Keutamaan Menikah Dalam Aspek Sosial



Dr Abdullah Nashih Ulwan berpendapat setidaknya ada 7 keutamaan menikah dan kaitannya dengan pendidikan, yaitu:

Pertama, Memelihara kelangsungan jenis manusia. Dengan pernikahan maka kelangsungan jenis manusia sebagai khalifah di muka bumi akan terjaga. Fungsi pengelolaan dan pemeliharaan ala mini bergantung kepada keberhasilan manusia mencapai keselamatan jenisnya dari sisi moralitas dan fisik secara bersamaan.

Allah ta’ala berfirman
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً…
Hai sekaliah manusia bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan wanita yang banyak (an Nisa 1)
 
Kedua, Memelihara keturunan. Dalam keturunan terdapat penghargaan diri, kemantapan jiwa dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Seandainya tanpa melalui pernikahan maka keturunan yang terlahir tidak memiliki kehormatan karena ketidak jelasan nasab mereka.

Ketiga, Keselamatan masyarakat dari kerusakan moral. Pernikahan merupakan sebuah institusi yang halal dan baik untuk menyalurkan hasrat biologis manusia. Hal ini Allah tetapkan agar menjadi penjaga bagi nafsu manusia dan yang tidak kalah pentingnya adalah dengan adanya pernikahan maka keluarga sebagai struktur terkecil dari masyarakat akan terbentuk.

Dari alqomah ra, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai sekalian pemuda barangsiapa diantara kalian sudah mampu menikah maka menikahlah. Sebab pernikahan itu akan dapat lebih memelihara pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu untuk menikah maka hendaklah ia berpuasa. Karena sesungguhnya berpuasa itu mengalahkan hawa nafsu.[1]

Keempat, Keselamatan masyarakat dari penyakit. Melalui pernikahan maka masyarakat akan selamat dari penyakit menular seksual yang berbahaya dan dapat menyebabkan kematian, membunuh keturunan, melemahkan fisik, menyebarkan wabah dan menghancurkan kesehatan anak-anak.

Kelima, Ketentraman jiwa. Pernikahan akan menumbuhkan dan memelihara rasa cinta antara pasangan manusia, terlebih lagi dengan dihadirkannya keturunan diantara mereka. Ketentraman jiwa muncul karena adanya teman berbagi yang sehati dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan. Dari perasaan tentram inilah diharapkan muncul motivasi mendidik, memperhatikan dan melindungi anak-anak mereka.

Allah ta’ala berfirman
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenusmu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (ar ruum 21)

Keenam, Kerjasama dalam suami-istri dalam membina keluarga dan mendidik anak-anak. Melalui pernikahan maka pasangan suami istri akan saling berbagi peran dalam membina keluarga dan mendidik anak-anak mereka. Seluruh perbedaan fisik maupun karakter yang ada dalam keduanya justru akan saling menguatkan dan melengkapi dalam upaya-upaya tersebut.

Ketujuh, Menghaluskan rasa kebapakan dan keibuan. Melalui pernikahan rasa kebapakan dan keibuan akan menjadi halus dikarenakan interaksi mereka secara berkesinambungan mendidik anak-anak mereka dari kecil hingga dewasa. Keberhasilan menanamkan dan membentuk karakter mulia pada mereka akan memberikan kebanggan akan peran orang tua sebagai ayah dan ibunya.

Diadaptasi secara bebas dari Dr Abdullah Nashih ‘Ulwan: Tarbiyatul Aulad fil Islam.

[1]al Bukhari: Shahih al Bukhari, Saudi: Daar thuuq an Najah, 1422 H, 7/3 hadits ke 5065.

Pernikahan Adalah Fitrah Manusia



Syari’at Islam menentang hidup membujang, karena hal ini bertentangan dengan fitrah manusia. Fitrah adalah segala sesuatu yang terdapat pada awal penciptaan manusia dan kecenderungan yang lurus yang belum tercampur dengan keburukan.[1]

Rasulullah saw bersabda,
مَنْ كَانَ مُوسِرًا لَأَنْ يَنْكِحَ ثُمَّ لَمْ يَنْكِحْ فَلَيْسَ مِنِّي
Barangsiapa dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku.[2]

Hadits ini memberikan peringatan bagi seorang muslim tentang perintah menikah terutama bagi mereka yang dimudahkan serta pengingkaran Rasulullah atas mereka dari golongannya. Melaksanakan pernikahan merupakan pertanda benarnya keimanan seseorang terhadap jalan atau sunnah Rasulullah saw.

Dengan menikah maka seorang muslim mengambil jalan fitrah, tidak melanggar tabi’at dan insting yang Allah berikan kepadanya. Menikah itu sesuai fitrah manusia sehingga ia akan memberikan ketenangan, ketentraman dan keberkahan dalam kehidupannya. Dengan demikian hidup membujang apalagi seks bebas bertentangan dengan fitrah manusia yang pada akhirnya menyebabkan kesengsaraan dunia dan akhirat.

Rasulullah saw kembali menegaskan tentang keutamaan menikah dalam hadits berikut yang diriwayatkan olah al Bukhari dari Anas bin Malik,

Bahwa ada 3 kelompok yang telah mendatangi istri-istri nabi saw untuk menanyakan tentang ibadah nabi saw, ketika mereka diberitahu, maka mereka berkata: dimana kedudukan kami disisi nabi saw? Ia telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. Kemudian salah seorang diantara mereka berkata: “saya akan selalu melakukan sholat malam selamanya”, yang lain berkata: “saya akan selalu berpuasa dan tidak pernah berbuka” dan yang lainnya berkata, “saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya” Kemudian datanglah Rasulullah saw dan berkata,

أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“kaliankah yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya dibandingkan kalian, akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan golonganku.”[3]

Dari dalil-dalil tersebut diatas maka dapat kita simpulkan bahwa menikah adalah fitrah manusia, Hidup membujang bagi mereka yang dimudahkan untuk menikah adalah terlarang. Menikah berarti memelihara fitrah manusia sehingga ketenangan hati, ketentraman hidup dan kesucian diri akan diraih. Sedangkan seks bebas akan merusak fitrah manusia, sehingga para pelakunya akan mendapatkan kegelisahan dan kesengsaraan hidup di dunia dan akhirat.

Abdullah Nashih Ulwan menyebutkan menikah juga berarti mengambil amanah untuk mendidik dan memelihara orang-orang yang berhak mendapatkan pendidikan dan pemeliharaannya, dalam hal ini istri dan keturunan.

Diadaptasi secara bebas dari Dr Abdullah Nashih ‘Ulwan: Tarbiyatul Aulad fil Islam.

[1] Ibrahim Musthofa et.al : mu’jam al wasith, Turki: Maktabah Islamiyyah, 1960, 2/694.
[2] Abul Qasim ath Thabrani : Mu’jam al Kabir, Mesir: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1415 H, 22/366
[3] al Bukhari: Shahih al Bukhari, Saudi: Daar thuuq an Najah, 1422 H, 7/2