DASAR-DASAR PEMBENTUKAN MASYARAKAT ISLAM; Analisa Pemikiran Sayyid Quthb dalam buku Ma’alim fi ath Thariq



Pendahuluan. Islam sebagai sumber dan jalan kebenaran yang berasal dari Allah ta’ala adalah pandangan hidup yang bukan saja diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kebahagiaan ummat Islam melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam yang bersumber dari kebenaran ilahiyah baik yang terkandung dalam ayat-ayat al Qur’an dan sunnah Rasulullah saw adalah petunjuk jalan segala zaman. Demikian pula Islam mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dengan Tuhannya dan dengan alam lingkungannya.

Sebagai agama yang menjadi rahmatan lil ‘alamin, maka tujuan hidup, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat adalah dalam rangka merealisasikan kebenaran ajaran Allah tersebut baik dalam skala pribadi maupun bermasyarakat dalam segala aspeknya.

Kunci kepribadian masyarakat Islam adalah akidah, syari’at dan akhlak Islam. Jika akidah memberikan arah tujuan pergerakan masyarakat, syari’at memberikan batasan-batasan cara maupun metode menempuh arah tujuan tersebut dengan benar maka akhlak menghiasi jalan menempuh tujuan tersebut sehingga indah dan menyenangkan.

Da’wah Islam yang di bawa oleh Rasulullah saw adalah mata rantai terakhir dari perjalanan da’wah yang panjang untuk mengajak manusia bertakwa dan mentauhidkan Allah ta’ala. Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

إِنَّ " مَثَلِي وَمَثَلَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي، كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ، إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ، وَيَعْجَبُونَ لَهُ، وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ؟ قَالَ: فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ

“Perumpamaanku dan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata; ‘Duh seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini”. Beliau bersabda: ”Maka akulah labinah itu dan aku adalah penutup para nabi”.(1) 

Bagaimana Rasulullah saw mampu menciptakan bangsa Arab menjadi satu masyarakat yang memikul risalah, menciptakan peradaban dan membuat suatu sejarah yang mengagumkan? Kerja keras, cinta dan kesungguhan beliau berda’wah berhasil memalingkan pandangan dunia dan menorehkan catatan gemilang dari bangkitnya sebuah generasi yang sebagian besar pengikutnya adalah orang-orang lemah dan tertindas.

Beliau palingkan khamr, maisir, nafsu syahwat dan nafsu perang demi kekuasaan  kepada kerja keras mambangun peradaban yang modern, berkeadilan, kesamaan hak didepan hukum, terjaminnya kepemilikan pribadi dan teraturnya kepentingan bersama. Bahkan orang-orang tertindas itu -- para sahabat -- ketika tiba masa mereka menjadi gubernur atau kepala daerah tidak mewarisi dendam kesewenangan atas kekuasaan dan keserakahan atas jabatan.

Buku Ma’alim Fith Thariq mencatat tiga hal utama yang memacu perubahan besar pada masyarakat Islam pada generasi pertama da’wah Islam. Pertama, mereka menuntut ilmu untuk suatu tindakan perubahan bukan semata-mata koleksi ilmu. Kedua, Mereka memutuskan hubungan dengan masa lalu jahiliyyah dan tak ingin kembali ke masa lalu walaupun sekejap. Ketiga, mereka tegak dihadapan al Qur’an dengan penuh kesiagaan, seperti seorang prajurit yang siap siaga menerima perintah.

Sukar membayangkan suatu perubahan dari masa lampau yang begitu jahiliyyah dan penuh kegelapan kepada keadaan yang gilang gemilang. Persoalan mendasar pada masa kini adalah bagaimana membangkitkan kembali masyarakat Islam sebagaimana masyarakat pada generasi pertama da’wah Islam.  Sementara di tengah gempuran invasi pemikiran yang demikian dahsyat justru kelompok-kelompok ummat Islam tak segera menemukan format yang menyenangkan dalam bekerjasama, sementara itu sebagian besar ummat Islam sedang bergelimang dalam kesenangan syahwat dunia yang melenakan.

Pembahasan dalam makalah ini berupaya mengungkapkan pemikiran Sayyid Quthb tentang dasar-dasar pembentukan masyarakat Islam. Masyarakat yang memiliki kesamaan persepsi tentang hakikat kehidupan dunia dan akhirat, kesamaan cita-cita perjuangan Islam serta kesamaan komitmennya dihadapan Allah ta’ala.

Dasar-Dasar Pembentukan Masyarakat Muslim

1. Membebaskan Masyarakat dari Penghambaan Kepada selain Allah.

Menurut Sayyid Quthb dalam setiap periode sejarah manusia, seruan untuk bertakwa kepada Allah memiliki satu sifat kesamaan, yang menjadi seruan terpenting sekaligus landasan pokok pembentukan masyarakat, yaitu:

“إسلام العباد لرب العباد، وإخراجهم من عبادة العباد إلى عبادة الله وحده، بإخراجهم من سلطان العباد في حاكميتهم وشرائعهم وقيمهم وتقاليدهم، إلى سلطان الله وحاكميته وشريعته وحده في كل شأن من شؤون الحياة”

“Ketundukan seorang hamba kepada tuhannya, membebaskan diri dari penghambaan atas sesama manusia menuju penghambaan kepada Allah semata. Mengeluarkan mereka dari cengkraman ketuhanan dan hukum-hukum buatan manusia, mengeluarkan mereka dari kungkungan sistem-sistem nilai dan tradisi-tradisi buatan manusia kepada kekuasaan Allah, otoritas dan syari’at-Nya semata dalam segala ruang lingkup kehidupan.”(2)

Dari pendapat Sayyid Quthb tersebut diatas dapat kita fahami bahwa pembebasan masyarakat dari penghambaan kepada selain Allah merupakan prinsip dari sebuah komitmen awal yang pada tahap selanjutnya menjadi dasar bagi tegaknya sistem nilai, otoritas dan syari’at Allah.

Ketauhidan difahami sebagai sebuah pondasi bagi tegaknya bangunan Islam, atau ruh kehidupan bagi manusia. Dengannya tauhid seluruh sistem kehidupan menjadi tegak, kokoh dan memberikan arti.

Muhammad Quthb berkata

“إن الله لم ينزل "لا إله إلا الله"؛ لتكون مجرد كلمة تنطق باللسان. إنما أنزلها؛ لتشكل واقع الكائن البشرية كله، لترفعه إلى المكان اللائق به.. الذي فضله الله به على كثير ممن خلق.... ترفعه فرداً وجماعة وأمة، ليتكون في الأرض المجتمع الصالح الذي يريده الله، وتقوم في الأرض أمة لا إله إلا الله”  (3)

Sesungguhnya Allah tidak menurunkan kalimat la ilaha illallah hanya untuk sekedar diucapkan oleh lisan belaka. Tetapi agar kalimat itu berpengaruh dalam kehidupan nyata ummat manusia dan mengangkatnya ke tempat yang layak sesuai dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka… kalimat ini membimbing individu, kelompok dan ummat agar menjadi suatu masyarakat yang berguna sesuai dengan keinginan Allah.

Demikianlah komitmen ketauhidan, ia tidak sekedar mengatur hubungan individu secara vertikal kepada Allah ta’ala, melainkan juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk, dan hubungan-hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah. Dr. Amin Rais berpendapat, “Allah berkehendak memberikan visi kepada manusia tauhid untuk membentuk suatu masyarakat yang mengejar nilai-nilai utama dan mengusahakan tegaknya keadilan sosial. Pada gilirannya visi ini memberikan inspirasi bagi manusia-manusia tauhid untuk mengubah dunia sekelilingnya sesuai dengan kehendak Allah”(4)

Pembebasan masyarakat dari penghambaan kepada selain Allah akan membawa perubahan besar kearah kemajuan masyarakat. Hal ini di karenakan pandangan hidup tauhid tidak mempertentangkan antara dunia dan akhirat, antara yang nyata dan yang ghaib, yang imanen (berada dalam kesadaran) dan yang transcendental(bersifat ghaib), antara jiwa dan raga. Bahkan konsep Islam tentang hal-hal tersebut di atas sangat jelas dan rasional. Berbeda dengan keyakinan lain selain tauhid.

Dari berbagai pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa pembebasan masyarakat dari penghambaan kepada selain Allah berfungsi mentransformasikan masyarakat menjadi memiliki sifat-sifat yang mulia yang terbebas dari belenggu ideologi, sosial, politik, ekonomi dan budaya yang bertentangan dengan ketauhidan.

2. Mengorganisir Masyarakat untuk Menghilangkan Kejahiliyahan.

Sayyid Quthb menuliskan,

“لا يتحقق بمجرد قيام القاعدة النظرية في قلوب أفراد مهما تبلغ كثرتهم، لا يتمثلون في تجمع عضوي متناسق متعاون،... ويعملون هذا تحت قيادة مستقلة عن قيادة المجتمع الجاهلي”

“Masyarakat Islam tidak tidak dapat hadir secara sederhana dalam menegakkan kaidah-kaidah keyakinan (syahadat) dalam hati individu-individu muslim sebanyak apapun jumlah mereka, tanpa mereka menjadi sebuah kelimpok yang aktif, serasi dan bekerjasama  dan bekerja di bawah kepemimpinan sendiri terbebas dari kepemimpinan jahiliyyah”(5) 

Inilah pergerakan yang konstruktif yang memindahkan unsur keyakinan kepada perilaku praktis. Tentu saja hal ini tidak akan terwujud hanya dengan penjelasan lisan atau tabligh semata melainkan juga melalui pewarisan nilai-nilai atau yang dikenal dengan pendidikan dan pembinaan.

Hasan al Banna menyebut proses ini sebagai pembentukan dan penempatan para juru da’wah Islam, mengordinasikan serta menggerakkannya untuk menjalin hubungan dengan masyarakat luas sebagai objek da’wah.(6)

Allah ta’ala mensifati mereka yang bekerjasama dalam menyeru kepada kebaikan sebagai khairu ummah. Allah berfirman dalam surat ali Imran 104,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Prof. Dr. Miqdad Yaljun, menguraikan bahwa masyarakat terbaik atau khairu ummah memiliki berdasarkan karakteristiknya yaitu, Pertama, Masyarakat yang senantiasa memiliki semangat meyebarkan kebaikan. Kedua, masyarakat yang memilki semangat ukhuwwah insaniyyah. Ketiga, masyarakat yang senantiasa memperluas persatuan dan kekuatan. Keempat, masyarakat yang berorientasi kepada kemaslahatan bersama. Kelima, masyarakat yang memiliki semangat tunduk pada peraturan. Keenam, masyarakat yang semangat meraih kemajuan di berbagai bidang.(7)

Sedangkan Sayyid Quthb menafsirkan masyarakat terbaik adalah dari aspek gerak da’wahnya yang begitu membumi,
 
“إنها حركة خفية المسرى، لطيفة الدبيب. حركة تخرج على مسرح الوجود أمة. أمة ذات دور خاص. لها مقام خاص، ولها حساب خاص” (8)

Ia adalah suatu gerakan yang halus yang rahasia, suatu gerakan yang indah yang merayap perlahan, namun gerakan ini sanggup mengeluarkan ummat kepentas dunia, ummat yang memiliki peranan khusus, maqam khusus dan hisab yang khusus pula.

Karena dalam perspektif Sayyid Quthb da’wah tak mesti harus melalui podium-podium, disambut oleh banyaknya pendengar atau gebyar kegiatan yang meriah. Melainkan da’wah merayap secara masif melalui keluhuran akhlaq setiap da’inya. Senantiasa berwajah ceria, memuliakan tetangga, menghormati yang tua, menyayangi yang muda, menutup aib saudaranya, meringankan beban orang lain, dsb adalah gerakan da’wah indah yang merayap perlahan namun masif.

Al mawardi mengatakan, “أَصْلِحْ نَفْسَك لِنَفْسِك يَكُنْ النَّاسُ تَبَعًا لَك” (9) perbaikilah dirimu niscaya manusia akan mengikutimu. Muhammad Mahmud al Hijazi berkata “أصلح نفسك ثم ادع غيرك، ولا شك أن مرتبة دعوة الغير إلى الهدى والخير مرتبة عالية، ولا يلقاها إلا أفراد قلائل زكت نفوسهم وطهرت أرواحهم وامتلأت إيمانا ويقينا” (10) perbaikilah dirimu kemudian serulah kepada orang lain, dan jangan ragu sesungguhnya berda’wah kepada orang lain hingga mendapatkan petunjuk dan kebaikan adalah dejarat yang tinggi, dan derajat yang mulia itu tidak diberikan Allah kecuali kepada sebagian kecil manusia yang mensucikan jiwa dan ruhnya serta memenuhi dirinya dengan iman dan keyakinan.

Pendapat lain tentang masyarakat terbaik adalah yang dikemukakan oleh al Qurthubi. Penyebab generasi pertama disebut sebagai masyarakat terbaik adalah karena kerapihan mereka bekerjasama dalam kebaikan, bahwasanya Abu Hurairah ra berkata, “نَحْنُ خَيْرُ النَّاسِ لِلنَّاسِ نَسُوقُهُمْ بِالسَّلَاسِلِ إِلَى الْإِسْلَامِ” (11) Kami manusia terbaik diantara manusia karena mengajak manusia secara terkoordinir kepada Islam.”

Hamzah Manshur berkata,” إن الرسالة العظيمة تحتاج إلى قدر عال من الالتزام للنهوض بها”. “Sesungguhnya risalah yang agung ini membutuhkan semua kekuatan terbaik dari komitmen untuk kebangkitannya.(12)

Demikianlah da’wah membangun masyarakat Islam, ia merupakan sebuah kerja besar yang membutuhkan banyak sumber daya. Selanjutnya Hamzah Manshur menambahkan, “da’wah merupakan kepentingan mulia yang mendesak, jalan yang tidak terukur, jalur sulit pendakian yang banyak. Hal ini akan menumbuhkan keragu-raguan bersikap dan keinginan menarik diri dari aktifitas amal.” Lemahnya perencanaan, minimnya keteladanan, serta tujuan yang samar adalah bukti pentingnya pengorganisasian da’wah.

Allah ta’ala berfirman dalam surat yusuf ayat 108,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".

Inilah jalan da’wah yang Rasulullah teladankan bagi kita, ia memiliki beberapa unsur, gerak da’wah yang berkesinambungan, tujuan yang jelas, metode yang paripurna, pemimpin-pemimpin yang ikhlas dan para aktivis da’wah yang siap sedia.    
    
3.  Menjadikan Islam sebagai Landasan Prilaku Individu dan Hubungan Antar sesama dalam Masyarakat.

Sayyid Quthb menuliskan dalam Ma’alim fith Thariq,

“فإن الإسلام - وهو يبني الأمة المسلمة على هذه القاعدة وفق هذا المنهج، ويقيم وجودها على أساس التجمع العضوي الحركي، ويجعل آصرة هذا التجمع هي العقيدة - إنما كان يستهدف إبراز " إنسانية الإنسان " وتقويتها وتمكينها، وإعلاءها على جميع الجوانب الأخرى في الكائن الإنساني”

“Di atas kaidah dan manhaj Islam masyarakat di tegakkan, menjadi landasan bagi hubungan-hubungan antar individu-individu dalam kelompok dan terikat atas aqidah ini. Tidak lain tujuan utamanya adalah membangkitkan semangat kemanusiaan bagi manusia, mengembangkan, membuatnya menjadi kokoh, dan menjadi factor yang paling berpengaruh diantara semua aspek dalam kehidupan manusia.” (13)

Tahapan ini merupakan tahapan yang progresif bagi soliditas masyarakat Islam.  Berdasarkan Islam mereka selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, etika, tradisi dan faham hidupnya. Tujuan hidupnya sangat jelas, ibadah, kerja keras dan bahkan jiwanya ditujukan kepada Allah. Sehingga setiap individu dalam masyarakat Islam tidak akan pernah terjerat pada nilai-nilai palsu atau bekerja tanpa nilai yang hakiki yaitu mencari keridhaan Allah.

Kembali kepada kemurnian pemahaman, ibadah serta nilai-nilai perjuangan adalah jalan yang seharusnya ditempuh oleh masyarakat muslim. Hilangnya ashobiyah, tidak ada dosa warisan dan setiap orang bertanggung jawab terhadap amal masing-masing, perintah taat hanya pada kebenaran memberikan batasan yang jelas dan lugas akan posisi kemuliaan dalam Islam. Bahwa kemuliaan dalam Islam bukanlah karena nasab, dan dapat diraih dengan upaya normal manusia serta kemuliaan diukur dengan ketakwaan menginspirasi semangat ibadah dan pengorbanan.

Maka hubungan dalam masyarakat Islam bukanlah hubungan bangsa melainkan suatu ummat dari keyakinan, masyarakat terbentuk di atas satu pijakan yang sama dalam hubungan kasih sayang dimana ikatan tersebut terbentuk karena kekuatan hubungan mereka kepada Allah.

Menjadikan Islam sebagai landasan prilaku dan hubungan dalam masyarakat juga menjamin terciptanya masyarakat yang berkeadilan secara mutlak. Perlindungan harta dan kehormatan, jaminan keamanan serta kesamaan di hadapan hukum adalah bukti pencapaian yang tinggi dari syari’at Islam.
           
Kesimpulan

Untuk kebangkitannya kembali masyarakat Islam menghadapi tugas berat yang perlu keikhlasan dan kerjasama semua kelompok pejuang da’wah. Kemunduran ummat Islam yang disebabkan bertumpuknya persoalan intern dan ekstern memerlukan upaya yang bersungguh-sungguh. Sehingga harus dikerjakan secara terencana, bertahap dan berkesinambungan, terwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Hal pertama yang perlu dilakukan dari kebangkitan kembali masyarakat Islam adalah menjelaskan tuntutan kalimat la ilaha illallah serta membebaskan masyarakat dari penghambaan kepada selain Allah. Upaya propaganda, penyiaran dan penyebaran kabar-kabar gembira tentang Islam harus dilakukan seiring dengan upaya pendidikan, pengkaderan dan pelimpahan tanggung jawab da’wah bersama.

Terakhir adalah berupaya menjadikan Islam sebagai landasan dalam prilaku individu maupun hubungan antar sesama, dalam pengertian ini adalah kekuatan aqidah, keadilan syari’at, dan keindahan akhlaq terjelma dalam masyarakat Islam.
Hasbunallah wa ni’mal wakil.


Catatan Kaki
  1. Bukhari,  1422 H, Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Thuq an Najah , 4/186, hadits no.3535.
  2. Sayyid Quthb, tt, Ma’alim fi athThariq, Beirut: Daar asy Syuruq, h. 46.
  3. Muhammad Quthb, 1413 H, La Ilaha Ilallah Aqidatun wa Syari’atun wa Minhaju Hayatin, Mesir: Darul Wathan, h.18.
  4. Muhammad Amin Rais, 1987, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, h.15.
  5. Sayyid Quthb, op.cit, h.51
  6. Hasan al Banna, tt, Majmu’ah Rasail al Imam Hasan al Banna, Mesir : Daar ad Da’wah, h. 134.
  7. Miqdad Yaljun, 2011, Peranan Pendidikan Akhlaq Islam dalam Pembentukan Individu, Masyarakat dan Peradaban manusia, terjemahan Dr. Azra’ie Zakaria, MA. LP2M Universitas Islam Asy Stafi’iyyah, h.87.
  8. Sayyid Quthb,1412 H, Fii Dzilal al Qur'an, Beirut: Daar Asy Syuruq. jilid 1, hlm 447.
  9. Al Mawardi,1986 M, Adab ad-Dunya wa ad-Diin, Daar al Maktabah al Hayah, hlm 358.
  10. Muhammad Mahmud al Hijazy, 1413 H, at Tafsir al Wadhih, Beirut: Daar al Jaliil al Jadiid, jilid 3, hlm 340.
  11. Imam al Qurthubi, 1384 H, al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, jilid 4, hlm 170.
  12. Hamzah Manshur : Hakadza ‘Alimtuny Da’wah al Ikhwan, 1419 H, hlm 24.
  13. Sayyid Quthb, loc.cit.

Penyakit Hati



Pengertian Penyakit Hati

Secara terminologis penyakit-penyakit hati dikenal dengan istilah   “أَمْرَاضُ القلوبِ”. Penggunaan kata ini sebagaimana firman Allah pada beberapa surat dalam al Qur’an yang menggambarkan hati yang berpenyakit. Misalnya tentang hati orang munafik dalam surat al Baqarah ayat 10: “فِي قُلُوبهم مرض فَزَادَهُم الله مَرضا” yang artinya Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya.

Menurut ibnu faris[1] kata al maradh adalah “كُلُّ شَيْءٍ خَرَجَ بِهِ الْإِنْسَانُ عَنْ حَدِّ الصِّحَّةِ” keadaan manusia keluar dari batas sehat (karena suatu penyakit). Al Qurthubi[2] menjelaskan bahwa al maradh adalah “عِبَارَةٌ مُسْتَعَارَةٌ لِلْفَسَادِ الَّذِي فِي عَقَائِدِهِمْ. وَذَلِكَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ شَكًّا وَنِفَاقًا، وَإِمَّا جَحْدًا وَتَكْذِيبًا” keterangan yang dipinjam untuk menunjukkan kerusakan pada sisi keyakinan mereka (orang munafiq), berupa keraguan, kemunafikan, pengingkaran dan dusta. Lebih lanjut al qurthubi menjelaskan bahwa hati yang berpenyakit adalah “بِسُكُونِهِمْ إِلَى الدُّنْيَا وَحُبِّهِمْ لَهَا وَغَفَلَتِهِمْ عَنِ الْآخِرَةِ وَإِعْرَاضِهِمْ عَنْهَا أَيْ”hati yang cenderung dan cinta kepada dunia hingga lalai dan berpaling dari akhirat.

Imam Ibnu Taimiyyah[3] mendifinisikan penyakit hati sebagai berikut,
نَوْعُ فَسَادٍ يَحْصُلُ لَهُ يَفْسُدُ بِهِ تَصَوُّرُهُ وَإِرَادَتُهُ فَتَصَوُّرُهُ بِالشُّبُهَاتِ الَّتِي تَعْرِضُ لَهُ حَتَّى لَا يَرَى الْحَقَّ أَوْ يَرَاهُ عَلَى خِلَافِ مَا هُوَ عَلَيْهِ وَإِرَادَتُهُ بِحَيْثُ يُبْغِضُ الْحَقَّ النَّافِعَ وَيُحِبُّ الْبَاطِلَ الضَّارّ
Merupakan jenis kerusakan yang merusak persepsi-persepsi dan keinginan-keinginan, tergambar pada persepsinya berbagai macam syubhat hingga ia tidak dapat melihat kebenaran, atau ia melihatnya berbeda dari yang sebenarnya. Sedangkan keinginannya akan membenci kebenaran yang bermanfaat dan menyukai hal-hal yang berbahaya.

Berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut di atas, Ibnul Qayyim[4] berpendapat bahwa hati yang sakit adalah hati yang hidup namun memiliki cacat. Hati ini berada dalam dua kondisi, kadang cenderung kepada kebaikan dan sebaliknya. Lebih lanjut Ibnul Qayyim menjelaskan “ففيه من محبة الله تعالى والإيمان به والإخلاص له، والتوكل عليه: ما هو مادة حياته، وفيه من محبة الشهوات وإيثارها والحرص على تحصيلها” didalamnya terdapat cinta kepada Allah ta’ala, iman kepada-Nya, ikhlas karena-Nya dan tawakkal atas-Nya, itulah bagian kehidupan hati, namun didalamnya juga terdapat cinta kepada syahwat dan mengutamakannya serta antusias untuk meraihnya.

Al Ghazali berpendapat sebagaimana fisik manusia yang bisa sakit, hatipun demikian. Karena setiap penciptaan yang Allah lakukan pasti memiliki faidah dan tujuan penciptaan. Kemudian al Ghazali[5] menyebutkan tujuan Allah menciptakan hati yaitu “العلم والحكمة والمعرفة وحب الله تعالى وعبادته والتلذذ بذكره وإيثاره ذلك على كل شهوة سواه والاستعانة بجميع الشهوات والأعضاء عليه” untuk ilmu, hikmah, mengenal, mencintai Allah ta’ala, menyembah kepada-Nya, merasa lezat dengan menyebut-Nya, mengutamakan semua itu atas semua keinginan lain, memohon pertolongan dengan semua keinginan dan anggota tubuh untuk maksud-maksud mulia tersebut.

Dengan demikian menurut al Ghazali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi atas faedah dan tujuan penciptaan tersebut adalah penyakit pada hati. Tidak mengenal Allah, mencintai sesuatu selain Allah bukan dalam kerangka cinta kepada Allah dan menuju kepada dunia dalam segala amal dan perbuatan adalah diantara penyakit-penyakit hati.

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk memakmurkan hati mereka dengan cinta yang sesungguhnya kepada Allah ta’ala dan rasul-Nya, dan memperingatkan akan dominasi cinta terhadap berbagai syahwat dunia yang mampu memalingkan cinta hakiki tersebut. Jika sedikit saja cinta kepada syahwat dunia memasuki hati hingga kemudian secara perlahan memalingkan manusia dari cinta hakikinya maka sakitlah hatinya.

Dr Anas Karzuun[6] mengemukakan bahwa manusia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu “القسم الأول : السابقون، و أصحاب النفوس المطمئنة، القسم الثاني : أصحاب اليمين، المقتصدون، و أصحاب النفوس اللوامة، القسم الثالث : أصحاب الشمال، و الظالمون لأنفسهم، و أصحاب النفوس الأمارة بالسوء” pertama orang-orang yang terdahulu (berbuat kebaikan) pemilik nafsu yang tenang. Kedua adalah golongan kanan, kelompok yang pertengahan pemilik nafsu yang menyesali diri. Ketiga adalah golongan kiri, kelompok yang mendzolimi diri sendiri pemilik nafsu yang menyuruh kepada perbuatan buruk.

Selanjutnya beliau mengemukakan firman Allah yang tertulis dalam al Qur’an pada surat fathir ayat 32 yaitu,
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kami berikan al Kitab kepada hamba-hamba Kami yang Kami pilih. Maka diantara mereka ada yang mendzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada pula yang terdahulu dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah. Itulah keutamaan yang besar.

Selanjutnya menurut Dr Anas Karzuun manusia yang sehat hatinya memiliki nafsu yang tenang dalam kebaikan, dan nafsu yang menyesali diri. Penyakit hati terdapat pada manusia yang memiliki nafsu yang menyuruh kepada keburukan.

Meskipun demikian Sa’id Hawwa[7] menjelaskan seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah dengan nafsu yang tenang tidak berarti terbebas secara sempurna dari kemungkinan berbuat salah, Sebab Allah menjadikan kesempurnaan dan keterjagaan dari dosa (ma’shum) hanya untuk para nabi dan rasul, kemudian beliau mengemukakan perkataan Ibnu Athaillah  “لَيْسَ كُلُّ مَنْ ثَبَتَ تَخْصِيْصُهُ كَمُلَ تَخْلِيْصُهُ” tidak setiap orang yang tampak keistimewaannya menjadikannya sempurna pembebasannya (dari penyakit-penyakit hati)

Kemudian mengenai nafsu yang menyesali diri, Al Hasan[8] berkata “هِيَ وَاللَّهِ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ، مَا يُرَى الْمُؤْمِنُ إِلَّا يَلُومُ نَفْسَهُ: مَا أَرَدْتُ بِكَلَامِي؟ مَا أَرَدْتُ بِأَكْلِي؟ مَا أَرَدْتُ بِحَدِيثِ نَفْسِي؟ وَالْفَاجِرُ لَا يُحَاسِبُ نَفْسَهُ” Demi Allah ini adalah nafsu seorang mukmin. Ia tidak melihat apapun selain menyesali diri, Apa yang kuinginkan dengan perkataanku? Apa yang kuinginkan dengan makanku? Apa yang kuinginkan dengan bisikan nafsuku?

Hal ini menggambarkan pemilik nafsu yang menyesali diri adalah mereka yang senantiasa mengintrospeksi apa hasrat yang sesungguhnya dari segala perbuatannya, jika buruk maka mereka menyesali dirinya.

Adapun mengenai nafsu yang menyuruh kepada perbuatan buruk adalah nafsu yang berperan mengantarkan pemiliknya kepada keburukan dan menjauhkannya dari kebaikan. Kemudian hatinya akan terpuruk dan menyimpang dari fitrah yang Allah berikan kepadanya.

Al Jurzani[9] memaknai nafsu yang menyuruh berbuat buruk sebagai berikut “هي التي تميل إلى الطبيعة البدنية، وتأمر باللذات والشهوات الحسية، وتجذب القلب إلى الجهة السفلية، فهي مأوى الشرور، ومنبع الأخلاق الذميمة” nafsu yang cenderung kepada tabi’at tubuh, menyuruh menikmati kelezatan dan syahwat inderawi dan menarik hati ke tingkat yang rendah. Maka itulah tempat bagi berbagai kejahatan dan sumber segala perilaku tercela.

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan beberapa karekteristik penyakit hati yaitu:

Penyakit hati adalah, penyimpangan atau kerusakan yang terjadi atas hati manusia hingga ia keluar dari batas-batas sehatnya yaitu faedah dan tujuan penciptaannya.

Pada awalnya hati manusia itu fitrah, adanya penyakit pada hati akan membolak-balikkan hati hingga ia memiliki kecenderungan selain kepada kebaikan juga keburukan. Jika tidak segera mendapatkan penanganan maka ia akan mendominasi dan mematikan hati hingga hati tersebut tidak dapat melihat kebenaran.

Faedah dan tujuan penciptaan hati secara garis besar adalah untuk beribadah kepada Allah, atau menuju kepada Allah dalam segala amal perbuatan hati terutama cinta hingga menggerakkan amaliah fisik diatas landasan amaliah hati.

Batasan Antara Hati yang Sehat dan Sakit

Menurut Ahmad Karzuun[10] batasan pasti yang merupakan area perpindahan antara hati yang suci dan hati yang sakit adalah, kesamaan antara cinta kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya dengan cinta kepada dunia yang diperbolehkan (mubah). Sedangkan jika masuk sedikit saja syahwat terlarang ke dalam hati, maka akan mengakibatkan sakit. Pengetahuan mengenai batasan ini tidak dimiliki setiap orang karena nafsu seringkali menipu pemiliknya. Demikian pula diperlukan kehati-hatian dalam mengerjakan hal yang diperbolehkan agar tidak terjerumus ke dalam syubhat.

Pendapat tersebut di atas semakna dengan pengertian hati yang sehat menurut Ibnul Qayyim al Jauziyah[11] yaitu “الذى قد سلم من كل شهوة تخالف أمر الله ونهيه، ومن كل شبهة تعارض خبره” hati yang selamat dari semua syahwat yang bertentangan dengan perintah Allah dan larangan-Nya serta dari segala perbuatan syubhat yang mengacaukan pengetahuannya.

Oleh karena itu Rasulullah saw menjelaskan bahwa jalan yang benar untuk kebaikan hati dan kesuciannya dari berbagai penyakit adalah menjauhkan diri dari syubhat karena khawatir akan jatuh pada area terlarang. 

Dari Nu’man bin Basyir ra berkata, aku mendengar bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar-samar yang sebagian besar manusia tidak mengetahuinya.  Barangsiapa menjauhi hal tersebut ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus kedalam perkara yang samar-samar maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada didekat daerah terlarang dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan. Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah  hati.”[12]

Rasulullah saw juga menganjurkan untuk meninggalkan segala hal yang meragukan,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ، وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tolaklah segala sesuatu yang meragukanmu dengan sesuatu yang tak meragukanmu, sesungguhnya perkara yang benar itu menenangkan hati dan dusta itu menggelisahkan.[13]

Sufyan bin Uyainah[14] berkata “لَا يُصِيبُ رَجُلٌ حَقِيقَةَ التَّقْوَى حَتَّى يُحِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَرَامِ حَاجِزًا مِنَ الْحَلَالِ , وَحَتَّى يَدَعَ الْإِثْمَ وَمَا تَشَابَهَ مِنْهُ’ Tidak akan sampai seseorang pada takwa yang sesungguhnya kecuali ia meletakkan pemisah antara dirinya dan hal-hal yang haram sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara yang samar.

Dalil-dalil tersebut diatas menunjukkan demikian pentingnya menjaga kondisi hati manusia agar senantiasa berada dalam keadaan yang sehat. Memperhatikan perbaikan dan pengobatan hati merupakan hal yang utama karena seluruh perbuatan manusia berupa kebaikan dan keburukan bersumber dari hati manusia. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
الْقَلْبُ مَلَكٌ وَلَهُ جُنُودٌ، فَإِذَا صَلُحَ الْمَلِكُ صَلُحَتْ جُنُودُهُ، وَإِذَا فَسَدَ الْمَلِكُ فَسَدَتْ جُنُودُهُ
Hati adalah raja dan baginya para prajurit, jika baik raja baik pula prajurit-prajuritnya dan jika buruk raja maka buruk pula prajurit-prajuritnya.[15]

Catatan Pustaka
[1] Ibnu Faris, 1399 H, Mu’jam Maqayisul Lughah, Beirut : Daar al Fikr, 5/311
[2] Syamsuddin Al Qurthubi, 1384 H, al Jami’ li Ahkamil Qur’an, Cairo : Daar al Kutub al Mishriyyah, 1/197.
[3] Ibnu Taimiyyah, 1416 H, Majmu al fatawa, Saudi Arabia : Lembaga Penerbit Raja Fahd, 10/93.
[4] Ibnul Qayyim, tt, Ighaatsahul Lahfan min Mashaayidis Syaithan, Riyadh : Maktabah al Ma’arif, 1/9.
[5] Al Ghazali, tt, Ihya Ulumuddin, Beirut : Daar al Ma’rifah, 3/63
[6] Anas Ahmad Karzuun, 1415 H, Manhajul Islam fi Tazkiyatin Nufus wa Atsarahu fi Da’wati Ilallah, Saudi Arabia : Jami’ah Ummul Qura, 343.
[7] Sa’id Hawwa, 1409 H, Mudzakirat fi Manazilis Shiddiqin wa Rabbaniyyin (Syarh al hikam li Ibni Athaillah), Beirut : Daar Ammar, h 463
[8] al Qurthubi, op.cit, 19/93.
[9] Asy Syarif al Jurzani, 1403 H,  Kitab al Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, h 243.
[10] Ahmad Anas Karzuun, op.cit, 347.
[11] Ibnul Qayyim, op.cit, 1/7.
[12] Bukhari  : Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Thuq an Najah, 1422 H, 1/20 hadits ke 52. Dan  Muslim : Shahih Muslim,  Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Araby, tt,  3/1219 hadits ke 1599.
[13] Ahmad bin Hanbal, 1421 H, al Musnad, Beirut : Muassasah ar Risalah, 3/248 hadits ke 1723. Shahih menurut syaikh Syu’aib al Arnauth. Hadits ini juga dikemukakan oleh Ath Thoyalisi 1178, at Tirmidzi 2518, al Hakim 2/13 dan al Baihaqi 5/335, imam al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh adz Dzahabi.
[14] Abu Nu’aim al Ashfihany , 1394 H, Hilyatul Auliya wa Thobaqotul Ashfiya, Beirut : Daar al Kitab al ‘Araby,  7/288.
[15] Abu Bakar al Baihaqi, 1423 H, Sya’abul Iman, Saudi Arabia : Maktabah ar Rusyd, 1/257 hadits ke 108. Hadits ini dhaif menurut al Albany, lihat Silsilatu al Ahadits adh Dho’ifah 9/71 no 4074.

Halal dan Haram



Dari Nu’man bin Basyir ra berkata, aku mendengar bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ

Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar-samar yang sebagian besar manusia tidak mengetahuinya.  Barangsiapa menjauhi hal tersebut ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus kedalam perkara yang samar-samar maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada didekat daerah terlarang dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan. Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah  hati.” (Bukhari Muslim)

Rujukan Hadits
Bukhari  : Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Thuq an Najah, 1422 H, 1/20 hadits ke 52.
Muslim : Shahih Muslim,  Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Araby, tt,  3/1219 hadits ke 1599.

Para Perawi
Nu’man Bin Basyir, adalah Nu’man bin Basyir bin Sa’d dari Bani Harits al Khazrajy,  lahir 14 bulan setelah hijrah, ia adalah bayi anshar yang pertama lahir setelah hijrah, kedua orang tuanya merupakan sahabat nabi saw.  Meriwayatkan dari Nabi saw 114 hadits. Al Bukhari mengumpulkan 6 hadits darinya. Mu’awiyah menugaskannya memimpin Hims. Wafat tahun 65 H.[1]

Bukhari, adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim  bin al Mughirah bin bardizbah al Ju’fi, seorang hafizh besar penulis al jami’ul Musnad ash Shahih al Mukhtashar min umuri Rasulillah saw wa Sananihi wa ayyamihi, masyhur dengan sebutan shahih bukhari  yang disusunnya selama 16 tahun. Selain itu beliau menulis at tarikh, al adab al mufrad dan lainnya. Beliau meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, al Humaidi, Ibnul Madini. Yang meriwayatkan darinya adalah Muslim, an Nasa’i, at Tirmidzi. Lahir di Bukhara tahun 194 H, wafat jum’at malam selepas shalat Isya’ pada malam idul fitri tahun 252 H.[2]

Muslim, adalah Musim bin Hajjaj bin Muslim Abul Husain al Qusyairi an Naisabury. Penulis ash shahih, al ilal, al wujdan dan lainnya. Dia meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Khutsaimah, Ibnu Abi Syaibah, dan juga dari al Bukhari. Yang meriwayatkan darinya adalah at Tirmidzi, Ibrahim bin Muhamad bin Sufyan. Lahir tahun 204 H di Naisabur (daerah iran) wafat hari ahad tahun 261 H.[3]

Mufradat [4]
الحلال: وهو ما نص الله ورسوله، أو أجمع المسلمون على تحليله. أو لم يعلم فيه منع
segala sesuatu yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya atau sepakat orang-orang Islam atas kehalalannya, atau tidak diketahui padanya larangan.
بين: ظاهرJelas terlihat     

الحرام: وهو ما نص أو أجمع على تحريمه، أو على أن فيه حدا أو تعزيزا، أو وعيدا
Segala sesuatu yang disyari’atkan atau disepakati atas pengharamannya. Atau padanya terdapat pembatasan, penghormatan maupun ancaman.

أمور: شئون وأحوال
Urusan-urusan dan kebutuhan-kebutuhan

مشتبهات: ليست بواضحة الحل ولا الحرمة
Perkara yang tidak jelas antara kehalalan dan keharamannya.

لا يعلمهن كثير من الناس: في راية الترمذي، لا يدري كثير من الناس أمن الحلال هي أم من الحرام
Dalam riwayat at tirmidzi, tidak dimengerti sebagian besar manusia apakah halal atau haram.

اتقى الشبهات: تركها وحذر منها. وفيه إيقاع الظاهر موقع المضمر تفخيما لشأن اجتناب الشبهات، إذا هي المشتبهات بعينها
Meninggalkannya dan menjaga diri darinya, termasuk dalam pengertian ini adalah jika ditemukan kesesuaian antara pendangan lahiriyah dan batiniyah untuk cenderung meninggalkan sesuatu yang meragukan maka itulah syubhat secara kasat mata.

استبرأ لدينه: طلب البراءة له من الذم الشرعي وحصلها له
Berusaha meraih dan mendapatkan kesucian agama dari cacat syar’i.

وعرضه: يصونه عن كلام الناس فيه بما يشينه ويعيبه.
Menjaga diri dari perkataan manusia yang atas segala sesuatu yang menimbulkan celaan dan aib.

ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام: إي إذا اعتادها واستمر عليها. أدته إلى التجاسر إلى الوقوع في الحرام
Jika membiasakan dan terus menerus atas perkara tersebut, tanpa rasa takut, maka akan menjerumuskan kepada yang haram

حول الحمى: المحمى المحظور عن غير مالكه
Tempat terlindung  yang terlarang dari selain pemiliknya.

يرتع فيه:  تأكل  منه ماشيته و تقيم فيه
Makan pada tempat itu dan menetap.

حمى: موضعا يحميه عن الناس، ويتوعد من دخل إليه أو قرب منه، بالعقوبة الشديدة
Tempat yang terlindung dari manusia, dan diancam untuk dimasuki atau didekati dengan
hukuman yang keras.
محارمه: جمع محرم، وهو فعل المنهي عنه، أو ترك المأمور به الواجب
Jamak dari haram, adalah perbuatan yang dilarang untuk dikerjakan, atau perkara-perkara yang wajib untuk di tinggalkan.

ألا: حرف استفتاح، يدل على تحقق ما بعدها.
Hurut istiftah, menunjukkan atas kepastian berita yang dimaksud sesudahnya.

مضغة: قطعة لحم(Segumpal daging )   

Pemahaman Isi Hadits

الحث على فعل الحلال واجتناب الحرام والشبهات
Anjuran untuk mengerjakan yang halal serta meninggalkan yang haram & syubhat.

Lafadz inna adalah “من أدوات التوكيد” diantara huruf yang digunakan untuk menguatkan berita yang menyertainya dan untuk menunjukkan penghormatan atasnya. Dengan demikian Rasulullah saw berwasiat dengan tegas agar pendengar memperhatikan perkara halal dan haram dalam segala urusan mereka.

Hadits ini menjelaskan bahwa segala urusan manusia terbagi dalam tiga hal [5]“حلال بين مشروع، وحرام بين ممنوع، ووسط مشتبه” halal yang jelas disyari’atkan, haram yang jelas di larang serta pertengahan antara keduanya yang samar.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa “من أحكام الشريعة، ومن معاني القرآن، ما هو بين واضح ليس فيه شبهة ولا يعذر أحد بجهله، سواء كان في الأوامر أو كان في النواهي”[6] perkara-perkara yang jelas (bayyin) dan terang (wadhih) berdasarkan hukum-hukum syari’at dan pemahaman al Qur’an adalah yang tidak terdapat padanya kesangsian dan tidak dimaafkan seseorang karena kebodohannya, baik dalam hal perintah maupun larangan.

Sebagai contoh yang termasuk dalam pengertian tersebut di atas adalah perintah sholat, zakat, larangan zina, khamar dsb.

Sedangkan yang syubhat menurut ibnu mundzhir terbagi dalam 3 bentuk yaitu[7] “شيء يعلمه المرء حراما ثمّ يشك فيه، و عكسه أن يكون الشيء حلالا فيشك في تحريمه، و شيء يشك في حرمة أو حلّه على سواء” sesuatu yang diketahui keharamannya kemudian ia ragu atasnya, dan kebalikannya adalah sesuatu yang halal kemudian diragukan keharamannya dan terakhir adalah sesuatu yang diragukan kehalalan dan keharamannya.

Ibnu ‘Utsaimin berpendapat bahwa sebab terjadinya syubhat ada dua yaitu[8] “الاشتباه في الدليل، و الاشتباه في انطباق الدليل على المسألة” kesangsian terhadap dalil dan kesangsian terhadap penerapan dalil atas masalah.

Rasulullah saw menganjurkan untuk meninggal-kan segala hal yang meragukan,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ، وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tolaklah segala sesuatu yang meragukanmu dengan sesuatu yang tak meragukanmu, sesung-guhnya perkara yang benar itu menenangkan hati dan dusta itu menggelisahkan.[9]

Sufyan bin Uyainah berkata “لَا يُصِيبُ رَجُلٌ حَقِيقَةَ التَّقْوَى حَتَّى يُحِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَرَامِ حَاجِزًا مِنَ الْحَلَالِ , وَحَتَّى يَدَعَ الْإِثْمَ وَمَا تَشَابَهَ مِنْهُ’ Tidak akan sampai seseorang pada takwa yang sesungguhnya kecuali ia meletakkan pemisah antara dirinya dan hal-hal yang haram sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara yang samar.[10]

المحافظة على أمور الدين ومراعاة المروءة الإنسانية
Menjaga perkara - perkara agama serta menumbuhkan sifat kemanusiaan yang baik.

Hadits ini juga mengajarkan seorang muslim agar menjaga perkara-perkara agama dan menumbuhkan sifat kemanusiaan yang baik pada dirinya. Meninggalkan syubhat merupakan sebuah prilaku terpuji, karena sesuai dengan pemahaman terbalik dari hadits di atas bahwa orang yang mengerjakan hal-hal syubhat akan membuat dirinya terhinakan. Seperti perkataan seorang ulama salaf “مَنْ عَرَّضَ نَفْسَهُ لِلتُّهَمِ، فَلَا يَلُومَنَّ مَنْ أَسَاءَ بِهِ الظَّنَّ” barangsiapa membuat dirinya tertuduh janganlah ia menyalahkan orang yang berburuk sangka padanya.[11]

Dalam akhlaq Islam dikenal istilah al Haya-u (malu), yang secara bahasa berarti “تَغَيُّرٌ يَلْحَقُ الْإِنْسَانَ مِنْ خَوْفِ مَا يُعَابُ بِهِ” perubahan perasaaan yang terjadi pada seorang manusia karena takut dirinya dicela. Sedangkan dalam terminologi syari’at al haya-u adalah “خُلُقٌ يَبْعَثُ عَلَى اجْتِنَابِ الْقَبِيحِ وَيَمْنَعُ مِنْ التَّقْصِيرِ فِي حَقِّ ذِي الْحَقِّ” akhlaq yang mendorong seseorang untuk menjauhi perbuatan buruk dan mencegahnya dari hal-hal yang dapat melanggar hak orang lain.[12]

Ajaran Islam juga mengaitkan perbuatan menjaga kehormatan diri ini dengan shadaqoh sebagaimana sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda “مَا وَقَى بِهِ الْمُؤْمِنُ عِرْضَهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَة” sesungguhnya sesuatu yang digunakan mukmin untuk menjaga kehormatan dirinya adalah shodaqoh.[13]

سد كل ذريعة تؤدى إلى الحرام والمحرمات
Menutup segala perantara yang mengantarkan kepada perbuatan haram dan sesuatu yang diharamkan

Pelajaran berikutnya yang dapat diambil dari hadits ini adalah menutup pintu-pintu kemungkinan terjadinya perbuatan yang diharamkan. Demikian mulianya Islam hingga dianjurkan seorang muslim berhati-hati tidak mendekati perkara-perkara yang bisa mengakibatkan dirinya terjerumus ke dalam perbuatan maksiat atau haram, meski perkara tersebut dibolehkan.

Dalam kaidah ushul disebutkan “للوسائل حكم المقاصد، وللزوائد حكم المقاصد” hukum sarana dan seluruh kebutuhan tambahan mengikuti hukum tujuannya.[14] Demikian pula kaidah ushul “مالا يتم الواجب إلا به فهو واجب” sesuatu yang menjadi syarat sempurnanya sebuah kewajiban menjadi wajib pula hukumnya.[15]

Dari kaidah tersebut dapat diambil faidah bahwa seluruh sarana dan segala hal yang dapat menjerumuskan kepada sesuatu yang haram maka menjadi haram pula hukumnya. Dengan demikian wajib pula untuk mengupayakan segala hal yang baik untuk bisa menegakkan kewajiban.

الحث على إصلاح القلب وأن بصلاحه يصلح كل شيء وبفساده يفسد كل شيء من الإنسان
Anjuran untuk memperbaiki hati, karena dengan baiknya hati baiklah segala sesuatu dan dengan rusaknya hati rusak pula segala sesuatu dari pribadi manusia.          

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
الْقَلْبُ مَلَكٌ وَلَهُ جُنُودٌ، فَإِذَا صَلُحَ الْمَلِكُ صَلُحَتْ جُنُودُهُ، وَإِذَا فَسَدَ الْمَلِكُ فَسَدَتْ جُنُودُهُ
Hati adalah raja dan baginya para prajurit, jika baik raja baik pula prajurit-prajuritnya dan jika buruk raja maka buruk pula prajurit-prajuritnya.[16]

Hadits riwayat Abu Hurairah sebagaimana hadits an Nu’man bin Basyir ini memberikan isyarat bahwa kebaikan aktivitas seluruh anggota tubuhnya baik berupa ucapan, fikiran dan perbuatan fisik bergantung kepada kebaikan hati. Dengan demikian celaka dan selamatnya seseorang bergantung pada selamat maupun celakanya kondisi hati.

Allah ta’ala memanggil orang-orang yang memiliki jiwa yang tenang ke dalam syurganya,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
 “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”
Al Jurzani[17] berpendapat bahwa yang dimaksud jiwa yang tenang pada ayat ini adalah “هي التي تم تنورها بنور القلب حتى انخلعت عن صفاتها الذميمة، وتخلقت بالأخلاق الحميدة” jiwa yang sempurna cahayanya dengan cahaya hati hingga terlepas dari sifat-sifat buruk, dan terbingkai dengan akhlaq yang terpuji.

Keberhasilan yang besar dari memperbaiki hati adalah jiwa yang tenang, tenang dalam beribadah, tenang dalam perjuangan dan pengorbanannya, tenang karena Allah menjadi poros segala amalnya, hati, ucapan dan tindakan.

Ini adalah kondisi hati yang mulia, hatinya tenang dengan keta’atan kepada Allah, tenang dengan janji-janji Allah. Merasakan nikmat dalam beribadah kepada Allah. Allah memenuhi segenap hatinya, Allah selalu ada dalam segala aktivitasnya. Jika Allah memberinya kenikmatan maka ia bersyukur dan bertambah keta’atannya. Jika Allah mengujinya dengan musibah maka ia bersabar dan bertambah kedekatannya kepada Allah, dan ia kembalikan segala urusannya kepada Allah.

Allah ta’ala berfirman dalam surat ar ra’du ayat ke 28
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tenteram dengan mengingat Allah, Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.”
Hasbunallah wa Ni’mal wakil


[1] Ibnu Sa’ad : Thobaqatul Kubro,  Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1410 H, 6/122.
[2] Al Khatib al Baghdady : Tarikh Baghdad wa dziwalahu,  Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1417 H, 2/5-14.
[3] Ibid, 13/101-103
[4] Isma’il al Anshari : At Tuhfatu ar Rabbaniyyah, Saudi Arabia : Daar al Ifta, tt, h 13.
[5] ‘Athiyah Salim : Syarh Arba’in an Nawawiyah, Saudi Arabia, tt, 19/6
[6] Ibnu Taimiyah : Majmu’ al Fatawa, Saudi Arabia : Percetakan raja fahd,  1416 H, Bab  Ushulun fi Tahrimi wa Tahlil,  29/315.
[7] Sebagaimana dikutip Dr Musthafa Dieb al Bugha & Muhyidin Misthu : al Wafi Fi Syarhi al Arba’in an Nawawiyah, Beirut : Daar Ibnu Katsir, 1414 H, h 33.
[8] Ibnu ‘Utsaimin : Syarh al Arba’in an Nawawiyah, Daar ats Tsurayya lin Nusr, tt, h 105.
[9] Ahmad bin Hanbal : al Musnad, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1421 H, 3/248 hadits ke 1723. Shahih menurut syaikh Syu’aib al Arnauth. Hadits ini juga dikemukakan oleh Ath Thoyalisi 1178, at Tirmidzi 2518, al Hakim 2/13 dan al Baihaqi 5/335, imam al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh adz Dzahabi.
[10] Abu Nu’aim al Ashbahany : Hilyatul Auliya wa Thobaqotul Ashfiya, Beirut : Daar al Kitab al ‘Araby, 1394 H,  7/288.
[11] Ibnu Rajab : Jami’ul Ulum wal Hikam, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1422 H, h 204.
[12] Ash Shon’any : Subulus Salam, Daar al Hadits, tt, 2/689.
[13] Abu Dawud ath Thoyalisi : Musnad Abu Dawud, Mesir : Daar Hijr, 1419 H, 3/282 hadits ke 1819. Hadits ini dhaif menurut al albany lihat dha’if al jami’ no 4254, demikian pula al Haitsamy lihat Majma’uz Zawaid 3/136 no 4753.
[14] Sholih al Asmary : Majmu’at al Fawaid, Saudi Arabia : Daar ash shami’iy lin Nusyr wat Tau’zi’, 1420 H, h 80.
[15] Universitas Islam Madinah : Mudzakiratu Ushul Fiqh, tt, 1/16.
[16] Abu Bakar al Baihaqi : Sya’abul Iman, Saudi Arabia : Maktabah ar Rusyd, 1423 H, 1/257 hadits ke 108. Hadits ini dhaif menurut al Albany, lihat Silsilatu al Ahadits adh Dho’ifah 9/71 no 4074.
[17] Asy Syariif Al Jurzani: Kitab at Ta’rifat, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1403 H, h 243.

IMAN KEPADA MALAIKAT



Semua makhluk yang diciptakan Allah terbagi dalam dua jenis ghaib (al ghaib) dan nyata (asy syahadah). Yang membedakan keduanya adalah dapat atau tidaknya diindera oleh manusia. Al ghaib dalam pembahasan ini adalah ghaib secara mutlak yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera siapapun dan kapanpun.

Mengimani makhluk ghaib dilakukan dengan 2 metode, yaitu bil akhbar atau melalui berita yang disampaikan oleh sumber tertentu dan bil atsar, melalui bukti nyata yang menunjukkan makhluk ghaib itu ada.

Pengertian Malaikat

Secara bahasa kata malaikah atau malaikat dalam bahasa Indonesia adalah bentuk jamak dari malak. Al kisa-i berkata asal katanya adalah ma-lak dengan mentaqdimkan hamzah, ia adalah “حمل الالوكة و هي الرسالة” pembawa al alukah atau pembawa misi atau pesan.[1] Pengertian ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Hajj ayat 75,

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِير
Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Dari pengertian ini Ibnu Taimiyyah[2] mengemukakan pendapat bahwa malaikat adalah “أن الملائكة هم سفراء الله إلى أنبيائه ورسله في تبليغ الوحي والشرائع” para mediator Allah kepada para Nabi dan Rasulnya dalam menyampaikan wahyu dan ketentuan-ketentuan hukum. Sedangkan pengertian malaikat secara terminologis adalah[3]

خلق من مخلوقات الله، لهم أجسام نورانية لطيفة قادرة على التشكل والتمثل والتصور بالصور الكريمة، ولهم قوى عظيمة، وقدرة كبيرة على التنقل، وهم خلق كثير لا يعلم عددهم إلا الله، قد اختارهم الله واصطفاهم لعبادته والقيام بأمره، فلا يعصون الله ما أمرهم، ويفعلون ما يؤمرون
Diantara ciptaan Allah, jasad mereka tercipta dari cahaya yang halus memiliki bentuk dan rupa yang mulia, memiliki kekuatan yang besar, kemampuan yang besar untuk berpindah, jumlah mereka sangat banyak dan hanya Allah yang mengetahui jumlahnya, Allah telah memilih dan mengistimewakan mereka diantara hamba-hamba-Nya dan menegakkan dengan perintah-Nya. Mereka tidak mengkhianati segala perintah Allah, dengan senantiasa mengerjakan perintah Allah.

Mengenai penciptaan malaikat dari cahaya, ada sebuah riwayat dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api dan adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan kepada kalian semua.[4]

Malaikat diciptakan lebih dulu dari Adam as, sebagaimana yang tersirat dari firman Allah ta’ala dalam surat al Baqarah ayat 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً...
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menciptakan seorang khalifah di muka bumi ...

Beberapa Sifat Malaikat

a.Malaikat disifati dengan kekuatan, kekerasan dan kebengisannya,
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat at tahrim ayat 6,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras...

b.Malaikat disifati pula dengan kebesaran bentuk tubuhnya,
Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda,[5]
أُذِنَ لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلَائِكَةِ اللَّهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ، إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةُ سَبْعِ مِائَةِ عَامٍ
Diijinkan bagiku untuk membicarakan tentang malaikat dari para malaikat Allah yang mengusung Arsy, sesungguhnya jarak antara cuping telinga hingga pundaknya tujuh ratus tahun perjalanan.


c.Malaikat memiliki sayap yang jumlahnya sesuai kehendak Allah,
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Fathir ayat 1,
الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

d.Malaikat memiliki sifat mulia dan berbakti kepada Allah.
Allah ta’ala berfirman dalam surat ‘Abasa ayat 15-16
بِأَيْدِي سَفَرَةٍ كِرَامٍ بَرَرَةٍ
Ditangan para penulis (malaikat) yang mulia lagi berbakti

e.Malaikat bersifat pemalu,
sebagaimana sebuah riwayat dari Utsman bin Affan ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda[6],
أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ
Ketahuilah aku lebih pemalu dari seorang pemuda yang malaikat malu kepadanya.


Kaifiat Beriman Kepada Malaikat

Mengimani malaikat adalah salah satu diantara rukun iman, tidak sempurna keimanan seseorang tanpa mengimani malaikat. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Baqarah ayat 285,
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.

Bentuk mengimani malaikat dapat dirincikan sebagai berikut,
a. Menetapkan keberadaan wujudnya dan membenarkannya “الإقرار بوجودهم والتصديق بهم”

b. Mengimani bahwa malaikat berjumlah banyak dan tidak diketahui jumlahnya kecuali Allah ta’ala. “الإيمان بأنهم خلق كثير جدًّا لا يعلم عددهم إلا الله تعالى” sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Mudatsir ayat 31 “وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ” Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.

c. Menetapkan bahwa malaikat memiliki kedudukan yang agung disisi Allah, menghargai dan memuliakan malaikat “الإقرار لهم بمقاماتهم العظيمة عند ربهم وكرمهم عليه وشرفهم عنده”. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Anbiya ayat 26-27,
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ - لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ
Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak", Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.

d. Menjalin komitmen dan mewaspadai diri dari musuh-musuhnya. “موالاتهم والحذر من عداوتهم” sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat at tahrim ayat 4,
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ
Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.

Hikmah Beriman Kepada Malaikat

a. Lebih mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah Sang Maha Pencipta.

b. Meningkatkan rasa syukur atas perlindungan Allah kepada para hambanya dengan memerintahkan para malaikat-Nya untuk menjaga, membantu dan mendo’akan manusia.

c. Memotivasi untuk senantiasa melakukan penyucian jiwa dan meningkatkan ibadah kepada Allah ta’ala.

Hasbunallah wa ni’mal wakil

[1] Abu Nashr al Jauhari : ash Shihah Taj al Lughah wa Shihah al Arabiyah, Beirut : Daar al ‘Ilm, 1407 H, 4/1611.
[2] Ibnu Taimiyyah : an Nubuwat li Ibni at Taimiyyah, Riyadh : Adhwa as Salaf, 1420 H, 257.
[3] Nukhbatu minal Ulama : Kitab Ushul al Iman fi dhawai al kitab wa as sunnah, Saudi Arabia : Wizaratu Asy syu’uni al Islamiyyah al awqaf wad da’wah wal Irsyad, 1421H, 1/99.
[4] Muslim : Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al Araby, tt, 4/2294 hadits ke 2996
[5] Abu Dawud : Sunan Abi Dawud, Beirut : Maktabah al ‘Ashriyah, tt, 4/232 hadits ke 4727. Shahih menurut al albani, al Haitsami dalam majmauz zawaid mengatakan para perawinya shahih.
[6] Shahih Muslim, 4/1866 hadits ke 2401.