Nasikh dan Mansukh



Sigit Suhandoyo. Pembahasan tentang  al-nāsikh atau yang menghapus dan al-mansūkh atau yang dihapus merupakan hal yang penting, karena hal tersebut merupakan salah satu rukun dalam ijtihad.(1)  Sebagaimana difahami bahwa ayat-ayat yang turun lebih akhir memungkinkan terjadinya penghapusan hukum syari’at yang ditunjukkan oleh ayat-ayat yang turun lebih awal. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 106,


مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”


Nilai penting memahami al-nāsikh dan al-mansūkh ini disampaikan oleh Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām,(2)  tentang sebuah riwayat dari Abū ‘Abd al-Raḫman al-Sulamī. Bahwasanya ‘Ali ra, bertanya kepada seorang hakim, “هَلْ عَلِمْتَ النَّاسِخَ وَالْمَنْسُوخَ؟ قَالَ: لَا قَالَ: «هَلَكْتَ وَأَهْلَكْتَ»”(3)  apakah engkau mengetahui al-nāsikh dan al-mansūkh? hakim itu menjawab, tidak. Ali berkata, kamu celaka dan mencelakakan.


Demikian pula dituturkan oleh Yahya bin Aktsam al-Tamīmī (w.242 H) bahwa urgensi ilmu al-nāsikh dan al-mansūkh sebagai berikut,

“ليس من العلوم كلّها علم هو أوجب على العلماء وعلى المتعلمين، وعلى كافة المسلمين من علم ناسخ القرآن ومنسوخه.(4) 

Tidaklah ada suatu ilmu yang wajib difahami oleh para ‘ulama, para pembelajar dan ummat Islam secara umum sebagaimana ilmu al-nāsikh dan al-mansūkh dalam al-Qur’ān.


Naskah ini membahas definisi al-naskh, perbedaannya dengan al-Insa’, dalil-dalil kebolehannya, macamnya, jenis nasakh dalam al-Qur’an dan Nasakh yang disertai dengan pengganti maupun tidak.


PEMBAHASAN

A. DEFINISI AL-NĀSIKH

Menurut Qatādah(5) , secara bahasa kata al-nāsikh memiliki tiga definisi yaitu; pertama, kata ini berarti memindahkan, sebagaimana teks “نسخت الكتاب” yaitu memindahkan isi sebuah buku pada buku lain. Kedua, kata ini juga berarti menggantikan, sebagaimana teks“نسخت الشمس الظل” yaitu sinar matahari menggantikan kegelapan malam. Dan Ketiga, kata ini berarti menghapus, sebagaimana teks, “نسخت الريح الاثار” yaitu hembusan angin yang menghapus jejak-jejak perjalanan.(6)  Kata al-naskh juga bisa berarti memperbaiki sesuatu .(7)


Adapun pengertian al-nāsikh secara istilah adalah, “رَفَعَ الْحُكْمَ الَّذِي ثَبَتَ تَكْلِيفُهُ لِلْعِبَادِ إِمَّا بِإِسْقَاطِهِ إِلَى غَيْرِ بَدَلٍ أَوْ إِلَى بَدَلٍ”(8)  menghilangkan hukum yang telah ditetapkan pembebanannya kepada manusia, baik pembatalannya tanpa pengganti maupun dengan pengganti. Penghapusan hukum itu dimungkinkan dengan adanya dalil syari’at yang menyatakan penghapusannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Qatādah, “رفع الحكم الشرعى بدليل شرعى متأخر”(9)  bahwa al-nāsikh adalah penghapusan hukum syari’at dengan dalil syari’at yang lebih akhir diturunkan. Dengan demikian al-nāsikh adalah hukum syari’at yang akhir diturunkan yang menghapuskan, dan al-mansūkh adalah hukum syari’at awal yang dihapus.


Para ulama memberikan pembatasan atas definisi al-nāsikh tersebut. Pertama, konteks al-mansūkh merupakan konteks hukum yang dibebankan kepada hamba. Dengan demikian tidak termasuk didalamnya adalah ayat-ayat tentang akhlak, janji-janji Allah maupun ancaman-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala tentang akhlaq asasiyah berikut dalam surat al-A’rāf ayat 199,

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” 


Kedua, hukum tersebut merupakan hukum syari’at. Dengan demikian tidak termasuk dalam pengertian nasakh menghapuskan “البراءة الأصلية” yaitu kebebasan atau kebolehan yang bersifat asal, karena hal itu bukan hukum syar’i. Sebagaimana kewajiban sholat tidak menasakh sholat sebelum diwajibkannya sholat. Demikian pula tidak termasuk didalamnya hukum atas hasil pemikiran manusia seperti ijtihad atau fatwa. 


Ketiga, tidak termasuk nasakh, penghapusan hukum yang disebabkan oleh kematian maupun gila, karena syari’at ditujukan kepada manusia yang masih hidup dan berakal sehat. 


Keempat, Dalil penghapusan hukum tersebut adalah dalil syar’i yang diturunkan lebih akhir dari dalil syar’i yang hukumnya dimansūkh. Sehingga penetapannya tidak terkait dengan urutan surat atau ayat dalam mushaf al-Qur’ān. Sebagai contoh kewajiban sholat al-lail dalam surat al-muzammil ayat 2, “قُمِ اللَّيْلَ إِلاّ قَلِيلاً، نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً” bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). Ayat ini dinasakh dengan turunnya ayat ke 20 pada tahun berikutnya. Termasuk juga menasakh ayat ini adalah surat al-Isra ayat 79, “وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ” “Dan pada sebahagian malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu”. Demikianlah, penghapusan kewajiban sholat malam menjadi sunnah, terkait periode turunnya ayat dan bukan urutan pada mushaf al-Qur’ān.


kelima, Hukum yang dimansūkh memiliki kepatutan secara waktu, tempat dan keadaan untuk dibebankan kepada manusia, dalam arti pemberlakuan hukum tidak dalam waktu, tempat dan keadaan yang terbatas. Sebagai contoh dalam surat al-Baqarah ayat 109, “...فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ...”, artinya, Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Terkait ayat ini, Abū Ja’fār al-Thabārī mengemukakan riwayat berikut,


أَخْبَرَنَا ابُنْ نَاصِرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ أَيُّوبَ قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ شَاذَانَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّجَّادُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو داود السجستاني، قال: بنا أحمد ابن مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِيُّ، قَالَ أَخْبَرَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ، عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ {فَاعْفُوا وَاصْفَحُواِ} قَالَ: نُسِخَ بِقَوْلِهِ: {قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ} الآية

Bahwa ayat ke 109 dalam surat al-Baqarah dihapus hukumnya dengan surat at-Taubah ayat ke 29, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian” 


Menurut Ibnu al-Jauzi(10) , ayat ini tidak termasuk yang dimansūkh, karena konteks ayat tersebut dibatasi oleh waktu. Bahwa memang perintah memaafkan dan membiarkan para ahli kitab itu sampai Allah mendatangkan perintahnya. Dan konteks yang terbatas waktu tidak tidak ada nasakh di dalamnya .(11)


B. PERBEDAAN AL-INSĀ’ DAN AL-NASAKH

Al-insā’ tidak termasuk dalam al-nasakh. Al-insā’ adalah perubahan hukum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Anfāl ayat 65-66,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (65) الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (66)

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.(65) Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (66)”


Perubahan hukum tersebut di atas terjadi karena perubahan keadaan ummat Islam. Perintah perang dalam ayat ini terkait bertambahnya kekuatan ummat Islam, adapun ketika dalam keadaan lemah maka wajib bagi ummat Islam bersabar. 


Hal ini berbeda dengan al-nasakh yang merupakan penghapusan perintah syari’at secara permanen. Sebagaimana contoh firman Allah dalam surat al-Mujadilah ayat 12, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيم

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


Ayat ini berisi larangan mengadakan pembicaraan khusus dengan Nabi saw sebelum melakukan shadaqah. Ibnu Katsir menuliskan riwayat dari Mujahid bahwa Ali ra, datang menemui Nabi saw setelah bershadaqah satu dinar, dan kemudian setelah itu hukumnya di nasakh (hapus). Ali berkata tidak ada sebelum dan sesudahku yang berbuat sepertiku. 


Lebih lanjut dari Ibnu Katsir, bahwa Rasulullah bertanya kepada Ali, Bagaimana pendapatmu; dengan satu dinar? Ali berkata, mereka tidak mampu. Nabi berkata, bagaimana kalau setengah dinar? Ali berkata, mereka tidak mampu. Nabi berkata, apa pendapatmu? Ali berkata, emas sebutir gandum. Nabi berkata, sungguh engkau orang yang zuhud. Ali berkata,” maka disebabkan olehku Allah memberikan keringanan kepada ummat ini.”(12) 


C. DALIL-DALIL KEBOLEHAN AL-NASAKH

Para ulama membahas kebolehan al-nasakh ini didasari pada ayat-ayat berikut, surat al-Baqarah ayat 106, “…مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ” Ayat mana saja yang Kami nasakhkan. Surat al-naḫl ayat 101, 

وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.” Dan surat al-ra’du ayat 39,


يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Umulkitab (Lauh al-mahfuz).”


Demikian pula sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya Umar ibn al-Khattab pernah berkata,

أَقْرَؤُنَا أُبَيٌّ، وَأَقْضَانَا عَلِيٌّ، وَإِنَّا لَنَدَعُ مِنْ قَوْلِ أُبَيٍّ، وَذَاكَ أَنَّ أُبَيًّا يَقُولُ: لاَ أَدَعُ شَيْئًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ". وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا}.(13) 

“Yang paling paling memahami al-Qur’an diantara kami adalah Ubay, namun demikian kamipun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “aku tidak akan meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw. Padahal Allah telah berfirman, “apa saja ayat yang Kami Nasakhkan atau Kami jadikan manusia lupa kepadanya.”


Adapun untuk mengetahui al-nāsikh dan al-mansūkh, menurut al-Qathan ada beberapa cara, Pertama, Dalil yang lugas dalam al-Qur’an  dan Riwayat dari Nabi saw atau para sahabatnya. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 187,


أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ...

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. Ayat ini merupakan dalil yang lugas ”sharīḫ” tentang penghapusan larangan berhubungan suami istri pada malam ramadhan, menjadi sesuatu yang dibolehkan.


Demikian pula riwayat yang lugas dari Nabi saw tentang tentang ziyarah kubur, “نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا…”(14)  aku dulu pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarah kuburlah”

Kedua, kesepakatan ummat bahwa sebuah ayat menasakh ayat yang lain, dan Ketiga, mengetahui turunnya ayat dalam perspektif sejarah, mana yang lebih awal dan yang lebih akhir.(15)  Penting untuk dijadikan pedoman bahwa menentukan nāsikh dan mansūkh adalah riwayat yang shahih dari para sahabat, bukan hasil ijtihad maupun pendapat para ahli tafsir.


D. MACAM-MACAM NASAKH

Pertama, Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Dalam hal ini para ulama menyepakati kebolehannya, dan tidak terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Kedua, Nasakh al-Qur’an dengan Ḫadits Ahad, Sebagian besar ulama meniadakan kebolehannya. Hal ini dikarenakan al-Qur’an itu mutawatir, sedangkan tidak boleh menasakh sesuatu yang mutawatir dengan yang ahad. Ketiga, Nasakh al-Qur’an dengan Ḫadits mutawatir. Dalam hal ini sebagian ulama membolehkan dan sebagian lain menentangnya. Diantara yang membolehkan adalah Malik, Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal. Dalil yang mereka gunakan adalah al-Qur’an surat al-Najm ayat 3 & 4,


وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya.(3) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (4)”


Sedangkan yang tidak membolehkannya diantaranya adalah al-Tsaurī, Syafi’i. ia mengemukakan dalil surat al-Baqarah ayat 106. Bahwa yang dapat menasakh adalah dalil yang sebanding. Sedangkan hadits tidak sebanding dengan al-Qur’an. Al-Suyuti mengutip dari Syafi’i bahwa dimanapun al-Qur’an itu dinasakh dengan sunnah harus ada dalil al-Qur’an yang menguatkan pula.(16) 


Keempat, Nasakh Sunnah dengan al-Qur’an. Dalam hal ini jumhur ulama menyepakatinya. Sebagaimana surat al-Baqarah ayat 144, “... فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ...” maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Abu Dawud meriwayatkan bahwa sebelum ayat ini turun Rasulullah saw sholah menghadap bait al-maqdis selama 13 bulan.(17) 


E. JENIS NASAKH DALAM AL-QUR’AN

Pembahasan ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu, (1). Penghapusan hukum dan tulisannya, (2). Penghapusan tulisan namun hukumnya tetap, dan (3). Penghapusan hukum namun tulisannya tetap.


Pertama, Penghapusan hukum dan bacaan. Misalnya riwayat berikut, dari Mujahid bin Jabr,

قال بْنُ أَبِي دَاوُدَ: وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعِجْلِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَيْفٌ عَنْ مُجَاهِدٍ4 قَالَ: (إِنَّ الأَحْزَابَ كَانَتْ مِثْلَ الْبَقَرَةِ أَوْ أَطْوَلَ).(18) 

“bahwa surat al-Ahzab seperti surat al-Baqarah atau lebih panjang darinya.” Demikian pula riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari,


قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي دَاوُدَ، وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الملك الدقيقي، قال: أنبأنا عفان، قال: بنا حماد، قالت بنا عَلِيُّ [بْنُ] زَيْدٍ عَنْ أَبِي حرب (ابن) 1 أَبِي الأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي مُوسَى2 قَالَ: نَزَلَتْ سُورَةٌ مِثْلُ بَرَاءَةٌ ثُمَّ رُفِعَتْ.(19) 

“telah diturunkan sebuah surat seperti al-barā’ah kemudian dihapuskan.”


Kedua, Penghapusan tulisan namun hukumnya tetap. Sebagaimana riwayat dalam Shahih al-Bukhari bahwa Umar ra pernah berkata,

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالحَقِّ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الكِتَابَ، فَكَانَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ آيَةُ الرَّجْمِ، فَقَرَأْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا، رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ، فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ: وَاللَّهِ مَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ، وَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أُحْصِنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، إِذَا قَامَتِ البَيِّنَةُ، أَوْ كَانَ الحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ.(20) 

“sesungguhnya Allah swt mengutus Muhammad saw dengan benar dan menurunkan kepadanya al-Qur’an. Dan didalam apa yang diturunkan kepadanya terdapat ayat rajam, maka aku membacanya, mempelajari dan menjaganya. Dan Rasulullah saw pernah melakukan perajaman dan kamipun melakukan setelahnya. Lalu aku khawatir dengan berlalunya zaman yang panjang maka ada dari manusia yang mengatakan, kami tidak mendapatkan hukum rajam dalam kitabullah. Lalu mereka mengalami kesesatan dengan meninggalkan suatu kewajiban yang telah diturunkan Allah swt. Maka rajam itu benar terhadap seorang pezina yang telah menikah baik laki-laki maupun perempuan jika terdapat bukti atau hamil atau pengakuan.”


Ayat mansūkh yang dimaksudkan adalah “الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالًا من الله، والله عزيز حكيم” orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


Demikian pula masih dalam riwayat yang sama, terdapat contoh ayat yang mansūkh, “أَنْ لاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ، فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ”(21)  janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Sesungguhnya hal itu adalah kekufuran bagi kalian dengan membenci bapak-bapak kalian.


Ketiga, Penghapusan hukum namun tulisannya tetap. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat at-Taubah ayat 41,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”


Ayat ini mansūkh oleh ayat-ayat yang menjelaskan tentang udzur seperti dalam surat al-Nūr ayat 61,

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ...

“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri.” 


Ayat ke 41 surat al-taubah tersebut di atas juga mansūkh oleh ayat ke 91,

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”


Mansūkh pula oleh ayat ke 122,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”


Hikmah dari tetapnya tulisan tersebut, meskipun hukumnya mansūkh, selain sebagai pahala bagi mereka yang membacanya adalah sebagai pengingat akan kasih sayang Allah bagi manusia akan keringanan yang Allah berikan kepada hamba-Nya.


F. NASAKH BERPENGGANTI DENGAN TIDAK BERPENGGANTI


Nasakh adakalanya disertai dengan pengganti “badal” dan adapula yang tidak disertai dengan pengganti. Nasakh yang disertai dengan pengganti bisa lebih ringan, sama maupun lebih berat. 


Nasakh tanpa badal sebagaimana telah disebutkan di atas adalah penghapusan  keharusan bersedekah sebelum berbicara dengan Rasulullah saw. Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-mujadalah ayat 12 dan dinasakh oleh ayat ke 13nya.


Adapun contoh nasakh dengan badal yang lebih ringan adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 183 tentang keringanan dimalam bulan Ramadhan,“... كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ ...” sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. Ayat ini mansūkh berdasarkan ayat ke 187, “أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ” Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Demikian pula surat al-Muzzammil ayat ke 2 dengan ayat ke 20 dan surat al-Isra ayat 79.


Nasakh dengan badal yang serupa, misalnya sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Baqarah ayat 144. Tentang pemindahan arah kiblat dari bait al-Maqdis ke bait al-Haram.


Nasakh dengan badal yang lebih berat adalah seperti penghapusan hukuman penahanan di rumah, dalam ayat ke 15 surat al-Nisa,

وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.”


Hukum dalam ayat ini mansukh oleh surat al-Nūr ayat 2,

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ...

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,”


PENUTUP

Al-nāsikh dan al-mansūkh selain merupakan alat bagi para mujtahid untuk penetapan hukum juga memiliki kandungan hikmah yang banyak. Selain hikmah utama akan otoritas dan kehendak Allah atas hamba-Nya, juga memberikan keringanan hukum bagi manusia. Penting bagi para pengkaji al-Qur’an untuk berhati-hati dalam melakukan pengkajian atas tema ini.


CATATAN KAKI

  1. Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007), hlm 207.
  2. Ia hidup antara tahun 150-224 H. Merupakan salah satu ulama fiqh, ḫadīts dan qirā-at. Mempelajari fiqh kepada imām al-Syāfi’ī dan sahabat Abu Hanifah seperti al-Qādhi Abū Yusuf dan Muhammad bin al-Ḫasan al-Syaibānī. Ibn al-‘Anbāri pernah bertutur, bahwa Abū ‘Ubaid membagi malamnya menjadi tiga bagian, sepertiga awal untuk tidur, sepertiga kedua untuk sholat dan sepertiga akhir untuk menulis. Diantara tulisannya yang masyhur adalah Fadhāil al-Qur’ān, Garīb al-Qur’ān dan al-Nāsikh wa al-Mansūkh.
  3. Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām, al-Nāsikh wa al-Mansūkh Fī al-Qur’ān al-‘Azīz, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1418 H), hlm 4
  4. Sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-Jauzi, Nawāsikh al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Universitas Islam Madinah, cet. kedua, 1423 H), Jilid 1, hlm 21.
  5. Qatādah bin Di’āmah bin Qatādah bin ‘Azīz terlahir pada tahun 61 H dalam keadaan buta. Ia adalah seorang mufasir dan pakar dalam mufradāt bahasa Arab. Aḫmad bin Hanbal bertutur tentangnya, “Qatādah adalah salah satu hafidz dari kalangan ulama Bashrah”. Wabah tha’un pada 117 H mengantarkan Qatādah menemui Rabb-Nya, 
  6. Qatādah bin Di’āmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, (Beirut: Muassasatu al-Risālah, cet. ketiga 1998), hlm 6.
  7. Muhammad al-Sayyid Jibrīl, op.cit, hlm 209.
  8. Ibnu al-Jauzī, Op.cit, Jilid 1, hlm 127.
  9. Qatādah bin Di’āmah, Loc.cit. Lihat juga Mannā’ al-Qathan, Mabāhits Fi Ulūm al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’ārif, cet. ke3 1421 H), Hlm 238.
  10. Namanya adalah Jamāl al-Dīn Abū al-Faraj ‘Abd al-Rahmān bin ‘Alī bin Muhammad al-Jauzī. Ulama besar dari Iraq, seorang hāfidz, mufassir, muhadīts, dan pakar dalam sejarah. Diantara karya utamanya adalah, Zād al-Masīr Fī al-Tafsīr, Jāmi’ al-Masānid, al-Mugnī fī Ulūm al-Qur’ān, Tadzkirah al-Arīb fi al-Lugah, al-Maudhū’āt, al-dhuafā’, al-Wāhiyāt, al-Munadham fi al-Tārīkh, Nawāsikh al-Qur’ān, Garīb al-Hadīts, al-Wafā fī Fadhāil al-Mushthafā, dll.  Sebagian majelisnya dihadiri lebih dari 100 ribu jama’ah, terdiri dari masyarakat umum hingga para raja. wafat pada tahun 597 H pada usia 89 tahun.
  11. Ibnu al-Jauzī, Op.cit, Jilid 1, hlm 194.
  12. Abu al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar Thoyibah, cet. kedua 1420 H), Jilid 8, hlm 50.
  13. Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Shaḫīḫ al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq al-Najah, cet pertama, 1422 H), Jilid 6, hlm 19, no 4481.
  14. Muslim bin al-Ḫajjaj al-Naisābūrī, Shaḫīḫ al-Muslim, (Beirut: Dār Ihyāu Turāts al-‘Arabiy, tth), Jilid 2, hlm 672, hadits no 977.
  15. Mannā’ al-Qathan, op.cit, hlm 240.
  16. Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Jilid 3, hlm 68.
  17. Lihat Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Jilid 1, hlm 140, hadits no 547.
  18. Ibnu al-Jauzī, Op.cit, Jilid 1, hlm 159.
  19. Ibid,
  20. Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, op.cit, Jilid 8, hlm 168, nomor  6830.
  21. Ibid.
  22. Ibid


DAFTAR PUSTAKA

  • Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007).
  • Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām, al-Nāsikh wa al-Mansūkh Fī al-Qur’ān al-‘Azīz, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1418 H).
  • Ibnu al-Jauzi, Nawāsikh al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Universitas Islam Madinah, cet. 
  • Qatādah bin Di’āmah, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, (Beirut: Muassasatu al-Risālah, cet. ketiga 1998).
  • Mannā’ al-Qathan, Mabāhits Fi Ulūm al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’ārif, cet. ke3 1421 H)
  • Abu al-Fida Isma’il Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Beirut: Dar Thoyibah, cet. kedua 1420 H)
  • Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Shaḫīḫ al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq al-Najah, cet pertama, 1422 H).
  • Muslim bin al-Ḫajjaj al-Naisābūrī, Shaḫīḫ al-Muslim, (Beirut: Dār Ihyāu Turāts al-‘Arabiy, tth).
  • alāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb).
  • Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, tth).


Al Muhkam dan Al Mutasyabih



Sigit Suhandoyo, Pembahasan tentang  al-muḫkam (ayat-ayat dengan makna yang lugas) dan al-mutasyābih (ayat-ayat dengan makna yang saling menyerupai) dalam al-Qur’ān bersumber pada tiga ayat berikut. Pertama, surat Hud ayat 1 yang menegaskan bahwa semua ayat al-Qur’ān adalah muḫkam,

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ

“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,”

Kedua, surat al-Zumar ayat 23, yang menegaskan bahwa semua ayat al-Qur’ān adalah mutasyābih,

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.”

Ketiga, surat Āli ‘Imrān ayat 7 yang mengemukakan bahwa ayat al-Qur’ān sebagiannya muḫkam dan sebagiannya mutasyābih,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Dalam ayat ini Allah menjelaskan pokok-pokok isi al-Qur’ān sebagai ayat-ayat muḫkam. Sedangkan yang mutasyābih merupakan ayat yang hanya Allah semata yang mengetahui takwilnya. Pemahaman terhadap tafsir ayat tersebut di atas --khususnya dalam hal waqaf dan kajian tentang teks al-Qur’ān yang bersambung secara lafadz dan terpisah secara makna-- kemudian menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Apakah ayat-ayat mutasyābih itu hanya diketahui maksudnya oleh Allah ta’ala atau dapat pula diketahui oleh “الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ” orang yang mendalam ilmunya? Sebagaimana teks ayat “وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ”. Demikian pula apakah pengertian muḫkam dan mutasyābih secara khusus? Lalu apakah hikmah adanya ayat-ayat mutasyābih dalam al-Qur’ān? 

Nilai penting pembahasan tentang muḫkam dan mutasyābih ini sebagaimana pernah ditanyakan kepada Sahl al-Tustarī (1),

مَتَى يَجُوزُ لِلْعَالِمِ أَنْ يُعَلِّمَ النَّاسَ؟ فَقَالَ: إِذَا عَرَفَ الْمُحْكَمَاتِ مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ.(2)

“Kapan seorang berilmu diperbolehkan mengajarkan ilmunya kepada manusia? maka Ia (Sahl al-Tustarī) menjawab, jika orang tersebut telah mengetahui ayat-ayat muḫkamāt dan mutasyābihāt”

Demikianlah naskah ringkas ini akan memaparkan tentang pengertian muḫkam dan mutasyābih secara bahasa dan istilah, pendapat para ulama dalam menjelaskan maksud muḫkam dan mutasyābih dalam al-Qur’ān, asal tasyābuh, jenis dan contohnya serta hikmah adanya ayat-ayat mutasyābih dalam al-Qur’ān.


PEMBAHASAN

A. DEFINISI BAHASA AL-MUḪKAM DAN AL-MUTASYĀBIH 

Secara bahasa pengertian al-iḫkām adalah “المنع” yaitu mencegah. Pengertian ini tidak bersifat umum, melainkan dikhususkan pada pencegahan kepada kerusakan dan memperbaiki sesuatu. Sebagaimana riwayat dari Ibrāhīm al-najja’īy “حَكّم اليَتِيمَ كَما تُحَكَّمُ وَلَدَك” maksudnya adalah “امْنَعْه من الفَسادِ وَأَصْلِحْه كَمَا تُصْلِحُ وَلَدَك”(3) yaitu cegahlah ia dari kerusakan dan baguskanlah sebagaimana engkau membaguskan anakmu. Pakar bahasa dan hadits Ibnu al-Atsīr mengemukakan bahwa “المُحْكَم الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ وَلَا اضْطِراب”(4) al-muḫkam adalah yang tidak ada perselisihan dan kebingungan terhadap maknanya. Dikatakan pula oleh al-Munawi (w. 1031 H), bahwa al-muḫkam adalah “الذي أبرم حكمه فلم ينتشر”(5) sesuatu yang dikokohkan dan dikuatkan hukumnya sehingga tidak berserakan. al-Muḫkam dapat pula diartikan dengan “المتقن”(6) dikerjakan dengan sempurna. Dengan demikian secara bahasa dapatlah dikatakan bahwa al-muḫkam adalah sesuatu yang dikokohkan dan dikuatkan sehingga sempurna kebaikannya dari kerusakan, perselisihan dan kebingungan terhadap hakikatnya.

Adapun pengertian mutasyābih secara bahasa adalah, “المماثلة” persamaan, keserupaan dan analogi. Dalam Mu’jam al-Wasīth disebutkan bahwa tasyābuh adalah, “الشيئان أشبه كل مِنْهُمَا الآخر حَتَّى التبسا”(7) dua hal yang saling menyerupai satu dengan lainnya hingga menjadi samar. Menurut pakar bahasa dan sastra Arab Ibnu Fāris (w. 395 H), kata Syabaha menunjukkan makna “تَشَابُه الشَّيْءِ وَتَشَاكُلِه لَوْنًا وَوَصْفًا”(8) menyerupai sesuatu dan menyamainya dalam hal jenis maupun karakteristiknya. Dengan demikian mutasyābih adalah adanya kesamaan dan keserupaan terhadap sesuatu hal baik dalam jenis (konkrit) maupun karakteristiknya (abstrak) sehingga menjadi samar perbedaan antara keduanya.


B. DEFINISI ISTILAH AL-MUḪKAM DAN AL-MUTASYĀBIH

Mannā al-Qathan (w.1420 H) mengemukakan bahwa maksud dari al-Qur’ān itu muḫkam adalah, “إنه كلام متقن فصيح يميز بين الحق والباطل، والصدق والكذب”(9) sesungguhnya kata-kata al-Qur’ān itu sempurna, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil dan antara kebenaran dan dusta. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud kemuḫkaman ayat al-Qur’ān adalah “إِتْقَانُهُ وَعَدَمُ تَطَرُّقِ النَّقْصِ وَالِاخْتِلَافِ إِلَيْهِ”(10) kesempurnaannya dengan tiadanya kekurangan dan perselisihan terhadapnya. Al-muḫkam juga menunjukkan arti kejelasan makna al-Qur’ān, pengertian ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Sayyid Jibril, “ما ورد من نصوص الكتاب و السنة دالا على معناه بوضوح لا خفاء فيه على تفصيل”(11) semua kandungan dari dalil-dalil al-Qur’an dan al-sunnah yang menunjukkan kejelasan makna. Tidak ada hal yang tersamar atas setiap rinciannya. 

Sedangkan yang dimaksud bahwa al-Qur’ān adalah mutasyābih, menurut  Mannā al-Qathan yaitu, “إنه يشبه بعضه بعضًا في الكمال والجودة، ويُصدِّق بعضه بعضًا في المعنى ويماثله”(12) bahwa sesungguhnya al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam hal kesempurnaan dan keindahannya. Sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Pengertian serupa juga dikemukakan oleh al-Suyuti, bahwa yang dimaksud al-Qur’ān adalah mutasyābih yaitu, “يُشْبِهُ بَعْضُهُ بَعْضًا فِي الْحَقِّ وَالصِّدْقِ وَالْإِعْجَازِ”(13) keadaannya saling menyerupai satu dengan lainnya dalam hal kebenaran, kejujuran dan kemu’jizatannya. Muhammad Sayyid Jibril mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan al-mutasyābih “ما كان من نصوص الكتاب و السنة خفي المعنى، لا يدرك المراد به بسهولة، و لكن بتمعن و تعمق و بحث”(14) Semua kandungan dari al-Qur’an dan al-sunnah yang maknanya samar, tidak diketahui maksudnya dengan mudah, melainkan memerlukan pengkajian, pendalaman makna dan penelitian.

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa al-muḫkam dalam al-Qur’ān adalah ayat-ayat yang maknanya dapat difahami dan al-mutasyābih adalah ayat-ayat dalam al-Qur’ān yang memiliki makna yang samar bahkan sebagiannya tidak diketahui.


C. PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG PENA’WILAN AYAT-AYAT MUTASYĀBIH

Para ulama berbeda pendapat, tentang apakah ayat-ayat mutasyābih itu dapat diketahui maksudnya atau hanya diketahui oleh Allah. Perbedaan pendapat ini bersumber dari perbedaan pemahaman terhadap surat Āli ‘Imrān ayat 7,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Ada dua pendapat terkait penafsiran ayat ini. Pertama, kalimat “وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ” orang-orang yang mendalam ilmunya. Apakah teks ini  diathafkan (disetarakan) kepada kalimat sebelumnya? Dan kalimat “يَقُولُونَ” mereka berkata kedudukannya sebagai hal (keterangan). Sehingga ayat ini berarti, ayat-ayat mutasyabihāt tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Kedua, wawu pada teks “وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ” adalah wawu isti’naf (untuk memulai kalimat baru) dan kedudukannya sebagai mubtada’ (awal kalimat) dan teks “يَقُولُونَ” merupakan khabar (keterangan kalimat awal). Sehingga waqafnya pada “وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ” padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.

Pendapat pertama diikuti oleh sebagian kecil ulama. Diantaranya adalah Mujāhid bin Jabr.(15) Al-Thobari (w.310 H) meriwayatkan dari jalur Mujāhid dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwa ia berkata tentang surat Āli ‘Imrān ayat 7 “أنا ممن يعلم تأويله”(16) aku termasuk orang-orang yang mengetahui ta’wilnya. Pakar ḫadīts Ibn Abī Ḫātim (w.327 H) meriwayatkan dari al-dhahāk bahwa ia berkata,

الرَّاسِخُونَ يَعْلَمُونَ تَأْوِيلَهُ، لَوْ لَمْ يَعْلَمُوا تَأْوِيلَهُ لَمْ يَعْلَمُوا نَاسِخَهُ مِنْ مَنْسُوخِهِ، وَلَمْ يَعْلَمُوا حَلالَهُ مِنْ حَرَامِهِ، وَلا مُحْكَمَهُ مِنْ مُتَشَابِهِهِ.(17)

“orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui ta’wilnya. Jika mereka tidak mengetahuinya, maka bagaimana mereka membedakan antara nāsikh dan mansūkh, halal dan haram serta muḫkam dan mutasyābih”

Pendapat ini juga dipilih oleh imam al-Nawawi (w. 676 H) dari kalangan syafi’iyyah. Ia mengatakan, 

وَأَنَّ الرَّاسِخِينَ يَعْلَمُونَهُ لِأَنَّهُ يَبْعُدُ أَنْ يُخَاطِبَ اللَّهُ عِبَادَهُ بِمَا لَا سَبِيلَ لِأَحَدٍ مِنَ الْخَلْقِ إِلَى مَعْرِفَتِهِ.(18)

“bahwasanya orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui ta’wil. Karena tidak mungkin Allah berbicara kepada makhluknya dengan sesuatu yang tidak mungkin untuk diketahui maknanya.”

Adapun kebanyakan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama sesudahnya memilih pendapat yang kedua. Al-Suyuthi mengemukakan bahwa kebenaran pendapat dari kebanyakan ulama adalah berdasarkan sebuah riwayat dari ‘Abdu al-Razāq (w.211 H) dan al-Ḫākim, bahwa Ibnu ‘Abbas ra membaca, “وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَ يَقُولُ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ آمَنَّا بِهِ”(19) dan tidak mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya kami mengimaninya.

Menurut Mannā al-Qathan, perbedaan pendapat ini pada hakikatnya dapat dikompromikan agar tidak saling bertentangan. Yaitu dengan cara mendefinisikan makna ta’wil. Karena lafaz ta’wil dapat digunakan untuk menunjukkan tiga makna,(20) yaitu, Pertama, memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat kepada yang lemah karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Sebagai contoh adalah surat al-Isra ayat 24,

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh perlindungan kasih sayang dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".”

Lafaz “جَنَاحَ” diartikan dengan perlindungan dan tidak diartikan dengan sayap, karena mustahil manusia mempunyai sayap.

Kedua, ta’wil dengan makna tafsir untuk menerangkan dan menjelaskan sebuah lafaz agar difahami maknanya. Sebagai contoh surat al-fatihah ayat 6-7,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ(7)

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Apakah maksud teks “صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ” jalan orang-orang yang Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka? Para ulama menafsirkan teks ini dengan teks pada surat al-nisa ayat 68-69,

وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (68) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (69)

“dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddīqīn, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

Demikian pula teks, “غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ” bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Para ulama menafsirkan teks ini diantaranya dengan mengemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Adi bin Hatim, ketika ia bertanya kepada Nabi saw tentang maknanya. “إِنَّ الْمَغْضُوبَ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ، وإنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى”(21) sesungguhnya orang-orang yang dimurkai adalah yahudi dan yang sesat adalah nashrani.

Ketiga, ta’wil adalah substansi yang kepadanya makna sebuah lafadz dikembalikan. Sebagai contoh adalah permulaan surat yang terdiri dari huruf-huruf yang terpisah, seperti “الم، الر، كهيعص” dan sebagainya. Sayyid Thantawi mengemukakan bahwa, pembukaan ayat maknanya dikembalikan kepada Allah ta’ala. “أن المعنى المقصود منها غير معروف، فهي من المتشابه الذي استأثر الله بعلمه”(22) bahwasanya arti yang dimaksudkan dari pembukaan surat tersebut tidak diketahui, merupakan lafadz mustasyābih yang merupakan prerogratif Allah dengan segala keagungan-Nya.

Meskipun demikian dalam hal ini adapula ulama yang berusaha mengkaji maknanya. Sebut saja Ibnu Abī Ḫātim. Ia meriwayatkan dari Anas al-dhuha dari ibnu ‘Abbas bahwa makna “الم” maksudnya adalah, “أَنَا اللَّه أَعْلَمُ” Aku Allah lebih mengetahui. Demikian pula ia meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa makna “ق” adalah gunung qaf yang mengelilingi bumi.(23) Terkait kajian serupa, al-Suyuti mengemukakan bahwa dari begitu banyak pendapat yang ia kumpulkan terhadap permasalahan ini, ia tidak menemukan seseorangpun yang mengetahui sampai kepada pemahaman yang sebenarnya. Meski demikian ia menegaskan bahwa permasalahan ini merupakan sesuatu yang dikenal dikalangan bangsa Arab pada masa lampau, mengingat kaum kafir Quraisy yang senantiasa mencari-cari kelemahan al-Qur’an tidak mengingkarinya. Melainkan mengakui ketinggian, kefasihan dan balaghah yang terkandung di dalamnya.(24) 

Demikian pula termasuk didalamnya adalah ayat-ayat tentang sifat. Seperti firman Allah ta’ala, dalam surat thaha ayat 5 “الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى” Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy. Surat al-Rahman ayat 27, “ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام” Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Atau surat al-Fath ayat 10 “يد الله فوق أيديهم” tangan Allah di atas tangan mereka. Jumhur ulama ahlu al-sunnah berpendapat untuk mengimaninya dan mengembalikan maknanya kepada Allah ta’ala dan tidak berupaya unruk menafsirkannya dengan disertai sikap menyucikan Allah tentang hakikatnya.


D. JENIS DAN CONTOH AL-MUTASYĀBIH

Secara umum ayat-ayat al-mutasyābih terbagi menjadi tiga macam. Yaitu mutasyābih dari sisi lafadz saja, mutasyābih dari sisi makna dan mutasyābih dari lafadz dan makna.

1. Mutasyābih dari sisi lafadz saja.

Pembahasan pada jenis ini terbagi dalam beberapa contoh. Pertama, lafadz mufrad yang asing. Sebagai contoh adalah teks “الأب” pada firman Allah dalam surat ‘Abasa ayat 31, “وفاكهة وأبا” yang berarti dan buah-buahan serta rumput-rumputan. Lafadz “الأب” sebenarnya kata yang asing. Mengartikan “الأب” dengan rumput-rumputan adalah dengan kedekatan urutan arti dalam ayat-ayat lain, seperti dalam ayat ke 32, “متاعا لكم ولأنعامكم” untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. Hal ini sebagaimana juga yang diartikan oleh al-thabari, “الأبّ: نبت الأرض مما تأكله الدوابّ، ولا يأكله الناس”(25) bahwa al-abb adalah tumbuhan yang dimakan oleh ternak dan tidak dimakan oleh manusia.

Kedua, lafadz mufrad karena lafadz itu musytarak atau memiliki banyak arti. Seperti teks “اليمين” dalam firman Allah ta’ala pada surat al-shāffāt ayat 93, “فراغ عليهم ضربا باليمين” yang artinya, Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Teks “اليمين” bisa berarti sebenarnya yaitu tangan kanan, bukan tangan kiri. Tetapi dapat pula berarti dengan kekuatan. Sementara jika merujuk pada firman Allah ta’ala dalam surat al-Anbiya ayat 57, “وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ” yang artinya, Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. Maka teks  “اليمين” bisa berarti sumpah sebagaimana yang disebutkan “وَتَاللَّهِ”.

Ketiga, lafadz berupa susunan kalimat untuk meringkas pembicaraan. Seperti firman Allah ta’ala dalam surat al-Nisa ayat 3,” وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ...” yang artinya, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.”

Susunan kalimat dalam ayat di atas merupakan ringkasan pembicaraan dari, “وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي شَأْنِ الْيَتَامَى عِنْدَ زَوَجِكُم مِنْهُنَّ فَانْكِحُوا مِنْ غَيْرِهِنَّ مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ” yang artinya, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (selain mereka) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.

Keempat, lafadz berupa susunan kalimat yang memanjangkan pembicaraan. Seperti firman Allah ta’ala dalam surat al-Syura ayat 11, “لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ” Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Jika tidak ada pemanjangan pembicaraan maka teksnya adalah, “لَيْسَ مِثْلِهِ شَيْءٌ”. Keberadaan “ك” adalah untuk menafikan permisalan Allah ta’ala baik membandingkan maupun menyerupakan.

Kelima, lafadz berupa susunan kalimat yang muncul karena tuntutan dari susunan suatu pembicaraan. Seperti firman Allah ta’ala dalam surat al-Kahfi ayat 2, “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا...” artinya, Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;(1) sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih… 

Perkiraan pemaknaan ayat ini dari lafadznya adalah, “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ قَيِّمًا وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (1) لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا...” artinya menjadi, Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur'an) sebagai bimbingan yang lurus, dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya;(1) untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih…

  

2. Mutasyābih dari sisi makna saja.

Sebagai contoh adalah ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah ta’ala, sifat-sifat hari akhir dan peristiwanya, kenikmatan surga dan azab neraka, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan mutasyābihat dari sisi makna, yaitu penyerupaan dengan sesuatu yang sampai pada pemikiran manusia namun sebenarnya, manusia tidak akan dapat memahami hakikat yang sesungguhnya. Dalam hal ini manusia memiliki kewajiban mengimani dan menyucikan Allah atas hakikatnya.


3. Mutasyābih dari sisi lafadz dan makna

Sebagai contoh adalah surat al-Baqarah ayat 189,

...وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

… Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Membaca ayat ini tidak akan difahami maknanya jika tidak mencari artinya melalui pendekatan makna dan pendekatan lafadz. Pendekatan makna dapat dilakukan dengan merujuk pada sebab turunnya ayat. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa ia mendengar al-Bara ra, berkata,

نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِينَا، كَانَتِ الأَنْصَارُ إِذَا حَجُّوا فَجَاءُوا، لَمْ يَدْخُلُوا مِنْ قِبَلِ أَبْوَابِ بُيُوتِهِمْ، وَلَكِنْ مِنْ ظُهُورِهَا، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ، فَدَخَلَ مِنْ قِبَلِ بَابِهِ، فَكَأَنَّهُ عُيِّرَ بِذَلِكَ، فَنَزَلَتْ.(26) 

“Ayat ini diturunkan bagi kami, bahwasanya kaum Anshar jika berhaji, maka mereka pergi dan tidak masuk dari pintu depan rumah mereka. Melainkan dari belakangnya. Kemudian datang seorang pemuda dari Anshar yang masuk dari bagian depan rumahnya, sehingga ia dihinakan karena perbuatannya tersebut. Kemudian turunlah ayat ini. Secara makna ayat ini tidak difahami jika tidak merujuk kepada sebab turunnya ayat yang menerangkan kebiasaan orang Arab pada masa itu.

Adapun pendekatan lafadz, dapat difahami bahwa susunan kalimat ini meringkas pembicaraan. Dalam bentuk yang utuh setelah memahami makna tersebut, maka artinya menjadi seperti berikut,

...وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا إذَا كُنْتُم مُحْرِمِيْنَ بِحَج أو عُمْرَة......

… Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, jika kalian sedang ihram dalam haji atau ‘umrah…..


E. HIKMAH AL-MUḪKAM DAN AL-MUTASYĀBIH DALAM AL-QUR’ĀN

Bahwa al-Qur’an diperuntukkan bagi seluruh manusia, mencakup masyarakat yang umum hingga yang khusus memiliki keilmuan yang memadai untuk memahaminya. Merupakan hikmah yang dapat diterima bagi manusia. Pokok-pokok agama yang merupakan al-muḫkamat, menjadi hal yang mudah untuk difahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihāt yang memungkinkan untuk difahami maknanya adalah wilayah orang-orang berilmu untuk senantiasa mengembangkan keilmuannya.

Jika ayat-ayat mutasyābih itu memungkinkan untuk diketahui oleh manusia, maka hal tersebut setidaknya mengandung dua hikmah berikut, yaitu; (1). Pahala dari Allah ta’ala dalam upaya mengungkapkan makna melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam. (2). Allah membuka jalan bagi manusia untuk senantiasa belajar menguasai berbagai ilmu yang dibutuhkan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyābih dalam al-Qur’ān.

Adapun pelajaran dari ayat-ayat mutasyābih yang tidak memungkinkan untuk diketahui oleh manusia adalah, sebagai ujian bagi manusia untuk menahan diri dan berhenti, seraya mengakui kelemahan diri dihadapan Allah ta’ala dengan mengimani al-Qur’ān secara utuh.


CATATAN KAKI

  1. Abū Muhammad Sahl al-Tustarī adalah salah satu pemimpin kaum sufi pada masanya. Tafsīr al-Tustari merupakan penafsirannya terhadap al-Qur’ān itu, dihimpun dan disusun oleh Abu Bakar Muhammad al-Balady. Sahl al-Tustarī dikebumikan di Basrah pada tahun 283 H pada usia yang ke 83. 
  2. Ibn ‘Abd al-Bar, Jāmi’ Bayān al-‘Ilm wa Fadhlih, (Saudi Arabia: Dār Ibn al-Jauzi, cet. Pertama 1414 H), Jilid 1, hlm 500
  3. Murtadho al-Zubaidi, Tāj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, (Beirut: Dār al-Hidāyah, tth), Jilid 31, hlm 514.
  4. Abū Sa’ādāt Ibnu al-Atsīr, al-Nihāyatu Fī Gharīb al-Hadīts wa al-Ātsar, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, tth), Jilid 1, hlm 419.
  5. Zain al-Dīn al-Munāwi, al-Tauqif ‘ala Muhimati al-Ta’rif, (Cairo: ‘Alim al-Kutub, cet. pertama 1410 H), Jilid 1, hlm 299. 
  6. Ibrāhīm Musthafā, et.al, al-Mu’jam al-Wasīth, (Cairo: Dar al-Da’wah, tth), Jilid 1, hlm 190.
  7. Ibid, Jilid 1, hlm 471.
  8. Ibnu Fāris, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1399 H), Jilid 3, hlm 243.
  9. Mannā’ al-Qathan, Mabāhits Fi Ulūm al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’ārif, cet. ke3 1421 H), Hlm 220.
  10. Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Jilid 3, hlm 3.
  11. Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007), hlm 188
  12. Mannā’ al-Qathan, Loc.cit.
  13. Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, Loc.cit.
  14. Muhammad al-Sayyid Jibrīl, Loc.cit.
  15. Mujāhid bin Jabr lahir pada tahun 21 H dan wafat 104 H, seorang pakar dalam qiraat, tafsir al-Qur’ān dan hadits. Ia mengulang bacaan al-Qur’an kepada Ibnu ‘Abbas ra, sebanyak 3 kali dan berhenti pada setiap ayatnya untuk memahami sebab dan kandungan ayat tersebut. Ibnu Katsir al-Maki, Abu ‘Amr al-Bashri dan Ibnu Muhisin adalah imam-imam qiraat yang belajar kepadanya. Ikrimah, Thawus dan ‘Atha juga meriwayatkan hadits darinya.
  16. Abū Ja’far al-Thabarī, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta’wīl al-Qur’ān, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. pertama, 1420 H), Jilid 6, hlm 203
  17. Ibn Abī Ḫātim al-Rāzī,Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Saudi Arabia: Maktabah Musthofa al-Baz, cet. ketiga 1419 H), Jilid 2, hlm 600.
  18. Abū Zakariyā al-Nawawī, al-Minhāj Syarḫ Shaḫīḫ Muslim, (Beirut: Dār Iḫyāu al-Turāts al-‘Arabī, cet. ke 2, 1392 H), Jilid 16, hlm 218.
  19. Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, op.cit. Jilid 3, hlm 6. Lihat juga ‘Abd al-Razaq al-Shan’ani, Tafsir ‘Abd al-Razaq, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama 1419 H), jilid 1, hlm 314.
  20. Lihat Mannā’ al-Qathan, Op.cit. hlm 223.  
  21. Aḫmad bin Ḫanbal al-Syaibānī, Musnad al-Imām Aḫmad bin Ḫanbal, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, cet. pertama 1421 H), Jilid 32, hlm 124.
  22. Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsīr al-Wasīth, (Cairo: Dar Nahdhah Mishr, Cet. pertama 1998), Jilid 1, hlm 38.
  23. Lihat Ibn Abī Ḫātim al-Rāzī,Op.cit, Jilid 1, hlm 32 dan Jilid 10, hlm 3307.
  24. Lihat Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, op.cit. Jilid 3, hlm 30-31.
  25. Abū Ja’far al-Thabarī, op.cit, Jilid 24, hlm 30.
  26. Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq al-Najah, cet pertama, 1422 H), Jilid 3, hlm 83, no 1803.


DAFTAR PUSTAKA

  • Ibn ‘Abd al-Bar, Jāmi’ Bayān al-‘Ilm wa Fadhlih, (Saudi Arabia: Dār Ibn al-Jauzi, cet. Pertama 1414 H).
  • Murtadho al-Zubaidi, Tāj al-‘Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, (Beirut: Dār al-Hidāyah, tth).
  • Abū Sa’ādāt Ibnu al-Atsīr, al-Nihāyatu Fī Gharīb al-Hadīts wa al-Ātsar, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, tth).
  • Zain al-Dīn al-Munāwi, al-Tauqif ‘ala Muhimati al-Ta’rif, (Cairo: ‘Alim al-Kutub, cet. pertama 1410 H).
  • Ibrāhīm Musthafā, et.al, al-Mu’jam al-Wasīth, (Cairo: Dar al-Da’wah, tth)
  • Ibnu Fāris, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1399 H)
  • Mannā’ al-Qathan, Mabāhits Fi Ulūm al-Qur’ān, (Saudi Arabia: Maktabah al-Ma’ārif, cet. ke3 1421 H)
  • Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb, tth).
  • Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007)
  • Abū Ja’far al-Thabarī, Jāmi’ al-Bayān Fī Ta’wīl al-Qur’ān, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. pertama, 1420 H)
  • Ibn Abī Ḫātim al-Rāzī,Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Saudi Arabia: Maktabah Musthofa al-Baz, cet. ketiga 1419 H).
  • Abū Zakariyā al-Nawawī, al-Minhāj Syarḫ Shaḫīḫ Muslim, (Beirut: Dār Iḫyāu al-Turāts al-‘Arabī, cet. ke 2, 1392 H).
  •  ‘Abd al-Razaq al-Shan’ani, Tafsir ‘Abd al-Razaq, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama 1419 H).
  • Aḫmad bin Ḫanbal al-Syaibānī, Musnad al-Imām Aḫmad bin Ḫanbal, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, cet. pertama 1421 H).
  • Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsīr al-Wasīth, (Cairo: Dar Nahdhah Mishr, Cet. pertama 1998).
  • Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq al-Najah, cet pertama, 1422 H).


Nuzul al-Qur'an



Sigit Suhandoyo, MA. Pengetahuan tentang turunnya wahyu, bahwa al-Qur’ān merupakan wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Jibril as, adalah merupakan dasar keimanan kepada al-Qur’ān. Hal ini terkait erat dengan keyakinan akan kebenaran risalah Islam yang diserukan oleh Nabi Muhammad saw. Allah ta’ala berfirman,

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى(5).

Demi bintang ketika terbenam(1). kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru(2). dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya(3). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)(4). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat(5).

Ibnu Katsir (w.774H) mengemukakan bahwa tujuan Allah bersumpah adalah untuk menunjukkan kesaksian dari-Nya atas utusan-Nya. Bahwa Muhamad saw adalah seorang yang lurus, mengikuti kebenaran dan bukan orang yang sesat. Yang dimaksud sesat “ضَلَّ” adalah “الْجَاهِلُ الَّذِي يَسْلُكُ عَلَى غَيْرِ طَرِيقٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ” yaitu orang bodoh yang berjalan tanpa petunjuk dan ilmu pengetahuan. Sedangkan yang dimaksud keliru “غَوَى” adalah “هُوَ الْعَالِمُ بِالْحَقِّ، الْعَادِلُ عنه قصدا إلى غيره” yaitu orang yang mengetahui kebenaran tetapi menyimpang darinya secara sengaja.(1)

Pemikir Muslim ternama dari daulah Abasiyah, al-Māwardī (w. 450 H) mengemukakan bahwa segala ucapan Nabi Muhammad saw, tidaklah berasal dari hawa nafsunya melainkan berasal dari perintah Allah yang diwahyukan Allah ta’ala melalui Jibril as kepadanya.(2) Al-Qurthubi mengemukakan pendapat, “قَدْ يَحْتَجُّ بِهَذِهِ الْآيَةِ مَنْ لَا يُجَوِّزُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الِاجْتِهَادَ فِي الْحَوَادِثِ”(3) bahwa berdasarkan ayat ini tidak diperkenankan bagi Rasulullah berijtihad dalam perkara yang terdapat nashnya. 

Termasuk dalam perkara ini adalah al-sunnah, al-Suyūthī mengemukakan bahwa, Jibril as menyampaikan dua bagian kepada Rasulullah saw. Bagian pertama yang disampaikan secara persis lafadzhnya saat diwahyukan sebagaimana yang Allah tetapkan. Bagian ini disebut al-Qur’ān. Bagian kedua diriwayatkan secara makna. Bagian ini adalah al-Sunnah.(4)

Naskah ringkas ini membahas definisi nuzūl al-Qur’ān, proses turunnya al-Qur’ān, cara turunnya al-Qur’ān dan metode penyampaiannya, serta turunnya al-Qur’ān secara bertahap dan faedahnya.


PEMBAHASAN

A. DEFINISI NUZŪL AL-QUR’ĀN

Menurut al-Sayyid Jibrīl, kata al-nuzūl dalam bahasa arab memiliki dua makna, pertama “الحلول في المكان و التواجد فيه” yaitu mendiami sebuah tempat dan menjadi wujud dan kedua “انحدارُ الشيء من علُوٍّ إلى سفل” turun perlahan dari tempat yang tinggi ke tempat rendah.(5) Adapun pengertian secara istilah, al-Thibī mengemukakan bahwa,

لَعَلَّ نُزُولَ الْقُرْآنِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَلَقَّفَهُ الْمَلَكُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى تَلَقُّفًا رُوحَانِيًّا أَوْ يَحْفَظُهُ مِنَ اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ فَيَنْزِلُ بِهِ إِلَى الرَّسُولِ وَيُلْقِيهِ عَلَيْهِ.(6)

Bisa jadi yang dimaksud dengan nuzūl al-Qur’ān kepada Nabi Muhammad saw adalah, perolehan al-Qur’ān oleh malaikat secara ruhaniyah dari Allah ta’ala. Malaikat menghafalnya dari lauḫ al-mahfūdz, setelah itu ia menurunkan dan mengajarkannya kepada Nabi saw. 


B. PROSES TURUNNYA AL-QUR’ĀN

Para ulama berbeda pendapat tentang proses turunnya al-Qur’ān. Pendapat tentang hal ini terbagi dalam tiga kelompok, yaitu;

Pendapat Pertama, yaitu al-Qur’ān diturunkan ke bait al-‘izzah di langit dunia secara langsung pada malam Ramadhan. Kemudian turun secara berangsur-angsur(7) selama masa hidup Rasulullah saw setelah diutus menjadi Nabi. Pendapat ini berdasarkan riwayat-riwayat berikut. Al-Nasāi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra,

أُنْزِلَ الْقُرْآنُ جُمْلَةً إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، ثُمَّ أُنْزِلَ بَعْدَ ذَلِكَ فِي عِشْرِينَ سَنَةً.(8)

“al-Qur’ān diturunkan sekaligus kelangit dunia pada lailah al-qadr, kemudian turun setelah itu selama dua puluh tahun”

Al-Thabarānī meriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas ra,

أُنْزِلَ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً حَتَّى، وُضِعَ فِي بَيْتِ الْعِزَّةِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا، وَنَزَّلَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجَوَابِ كَلَامٍ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا، وَنَزَّلَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجَوَابِ كَلَامِ الْعِبَادِ، وَأَعْمَالِهِمْ.(9)

“al-Qur’ān diturunkan sekaligus secara utuh, kemudian diletakkan di bait al-‘izzah dilangit dunia, kemudian Jibrīl as menurunkan kepada Muhammad saw sesuai dengan pertanyaan yang harus dijawab atau kejadian yang ada”

Pendapat Kedua, yaitu al-Qur’ān diturunkan permulaannya pada malam lailah al-qadar, kemudian turun sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadian dan peristiwa selama kurang lebih 23 tahun. Berdasarkan pendapat ini maka al-Qur’ān turun melalui satu proses saja yaitu langsung kepada Rasulullah saw secara bertahap. Pendapat ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Isrā ayat 106,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”

Pendapat Ketiga, yaitu al-Qur’ān diturunkan ke langit dunia selama 20, 23 atau 25 lailah al-qadar, yaitu pada malam yang ditaqdirkan Allah dalam setiap tahunnya. Kemudian turun setelah itu secara berangsur-angsur setiap tahunnya. Pendapat ini dikemukakan oleh para penafsir al-Qur’an diantaranya oleh Muqatil(10).  

Terkait perbedaan pendapat tentang proses turunnya al-Qur’ān tersebut di atas, Ibnu Hajar mengemukakan bahwa pendapat pertamalah yang shaḫīḫ dan mu’tamad (dijadikan acuan). Pendapat ini pula yang dipilih oleh sebagian besar ulama(11).


C. CARA TURUNNYA AL-QUR’AN

Al-Zarkasyi (w. 794 H) menuturkan bahwa ulama ahlu al-sunnah sepakat bahwa al-Qur’ān adalah munazzal(12) (diturunkan) kepada nabi Muhammad saw. Dan mengenai hal ini ada tiga pendapat,

Pertama, bahwa munazzal dalam hal ini adalah lafadzh dan maknanya. Jibrīl as dalam hal ini menghafal al-Qur’ān dari lauḫ al-mahfūdz dan membawa-nya turun kepada nabi saw. 

Kedua, Jibrīl as menurunkannya kepada Nabi saw hanya berupa makna-makna khusus saja. Kemudian Rasulullah saw mempelajari makna-makna tadi dan mengungkapkannya dalam bahasa Arab. Pendapat ini didasarkan pada ayat ke 193-194 surat al-Syu’ara,

نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194)

“dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril),(193), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,(194)”

Ketiga, bahwa Jibril as yang memberikan makna sekaligus mengungkap-kannya kepada Nabi saw ke dalam bahasa Arab.

Adapun pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama. Seluruh lafadz al-Qur’ān dan maknanya dipindahkan oleh Jibrīl as ke langit dunia dan kepada Rasulullah saw. Pendapat ini menunjukkan keyakinan akan keabadian al-Qur’ān, sebagaimana sifat keabadian yang tidak terpisahkan dari zat Allah. Pendapat ini dikuatkan dengan keterangan bahwa Jibrīl as memperoleh langsung al-Qur’ān dengan cara mendengar. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abū Dawud dari ‘Abdullah ibn Mas’ūd ra,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا تَكَلَّمَ اللَّهُ بِالْوَحْيِ، سَمِعَ أَهْلُ السَّمَاءِ لِلسَّمَاءِ صَلْصَلَةً كَجَرِّ السِّلْسِلَةِ عَلَى الصَّفَا، فَيُصْعَقُونَ، فَلَا يَزَالُونَ كَذَلِكَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ جِبْرِيلُ، حَتَّى إِذَا جَاءَهُمْ جِبْرِيلُ فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ» قَالَ: " فَيَقُولُونَ: يَا جِبْرِيلُ مَاذَا قَالَ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ: الْحَقَّ، فَيَقُولُونَ: الْحَقَّ، الْحَقَّ".(13)

Rasulullah saw telah bersabda,“jika Allah ta’la memfirmankan suatu wahyu, seluruh penduduk langit mendengarkan firman tadi bagaikan gemuruhnya rantai yang ditarik dari batu besar, maka pingsanlah mereka, dan tidaklah berubah hingga datang kepada mereka Jibrīl as. Kemudian Jibril datang kepada mereka setelah rasa takut itu hilang dari hati mereka. Mereka berkata, Wahai Jibril apakah yang difirmankan Rabbmu? Jibril berkata: al-haq. Kemudian mereka berkata: al-haq, al-haq, yaitu al-Qur’an.

Hadits tersebut diatas menjelaskan makna dari firman Allah ta’ala dalam surat Saba ayat 23,

حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“…sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata: "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: "(Perkataan) yang benar", dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Termasuk dalil diturunkannya al-Qur’an dengan lafadzhnya adalah aspek kemu’jizatan dan ta’abud yang terdapat pada huruf-huruf dan kata-kata al-Qur’ān, yang tak ada sesuatupun yang sanggup mendatangkan lafadz yang bisa menggantikannya. Demikian pula kandungan al-Qur’an yang memiliki banyak arti yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. 

Pembahasan berikutnya yang terkait cara turunnya al-Qur’ān adalah metode Jibrīl as menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi saw. Para ulama menyebutkan beberapa metode sebagai berikut,

Pertama, Malaikat mendatangi Rasulullah saw dengan diringi gemerinding suara lonceng, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Amr, ia berkata,

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ تُحِسُّ بِالْوَحْيِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " نَعَمْ، أَسْمَعُ صَلَاصِلَ، ثُمَّ أَسْكُتُ عِنْدَ ذَلِكَ، فَمَا مِنْ مَرَّةٍ يُوحَى إِلَيَّ إِلَّا ظَنَنْتُ أَنَّ نَفْسِي تَفِيضُ.(14)

“aku bertanya kepada Nabi saw. Wahai Rasulullah apakah engkau merasakan sesuatu jika datang wahyu? Rasulullah saw bersabda, ya saya mendengar suara lonceng, kemudian saya terdiam, dan tidak ada wahyu yang datang seperti itu kecuali saya merasa jiwa ini akan tercabut.”

Kedua, Jibril as menghembuskan wahyu langsung kedalam dada Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh al-Thabrānī dari Abu Umamah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, 

نَفَثَ رُوحُ الْقُدُسِ فِي رَوْعِي أَنَّ نفْسًا لَنْ تَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى تَسْتَكْمِلَ أَجَلَهَا.(15)

“Jibril as menghembuskan wahyu ke dalam dadaku, bahwasanya setiap jiwa tidak akan meninggalkan dunia hingga sempurna batas waktunya”

Ketiga, Jibril as mendatangi Nabi saw dalam bentuk seorang manusia. Hal ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah saw,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ يَأْتِيكَ الوَحْيُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الجَرَسِ، وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ، فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ المَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ»(16).

“Wahai Rasulullah bagaimanakah caranya wahyu turun kepada engkau? Maka beliau menjawab, terkadang datang kepadaku suara seperti gemerincing lonceng dan cara ini paling berat untukku, lalu terhenti hingga aku mengerti apa yang disampaikan. Dan terkadang datang Malaikat menyerupai laki-laki lalu berbicara kepadaku, maka aku ikuti apa yang diucapkannya”


D. TURUNNYA AL-QUR’AN SECARA BERTAHAP & FAEDAHNYA

Al-Qur’ān turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun. 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Penjelasan tentang turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur ini terdapat dalam firman Allah ta’ala dalam surat al-Isrā ayat 106, 

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”

Al-Maragi menuturkan bahwa al-Qur’an itu diturunkan bagian demi bagian secara jelas, diawali turunnya pada malam lailah al-Qadar kemudian selama 23 tahun sesuai dengan realita yang terjadi.(17) Sayyid Thanthawi berkata, al-Qur’an diturunkan secara terperinci perintah maupun larangan, hukum dan sebagainya, turun secara jelas untuk dibacakan kepada manusia dengan baik, mudah dalam membaca dan menghafalnya hingga kokoh dalam mengamalkan dan menerapkan syari’at dalam kehidupan.(18) Demikianlah al-Qur’an diturunkan secara bertahap untuk menginspirasi akal, mensucikan jiwa, serta diaplikasikan bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Adapun secara ringkas hikmah diturunkannya al-Qur’an secara bertahap adalah sebagai berikut,

Faidah Pertama, Meneguhkan hati Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat a-Furqan ayat 32,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” 

Ibnu ‘Abbas ra mengemukakan bahwa maksud “لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ” adalah “لنطيب بِهِ نَفسك ونحفظ بِهِ قَلْبك”(19) untuk menentramkan jiwa dan memelihara hati Rasulullah saw dengan al-Qur’an, dikarenakan turunnya secara berangsur-angsur. Mengutip pendapat al-Nuhas, al-Zuhaili menuliskan bahwa turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah diantara tanda kenabian Muhammad saw. Karena tidak ada satu pertanyaanpun yang diajukan kepada Nabi saw melainkan Allah ta’ala menurunkan jawabannya melalaui Rasul-Nya. Yang demikian ini tidak terjadi kecuali hanya kepada Rasulullah saw. Kenyataan inilah yang menguatkan hati Nabi saw dan hati para pengikutnya.(20) Sebagai contoh dalam pembahasan ini adalah firman Allah ta’ala dalam surat al Qalam 1-6,

ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (1) مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ (2) وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ (3) وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ (4) فَسَتُبْصِرُ وَيُبْصِرُونَ (5) بِأَيِّكُمُ الْمَفْتُونُ (6)

“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila.”

al-Suyūthī mengutip sebuah riwayat dari Ibnu al-Mundzir bahwa sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang kafir Quraisy menghina Nabi saw sebagai orang gila dan setan.(21) Kemudian turunlah ayat ini untuk menguatkan hati Rasulullah saw bahwasanya ia bukanlah orang gila melainkan orang yang berakhlak mulia. Bahkan Allah ta’ala melimpahkan bagi Nabi saw pahala yang tak putus-putus, atas aktifitasnya menyampaikan risalah Allah dan kesabarannya menanggung ujian. Teks “لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ” menurut Ibnu Katsir adalah pahala yang tak akan pernah putus, terus mengalir atau dalam pengertian lain tidak terhitung.(22)

Contoh berikutnya terkait pertanyaan atau pengaduan seorang wanita Muslimah kepada Rasulullah saw. Pengaduan inilah yang menjadi sebab turunnya surat al-Mujadilah,

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(1) Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.(2) Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(3) Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.(4).”

al-Suyūthī mengutip sebuah riwayat dari al-Hākim yang dinilainya shahih dari ‘Aisyah. Bahwasanya ayat ini turun terkait pengaduan Khaulah binti Tsa’labah tentang suaminya Aus ibn al-Shamit. “wahai Rasulullah, ia telah menghabiskan masa muda saya. Saya telah melahirkan banyak anak untuknya. Akan tetapi ketika saya beranjak tua dan tak bisa lagi melahirkan maka ia menzihar saya. Ya Allah, saya mengadukan kepedihan hati ini kepada engkau.(23) 

Faidah Kedua, Sebagai Mu’jizat. Mu’jizat secara bahasa berarti menetapkan kelemahan para penantang. Dapatlah dikatakan sebagai mu’jizat, al-Qur’an akan menampakkan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan menetapkan kelemahan para penentang risalah Allah untuk dapat membuat sesuatu yang dapat menyerupainya. Dengan demikian turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur merupakan mu’jizat yang menantang orang-orang kafir untuk bisa membuat yang serupa dengannya. Tantangan tersebut tidak berupa satu kitab secara utuh, melainkan satu ayat sekalipun. Firman Allah dalam surat al-Isra ayat 88,

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".”

Kemu’jizatan al-Qur’an juga dibuktikan dengan keteraturan dan munasabah ayat dan surat, gaya bahasanya yang kuat. Dan tidak terdapat pertentangan didalamnya sekalipun diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Allah ta’ala berfirman dalam surat an Nisa ayat 82,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”

Faidah Ketiga, Memudahkan dalam mempelajari, menghafal dan mengamalkannya. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur merupakan proses yang terbaik bagi generasi sahabat untuk menghafal, mempelajari, memahami dan mengamalkannya. Sebagaimana sebuah riwayat dari Abu ‘Aliyah,

تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ خَمْسَ آيَاتٍ خَمْسَ آيَاتٍ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُهُ خَمْسًا خَمْسًا.(24)

“Pelajarilah al-Qur’an itu 5 ayat demi 5 ayat, karena Nabi saw mengambilnya dari Jibril as 5 ayat demi 5 ayat”

Faidah Keempat, Pentahapan dalam penetapan hukum. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur sesuai dengan realita sosial masyarakat pada masa itu. Secara bertahap al-Qur’an turun menjadi panduan dalam mewujudkan kemurnian akidah, keluhuran akhlaq, keshahihan ibadah hingga perlindungan dan keadilan dalam hukum. Sebagaimana penuturan ‘Aisyah ra, tentang surat-surat yang pertama-tama diturunkan,

إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنَ المُفَصَّلِ، فِيهَا ذِكْرُ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الإِسْلاَمِ نَزَلَ الحَلاَلُ وَالحَرَامُ، وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ: لاَ تَشْرَبُوا الخَمْرَ، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الخَمْرَ أَبَدًا، وَلَوْ نَزَلَ: لاَ تَزْنُوا، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا.(25)

“hanyasaja surat-surat yang pertama diturunkan dari al-Qur’an adalah surat-surat pendek (almufashal) yang di dalamnya banyak disebut surga dan neraka. Ketika manusia sudah banyak memeluk Islam turunlah penjelasan halal dan haram. Seandainya yang pertama kali turun adalah; “Janganlah kalian minum khamr!” niscaya mereka akan berkata, kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya. Atau seandainya yang turun pertama adalah, “janganlah kalian berzina!” niscaya mereka akan berkata, kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.

Demikianlah prinsip al-Qur’an dalam merubah kejahiliyahan pada masyarakat manusia berdasarkan tahapan demi tahapan. Begitu pula dalam hal Ibadah, ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan terlebih dahulu adalah tentang Keimanan sebelum ibadah, karena iman adalah asas ibadah. Allah ta’ala berfirman dalam surat an Nisa ayat 142, tentang orang-orang munafik yang beribadah dengan malas,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيل

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Pakar tafsir abad ke 2 hijriah, Muqātil Ibnu Sulaiman berpendapat bahwa orang munafiq itu merahasiakan dalam hati mereka kedustaan, mereka sholat dengan perasaan berat dan tidak meyakininya sebagai kewajiban.(26) Ibadah bagi orang munafiq bukanlah sebuah bentuk taqarrub ilallah, menurut ath-Thobari ibadah bagi mereka hanyalah sekedar mempertahankan statusnya ditengah-tengah manusia.(27) Demikianlah faidah turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur untuk menguatkan keimanan sebelum tahapan berikutnya, yaitu ibadah.


CATATAN KAKI

  1. Ibnu Katsīr al-Dimasyqī, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.pertama 1419 H), Jilid 7, hlm 411.
  2. Abū al-Ḫasan al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Jilid 5, hlm 391.
  3. Syamsu al-Dīn al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua, 1964), Jilid 17, hlm 85.
  4. Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Jilid 1, hlm 159-160.
  5. Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007), hlm 60
  6. Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, op.cit, Jilid 1, hlm 157.
  7. Terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang masa turunnya al-Qur’ān, sebagaimana masa hidup Nabi Muhammad saw. Ada yang berpendapat 23 tahun, ada juga yang berpendapat 20 tahun 25 bulan, dll.
  8. Abū ‘Abdu al-Rahmān al-Nasāi, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Muassasatu al-Risālah, cet. pertama, 2001), Jilid 10, hlm 205, no 11038.
  9. Abū al-Qāsim al-Thabrānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Cairo: Maktabah Ibnu taimiyah, 1994), Jilid 12, hlm 32, no. 12382
  10. Lihat Abū al-Hasan Muqātil Ibnu Sulaiman, Tafsīr Muqātil Ibnu Sulaiman, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabi, cet pertama, 1423 H), Jilid 1, hlm 191.
  11. Lihat Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, op.cit, Jilid 1, hlm 146. Lihat juga Mannā’ bin Khalīl al-Qathan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Maktabatu al-Ma’ārif, cet. ketiga, 1421 H), hlm 103.
  12. Badru al-Dīn al-Zarkasyī, al-Burhān Fī Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār Ihyāu al-Kutub, cet. pertama, 1957),  Jilid 1, hlm 229.
  13. Abū Dāwud al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Jilid 4, hlm 235, hadits no 4738.
  14. Ahmad ibn Hanbal, Musnad al Imām Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. pertama 2001), Jilid 11, hlm 642, hadits no 7071. Menurut Syu’aib al-Arnaūth hadits ini lemah.
  15. Abū al-Qāsim al-Thabrānī, op.cit, Jilid 8, hlm 166, no. 7694.
  16. Muḫammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, , Jilid 1, hlm 6, hadits no. 2.
  17. Ahmad bin Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Perusahaan Penerbitan Musthafa al-Halabi, cet pertama, 1946), Jilid 15, hlm 108.
  18. Lihat Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsīr al-Wasīth, (Cairo: Dar Nahdhah Mishr, Cet. pertama 1998), Jilid 8, hlm 449.
  19. ‘Abdullah Ibn ‘Abbas, Tanwīr al-Muqabbas, (Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Jilid 1, hlm 303.
  20. Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, (Damaskus: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, cet.kedua 1418H), Jilid 19, hlm 63.
  21. Jalāl al-dīn al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), hlm 200.
  22. Ibnu Katsīr al-Dimasyqī, op.cit, Jilid 8, hlm 206.
  23. Jalāl al-dīn al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, op.cit, hlm 189.
  24. Abū Bakar Ibn Abī Syaibah, al-Kitāb al-Mushanif Fi al-Ahādīts wa al-Ātsār, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, Cet. pertama 1409 H), Jilid 6, hlm 117, no 29930.
  25. Muhammad bin Ismā’īl al Bukhārī, opcit, Jilid 6, hlm 185, no. 4993.
  26. Abū al-hasan Muqātil Ibnu Sulaiman, op.cit, Jilid 1, hlm 416.
  27. Abū Ja’far ath Thobārī, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Qur’an, (Beirut : Muassasatu ar Risalah, 1420 H), Jilid 9, hlm 330.

DAFTAR PUSTAKA

  • Ibnu Katsīr al-Dimasyqī, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.pertama 1419 H).
  • Abū al-Ḫasan al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth)
  • Syamsu al-Dīn al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua, 1964).
  • Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb)
  • ----------, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth).
  • Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007).
  • Abū ‘Abdu al-Rahmān al-Nasāi, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Muassasatu al-Risālah, cet. pertama, 2001).
  • Abū al-Qāsim al-Thabrānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Cairo: Maktabah Ibnu taimiyah, 1994), Jilid 12, hlm 32, no. 12382
  • Abū al-Hasan Muqātil Ibnu Sulaiman, Tafsīr Muqātil Ibnu Sulaiman, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabi, cet pertama, 1423 H), Jilid 1, hlm 191.
  • Mannā’ bin Khalīl al-Qathan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Maktabatu al-Ma’ārif, cet. ketiga, 1421 H).
  • Badru al-Dīn al-Zarkasyī, al-Burhān Fī Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār Ihyāu al-Kutub, cet. pertama, 1957).
  • Abū Dāwud al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth).
  • Ahmad ibn Hanbal, Musnad al Imām Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. pertama 2001)
  • Ahmad bin Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Perusahaan Penerbitan Musthafa al-Halabi, cet pertama, 1946).
  • Lihat Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsīr al-Wasīth, (Cairo: Dar Nahdhah Mishr, Cet. pertama 1998).
  •  ‘Abdullah Ibn ‘Abbas, Tanwīr al-Muqabbas, (Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth).
  • Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, (Damaskus: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, cet.kedua 1418H).
  • Abū Bakar Ibn Abī Syaibah, al-Kitāb al-Mushanif Fi al-Ahādīts wa al-Ātsār, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, Cet. pertama 1409 H).
  • Abu Ja’far ath Thobariy, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Qur’an, (Beirut : Muassasatu ar Risalah, 1420 H).


Asbab Al-Nuzul



Sigit SuhandoyoKajian terhadap ilmu asbāb al-nuzūl merupakan hal yang penting bagi para pengkaji al-Qur’ān. Sebab-sebab turunnya ayat adalah sejarah bagi ayat tersebut. Meskipun tidak semua ayat al-Qur’ān turun karena sebuah sebab(1), namun tak disangsikan bahwa penguasaan yang baik terhadap sebab-sebab turunnya ayat, adalah bekal yang memadai dalam upaya memahami al-Qur’ān. Menghindarkan diri dari kesalahan menafsirkan al-Qur’ān dan memperluas khasanah keilmuan bagi para pengkaji al-Qur’ān. Al-Suyuthī menuturkan, 

ومن فوائدة لمعرفة أسباب النزول الوقوف على المعنى أو إزالة الأشكال.(2)

Diantara faidah mengetahui asbāb al-nuzūl adalah mengetahui makna yang sebenarnya dan menghilangkan kesulitan dalam memahami suatu ayat.

Kajian ringkas tentang asbāb al-nuzūl ini mambahas definisi, para ulama yang menyusunnya, cara mengetahui dan faidahnya.


PEMBAHASAN

A. DEFINISI ASBĀB AL-NUZŪL

Al-Qur’ān diturunkan secara bertahap mengiringi perjalanan hidup Rasulullah saw. Selain memudahkan dalam hal membaca dan menghafal, serta memahami dan mengamalkan al-Qur’ān. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Isra ayat 106,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”

Pemimpin para mufassir dari kalangan sahabat Nabi saw, Ibnu ‘Abbas ra, mengemukakan bahwa al-Qur’an turun ayat demi ayat, perkara demi perkara dan kisah-demi kisah(3), untuk memisahkan kebenaran atas kebathilan dan menguatkan keimanan. Ibnu ‘Asyūr (w. 1393 H) menuturkan bahwa al-Qur’ān diturunkan secara berangsur-angsur agar diketahui sebab-sebab dan kejadian-kejadian yang melatar belakangi ayat tersebut(4).

Menurut Sayyid Jibrīl, sebagian besar ulama mengemukakan bahwa yang dimaksud asbāb al-nuzūl adalah,

ما نزلت الأية أو الأيات في شأنه أيام وقوعه: بيان لحكمه إذا كان حادثة أو نحوها، أو جوابا عنه إذا كان سؤالا موجها إلى النبى صلى الله عليه و سلم.(5)

Segala peristiwa yang melatarbelakangi diturunkannya satu atau beberapa ayat, menjelaskan hukum atas sebuah kejadian dan sejenisnya, atau jawaban terhadap persoalan yang dihadapkan kepada nabi saw.

Sebagai contoh sebab turunnya sebuah ayat dikarenakan terjadinya sebuah peristiwa. Abu Jabirah meriwayatkan tentang turunnya larangan memanggil dengan gelaran yang buruk (surat al Hujurat ayat ke 11).

كَانَ الرَّجُلُ مِنَّا يَكُونَ لَهُ الِاسْمَانِ وَالثَّلَاثَةُ، فَيُدْعَى بِبَعْضِهَا فَعَسَى أَنْ يَكْرَهَ» ، قَالَ: فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةَ: {وَلَا تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ}.(6)

Adakalanya seorang laki-laki dari kami memiliki dua atau tiga nama panggilan. Boleh jadi ia kemudian dipanggil dengan nama yang dibencinya. Kemudian turunlah ayat janganlah kalian saling memanggil dengan gelaran yang buruk.

Kemudian contoh ayat yang turun karena persoalan yang dihadapkan kepada Nabi saw adalah surat al-Nāzi’āt ayat 42-44, Dari Aisyah ra, 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يُسْأَلُ عَنِ السَّاعَةِ حَتَّى أُنْزِلَ عَلَيْهِ {يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا} [النازعات: 42](7)

Bahwasanya nabi saw sering ditanya tentang kapan terjadinya hari kiamat hingga turunlah ayat ini. (Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).


B. PARA ULAMA PENYUSUN ASBĀB AL-NUZŪL

Para ulama menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ilmu ini, sebab asbāb al-nuzūl merupakan ilmu alat untuk menafsirkan al-Qur’ān. Diantara para ulama yang menyusunnya adalah Alī a-Madīnī (w. 234 H). Ia adalah salah seorang guru al-Bukhārī. Keberadaan kitabnya tidak diketahui, selain melalui isyarat yang disampaikan oleh al-Suyuthi (8). Al-Wahīdī (w. 468 H) menyusun kitab yang dinamakan “asbāb al-nuzūl”, dapat dikatakan ini merupakan kitab tentang asbāb al-nuzūl yang paling masyhur. Diterbitkan diantaranya oleh Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama pada tahun 1411 H.

Ibnu Hajar al-Asqalānī (w. 852 H), menyusun sebuah buku tentang asbāb al-nuzūl, namun beliau wafat sebelum menuntaskan tulisannya. Bukunya yang diberi judul al-‘Ijāb Fī Bayān al-Asbāb ini diterbitkan dua jilid oleh Dār Ibnu al-Jauzi. Selanjutnya adalah Jalāl al-Dīn al-Suyuthī (w. 911 H), yang menulis Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Selain buku-buku khusus tentang asbāb al-nuzūl, beberapa ulama tafsīr juga menuliskan sebab-sebab turunnya ayat dalam tafsir mereka. Misalnya Ibnu al-Jauzi (w. 597 H), menulis Zad al-Masir. Ibnu Katsīr (w. 774 H) menulis Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm, serta berbagai kitab tafsir bil ma’tsur yang lain.


C. CARA MENGETAHUI ASBĀB AL-NUZŪL

Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbāb al-nuzūl adalah riwayat shaḫīḫ yang berasal dari Rasulullah saw atau para sahabatnya(9). Hal ini dikarenakan mereka hidup semasa dengan turunnya wahyu, berinteraksi dengan al-Qur’ān sesuai dengan realita kontemporer pada masa itu. Al Wahidi mengemukakan,

وَلَا يَحِلُّ الْقَوْلُ فِي أَسْبَابِ نُزُولِ الْكِتَابِ، إِلَّا بِالرِّوَايَةِ وَالسَّمَاعِ مِمَّنْ شاهدوا التنزيل، ووققوا عَلَى الْأَسْبَابِ، وَبَحَثُوا عَنْ عِلْمِهَا وَجَدُّوا فِي الطِّلَابِ، وَقَدْ وَرَدَ الشَّرْعُ بِالْوَعِيدِ لِلْجَاهِلِ ذِي الْعِثَارِ فِي الْعِلْمِ بِالنَّار.(10)

Tidaklah halal mengemukakan pendapat tentang sebab-sebab turunnya ayat kecuali dengan riwayat atau mendengar langsung dari mereka yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya, dan terdapat ancaman neraka bagi orang-orang yang bodoh terhadap ilmu. 

Dengan demikian pengetahuan tentang sebab turunnya suatu ayat adalah domain para sahabat Rasulullah saw yang menjadi saksi atas turunnya ayat tersebut. As-Suyuti menuturkan, meskipun terkait dengan persitiwa maupun suatu persoalan yang dihadapkan kepada Rasulullah saw, menurutnya tidak ada satu ayatpun yang turun langsung saat suatu peristiwa terjadi(11). 


D. FAEDAH MENGETAHUI ASBĀB AL-NUZŪL

Pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah,

1. Mengetahui hikmah dari turunnya suatu syari’at.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Māidah ayat 6,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Al-Suyuthī mengutip sebuah riwayat al-Bukhārī dari ‘Aisyah ra istri Nabi saw telah berkata: “ketika kami dalam perjalanan bersama Rasulullah saw menuju Madinah, kalungku terjatuh di gurun. Kemudian Rasulullah saw menghentikan untanya, lalu beliau turun. Setelah itu beliau merebahkan kepala beliau dipangkuanku hingga tertidur. Lalu Abu Bakar datang dan memukulku dengan keras dan berkata, ”gara-gara kalungmu orang-orang tidak bisa langsung pulang ke Madinah!” Kemudian Rasulullah saw bangun dan waktu pagipun tiba. Disaat beliau akan berwudhu beliau tidak mendapati air. Maka turunlah firman Allah, al maidah ayat 6 tersebut di atas. Kemudian Usaid bin Hudhair berkata, “karena kalianlah wahai keluarga Abu Bakar, Allah telah memberi berkah kepada orang-orang(12).”

Turunnya ayat ini menetapkan keringanan Allah atas ummat Islam tentang kebolehan tayamum untuk berbagai kewajiban yang mensyaratkan mensucikan diri dengan air, seperti wudhu untuk sholat, mandi karena junub, maupun mensucikan hadats besar. Meskipun kasus khususnya hanya untuk keperluan berwudhu untuk menunaikan sholat subuh. Sebagaimana yang dituliskan Ibnu ‘Asyūr terkait ayat ini bahwa Allah telah menyempurnakan karunia bagi agama Islam dengan merincikan berbagai hukum berkenaan dengan pensucian jiwa dan fisik dengan memberikan kemudahan dalam berbagai halnya(13).   Abū Ja’far al-Thabarī  mengemukakan bahwa, “ليلزمكم في دينكم من ضيق، ولا ليعنتكم فيه”(14). Allah tidak menetapkan agama bagi ummat Islam ini suatu kesulitan dan kesukaran. Allah ta’ala berfirman dalam surat an-Nisa ayat 26,

يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan salihin) dan (hendak) menerima tobatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”


2. Pengkhususan suatu hukum bagi yang berpendapat bahwa, pelajaran atau teladan berdasarkan kekhususan suatu sebab.

Permasalahan tentang pelajaran atau teladan berdasarkan lafadz umum atau sebab yang khusus sebenarnya merupakan masalah khilafiyah. Meskipun demikian jumhur ulama berpendapat bahwa pelajaran atau teladan adalah berdasarkan lafadz yang umum dari ayat bukan sebab khusus diturunkannya ayat tersebut. Memilih pendapat jumhur ulama lebih diutamakan.

Sebagai contoh dalam hal ini surat al-Anfāl ayat 27,

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَماناتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Ayat ini turun tentang Abu Lubabah. Pada waktu perang Bani Quraizhah, Rasulullah saw mengutusnya untuk menyampaikan pesan agar mereka tunduk di bawah hukum Rasulullah saw. Lalu orang-orang bani Quraizhah meminta saran dari Abu Lubabah mengenai hal tersebut, maka Abu Lubabah mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya kearah tenggorokannya, yang maksudnya ialah disembelih, yakni mati. Maka turunlah ayat ini. Abu Lubabah mengatakan, “selagi masih di tempat, aku pun menyadari bahwa aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya(15). Jika pelajaran berdasarkan kekhususan sebab, maka hukum larangan khianat ini terkait dengan perbuatan mengkhianati Rasulullah saw dalam peperangan. Sebagaimana sebab turunnya ayat. 

Berbeda pendapat dengan hal tersebut, Ibnu Katsir menuturkan bahwa,

وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْآيَةَ عَامَّةٌ، وَإِنْ صَحَّ أَنَّهَا وَرَدَتْ عَلَى سَبَبٍ خَاصٍّ، فَالْأَخْذُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ عِنْدَ الْجَمَاهِيرِ مِنَ الْعُلَمَاءِ. وَالْخِيَانَةُ تَعُمُّ الذُّنُوبَ الصِّغَارَ وَالْكِبَارَ اللَّازِمَةَ وَالْمُتَعَدِّيَةَ.(16)

Menurut kami, pendapat yang sahih adalah yang mengatakan ayat ini bermakna umum, sekalipun benar bahwa ayat ini diturunkan karena latar belakang yang bersifat khusus. Menurut jumhur ulama, hal yang terpakai ialah keumuman makna yang dikandungnya, bukan latar belakangnya yang khusus. Perbuatan khianat bersifat umum mencakup semua dosa besar dan dosa kecil yang bersifat permanan dan yang tidak permanen.

Demikian pula firman Allah ta’ala dalam surat al-Anbiya ayat 101,

إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ

“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka,”

al-Suyūthī mengutip al-Hakim yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa ketika turun ayat ke 98,

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ 

“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahanam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” Maka Ibnu al-Za’bari berkata, penyembah matahari, bulan, malaikat, Isa, Uzair semuanya akan masuk neraka bersama yang disembahnya dan juga bersama tuhan-Tuhan kita(17). Kemudian turunlah ayat ke 101.

Al-Rāzi mengemukakan bahwa mereka yang berpendapat bahwa pelajaran dari ayat ini terkait sebab turunnya ayat, memaknai maksud “orang-orang yang telah ada ketetapan yang baik dari Kami” hanyalah orang-orang sholeh yang dijadikan sesembahan oleh orang-orang yang zhalim saja(18).

Berbeda pendapat dengan hal tersebut, Pakar tafsir Ibnu ‘Asyur mengemukakan pendapat bahwa ayat ini tidak dimaknai hanya segala sesuatu yang disembah selain Allah, melainkan berlaku umum, “والَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنى عَامٌّ يَعُمُّ كُلَّ مُؤْمِنٍ مَاتَ عَلَى الْإِيمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ”(19) Dan maksud orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami merupakan pengertian umum yang mencakup seluruh orang beriman yang wafat atas keimanan dan amal sholeh.


3. Memahami makna suatu ayat secara benar.

Contoh yang sederhana untuk difahami adalah tentang maksud dari teks “jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya”, dalam surat al Hujurat ayat 1,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Juraiz bahwa ibnu Mulaikah menceritakan kepadanya:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَدِمَ رَكْبٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمِّرِ الْقَعْقَاعَ بْنَ مَعْبَدٍ، وَقَالَ عُمَرُ: بَلْ أَمِّرِ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا أَرَدْتَ إِلَّا خِلَافِي، وَقَالَ عُمَرُ: مَا أَرَدْتُ خِلَافَكَ، فَتَمَارَيَا حَتَّى ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا(20). 

Bahwasanya Abdullah bin Zubair telah memberitahunya bahwa telah datang kafilah dari bani tamim kepada Rasulullah saw, maka abu Bakar berkata: jadikanlah pemimpin al Qa’qa’ bin Ma’bad, Umar berkata: jangan, tunjuklah al Aqra’ bin haabis. Abu Bakar berkata: Tidak ada maksudmu melainkan untuk berselisih denganku. Umar berkata: aku tidak bermaksud berselisih denganmu. Mereka beradu argumen hingga suara mereka meninggi. -- Kemudian Allah ta’ala menurunkan awal surat ini hingga ayat ke 5--.

Dari sebab turunnya ayat jelas difahami bahwa maksud dari jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya adalah larangan memutuskan sebuah perkara hingga datang ketetapan Allah melalui keputusan Nabi-Nya. Hal ini juga berarti mendahulukan ketetapan Allah dan Rasul-Nya merupakan adab syar’i dalam menjalani kehidupan.

Contoh berikutnya sebagaimana dikisahkan bahwa Utsman bin Madh’un rad an Amr bin Ma’dy Karib, keduanya pernah berkata bahwa khamr adalah mubah (diperbolehkan). Mereka mengatakan demikian berdalilkan ayat ke 93 surat al-Maidah,

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Kesalahan memahami ayat ini tidak akan terjadi jika mengetahui sebab turunnya ayat ini adalah sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat tentang orang-orang yang telah terbunuh di jalan Allah sedang dahulu semasa hidupnya mereka minum khamr(21).

Demikian pula dalam hal membantah dugaan adanya larangan yang bersifat terbatas barang-barang yang diharamkan, sebagaimana tertera dalam surat al-An’am ayat 145,

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Imam Syafi’i mengemukakan ketika orang-orang kafir telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, turunlah ayat di atas sebagai bantahan atas perbuatan buruk mereka. Tujuan firman Allah adalah bukan membatasi barang-barang haram hanya keempat hal yang disebutkan (bangkai, daging babi, darah dan yang disembelih untuk selain Allah). Bukan pula untuk menetapkan kehalalan bagi hal-hal selain keempat hal yang disebutkan(22).


CATATAN KAKI

1. Menurut al Ja’barī al-Qur’an itu diturunkan dengan dua cara, turun tanpa sebab maupun dengan sebab seperti peristiwa maupun pertanyaan. Bahkah menurut Muhammad Bakr Isma’il ayat-ayat yang turun secara langsung atau tanpa sebab tertentu lebih banyak dari yang turun dengan sebab tertentu. Lihat, Abū ‘Abd al-Rahmān Abu Bakar Jalāl al-dīn al-Suyuthi, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Haiah al-Mishriyah al-‘āmmah lilkitab, 1394H), Jilid 1, hlm 107. Lihat Juga, Muḫammad Bakr Isma’il, Dirāsat Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Manār, cet. kedua, 1999), hlm 151.

2. Jalāl al-dīn al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), hlm 3.

3. Abū Ja’far al-Thabarī, Jāmi’ al-Bayān, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. Pertama, 2000), Jilid 17, hlm 573.

4. Muḫammad Thāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḫrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984 H), Jilid 15, hlm 231.

5. Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007), hlm 132 

6. Muḫammad bin ‘Īsa al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, (Mesir: Perusahaan percetakan Musthafa al-Halabi, 1395 H), Jilid 5, hlm 388, ḫadits no 3268. Ḫadits ini ḫasan shaḫiḫ. Diriwayatkan pula oleh, Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Jilid 4, hlm 290, ḫadits no 4962. 

7. Abū ‘Abdullāh al-Hakīm, al-Mustadrak ‘Ala al-Shaḫiḫain, (Beirut: Dār al-Kutub al’Ilmiyyah, cet. pertama 1411 H), Jilid 2, hlm 558, hadits no 3895. Ḫadits ini shaḫiḫ.

8. Muḫammad al-Sayyid Jibrīl, op.cit, hlm 136

9. Mannā’ bin Khalīl al-Qathan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Maktabatu al-Ma’ārif, cet. ketiga, 1421 H), hlm 76.

10. Abū al-Ḫasan ‘Alī al-Wahīdī, Asbāb al-Nuzūl, (Cairo: Dār al-Ishlāḫ, cet kedua 1412 H), Hlm 8.

11. Jalāl al-dīn al-Suyuthī, al-Itqān, op.cit, Jilid 1, hlm 109-110.

12. Jalāl al-dīn al-Suyūthī, Lubāb al-Nuqūl, op.cit, hlm 77.

13. Muḫammad Thāhir Ibnu ‘Āsyūr, op.cit, Jilid 6, hlm 132.

14. Abū Ja’far al-Thabarī, op.cit, Jilid 10, hlm 85.

15. Jalāl al-dīn al-Suyūthī, Lubāb al-Nuqūl, op.cit, hlm 96. Lihat juga, Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Beirut: Dār Thoyibah, cet. kedua 1420 H), Jilid 4, hlm 40.

16. Ibnu Katsir, ibid, Jilid 4, hlm 41.

17. Jalāl al-dīn al-Suyūthī, Lubāb al-Nuqūl, op.cit, hlm 96.

18. Fakru al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḫ al-Ghaib, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabī, cet. ketiga, 1420 H), Jilid 22, hlm 189.

19. Muḫammad Thāhir Ibnu ‘Āsyūr, op.cit, Jilid 17, hlm 155.

20. Al-Wahidi,  Asbāb al-Nuzūl al Qur’ān, (Damam: Dār al Ishlāh, 1412 H, Hlm 385

21. Abū Ja’far al-Thabarī, op.cit, Jilid 10, hlm 578.

22. Jalāl al-dīn al-Suyuthī, al-Itqān, op.cit, Jilid 1, hlm 116.


DAFTAR PUSTAKA

  • Abū ‘Abd al-Rahmān Abu Bakar Jalāl al-dīn al-Suyuthi, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Haiah al-Mishriyah al-‘āmmah lilkitab, 1394H)
  • Muḫammad Bakr Isma’il, Dirāsat Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Manār, cet. kedua, 1999)
  • Jalāl al-dīn al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth).
  • Abū Ja’far al-Thabarī, Jāmi’ al-Bayān, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. Pertama, 2000).
  • Muḫammad Thāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḫrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984 H).
  • Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007) 
  • Muḫammad bin ‘Īsa al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, (Mesir: Perusahaan percetakan Musthafa al-Halabi, 1395 H)
  • Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth) 
  • Abū ‘Abdullāh al-Hakīm, al-Mustadrak ‘Ala al-Shaḫiḫain, (Beirut: Dār al-Kutub al’Ilmiyyah, cet. pertama 1411 H)
  • Mannā’ bin Khalīl al-Qathan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Maktabatu al-Ma’ārif, cet. ketiga, 1421 H).
  • Abū al-Ḫasan ‘Alī al-Wahīdī, Asbāb al-Nuzūl, (Cairo: Dār al-Ishlāḫ, cet kedua 1412 H)
  • Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Beirut: Dār Thoyibah, cet. kedua 1420 H)
  • Fakru al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḫ al-Ghaib, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabī, cet. ketiga, 1420 H)