Nuzul al-Qur'an



Sigit Suhandoyo, MA. Pengetahuan tentang turunnya wahyu, bahwa al-Qur’ān merupakan wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan Jibril as, adalah merupakan dasar keimanan kepada al-Qur’ān. Hal ini terkait erat dengan keyakinan akan kebenaran risalah Islam yang diserukan oleh Nabi Muhammad saw. Allah ta’ala berfirman,

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (1) مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى(5).

Demi bintang ketika terbenam(1). kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru(2). dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya(3). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)(4). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat(5).

Ibnu Katsir (w.774H) mengemukakan bahwa tujuan Allah bersumpah adalah untuk menunjukkan kesaksian dari-Nya atas utusan-Nya. Bahwa Muhamad saw adalah seorang yang lurus, mengikuti kebenaran dan bukan orang yang sesat. Yang dimaksud sesat “ضَلَّ” adalah “الْجَاهِلُ الَّذِي يَسْلُكُ عَلَى غَيْرِ طَرِيقٍ بِغَيْرِ عِلْمٍ” yaitu orang bodoh yang berjalan tanpa petunjuk dan ilmu pengetahuan. Sedangkan yang dimaksud keliru “غَوَى” adalah “هُوَ الْعَالِمُ بِالْحَقِّ، الْعَادِلُ عنه قصدا إلى غيره” yaitu orang yang mengetahui kebenaran tetapi menyimpang darinya secara sengaja.(1)

Pemikir Muslim ternama dari daulah Abasiyah, al-Māwardī (w. 450 H) mengemukakan bahwa segala ucapan Nabi Muhammad saw, tidaklah berasal dari hawa nafsunya melainkan berasal dari perintah Allah yang diwahyukan Allah ta’ala melalui Jibril as kepadanya.(2) Al-Qurthubi mengemukakan pendapat, “قَدْ يَحْتَجُّ بِهَذِهِ الْآيَةِ مَنْ لَا يُجَوِّزُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الِاجْتِهَادَ فِي الْحَوَادِثِ”(3) bahwa berdasarkan ayat ini tidak diperkenankan bagi Rasulullah berijtihad dalam perkara yang terdapat nashnya. 

Termasuk dalam perkara ini adalah al-sunnah, al-Suyūthī mengemukakan bahwa, Jibril as menyampaikan dua bagian kepada Rasulullah saw. Bagian pertama yang disampaikan secara persis lafadzhnya saat diwahyukan sebagaimana yang Allah tetapkan. Bagian ini disebut al-Qur’ān. Bagian kedua diriwayatkan secara makna. Bagian ini adalah al-Sunnah.(4)

Naskah ringkas ini membahas definisi nuzūl al-Qur’ān, proses turunnya al-Qur’ān, cara turunnya al-Qur’ān dan metode penyampaiannya, serta turunnya al-Qur’ān secara bertahap dan faedahnya.


PEMBAHASAN

A. DEFINISI NUZŪL AL-QUR’ĀN

Menurut al-Sayyid Jibrīl, kata al-nuzūl dalam bahasa arab memiliki dua makna, pertama “الحلول في المكان و التواجد فيه” yaitu mendiami sebuah tempat dan menjadi wujud dan kedua “انحدارُ الشيء من علُوٍّ إلى سفل” turun perlahan dari tempat yang tinggi ke tempat rendah.(5) Adapun pengertian secara istilah, al-Thibī mengemukakan bahwa,

لَعَلَّ نُزُولَ الْقُرْآنِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَلَقَّفَهُ الْمَلَكُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى تَلَقُّفًا رُوحَانِيًّا أَوْ يَحْفَظُهُ مِنَ اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ فَيَنْزِلُ بِهِ إِلَى الرَّسُولِ وَيُلْقِيهِ عَلَيْهِ.(6)

Bisa jadi yang dimaksud dengan nuzūl al-Qur’ān kepada Nabi Muhammad saw adalah, perolehan al-Qur’ān oleh malaikat secara ruhaniyah dari Allah ta’ala. Malaikat menghafalnya dari lauḫ al-mahfūdz, setelah itu ia menurunkan dan mengajarkannya kepada Nabi saw. 


B. PROSES TURUNNYA AL-QUR’ĀN

Para ulama berbeda pendapat tentang proses turunnya al-Qur’ān. Pendapat tentang hal ini terbagi dalam tiga kelompok, yaitu;

Pendapat Pertama, yaitu al-Qur’ān diturunkan ke bait al-‘izzah di langit dunia secara langsung pada malam Ramadhan. Kemudian turun secara berangsur-angsur(7) selama masa hidup Rasulullah saw setelah diutus menjadi Nabi. Pendapat ini berdasarkan riwayat-riwayat berikut. Al-Nasāi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra,

أُنْزِلَ الْقُرْآنُ جُمْلَةً إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، ثُمَّ أُنْزِلَ بَعْدَ ذَلِكَ فِي عِشْرِينَ سَنَةً.(8)

“al-Qur’ān diturunkan sekaligus kelangit dunia pada lailah al-qadr, kemudian turun setelah itu selama dua puluh tahun”

Al-Thabarānī meriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas ra,

أُنْزِلَ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً حَتَّى، وُضِعَ فِي بَيْتِ الْعِزَّةِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا، وَنَزَّلَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجَوَابِ كَلَامٍ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا، وَنَزَّلَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجَوَابِ كَلَامِ الْعِبَادِ، وَأَعْمَالِهِمْ.(9)

“al-Qur’ān diturunkan sekaligus secara utuh, kemudian diletakkan di bait al-‘izzah dilangit dunia, kemudian Jibrīl as menurunkan kepada Muhammad saw sesuai dengan pertanyaan yang harus dijawab atau kejadian yang ada”

Pendapat Kedua, yaitu al-Qur’ān diturunkan permulaannya pada malam lailah al-qadar, kemudian turun sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadian dan peristiwa selama kurang lebih 23 tahun. Berdasarkan pendapat ini maka al-Qur’ān turun melalui satu proses saja yaitu langsung kepada Rasulullah saw secara bertahap. Pendapat ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al-Isrā ayat 106,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”

Pendapat Ketiga, yaitu al-Qur’ān diturunkan ke langit dunia selama 20, 23 atau 25 lailah al-qadar, yaitu pada malam yang ditaqdirkan Allah dalam setiap tahunnya. Kemudian turun setelah itu secara berangsur-angsur setiap tahunnya. Pendapat ini dikemukakan oleh para penafsir al-Qur’an diantaranya oleh Muqatil(10).  

Terkait perbedaan pendapat tentang proses turunnya al-Qur’ān tersebut di atas, Ibnu Hajar mengemukakan bahwa pendapat pertamalah yang shaḫīḫ dan mu’tamad (dijadikan acuan). Pendapat ini pula yang dipilih oleh sebagian besar ulama(11).


C. CARA TURUNNYA AL-QUR’AN

Al-Zarkasyi (w. 794 H) menuturkan bahwa ulama ahlu al-sunnah sepakat bahwa al-Qur’ān adalah munazzal(12) (diturunkan) kepada nabi Muhammad saw. Dan mengenai hal ini ada tiga pendapat,

Pertama, bahwa munazzal dalam hal ini adalah lafadzh dan maknanya. Jibrīl as dalam hal ini menghafal al-Qur’ān dari lauḫ al-mahfūdz dan membawa-nya turun kepada nabi saw. 

Kedua, Jibrīl as menurunkannya kepada Nabi saw hanya berupa makna-makna khusus saja. Kemudian Rasulullah saw mempelajari makna-makna tadi dan mengungkapkannya dalam bahasa Arab. Pendapat ini didasarkan pada ayat ke 193-194 surat al-Syu’ara,

نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194)

“dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril),(193), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,(194)”

Ketiga, bahwa Jibril as yang memberikan makna sekaligus mengungkap-kannya kepada Nabi saw ke dalam bahasa Arab.

Adapun pendapat yang benar adalah pendapat yang pertama. Seluruh lafadz al-Qur’ān dan maknanya dipindahkan oleh Jibrīl as ke langit dunia dan kepada Rasulullah saw. Pendapat ini menunjukkan keyakinan akan keabadian al-Qur’ān, sebagaimana sifat keabadian yang tidak terpisahkan dari zat Allah. Pendapat ini dikuatkan dengan keterangan bahwa Jibrīl as memperoleh langsung al-Qur’ān dengan cara mendengar. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abū Dawud dari ‘Abdullah ibn Mas’ūd ra,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا تَكَلَّمَ اللَّهُ بِالْوَحْيِ، سَمِعَ أَهْلُ السَّمَاءِ لِلسَّمَاءِ صَلْصَلَةً كَجَرِّ السِّلْسِلَةِ عَلَى الصَّفَا، فَيُصْعَقُونَ، فَلَا يَزَالُونَ كَذَلِكَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ جِبْرِيلُ، حَتَّى إِذَا جَاءَهُمْ جِبْرِيلُ فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ» قَالَ: " فَيَقُولُونَ: يَا جِبْرِيلُ مَاذَا قَالَ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ: الْحَقَّ، فَيَقُولُونَ: الْحَقَّ، الْحَقَّ".(13)

Rasulullah saw telah bersabda,“jika Allah ta’la memfirmankan suatu wahyu, seluruh penduduk langit mendengarkan firman tadi bagaikan gemuruhnya rantai yang ditarik dari batu besar, maka pingsanlah mereka, dan tidaklah berubah hingga datang kepada mereka Jibrīl as. Kemudian Jibril datang kepada mereka setelah rasa takut itu hilang dari hati mereka. Mereka berkata, Wahai Jibril apakah yang difirmankan Rabbmu? Jibril berkata: al-haq. Kemudian mereka berkata: al-haq, al-haq, yaitu al-Qur’an.

Hadits tersebut diatas menjelaskan makna dari firman Allah ta’ala dalam surat Saba ayat 23,

حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“…sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata: "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: "(Perkataan) yang benar", dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Termasuk dalil diturunkannya al-Qur’an dengan lafadzhnya adalah aspek kemu’jizatan dan ta’abud yang terdapat pada huruf-huruf dan kata-kata al-Qur’ān, yang tak ada sesuatupun yang sanggup mendatangkan lafadz yang bisa menggantikannya. Demikian pula kandungan al-Qur’an yang memiliki banyak arti yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. 

Pembahasan berikutnya yang terkait cara turunnya al-Qur’ān adalah metode Jibrīl as menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi saw. Para ulama menyebutkan beberapa metode sebagai berikut,

Pertama, Malaikat mendatangi Rasulullah saw dengan diringi gemerinding suara lonceng, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Amr, ia berkata,

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ تُحِسُّ بِالْوَحْيِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " نَعَمْ، أَسْمَعُ صَلَاصِلَ، ثُمَّ أَسْكُتُ عِنْدَ ذَلِكَ، فَمَا مِنْ مَرَّةٍ يُوحَى إِلَيَّ إِلَّا ظَنَنْتُ أَنَّ نَفْسِي تَفِيضُ.(14)

“aku bertanya kepada Nabi saw. Wahai Rasulullah apakah engkau merasakan sesuatu jika datang wahyu? Rasulullah saw bersabda, ya saya mendengar suara lonceng, kemudian saya terdiam, dan tidak ada wahyu yang datang seperti itu kecuali saya merasa jiwa ini akan tercabut.”

Kedua, Jibril as menghembuskan wahyu langsung kedalam dada Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh al-Thabrānī dari Abu Umamah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, 

نَفَثَ رُوحُ الْقُدُسِ فِي رَوْعِي أَنَّ نفْسًا لَنْ تَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى تَسْتَكْمِلَ أَجَلَهَا.(15)

“Jibril as menghembuskan wahyu ke dalam dadaku, bahwasanya setiap jiwa tidak akan meninggalkan dunia hingga sempurna batas waktunya”

Ketiga, Jibril as mendatangi Nabi saw dalam bentuk seorang manusia. Hal ini disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah saw,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ يَأْتِيكَ الوَحْيُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الجَرَسِ، وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ، فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ المَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ»(16).

“Wahai Rasulullah bagaimanakah caranya wahyu turun kepada engkau? Maka beliau menjawab, terkadang datang kepadaku suara seperti gemerincing lonceng dan cara ini paling berat untukku, lalu terhenti hingga aku mengerti apa yang disampaikan. Dan terkadang datang Malaikat menyerupai laki-laki lalu berbicara kepadaku, maka aku ikuti apa yang diucapkannya”


D. TURUNNYA AL-QUR’AN SECARA BERTAHAP & FAEDAHNYA

Al-Qur’ān turun secara berangsur-angsur selama 23 tahun. 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Penjelasan tentang turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur ini terdapat dalam firman Allah ta’ala dalam surat al-Isrā ayat 106, 

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”

Al-Maragi menuturkan bahwa al-Qur’an itu diturunkan bagian demi bagian secara jelas, diawali turunnya pada malam lailah al-Qadar kemudian selama 23 tahun sesuai dengan realita yang terjadi.(17) Sayyid Thanthawi berkata, al-Qur’an diturunkan secara terperinci perintah maupun larangan, hukum dan sebagainya, turun secara jelas untuk dibacakan kepada manusia dengan baik, mudah dalam membaca dan menghafalnya hingga kokoh dalam mengamalkan dan menerapkan syari’at dalam kehidupan.(18) Demikianlah al-Qur’an diturunkan secara bertahap untuk menginspirasi akal, mensucikan jiwa, serta diaplikasikan bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Adapun secara ringkas hikmah diturunkannya al-Qur’an secara bertahap adalah sebagai berikut,

Faidah Pertama, Meneguhkan hati Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat a-Furqan ayat 32,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” 

Ibnu ‘Abbas ra mengemukakan bahwa maksud “لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ” adalah “لنطيب بِهِ نَفسك ونحفظ بِهِ قَلْبك”(19) untuk menentramkan jiwa dan memelihara hati Rasulullah saw dengan al-Qur’an, dikarenakan turunnya secara berangsur-angsur. Mengutip pendapat al-Nuhas, al-Zuhaili menuliskan bahwa turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah diantara tanda kenabian Muhammad saw. Karena tidak ada satu pertanyaanpun yang diajukan kepada Nabi saw melainkan Allah ta’ala menurunkan jawabannya melalaui Rasul-Nya. Yang demikian ini tidak terjadi kecuali hanya kepada Rasulullah saw. Kenyataan inilah yang menguatkan hati Nabi saw dan hati para pengikutnya.(20) Sebagai contoh dalam pembahasan ini adalah firman Allah ta’ala dalam surat al Qalam 1-6,

ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (1) مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ (2) وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ (3) وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ (4) فَسَتُبْصِرُ وَيُبْصِرُونَ (5) بِأَيِّكُمُ الْمَفْتُونُ (6)

“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila.”

al-Suyūthī mengutip sebuah riwayat dari Ibnu al-Mundzir bahwa sebab turunnya ayat ini adalah orang-orang kafir Quraisy menghina Nabi saw sebagai orang gila dan setan.(21) Kemudian turunlah ayat ini untuk menguatkan hati Rasulullah saw bahwasanya ia bukanlah orang gila melainkan orang yang berakhlak mulia. Bahkan Allah ta’ala melimpahkan bagi Nabi saw pahala yang tak putus-putus, atas aktifitasnya menyampaikan risalah Allah dan kesabarannya menanggung ujian. Teks “لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ” menurut Ibnu Katsir adalah pahala yang tak akan pernah putus, terus mengalir atau dalam pengertian lain tidak terhitung.(22)

Contoh berikutnya terkait pertanyaan atau pengaduan seorang wanita Muslimah kepada Rasulullah saw. Pengaduan inilah yang menjadi sebab turunnya surat al-Mujadilah,

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(1) Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.(2) Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(3) Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.(4).”

al-Suyūthī mengutip sebuah riwayat dari al-Hākim yang dinilainya shahih dari ‘Aisyah. Bahwasanya ayat ini turun terkait pengaduan Khaulah binti Tsa’labah tentang suaminya Aus ibn al-Shamit. “wahai Rasulullah, ia telah menghabiskan masa muda saya. Saya telah melahirkan banyak anak untuknya. Akan tetapi ketika saya beranjak tua dan tak bisa lagi melahirkan maka ia menzihar saya. Ya Allah, saya mengadukan kepedihan hati ini kepada engkau.(23) 

Faidah Kedua, Sebagai Mu’jizat. Mu’jizat secara bahasa berarti menetapkan kelemahan para penantang. Dapatlah dikatakan sebagai mu’jizat, al-Qur’an akan menampakkan kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan menetapkan kelemahan para penentang risalah Allah untuk dapat membuat sesuatu yang dapat menyerupainya. Dengan demikian turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur merupakan mu’jizat yang menantang orang-orang kafir untuk bisa membuat yang serupa dengannya. Tantangan tersebut tidak berupa satu kitab secara utuh, melainkan satu ayat sekalipun. Firman Allah dalam surat al-Isra ayat 88,

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".”

Kemu’jizatan al-Qur’an juga dibuktikan dengan keteraturan dan munasabah ayat dan surat, gaya bahasanya yang kuat. Dan tidak terdapat pertentangan didalamnya sekalipun diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Allah ta’ala berfirman dalam surat an Nisa ayat 82,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”

Faidah Ketiga, Memudahkan dalam mempelajari, menghafal dan mengamalkannya. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur merupakan proses yang terbaik bagi generasi sahabat untuk menghafal, mempelajari, memahami dan mengamalkannya. Sebagaimana sebuah riwayat dari Abu ‘Aliyah,

تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ خَمْسَ آيَاتٍ خَمْسَ آيَاتٍ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُهُ خَمْسًا خَمْسًا.(24)

“Pelajarilah al-Qur’an itu 5 ayat demi 5 ayat, karena Nabi saw mengambilnya dari Jibril as 5 ayat demi 5 ayat”

Faidah Keempat, Pentahapan dalam penetapan hukum. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur sesuai dengan realita sosial masyarakat pada masa itu. Secara bertahap al-Qur’an turun menjadi panduan dalam mewujudkan kemurnian akidah, keluhuran akhlaq, keshahihan ibadah hingga perlindungan dan keadilan dalam hukum. Sebagaimana penuturan ‘Aisyah ra, tentang surat-surat yang pertama-tama diturunkan,

إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنَ المُفَصَّلِ، فِيهَا ذِكْرُ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الإِسْلاَمِ نَزَلَ الحَلاَلُ وَالحَرَامُ، وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ: لاَ تَشْرَبُوا الخَمْرَ، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الخَمْرَ أَبَدًا، وَلَوْ نَزَلَ: لاَ تَزْنُوا، لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا.(25)

“hanyasaja surat-surat yang pertama diturunkan dari al-Qur’an adalah surat-surat pendek (almufashal) yang di dalamnya banyak disebut surga dan neraka. Ketika manusia sudah banyak memeluk Islam turunlah penjelasan halal dan haram. Seandainya yang pertama kali turun adalah; “Janganlah kalian minum khamr!” niscaya mereka akan berkata, kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya. Atau seandainya yang turun pertama adalah, “janganlah kalian berzina!” niscaya mereka akan berkata, kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.

Demikianlah prinsip al-Qur’an dalam merubah kejahiliyahan pada masyarakat manusia berdasarkan tahapan demi tahapan. Begitu pula dalam hal Ibadah, ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan terlebih dahulu adalah tentang Keimanan sebelum ibadah, karena iman adalah asas ibadah. Allah ta’ala berfirman dalam surat an Nisa ayat 142, tentang orang-orang munafik yang beribadah dengan malas,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيل

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Pakar tafsir abad ke 2 hijriah, Muqātil Ibnu Sulaiman berpendapat bahwa orang munafiq itu merahasiakan dalam hati mereka kedustaan, mereka sholat dengan perasaan berat dan tidak meyakininya sebagai kewajiban.(26) Ibadah bagi orang munafiq bukanlah sebuah bentuk taqarrub ilallah, menurut ath-Thobari ibadah bagi mereka hanyalah sekedar mempertahankan statusnya ditengah-tengah manusia.(27) Demikianlah faidah turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur untuk menguatkan keimanan sebelum tahapan berikutnya, yaitu ibadah.


CATATAN KAKI

  1. Ibnu Katsīr al-Dimasyqī, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.pertama 1419 H), Jilid 7, hlm 411.
  2. Abū al-Ḫasan al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Jilid 5, hlm 391.
  3. Syamsu al-Dīn al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua, 1964), Jilid 17, hlm 85.
  4. Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb), Jilid 1, hlm 159-160.
  5. Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007), hlm 60
  6. Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, op.cit, Jilid 1, hlm 157.
  7. Terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang masa turunnya al-Qur’ān, sebagaimana masa hidup Nabi Muhammad saw. Ada yang berpendapat 23 tahun, ada juga yang berpendapat 20 tahun 25 bulan, dll.
  8. Abū ‘Abdu al-Rahmān al-Nasāi, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Muassasatu al-Risālah, cet. pertama, 2001), Jilid 10, hlm 205, no 11038.
  9. Abū al-Qāsim al-Thabrānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Cairo: Maktabah Ibnu taimiyah, 1994), Jilid 12, hlm 32, no. 12382
  10. Lihat Abū al-Hasan Muqātil Ibnu Sulaiman, Tafsīr Muqātil Ibnu Sulaiman, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabi, cet pertama, 1423 H), Jilid 1, hlm 191.
  11. Lihat Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, op.cit, Jilid 1, hlm 146. Lihat juga Mannā’ bin Khalīl al-Qathan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Maktabatu al-Ma’ārif, cet. ketiga, 1421 H), hlm 103.
  12. Badru al-Dīn al-Zarkasyī, al-Burhān Fī Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār Ihyāu al-Kutub, cet. pertama, 1957),  Jilid 1, hlm 229.
  13. Abū Dāwud al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Jilid 4, hlm 235, hadits no 4738.
  14. Ahmad ibn Hanbal, Musnad al Imām Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. pertama 2001), Jilid 11, hlm 642, hadits no 7071. Menurut Syu’aib al-Arnaūth hadits ini lemah.
  15. Abū al-Qāsim al-Thabrānī, op.cit, Jilid 8, hlm 166, no. 7694.
  16. Muḫammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, , Jilid 1, hlm 6, hadits no. 2.
  17. Ahmad bin Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Perusahaan Penerbitan Musthafa al-Halabi, cet pertama, 1946), Jilid 15, hlm 108.
  18. Lihat Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsīr al-Wasīth, (Cairo: Dar Nahdhah Mishr, Cet. pertama 1998), Jilid 8, hlm 449.
  19. ‘Abdullah Ibn ‘Abbas, Tanwīr al-Muqabbas, (Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Jilid 1, hlm 303.
  20. Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, (Damaskus: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, cet.kedua 1418H), Jilid 19, hlm 63.
  21. Jalāl al-dīn al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), hlm 200.
  22. Ibnu Katsīr al-Dimasyqī, op.cit, Jilid 8, hlm 206.
  23. Jalāl al-dīn al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, op.cit, hlm 189.
  24. Abū Bakar Ibn Abī Syaibah, al-Kitāb al-Mushanif Fi al-Ahādīts wa al-Ātsār, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, Cet. pertama 1409 H), Jilid 6, hlm 117, no 29930.
  25. Muhammad bin Ismā’īl al Bukhārī, opcit, Jilid 6, hlm 185, no. 4993.
  26. Abū al-hasan Muqātil Ibnu Sulaiman, op.cit, Jilid 1, hlm 416.
  27. Abū Ja’far ath Thobārī, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Qur’an, (Beirut : Muassasatu ar Risalah, 1420 H), Jilid 9, hlm 330.

DAFTAR PUSTAKA

  • Ibnu Katsīr al-Dimasyqī, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet.pertama 1419 H).
  • Abū al-Ḫasan al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth)
  • Syamsu al-Dīn al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua, 1964).
  • Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Hay-ah al-Mishriyah al-‘Āmmah li al-Kitāb)
  • ----------, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth).
  • Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007).
  • Abū ‘Abdu al-Rahmān al-Nasāi, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Muassasatu al-Risālah, cet. pertama, 2001).
  • Abū al-Qāsim al-Thabrānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Cairo: Maktabah Ibnu taimiyah, 1994), Jilid 12, hlm 32, no. 12382
  • Abū al-Hasan Muqātil Ibnu Sulaiman, Tafsīr Muqātil Ibnu Sulaiman, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabi, cet pertama, 1423 H), Jilid 1, hlm 191.
  • Mannā’ bin Khalīl al-Qathan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Maktabatu al-Ma’ārif, cet. ketiga, 1421 H).
  • Badru al-Dīn al-Zarkasyī, al-Burhān Fī Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār Ihyāu al-Kutub, cet. pertama, 1957).
  • Abū Dāwud al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth).
  • Ahmad ibn Hanbal, Musnad al Imām Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. pertama 2001)
  • Ahmad bin Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Perusahaan Penerbitan Musthafa al-Halabi, cet pertama, 1946).
  • Lihat Muhammad Sayyid Thanthawi, al-Tafsīr al-Wasīth, (Cairo: Dar Nahdhah Mishr, Cet. pertama 1998).
  •  ‘Abdullah Ibn ‘Abbas, Tanwīr al-Muqabbas, (Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth).
  • Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, (Damaskus: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, cet.kedua 1418H).
  • Abū Bakar Ibn Abī Syaibah, al-Kitāb al-Mushanif Fi al-Ahādīts wa al-Ātsār, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, Cet. pertama 1409 H).
  • Abu Ja’far ath Thobariy, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al Qur’an, (Beirut : Muassasatu ar Risalah, 1420 H).


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion