga akhir hayatnya. Jika ia menilai dosa-dosanya pada masa lalu bisa ditebus, maka ia harus menebusnya. Misalnya, jika ia berdosa karena meninggalkan shalat, maka ia harus mengganti sejumlah shalat yang ditinggalkannya. ]ika ia telah merampas hak orang lain, maka ia harus mengembalikan hak itu. 


Imam Al-Ghazali mengatakan, "Penyesalan pasti didahului oleh pengetahuan tentang akibat dari apa yang telah diperbuat. Lalu penyesalan ini diikuti oleh tekad-kuat untuk meninggalkan perbuatan yang membawa akibat buruk. Adapun batasan taubat adalah “melepaskan busana kesombongan dan merentangkan permadani kesetiaan”.(8)  


Dapat disimpulkan bahwa makna taubat menurut al-Ghazali adalah kembalinya seorang pendosa kepada Allah ta’ala. Setelah ia menjauh dari Allah akibat perbuatan tercela yang dikerjakannya, kemudian ia kembali mendekatkan dirinya kepada Allah dengan menyesali dan mengganti perbuatan tercelanya dengan  perbuatan terpuji. Pemaknaan al-Ghazali tentang taubat ini melingkupi proses pertaubatan seorang hamba.


Ungkapan al-Ghazali tentang batasan taubat adalah melepaskan busana kesombongan dan merentangkan permadani kesetiaan mendefinisikan kondisi jiwa orang-orang yang bertaubat yang senantiasa merendahkan nafs dihadapan Allah dan berupaya keras untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya. Inilah wujud kesetiaan kepada Allah.


Hukum Taubat 

Menurut Imam Al-Ghazali, taubat hukumnya wajib dan harus segera dilaksanakan. Taubat wajib bagi semua orang tanpa membedakan tingkatan keadaan-nya. Al-Ghazali mengatakan "Ketahuilah, bahwa hukum wajibnya taubat didasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah”(9)  


Al-Ghazali melihat bahwa taubat wajib dilaksanakan secepat mungkin. Dan hukum wajib ini berlaku bagi semua orang tanpa pengecualian. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Qur'an. Allah berfirman, 

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur: 31) 


Perintah taubat dalam ayat ini ditujukan kepada semua orang beriman tanpa terkecuali. Dalam surat lain, Allah mengatakan, 

غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ

"Yang Mengampuni dosa dan Menerima tobat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nya lah kembali (semua makhluk)." (Al-Mukmin: 3)


Dapat disimpulkan bahwa hukum taubat adalah wajib bagi setiap Muslim tanpa terkecuali, bagaimanapun keadaan mereka dalam keimanan, serta besar maupun kecil dosa yang diperbuat. 


Berdasarkan dalil ayat yang dikemukakan secara berurutan, menunjukkan taubat tidak hanya berupa anjuran agar mendapatkan keberuntungan dalam hidup. Taubat juga merupakan kewajiban, karena Allah mensifati diri-Nya sebagai Maha Mengampuni dosa dan Menerima Taubat.


Persyaratan Taubat 

Al-Ghazali telah menetapkan syarat-syarat taubat sebagaimana terdapat dalam pembahasan makna. Ia mengatakan, taubat adalah rasa penyesalan yang diikuti dengan tekad dan maksud untuk meninggal-kan dosa. Kemudian Al-Ghazali menjelaskan tanda-tanda sahnya penyesalan. Ia mengatakan, "Tanda-tanda sahnya penyesalan adalah: lembutnya hati, derasnya air mata, dosa yang semula dirasa manis berubah menjadi pahit. sikapnya yang semula menyenangi perbuatan dosa itu berubah menjadi membenci."(10)  


Syarat sah taubat ada yang berkaitan dengan masa lalu, yaitu introspeksi diri. Ia harus mengingat apa yang diperbuatnya tahun demi tahun bulan demi bulan hari demi hari. Ia harus memeriksa kembali amal ketaatan mana yang pernah dilalaikannya, dan juga perbuatan maksiat mana yang pernah dilakukannya."(11)  


Adapun syarat taubat yang berkaitan dengan masa mendatang adalah tekad untuk meninggalkan dosa. Ia harus mengikat janji setia dengan Allah untuk tidak mengulangi dosanya dan dosa yang sejenis. Al-Ghazali menegaskan bahwa tekad untuk meninggalkan dosa harus muncul segera setelah seseorang berniat taubat. Karena ia tidak disebut sebagai orang yang taubat jika tidak menguatkan tekadnya pada waktu itu juga. Agar taubatnya diterima Allah, seseorang harus: (1) menghentikan perbuatan dosa pada waktu itu juga, (2). menyesali dosanya, (3) bertekad untuk tidak mengulangi dosanya, (4) mencari kebaikan yang hilang akibat dosa itu, (5) memperbaiki perbuatan di masa datang, (6) mengganti kewajiban yang pernah dilalaikannya, dan (7) mengembalikan hak orang lain yang pernah dirampasnya. |ika semua syarat ini telah dipenuhi, maka taubatnya diterima Allah Ta'ala. 


Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Hasbunallah wa ni’mal wakil


Catatan Kaki

  1. Farid Wajdi, Da’irah Ma’arif Qarni al-‘Isyrin, (Beirut: Dar al-Fikr), vol 7, hlm 65.
  2. Abdul Wahab as-Subki, Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), vol 6, hlm 193-194.
  3. Ibid, hlm 195.
  4. Abu Nashr al-Jauhari, Ash-Shohah, (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1987), vol 1, hlm 92.
  5. Salik adalah orang-orang yang meniti jalan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
  6. Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-din, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth) vol 4, hlm 2.
  7. Ibid, vol 4, hlm 3
  8. Ibid. vol 4, hlm 4.
  9. Ibid.
  10. Ibid, vol 4, hlm 34.
  11. Ibid, vol 4, hlm 34-35