Sigit Suhandoyo. Kajian terhadap ilmu asbāb al-nuzūl merupakan hal yang penting bagi para pengkaji al-Qur’ān. Sebab-sebab turunnya ayat adalah sejarah bagi ayat tersebut. Meskipun tidak semua ayat al-Qur’ān turun karena sebuah sebab(1), namun tak disangsikan bahwa penguasaan yang baik terhadap sebab-sebab turunnya ayat, adalah bekal yang memadai dalam upaya memahami al-Qur’ān. Menghindarkan diri dari kesalahan menafsirkan al-Qur’ān dan memperluas khasanah keilmuan bagi para pengkaji al-Qur’ān. Al-Suyuthī menuturkan,
ومن فوائدة لمعرفة أسباب النزول الوقوف على المعنى أو إزالة الأشكال.(2)
Diantara faidah mengetahui asbāb al-nuzūl adalah mengetahui makna yang sebenarnya dan menghilangkan kesulitan dalam memahami suatu ayat.
Kajian ringkas tentang asbāb al-nuzūl ini mambahas definisi, para ulama yang menyusunnya, cara mengetahui dan faidahnya.
PEMBAHASAN
A. DEFINISI ASBĀB AL-NUZŪL
Al-Qur’ān diturunkan secara bertahap mengiringi perjalanan hidup Rasulullah saw. Selain memudahkan dalam hal membaca dan menghafal, serta memahami dan mengamalkan al-Qur’ān. Allah ta’ala berfirman dalam surat al-Isra ayat 106,
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”
Pemimpin para mufassir dari kalangan sahabat Nabi saw, Ibnu ‘Abbas ra, mengemukakan bahwa al-Qur’an turun ayat demi ayat, perkara demi perkara dan kisah-demi kisah(3), untuk memisahkan kebenaran atas kebathilan dan menguatkan keimanan. Ibnu ‘Asyūr (w. 1393 H) menuturkan bahwa al-Qur’ān diturunkan secara berangsur-angsur agar diketahui sebab-sebab dan kejadian-kejadian yang melatar belakangi ayat tersebut(4).
Menurut Sayyid Jibrīl, sebagian besar ulama mengemukakan bahwa yang dimaksud asbāb al-nuzūl adalah,
ما نزلت الأية أو الأيات في شأنه أيام وقوعه: بيان لحكمه إذا كان حادثة أو نحوها، أو جوابا عنه إذا كان سؤالا موجها إلى النبى صلى الله عليه و سلم.(5)
Segala peristiwa yang melatarbelakangi diturunkannya satu atau beberapa ayat, menjelaskan hukum atas sebuah kejadian dan sejenisnya, atau jawaban terhadap persoalan yang dihadapkan kepada nabi saw.
Sebagai contoh sebab turunnya sebuah ayat dikarenakan terjadinya sebuah peristiwa. Abu Jabirah meriwayatkan tentang turunnya larangan memanggil dengan gelaran yang buruk (surat al Hujurat ayat ke 11).
كَانَ الرَّجُلُ مِنَّا يَكُونَ لَهُ الِاسْمَانِ وَالثَّلَاثَةُ، فَيُدْعَى بِبَعْضِهَا فَعَسَى أَنْ يَكْرَهَ» ، قَالَ: فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةَ: {وَلَا تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ}.(6)
Adakalanya seorang laki-laki dari kami memiliki dua atau tiga nama panggilan. Boleh jadi ia kemudian dipanggil dengan nama yang dibencinya. Kemudian turunlah ayat janganlah kalian saling memanggil dengan gelaran yang buruk.
Kemudian contoh ayat yang turun karena persoalan yang dihadapkan kepada Nabi saw adalah surat al-Nāzi’āt ayat 42-44, Dari Aisyah ra,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يُسْأَلُ عَنِ السَّاعَةِ حَتَّى أُنْزِلَ عَلَيْهِ {يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا} [النازعات: 42](7)
Bahwasanya nabi saw sering ditanya tentang kapan terjadinya hari kiamat hingga turunlah ayat ini. (Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).
B. PARA ULAMA PENYUSUN ASBĀB AL-NUZŪL
Para ulama menaruh perhatian yang sangat besar terhadap ilmu ini, sebab asbāb al-nuzūl merupakan ilmu alat untuk menafsirkan al-Qur’ān. Diantara para ulama yang menyusunnya adalah Alī a-Madīnī (w. 234 H). Ia adalah salah seorang guru al-Bukhārī. Keberadaan kitabnya tidak diketahui, selain melalui isyarat yang disampaikan oleh al-Suyuthi (8). Al-Wahīdī (w. 468 H) menyusun kitab yang dinamakan “asbāb al-nuzūl”, dapat dikatakan ini merupakan kitab tentang asbāb al-nuzūl yang paling masyhur. Diterbitkan diantaranya oleh Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama pada tahun 1411 H.
Ibnu Hajar al-Asqalānī (w. 852 H), menyusun sebuah buku tentang asbāb al-nuzūl, namun beliau wafat sebelum menuntaskan tulisannya. Bukunya yang diberi judul al-‘Ijāb Fī Bayān al-Asbāb ini diterbitkan dua jilid oleh Dār Ibnu al-Jauzi. Selanjutnya adalah Jalāl al-Dīn al-Suyuthī (w. 911 H), yang menulis Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, diterbitkan oleh Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Selain buku-buku khusus tentang asbāb al-nuzūl, beberapa ulama tafsīr juga menuliskan sebab-sebab turunnya ayat dalam tafsir mereka. Misalnya Ibnu al-Jauzi (w. 597 H), menulis Zad al-Masir. Ibnu Katsīr (w. 774 H) menulis Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm, serta berbagai kitab tafsir bil ma’tsur yang lain.
C. CARA MENGETAHUI ASBĀB AL-NUZŪL
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbāb al-nuzūl adalah riwayat shaḫīḫ yang berasal dari Rasulullah saw atau para sahabatnya(9). Hal ini dikarenakan mereka hidup semasa dengan turunnya wahyu, berinteraksi dengan al-Qur’ān sesuai dengan realita kontemporer pada masa itu. Al Wahidi mengemukakan,
وَلَا يَحِلُّ الْقَوْلُ فِي أَسْبَابِ نُزُولِ الْكِتَابِ، إِلَّا بِالرِّوَايَةِ وَالسَّمَاعِ مِمَّنْ شاهدوا التنزيل، ووققوا عَلَى الْأَسْبَابِ، وَبَحَثُوا عَنْ عِلْمِهَا وَجَدُّوا فِي الطِّلَابِ، وَقَدْ وَرَدَ الشَّرْعُ بِالْوَعِيدِ لِلْجَاهِلِ ذِي الْعِثَارِ فِي الْعِلْمِ بِالنَّار.(10)
Tidaklah halal mengemukakan pendapat tentang sebab-sebab turunnya ayat kecuali dengan riwayat atau mendengar langsung dari mereka yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya, dan terdapat ancaman neraka bagi orang-orang yang bodoh terhadap ilmu.
Dengan demikian pengetahuan tentang sebab turunnya suatu ayat adalah domain para sahabat Rasulullah saw yang menjadi saksi atas turunnya ayat tersebut. As-Suyuti menuturkan, meskipun terkait dengan persitiwa maupun suatu persoalan yang dihadapkan kepada Rasulullah saw, menurutnya tidak ada satu ayatpun yang turun langsung saat suatu peristiwa terjadi(11).
D. FAEDAH MENGETAHUI ASBĀB AL-NUZŪL
Pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah,
1. Mengetahui hikmah dari turunnya suatu syari’at.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Māidah ayat 6,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Al-Suyuthī mengutip sebuah riwayat al-Bukhārī dari ‘Aisyah ra istri Nabi saw telah berkata: “ketika kami dalam perjalanan bersama Rasulullah saw menuju Madinah, kalungku terjatuh di gurun. Kemudian Rasulullah saw menghentikan untanya, lalu beliau turun. Setelah itu beliau merebahkan kepala beliau dipangkuanku hingga tertidur. Lalu Abu Bakar datang dan memukulku dengan keras dan berkata, ”gara-gara kalungmu orang-orang tidak bisa langsung pulang ke Madinah!” Kemudian Rasulullah saw bangun dan waktu pagipun tiba. Disaat beliau akan berwudhu beliau tidak mendapati air. Maka turunlah firman Allah, al maidah ayat 6 tersebut di atas. Kemudian Usaid bin Hudhair berkata, “karena kalianlah wahai keluarga Abu Bakar, Allah telah memberi berkah kepada orang-orang(12).”
Turunnya ayat ini menetapkan keringanan Allah atas ummat Islam tentang kebolehan tayamum untuk berbagai kewajiban yang mensyaratkan mensucikan diri dengan air, seperti wudhu untuk sholat, mandi karena junub, maupun mensucikan hadats besar. Meskipun kasus khususnya hanya untuk keperluan berwudhu untuk menunaikan sholat subuh. Sebagaimana yang dituliskan Ibnu ‘Asyūr terkait ayat ini bahwa Allah telah menyempurnakan karunia bagi agama Islam dengan merincikan berbagai hukum berkenaan dengan pensucian jiwa dan fisik dengan memberikan kemudahan dalam berbagai halnya(13). Abū Ja’far al-Thabarī mengemukakan bahwa, “ليلزمكم في دينكم من ضيق، ولا ليعنتكم فيه”(14). Allah tidak menetapkan agama bagi ummat Islam ini suatu kesulitan dan kesukaran. Allah ta’ala berfirman dalam surat an-Nisa ayat 26,
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan salihin) dan (hendak) menerima tobatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
2. Pengkhususan suatu hukum bagi yang berpendapat bahwa, pelajaran atau teladan berdasarkan kekhususan suatu sebab.
Permasalahan tentang pelajaran atau teladan berdasarkan lafadz umum atau sebab yang khusus sebenarnya merupakan masalah khilafiyah. Meskipun demikian jumhur ulama berpendapat bahwa pelajaran atau teladan adalah berdasarkan lafadz yang umum dari ayat bukan sebab khusus diturunkannya ayat tersebut. Memilih pendapat jumhur ulama lebih diutamakan.
Sebagai contoh dalam hal ini surat al-Anfāl ayat 27,
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَماناتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
Ayat ini turun tentang Abu Lubabah. Pada waktu perang Bani Quraizhah, Rasulullah saw mengutusnya untuk menyampaikan pesan agar mereka tunduk di bawah hukum Rasulullah saw. Lalu orang-orang bani Quraizhah meminta saran dari Abu Lubabah mengenai hal tersebut, maka Abu Lubabah mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya kearah tenggorokannya, yang maksudnya ialah disembelih, yakni mati. Maka turunlah ayat ini. Abu Lubabah mengatakan, “selagi masih di tempat, aku pun menyadari bahwa aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya(15). Jika pelajaran berdasarkan kekhususan sebab, maka hukum larangan khianat ini terkait dengan perbuatan mengkhianati Rasulullah saw dalam peperangan. Sebagaimana sebab turunnya ayat.
Berbeda pendapat dengan hal tersebut, Ibnu Katsir menuturkan bahwa,
وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْآيَةَ عَامَّةٌ، وَإِنْ صَحَّ أَنَّهَا وَرَدَتْ عَلَى سَبَبٍ خَاصٍّ، فَالْأَخْذُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ عِنْدَ الْجَمَاهِيرِ مِنَ الْعُلَمَاءِ. وَالْخِيَانَةُ تَعُمُّ الذُّنُوبَ الصِّغَارَ وَالْكِبَارَ اللَّازِمَةَ وَالْمُتَعَدِّيَةَ.(16)
Menurut kami, pendapat yang sahih adalah yang mengatakan ayat ini bermakna umum, sekalipun benar bahwa ayat ini diturunkan karena latar belakang yang bersifat khusus. Menurut jumhur ulama, hal yang terpakai ialah keumuman makna yang dikandungnya, bukan latar belakangnya yang khusus. Perbuatan khianat bersifat umum mencakup semua dosa besar dan dosa kecil yang bersifat permanan dan yang tidak permanen.
Demikian pula firman Allah ta’ala dalam surat al-Anbiya ayat 101,
إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ
“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka,”
al-Suyūthī mengutip al-Hakim yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa ketika turun ayat ke 98,
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ
“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahanam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” Maka Ibnu al-Za’bari berkata, penyembah matahari, bulan, malaikat, Isa, Uzair semuanya akan masuk neraka bersama yang disembahnya dan juga bersama tuhan-Tuhan kita(17). Kemudian turunlah ayat ke 101.
Al-Rāzi mengemukakan bahwa mereka yang berpendapat bahwa pelajaran dari ayat ini terkait sebab turunnya ayat, memaknai maksud “orang-orang yang telah ada ketetapan yang baik dari Kami” hanyalah orang-orang sholeh yang dijadikan sesembahan oleh orang-orang yang zhalim saja(18).
Berbeda pendapat dengan hal tersebut, Pakar tafsir Ibnu ‘Asyur mengemukakan pendapat bahwa ayat ini tidak dimaknai hanya segala sesuatu yang disembah selain Allah, melainkan berlaku umum, “والَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنى عَامٌّ يَعُمُّ كُلَّ مُؤْمِنٍ مَاتَ عَلَى الْإِيمَانِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ”(19) Dan maksud orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami merupakan pengertian umum yang mencakup seluruh orang beriman yang wafat atas keimanan dan amal sholeh.
3. Memahami makna suatu ayat secara benar.
Contoh yang sederhana untuk difahami adalah tentang maksud dari teks “jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya”, dalam surat al Hujurat ayat 1,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Juraiz bahwa ibnu Mulaikah menceritakan kepadanya:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَدِمَ رَكْبٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمِّرِ الْقَعْقَاعَ بْنَ مَعْبَدٍ، وَقَالَ عُمَرُ: بَلْ أَمِّرِ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا أَرَدْتَ إِلَّا خِلَافِي، وَقَالَ عُمَرُ: مَا أَرَدْتُ خِلَافَكَ، فَتَمَارَيَا حَتَّى ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا(20).
Bahwasanya Abdullah bin Zubair telah memberitahunya bahwa telah datang kafilah dari bani tamim kepada Rasulullah saw, maka abu Bakar berkata: jadikanlah pemimpin al Qa’qa’ bin Ma’bad, Umar berkata: jangan, tunjuklah al Aqra’ bin haabis. Abu Bakar berkata: Tidak ada maksudmu melainkan untuk berselisih denganku. Umar berkata: aku tidak bermaksud berselisih denganmu. Mereka beradu argumen hingga suara mereka meninggi. -- Kemudian Allah ta’ala menurunkan awal surat ini hingga ayat ke 5--.
Dari sebab turunnya ayat jelas difahami bahwa maksud dari jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya adalah larangan memutuskan sebuah perkara hingga datang ketetapan Allah melalui keputusan Nabi-Nya. Hal ini juga berarti mendahulukan ketetapan Allah dan Rasul-Nya merupakan adab syar’i dalam menjalani kehidupan.
Contoh berikutnya sebagaimana dikisahkan bahwa Utsman bin Madh’un rad an Amr bin Ma’dy Karib, keduanya pernah berkata bahwa khamr adalah mubah (diperbolehkan). Mereka mengatakan demikian berdalilkan ayat ke 93 surat al-Maidah,
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Kesalahan memahami ayat ini tidak akan terjadi jika mengetahui sebab turunnya ayat ini adalah sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat tentang orang-orang yang telah terbunuh di jalan Allah sedang dahulu semasa hidupnya mereka minum khamr(21).
Demikian pula dalam hal membantah dugaan adanya larangan yang bersifat terbatas barang-barang yang diharamkan, sebagaimana tertera dalam surat al-An’am ayat 145,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Imam Syafi’i mengemukakan ketika orang-orang kafir telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, turunlah ayat di atas sebagai bantahan atas perbuatan buruk mereka. Tujuan firman Allah adalah bukan membatasi barang-barang haram hanya keempat hal yang disebutkan (bangkai, daging babi, darah dan yang disembelih untuk selain Allah). Bukan pula untuk menetapkan kehalalan bagi hal-hal selain keempat hal yang disebutkan(22).
CATATAN KAKI
1. Menurut al Ja’barī al-Qur’an itu diturunkan dengan dua cara, turun tanpa sebab maupun dengan sebab seperti peristiwa maupun pertanyaan. Bahkah menurut Muhammad Bakr Isma’il ayat-ayat yang turun secara langsung atau tanpa sebab tertentu lebih banyak dari yang turun dengan sebab tertentu. Lihat, Abū ‘Abd al-Rahmān Abu Bakar Jalāl al-dīn al-Suyuthi, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Haiah al-Mishriyah al-‘āmmah lilkitab, 1394H), Jilid 1, hlm 107. Lihat Juga, Muḫammad Bakr Isma’il, Dirāsat Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Manār, cet. kedua, 1999), hlm 151.
2. Jalāl al-dīn al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), hlm 3.
3. Abū Ja’far al-Thabarī, Jāmi’ al-Bayān, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. Pertama, 2000), Jilid 17, hlm 573.
4. Muḫammad Thāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḫrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984 H), Jilid 15, hlm 231.
5. Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007), hlm 132
6. Muḫammad bin ‘Īsa al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, (Mesir: Perusahaan percetakan Musthafa al-Halabi, 1395 H), Jilid 5, hlm 388, ḫadits no 3268. Ḫadits ini ḫasan shaḫiḫ. Diriwayatkan pula oleh, Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Jilid 4, hlm 290, ḫadits no 4962.
7. Abū ‘Abdullāh al-Hakīm, al-Mustadrak ‘Ala al-Shaḫiḫain, (Beirut: Dār al-Kutub al’Ilmiyyah, cet. pertama 1411 H), Jilid 2, hlm 558, hadits no 3895. Ḫadits ini shaḫiḫ.
8. Muḫammad al-Sayyid Jibrīl, op.cit, hlm 136
9. Mannā’ bin Khalīl al-Qathan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Maktabatu al-Ma’ārif, cet. ketiga, 1421 H), hlm 76.
10. Abū al-Ḫasan ‘Alī al-Wahīdī, Asbāb al-Nuzūl, (Cairo: Dār al-Ishlāḫ, cet kedua 1412 H), Hlm 8.
11. Jalāl al-dīn al-Suyuthī, al-Itqān, op.cit, Jilid 1, hlm 109-110.
12. Jalāl al-dīn al-Suyūthī, Lubāb al-Nuqūl, op.cit, hlm 77.
13. Muḫammad Thāhir Ibnu ‘Āsyūr, op.cit, Jilid 6, hlm 132.
14. Abū Ja’far al-Thabarī, op.cit, Jilid 10, hlm 85.
15. Jalāl al-dīn al-Suyūthī, Lubāb al-Nuqūl, op.cit, hlm 96. Lihat juga, Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Beirut: Dār Thoyibah, cet. kedua 1420 H), Jilid 4, hlm 40.
16. Ibnu Katsir, ibid, Jilid 4, hlm 41.
17. Jalāl al-dīn al-Suyūthī, Lubāb al-Nuqūl, op.cit, hlm 96.
18. Fakru al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḫ al-Ghaib, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabī, cet. ketiga, 1420 H), Jilid 22, hlm 189.
19. Muḫammad Thāhir Ibnu ‘Āsyūr, op.cit, Jilid 17, hlm 155.
20. Al-Wahidi, Asbāb al-Nuzūl al Qur’ān, (Damam: Dār al Ishlāh, 1412 H, Hlm 385
21. Abū Ja’far al-Thabarī, op.cit, Jilid 10, hlm 578.
22. Jalāl al-dīn al-Suyuthī, al-Itqān, op.cit, Jilid 1, hlm 116.
DAFTAR PUSTAKA
- Abū ‘Abd al-Rahmān Abu Bakar Jalāl al-dīn al-Suyuthi, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Haiah al-Mishriyah al-‘āmmah lilkitab, 1394H)
- Muḫammad Bakr Isma’il, Dirāsat Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Manār, cet. kedua, 1999)
- Jalāl al-dīn al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl Fī Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth).
- Abū Ja’far al-Thabarī, Jāmi’ al-Bayān, (Beirut: Muasasatu al-Risālah, cet. Pertama, 2000).
- Muḫammad Thāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḫrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984 H).
- Muhammad al-Sayyid Jibrīl, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007)
- Muḫammad bin ‘Īsa al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, (Mesir: Perusahaan percetakan Musthafa al-Halabi, 1395 H)
- Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth)
- Abū ‘Abdullāh al-Hakīm, al-Mustadrak ‘Ala al-Shaḫiḫain, (Beirut: Dār al-Kutub al’Ilmiyyah, cet. pertama 1411 H)
- Mannā’ bin Khalīl al-Qathan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Maktabatu al-Ma’ārif, cet. ketiga, 1421 H).
- Abū al-Ḫasan ‘Alī al-Wahīdī, Asbāb al-Nuzūl, (Cairo: Dār al-Ishlāḫ, cet kedua 1412 H)
- Abū al-Fidā Ismā’īl Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, (Beirut: Dār Thoyibah, cet. kedua 1420 H)
- Fakru al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḫ al-Ghaib, (Beirut: Dār Ihyāu Turats al-‘Arabī, cet. ketiga, 1420 H)