Makiyah dan Madaniyah



Sigit Suhandoyo. Mengkaji permasalahan surat makiyah dan madaniyah merupakan hal yang penting. Selain untuk tujuan kajian al-Qur’an secara mendalam dan terperinci juga penguasaan terhadap dalil-dalil al-Qur’an. Terutama dalam hal penetapan hukum. As-Suyuthi berpendapat,

مِنْ فَوَائِدِ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ الْعِلْمُ بِالْمُتَأَخِّرِ فَيَكُونُ نَاسِخًا أَوْ مُخَصَّصًا عَلَى رَأْيِ مَنْ يَرَى تَأْخِيرَ الْمُخَصَّصِ (al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān 1/36)

bahwa diantara manfaat memahami makiyah dan madaniyah adalah pengetahuan tentang surat yang akhir diturunkan sehingga diketahui apakah ia nāsikh ataupun mukhasas. Tentu saja bagi yang berpendapat surat-surat yang lebih akhir diturunkan itu mukhashas.

Kajian ringkas tentang makiyah dan madaniyah dalam naskah ini membahas tentang pendapat-pendapat terkait istilah makiyah dan madaniyah, cara-cara mengetahui makiyah dan madaniyah, karakteristik kandungan makiyah dan madaniyah serta faidahnya dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. 


PEMBAHASAN

A. PENDAPAT TENTANG ISTILAH MAKIYAH & MADANIYAH

Dikalangan para ulama terdapat tiga pendapat terkait istilah makiyah dan madaniyah. Pendapat Pertama, terkait dengan waktu diturunkannya. makiyah adalah ayat dan surat yang turun sebelum hijrah dan madaniyah adalah yang diturunkan setelah hijrah. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling utama. Pendapat Kedua, terkait dengan tempat diturunkannya. Bahwa Makiyah adalah ayat dan surat yang diturunkan di Mekah meskipun setelah hijrah, sedangkan Madaniyah adalah yang diturunkan di Madinah. Sedangkan Pendapat ketiga, terkait dengan isi pembicaraan dari ayat dan surat tersebut. Apakah terkait dengan penduduk Mekah ataupun penduduk Madinah. Sebagai contoh pembicaraan bagi penduduk Mekah diawali dengan “يا أيها الناس” dan bagi penduduk Madinah “يا أيها الذين أمنوا”.

Mengutamakan pendapat pertama lebih tepat dikarenakan pengelompokan berdasarkan periodesasi turunnya wahyu dapat menentukan sejarah, kebertahapan pemberlakuan hukum serta nāsikh dan mansūkh (al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, 78). Demikian pula kelemahan pada pendapat yang terkait dengan tempat turunnya, selain mengabaikan kebertahapan hukum juga mengesampingkan ayat-ayat yang turun tidak di kedua tempat tersebut. Adapun pendapat ketiga memiliki kelemahan dikarenakan sebagian ayat maupun surat merupakan pembicaraan yang bersifat umum maupun pembicaraan yang khusus seperti yang ditujukan bagi Rasulullah saw, seperti surat al-Insyirah, dll.

Sebagai contoh adalah surat al-Muzammil, menurut Ibnu ‘Athiyah (w. 542 H) jumhur ulama berpendapat seluruh surat ini makiyyah kecuali ayat terakhir (20) adalah madaniyah (al-Kitāb al-Mihwar al-Wajīz Fi Tafsīr al-‘Azīz, 5/386.). Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah ra, 

فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضَ قِيَامَ اللَّيْلِ فِي أَوَّلِ هَذِهِ السُّورَةِ، فَقَامَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَوْلًا، وَأَمْسَكَ اللهُ خَاتِمَتَهَا اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا فِي السَّمَاءِ، حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ فِي آخِرِ هَذِهِ السُّورَةِ التَّخْفِيفَ، فَصَارَ قِيَامُ اللَّيْلِ تَطَوُّعًا بَعْدَ فَرِيضَة. (Shahih Muslim 1/513.)

“Sesungguhnya Allah azza wajalla mewajibkan qiyamul lail sebagaimana perintah pada awal surat ini (al-muzammil), maka Nabi saw dan para sahabatnya mengerjakannya. Allah menahan turunnya akhir surat selama 12 bulan, hingga turun akhir surat yang memberikan keringanan, jadilah qiyamul lail menjadi ibadah tathowu’ (sukarela)”

Sebagaimana difahami bahwa dari teks ayat kedua surat al-Muzammil “قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا”, kata “qum” atau bangunlah merupakan bentuk fi’il amr yang menunjukkan kewajiban (catatan #). Kemudian turun ayat ke 20,

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ...

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah...

Dengan turunnya ayat ini maka kewajiban qiyamul lail di nasakh (catatan ##). Demikianlah pengetahuan tentang makiyah dan madaniyah memberikan alat bagi pengkaji al-Qur’an untuk dapat memahami hukum atas suatu perkara. Dalam kasus ini kita mengetahui bahwa qiyamul lail merupakan shalat yang pertama kali diwajibkan kepada ummat Muhammad saw, sebelum kewajiban shalat 5 waktu (al-Itqan 1/67).


B. CARA MENGETAHUI MAKIYAH DAN MADANIYAH

Para ulama menentukan makiyah dan madaniyahnya suatu ayat dan surat berdasarkan dua cara yaitu, (a). naql dan simā’i dan (b). qiyās dan ijtihād. Cara pertama merupakan cara yang lebih didahulukan. Dalam hal ini para ulama menelusuri berbagai riwayat tentang turunnya ayat dari para sahabat atau dari para tabi’in yang mendengar perkataan para sahabat. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah riwayat dari ‘Abdullāh bin Mas’ud ra telah berkata,

وَاللَّهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ، مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ إِلَّا أَنَا أَعْلَمُ أَيْنَ أُنْزِلَتْ، وَلاَ أُنْزِلَتْ آيَةٌ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ إِلَّا أَنَا أَعْلَمُ فِيمَ أُنْزِلَتْ، وَلَوْ أَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنِّي بِكِتَابِ اللَّهِ، تُبَلِّغُهُ الإِبِلُ لَرَكِبْتُ إِلَيْهِ

 (Shahīh al-Bukhārī  6/187, no 5002)

“Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, tidaklah suatu surat dari al-Qur’ān kecuali aku mengetahui dimana diturunkannya. Dan tidak pula suatu ayat dari al-Qur’ān kecuali aku mengetahui mengapa ia diturunkan. Sekiranya aku mengetahui ada orang lain yang lebih pandai dariku tentang al-Qur’ān, dan dapat kujangkau dengan untaku niscaya aku akan menjumpai orang itu.

Metode qiyās dan ijtihād didasari pada ciri-ciri surat. Jika didalamnya terdapat sifat atau peristiwa makiyah maka ia termasuk surat makiyah dan begitupula dengan madaniyah. Adapun ciri-ciri surat Makiyah adalah sebagai berikut, (a). Terdapat ayat sajdah didalamnya, (b). Setiap surat yang mengandung lafadz kallā, (c). setiap surat yang mengandung “يا أيها الناس” dan tidak mengandung “يا أيها الذين أمنوا” kecuali pada surat al-Hajj ayat 77, terdapat khilaf dikalangan ulama. (d). setiap surat yang menceritakan kisah nabi dan ummat terdahulu kecuali al-Baqarah. (e). setiap surat yang menceritakan Adam dan iblis kacuali al-Baqarah dan (f). setiap surat yang dibuka dengan huruf singkatan seperti alif lām mīm dan sebagainya kecuali surat al-ra’du, terdapat khilaf dikalangan ulama (Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān 62-63).

Sedangkan ciri pada surat madaniyah adalah, (a). Setiap surat yang berisi kewajiban dan sanksi, (b). setiap surat yang disebutkan orang munafiq kecuali surat al-‘Ankabut, dan (c). setiap surat yang terdapat percakapan dengan ahlul kitab (Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān 63).

Sebagai contoh surat madaniyah adalah surat al-Munāfiqūn. Para ulama tafsir sepakat bahwa surat ini adalah madaniyah (al-Kitāb al-Mihwar al-Wajīz Fi Tafsīr al-‘Azīz 5/311). Meski bukan hanya satu-satunya surat yang menceritakan kemunafikan, setiap surat madaniyah nyaris menyebutkan orang-orang munafik baik melalui isyarat atau secara tegas. Penulis Fi Dzilal mengemukakan kandungan global surat ini sebagai berikut,

في هذه السورة التي تتضمن حملة عنيفة على أخلاق المنافقين وأكاذيبهم ودسائسهم ومناوراتهم، وما في نفوسهم من البغض والكيد للمسلمين، ومن اللؤم والجبن وانطماس البصائر والقلوب. 

Surat ini memuat penentangan yang keras terhadap moral orang-orang munafik, mengungkap berbagai kedustaan, konspirasi dan manuver mereka setra kebencian dan dendam dihati mereka terhadap kaum Muslimin. Serta mengungkapkan sebagian kehinaan, ketakutan dan ketertutupan mata hati mereka (Fī Dzilāl al-Qur’ān 6/3572)

Merujuk kepada salah satu model penafsiran al-Qur’an secara tematik, seperti yang ditulis oleh Wahbah al-Zuhaili (al-Tafsir al-Munir 28/ 212-234). Ia mengemukakan bahwa surat al-Munāfiqūn terbagi dalam 3 tema, yaitu : (a). أقبح أوصاف المنافقين في ميزان الشرع: Buruknya sifat-sifat kaum munafik dalam tinjauan syari’at, melingkupi ayat 1-4 (b). أدلة إثبات كذب المنافقين ونفاقهم: petunjuk-petunjuk penetapan kedustaan kaum munafik dan kemunafikan mereka, melingkupi ayat ke 5-8, dan  (c).  تحذير المؤمنين من أخلاق المنافقين وأمرهم بالإنفاق في سبيل الخير : peringatan bagi kaum mukminin atas moralitas kaum munafiqin dan perintah untuk berinfaq dalam kebaikan, melingkupi ayat 9-11.

Dalam surat ini terdapat dua ciri dari surat madaniyah, pertama hampir seluruh ayat bercerita tentang kaum munafiqin, perilaku, dan sifatnya. Seperti teks ayat ke7, “هُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ لَا تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا”, Mereka orang-orang (munafik) yang mengatakan (kepada orang-orang Ansar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)".

Kedua, ciri madaniyah adalah berisi kewajiban dan sanksi. Seperti teks pada ayat ke 10, “.وَأَنْفِقُوا مِنْ ما رَزَقْناكُمْ..” menurut pakar tafsir hukum al-Qurthubi, menunjukkan dua kewajiban yaitu; (a) menyegerakan menunaikan zakat jika telah terpenuhi syaratnya dan (b). sebagaimana ia kutip dari Ibnu Abbas ra, bisa juga berarti infaq wajib secara khusus (al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān 18/130), misalkan kebutuhan pembiayaan jihad peperangan. 

Pengetahuan tentang madaniyah dalam kasus surat al-Munāfiqūn ini akan melengkapi perspektif para pengkaji al-Qur’an tentang pemberlakuan syari’at dan hukum Islam dalam dinamika Negara Madinah, khususnya fenomena kemunafikan yang terlihat jelas dan menimbulkan instablitas sosial.  

  

C. KARAKTERISTIK KANDUNGAN MAKIYAH DAN MADANIYAH

Selain ciri-ciri tersebut diatas, para ulama juga menjelaskan karakteristik makiyah dan madaniyah dari segi kandungannya. 

1. Karakteristik al-Qur’an pada marhalah makiyah

Allah ta’ala mengutus Rasul-Nya dengan risalah Islam pada masyarakat yang jahil terhadap hakikat keimanan dan moralnya. Kondisi ini digambarkan dalam al-Qur’an surat al-Jum’ah ayat 2 sebagai kesesatan yang nyata.

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,”

Atas kondisi kerusakan akidah dan moral masyarakat inilah Rasulullah diutus dengannya al-Qur’an. Diturunkan secara bertahap dalam rangka mentarbiyyah masyarakat pada masa itu. Jika dirinci karakteristik al-Qur’an pada marhalah makiyah adalah sebagai berikut, (a). Da’wah kepada aqidah yang benar. (b). Meletakkan asas bagi hukum dan keutamaan akhlaq, (c). Menjelaskan kedustaan ummat terdahulu dan kehancuran mereka, (d). Lafadz yang pendek namun mendalam dan menggetarkan hati, (e). Mudah untuk dibaca dan dihafalkan.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah surat al-Hāqqah, surat ini makiyah, kandungannya yang pertama adalah tentang da’wah kepada aqidah, yaitu keimanan terhadap Allah, al-Qur’an, Rasul Allah, malāikat Allah, hari kiamat, hisab, surga dan neraka. Kedua, menutuakan tentang keutamaan akhlaq, khususnya tentang memberi makan orang miskin, kejujuran dan taqwa. Ketiga, Menjelaskan kedustaan ummat terdahulu, yaitu tentang kaum ‘Ād, Tsamud, Fir’aun dan kaum nabi Nuh. Keempat, Lafadznya pendek-pendek namun menggetarkan hati, misalkan tentang orang-orang yang menerima catatannya dengan tangan kirinya,

وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ (25) وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ (26) يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ (27) مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ (28) هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ (29) خُذُوهُ فَغُلُّوهُ (30) ثُمَّ الْجَحِيمَ صَلُّوهُ (31) ثُمَّ فِي سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ (32)

“Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: "Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku" (Allah berfirman): "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya." Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.”

Sayyid Quthb memberikan ulasan tentang kandungan surat al-Hāqqah, sebagai berikut,

هذه سورة هائلة رهيبة قل أن يتلقاها الحس إلا بهزة عميقة وهي منذ افتتاحها إلى ختامها تقرع هذا الحس، وتطالعه بالهول القاصم، والجد الصارم. والسورة بجملتها تلقي في الحس بكل قوة وعمق إحساسا واحدا بمعنى واحد.. أن هذا الأمر، أمر الدين والعقيدة، جد خالص حازم جازم.

Ini merupakan surat yang mengerikan dan menakutkan tiada seorangpun yang mempelajarinya melainkan perasaannya akan terguncang dengan kesan yang mendalam. Surat ini sejak pembukaan sampai penutupnya menggugah perasaan dan memperlihatkan kengerian yang menghancurkan dan keseriusan yang tegas. Surat ini secara keseluruhan memberikan kesan yang kuat dan mendalam ke dalam perasaan kita akan sebuah pengertian, bahwa materi yang diketengahkan adalah perkara agama, aqidah dengan penyajian yang serius, murni, tegas dan pasti (Fī Dzilāl al-Qur’ān 6/3674).

Kelima, ayat-ayat dalam surat ini pendek-pendek dan mudah dihafal, seperti pada permulaan surat “الْحَاقَّةُ (1) مَا الْحَاقَّةُ (2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ (3)”. Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?

2. Karakteristik al-Qur’an pada marhalah madaniyah.

Setelah hijrah Nabi Muhammad saw, dimulailah marhalah baru dalam penegakkan syari’at Islam. Hal ini merupakan kebutuhan yang penting bagi kekokohan tatanan system hidup masyarakat muslim yang baru terbentuk dan penjagaannya dari berbagai intimidasi. Secara rinci karakteristik al-Qur’an pada marhalah ini adalah sebagai berikut, (a). Seruan da’wah kepada Islam secara terbuka, (b). Pengaturan system sosial kemasyarakatan, (c). Menjelaskan kewajiban-kewajiban syari’at, (d). pensyari’atan jihad, (e). Ayat-ayat yang panjang dengan menjelaskan tujuan-tujuan ayat. 

Sebagai contoh dalam bahasan ini adalah surat at-Taḫrīm. Menurut Ibnu ‘Athiyah ulama tafsir sepakat bahwa surat ini adalah madaniyah (al-Kitāb al-Mihwar al-Wajīz Fi Tafsīr al-‘Azīz 5/329). Kandungan surat ini menuturkan tentang sistem sosial kemasyarakatan. Khususnya tentang sistem sosial dalam keluarga. Secara tematik surat ini menceritakan kisah keluarga Rasulullah saw, petunjuk-petunjuk kepada keluarga orang beriman, serta kisah keluarga pada ummat terdahulu seperti keluarga Nuh, Luth, Fir’aun dan Maryam.

Surat ini juga menjelaskan tentang beberapa kewajiban syari’at, seperti larangan mengharamkan yang halal, tentang sumpah, talak, dan kewajiban da’wah kepada keluarga. Demikian pula terdapat perintah memerangi orang kafir dan munafik pada ayat ke 9.


D. FAEDAH MENGETAHUI MAKIYAH DAN MADANIYAH

Pengetahuan tentang makiyah dan madaniyah merupakan suatu alat yang penting dikuasai oleh para pengkaji al-Qur’an. Sebagaimana beberapa ulasan berikut contoh-contoh di atas, pengetahuan ini terkait dengan faidah-faidah berikut, (a). pertimbangan tentang nāsikh dan mansūkh. (b). mengetahui tentang sejarah pensyari’atan dan pentahapan hukum bagi mukallaf, (c). menghayati uslub al-Qur’an dan mengambil hikmah dalam da’wah, (d). mengetahui sejarah nabi dari sudut pandang ayat-ayat al-Qur’an, dan (e). menguatkan keyakinan terhadap al-Qur’an al-karim.


KESIMPULAN

Kajian atas makiyah dan madaniyah dalam al-Qur’an ini menyajikan perbedaan pendapat ulama tentang istilah makiyah dan madaniyah. Memakai pendapat yang mendasarkan istilah terkait waktu turunnya –sebelum atau seseudah hijrah- merupakan pendapat yang disepakati sebagian besar ulama dan membantu dalam penertiban hukum.

Demikian pula para ulama menetapkan beberapa ciri dan kandungan atau isi surat untuk membantu para pengkaji al-Qur’an mengetahui makiyah atau madaniyah. Nilai penting kajian makiyah dan madaniyah mengetengahan berbagai faidah dalam penetapan hukum serta berbagai ibrah dalam da’wah dan keimanan kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya.


CATATAN

(#) Pakar tafsir hukum al-Qurthubi (w. 671 H) mengemukakan berbagai perbedaan pendapat dikalangan ulama. Apakah kewajiban itu bersifat menyeluruh atau khusus bagi Nabi saw. Menurut Sa’id bin Zubair kewajiban tersebut hanya bagi Nabi Muhammad saw. Menurut Ibnu ‘Abbas kewajiban tersebut adalah bagi Nabi Muhammad saw dan nabi-nabi sebelumnya. Adapun pendapat yang tepat adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa qiyamul lail adalah kewajiban yang bersifat umum. Lihat Syamsuddīn al Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua 1384 H), Jilid 19, hlm 34.

(##) Para ulama mazhab sepakat tentang pensyari’atan qiyamul lail, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumnya. Menurut ulama mazhab hanafiyah dan hanabilah qiyamul lail adalah sunnah, menurut malikiyah mandub dan mustahab menurut kalangan syafi’iyyah. Lihat Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, al-Rad al-Mukhtār, (Beirut: Dār al-Fikr, cet. kedua 1992), Jilid 2, hlm 24. Lihat juga, Syihāb al-Dīn al-Nafrāwī al-Mālikī, al-Fawākih al-Diwānī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1415 H), Jilid 2, hlm 272. Lihat juga, Abu Zakariya an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dār al-Fikr, tth), Jilid 4, hlm 64.


DAFTAR PUSTAKA

  • al-‘Andalusī, Ibnu ‘Athiyah, al-Kitāb al-Mihwar al-Wajīz Fi Tafsīr al-‘Azīz, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. pertama 1422 H).
  • al-Bukhārī, Muhammad bin Ismā’īl, Shahīh al-Bukhārī, (Saudi Arabia: Dār Thuwaiq al-Najah, cet pertama, 1422 H).
  • al-Hanafi, Ibnu ‘Abidin, al-Rad al-Mukhtār, (Beirut: Dār al-Fikr, cet. kedua 1992)
  • Ibrahim, Sayyid Quthb, Fī Dzilāl al-Qur’ān, (Cairo: Dār al-Syuruq, cet.ke17, 1412 H).
  • Jibrīl, Muhammad al-Sayyid, al-Manhaj al-Qawīm Ila ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo: Muassasatu al-Falāh, 2007).
  • al-Mālikī, Syihāb al-Dīn al-Nafrāwī, al-Fawākih al-Diwānī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1415 H)
  • al-Naisābūrī Muslim bin al-Hajjāj, Shahih Muslim, (Beirut: Dār Ihyā-u Turats al-‘Arabi, tth).
  • al-Nawawi, Abu Zakariya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dār al-Fikr, tth).
  • al-Qathan, Mannā’ bin Khalīl, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: Maktabatu al-Ma’ārif, cet. ketiga, 1421 H)
  • al-Qurthubī, Syamsuddīn, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet. kedua 1384 H). 
  • al-Suyuthi, Abū ‘Abd al-Rahmān Abu Bakar Jalāl al-dīn, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, (Cairo: al-Haiah al-Mishriyah al-‘āmmah lilkitab, 1394H). 
  • al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1418 H).


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion