Dari Nu’man bin Basyir ra berkata, aku mendengar bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar-samar yang sebagian besar manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa menjauhi hal tersebut ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjerumus kedalam perkara yang samar-samar maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada didekat daerah terlarang dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan. Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (Bukhari Muslim)
Rujukan Hadits
Bukhari : Shahih al Bukhari, Beirut : Daar Thuq an Najah, 1422 H, 1/20 hadits ke 52.
Muslim : Shahih Muslim, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Araby, tt, 3/1219 hadits ke 1599.
Para Perawi
Nu’man Bin Basyir, adalah Nu’man bin Basyir bin Sa’d dari Bani Harits al Khazrajy, lahir 14 bulan setelah hijrah, ia adalah bayi anshar yang pertama lahir setelah hijrah, kedua orang tuanya merupakan sahabat nabi saw. Meriwayatkan dari Nabi saw 114 hadits. Al Bukhari mengumpulkan 6 hadits darinya. Mu’awiyah menugaskannya memimpin Hims. Wafat tahun 65 H.[1]
Bukhari, adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al Mughirah bin bardizbah al Ju’fi, seorang hafizh besar penulis al jami’ul Musnad ash Shahih al Mukhtashar min umuri Rasulillah saw wa Sananihi wa ayyamihi, masyhur dengan sebutan shahih bukhari yang disusunnya selama 16 tahun. Selain itu beliau menulis at tarikh, al adab al mufrad dan lainnya. Beliau meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, al Humaidi, Ibnul Madini. Yang meriwayatkan darinya adalah Muslim, an Nasa’i, at Tirmidzi. Lahir di Bukhara tahun 194 H, wafat jum’at malam selepas shalat Isya’ pada malam idul fitri tahun 252 H.[2]
Muslim, adalah Musim bin Hajjaj bin Muslim Abul Husain al Qusyairi an Naisabury. Penulis ash shahih, al ilal, al wujdan dan lainnya. Dia meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Khutsaimah, Ibnu Abi Syaibah, dan juga dari al Bukhari. Yang meriwayatkan darinya adalah at Tirmidzi, Ibrahim bin Muhamad bin Sufyan. Lahir tahun 204 H di Naisabur (daerah iran) wafat hari ahad tahun 261 H.[3]
Mufradat [4]
الحلال: وهو ما نص الله ورسوله، أو أجمع المسلمون على تحليله. أو لم يعلم فيه منع
segala sesuatu yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya atau sepakat orang-orang Islam atas kehalalannya, atau tidak diketahui padanya larangan.
بين: ظاهرJelas terlihat
الحرام: وهو ما نص أو أجمع على تحريمه، أو على أن فيه حدا أو تعزيزا، أو وعيدا
Segala sesuatu yang disyari’atkan atau disepakati atas pengharamannya. Atau padanya terdapat pembatasan, penghormatan maupun ancaman.
أمور: شئون وأحوال
Urusan-urusan dan kebutuhan-kebutuhan
مشتبهات: ليست بواضحة الحل ولا الحرمة
Perkara yang tidak jelas antara kehalalan dan keharamannya.
لا يعلمهن كثير من الناس: في راية الترمذي، لا يدري كثير من الناس أمن الحلال هي أم من الحرام
Dalam riwayat at tirmidzi, tidak dimengerti sebagian besar manusia apakah halal atau haram.
اتقى الشبهات: تركها وحذر منها. وفيه إيقاع الظاهر موقع المضمر تفخيما لشأن اجتناب الشبهات، إذا هي المشتبهات بعينها
Meninggalkannya dan menjaga diri darinya, termasuk dalam pengertian ini adalah jika ditemukan kesesuaian antara pendangan lahiriyah dan batiniyah untuk cenderung meninggalkan sesuatu yang meragukan maka itulah syubhat secara kasat mata.
استبرأ لدينه: طلب البراءة له من الذم الشرعي وحصلها له
Berusaha meraih dan mendapatkan kesucian agama dari cacat syar’i.
وعرضه: يصونه عن كلام الناس فيه بما يشينه ويعيبه.
Menjaga diri dari perkataan manusia yang atas segala sesuatu yang menimbulkan celaan dan aib.
ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام: إي إذا اعتادها واستمر عليها. أدته إلى التجاسر إلى الوقوع في الحرام
Jika membiasakan dan terus menerus atas perkara tersebut, tanpa rasa takut, maka akan menjerumuskan kepada yang haram
حول الحمى: المحمى المحظور عن غير مالكه
Tempat terlindung yang terlarang dari selain pemiliknya.
يرتع فيه: تأكل منه ماشيته و تقيم فيه
Makan pada tempat itu dan menetap.
حمى: موضعا يحميه عن الناس، ويتوعد من دخل إليه أو قرب منه، بالعقوبة الشديدة
Tempat yang terlindung dari manusia, dan diancam untuk dimasuki atau didekati dengan
hukuman yang keras.
محارمه: جمع محرم، وهو فعل المنهي عنه، أو ترك المأمور به الواجب
Jamak dari haram, adalah perbuatan yang dilarang untuk dikerjakan, atau perkara-perkara yang wajib untuk di tinggalkan.
ألا: حرف استفتاح، يدل على تحقق ما بعدها.
Hurut istiftah, menunjukkan atas kepastian berita yang dimaksud sesudahnya.
مضغة: قطعة لحم(Segumpal daging )
Pemahaman Isi Hadits
الحث على فعل الحلال واجتناب الحرام والشبهات
Anjuran untuk mengerjakan yang halal serta meninggalkan yang haram & syubhat.
Lafadz inna adalah “من أدوات التوكيد” diantara huruf yang digunakan untuk menguatkan berita yang menyertainya dan untuk menunjukkan penghormatan atasnya. Dengan demikian Rasulullah saw berwasiat dengan tegas agar pendengar memperhatikan perkara halal dan haram dalam segala urusan mereka.
Hadits ini menjelaskan bahwa segala urusan manusia terbagi dalam tiga hal [5]“حلال بين مشروع، وحرام بين ممنوع، ووسط مشتبه” halal yang jelas disyari’atkan, haram yang jelas di larang serta pertengahan antara keduanya yang samar.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa “من أحكام الشريعة، ومن معاني القرآن، ما هو بين واضح ليس فيه شبهة ولا يعذر أحد بجهله، سواء كان في الأوامر أو كان في النواهي”[6] perkara-perkara yang jelas (bayyin) dan terang (wadhih) berdasarkan hukum-hukum syari’at dan pemahaman al Qur’an adalah yang tidak terdapat padanya kesangsian dan tidak dimaafkan seseorang karena kebodohannya, baik dalam hal perintah maupun larangan.
Sebagai contoh yang termasuk dalam pengertian tersebut di atas adalah perintah sholat, zakat, larangan zina, khamar dsb.
Sedangkan yang syubhat menurut ibnu mundzhir terbagi dalam 3 bentuk yaitu[7] “شيء يعلمه المرء حراما ثمّ يشك فيه، و عكسه أن يكون الشيء حلالا فيشك في تحريمه، و شيء يشك في حرمة أو حلّه على سواء” sesuatu yang diketahui keharamannya kemudian ia ragu atasnya, dan kebalikannya adalah sesuatu yang halal kemudian diragukan keharamannya dan terakhir adalah sesuatu yang diragukan kehalalan dan keharamannya.
Ibnu ‘Utsaimin berpendapat bahwa sebab terjadinya syubhat ada dua yaitu[8] “الاشتباه في الدليل، و الاشتباه في انطباق الدليل على المسألة” kesangsian terhadap dalil dan kesangsian terhadap penerapan dalil atas masalah.
Rasulullah saw menganjurkan untuk meninggal-kan segala hal yang meragukan,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ، وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tolaklah segala sesuatu yang meragukanmu dengan sesuatu yang tak meragukanmu, sesung-guhnya perkara yang benar itu menenangkan hati dan dusta itu menggelisahkan.[9]
Sufyan bin Uyainah berkata “لَا يُصِيبُ رَجُلٌ حَقِيقَةَ التَّقْوَى حَتَّى يُحِيلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَرَامِ حَاجِزًا مِنَ الْحَلَالِ , وَحَتَّى يَدَعَ الْإِثْمَ وَمَا تَشَابَهَ مِنْهُ’ Tidak akan sampai seseorang pada takwa yang sesungguhnya kecuali ia meletakkan pemisah antara dirinya dan hal-hal yang haram sesuatu yang halal, sehingga ia terhindar dari dosa dan perkara yang samar.[10]
المحافظة على أمور الدين ومراعاة المروءة الإنسانية
Menjaga perkara - perkara agama serta menumbuhkan sifat kemanusiaan yang baik.
Hadits ini juga mengajarkan seorang muslim agar menjaga perkara-perkara agama dan menumbuhkan sifat kemanusiaan yang baik pada dirinya. Meninggalkan syubhat merupakan sebuah prilaku terpuji, karena sesuai dengan pemahaman terbalik dari hadits di atas bahwa orang yang mengerjakan hal-hal syubhat akan membuat dirinya terhinakan. Seperti perkataan seorang ulama salaf “مَنْ عَرَّضَ نَفْسَهُ لِلتُّهَمِ، فَلَا يَلُومَنَّ مَنْ أَسَاءَ بِهِ الظَّنَّ” barangsiapa membuat dirinya tertuduh janganlah ia menyalahkan orang yang berburuk sangka padanya.[11]
Dalam akhlaq Islam dikenal istilah al Haya-u (malu), yang secara bahasa berarti “تَغَيُّرٌ يَلْحَقُ الْإِنْسَانَ مِنْ خَوْفِ مَا يُعَابُ بِهِ” perubahan perasaaan yang terjadi pada seorang manusia karena takut dirinya dicela. Sedangkan dalam terminologi syari’at al haya-u adalah “خُلُقٌ يَبْعَثُ عَلَى اجْتِنَابِ الْقَبِيحِ وَيَمْنَعُ مِنْ التَّقْصِيرِ فِي حَقِّ ذِي الْحَقِّ” akhlaq yang mendorong seseorang untuk menjauhi perbuatan buruk dan mencegahnya dari hal-hal yang dapat melanggar hak orang lain.[12]
Ajaran Islam juga mengaitkan perbuatan menjaga kehormatan diri ini dengan shadaqoh sebagaimana sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda “مَا وَقَى بِهِ الْمُؤْمِنُ عِرْضَهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَة” sesungguhnya sesuatu yang digunakan mukmin untuk menjaga kehormatan dirinya adalah shodaqoh.[13]
سد كل ذريعة تؤدى إلى الحرام والمحرمات
Menutup segala perantara yang mengantarkan kepada perbuatan haram dan sesuatu yang diharamkan
Pelajaran berikutnya yang dapat diambil dari hadits ini adalah menutup pintu-pintu kemungkinan terjadinya perbuatan yang diharamkan. Demikian mulianya Islam hingga dianjurkan seorang muslim berhati-hati tidak mendekati perkara-perkara yang bisa mengakibatkan dirinya terjerumus ke dalam perbuatan maksiat atau haram, meski perkara tersebut dibolehkan.
Dalam kaidah ushul disebutkan “للوسائل حكم المقاصد، وللزوائد حكم المقاصد” hukum sarana dan seluruh kebutuhan tambahan mengikuti hukum tujuannya.[14] Demikian pula kaidah ushul “مالا يتم الواجب إلا به فهو واجب” sesuatu yang menjadi syarat sempurnanya sebuah kewajiban menjadi wajib pula hukumnya.[15]
Dari kaidah tersebut dapat diambil faidah bahwa seluruh sarana dan segala hal yang dapat menjerumuskan kepada sesuatu yang haram maka menjadi haram pula hukumnya. Dengan demikian wajib pula untuk mengupayakan segala hal yang baik untuk bisa menegakkan kewajiban.
الحث على إصلاح القلب وأن بصلاحه يصلح كل شيء وبفساده يفسد كل شيء من الإنسان
Anjuran untuk memperbaiki hati, karena dengan baiknya hati baiklah segala sesuatu dan dengan rusaknya hati rusak pula segala sesuatu dari pribadi manusia.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,
الْقَلْبُ مَلَكٌ وَلَهُ جُنُودٌ، فَإِذَا صَلُحَ الْمَلِكُ صَلُحَتْ جُنُودُهُ، وَإِذَا فَسَدَ الْمَلِكُ فَسَدَتْ جُنُودُهُ
Hati adalah raja dan baginya para prajurit, jika baik raja baik pula prajurit-prajuritnya dan jika buruk raja maka buruk pula prajurit-prajuritnya.[16]
Hadits riwayat Abu Hurairah sebagaimana hadits an Nu’man bin Basyir ini memberikan isyarat bahwa kebaikan aktivitas seluruh anggota tubuhnya baik berupa ucapan, fikiran dan perbuatan fisik bergantung kepada kebaikan hati. Dengan demikian celaka dan selamatnya seseorang bergantung pada selamat maupun celakanya kondisi hati.
Allah ta’ala memanggil orang-orang yang memiliki jiwa yang tenang ke dalam syurganya,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”
Al Jurzani[17] berpendapat bahwa yang dimaksud jiwa yang tenang pada ayat ini adalah “هي التي تم تنورها بنور القلب حتى انخلعت عن صفاتها الذميمة، وتخلقت بالأخلاق الحميدة” jiwa yang sempurna cahayanya dengan cahaya hati hingga terlepas dari sifat-sifat buruk, dan terbingkai dengan akhlaq yang terpuji.
Keberhasilan yang besar dari memperbaiki hati adalah jiwa yang tenang, tenang dalam beribadah, tenang dalam perjuangan dan pengorbanannya, tenang karena Allah menjadi poros segala amalnya, hati, ucapan dan tindakan.
Ini adalah kondisi hati yang mulia, hatinya tenang dengan keta’atan kepada Allah, tenang dengan janji-janji Allah. Merasakan nikmat dalam beribadah kepada Allah. Allah memenuhi segenap hatinya, Allah selalu ada dalam segala aktivitasnya. Jika Allah memberinya kenikmatan maka ia bersyukur dan bertambah keta’atannya. Jika Allah mengujinya dengan musibah maka ia bersabar dan bertambah kedekatannya kepada Allah, dan ia kembalikan segala urusannya kepada Allah.
Allah ta’ala berfirman dalam surat ar ra’du ayat ke 28
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tenteram dengan mengingat Allah, Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenang.”
Hasbunallah wa Ni’mal wakil
[1] Ibnu Sa’ad : Thobaqatul Kubro, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1410 H, 6/122.
[2] Al Khatib al Baghdady : Tarikh Baghdad wa dziwalahu, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1417 H, 2/5-14.
[3] Ibid, 13/101-103
[4] Isma’il al Anshari : At Tuhfatu ar Rabbaniyyah, Saudi Arabia : Daar al Ifta, tt, h 13.
[5] ‘Athiyah Salim : Syarh Arba’in an Nawawiyah, Saudi Arabia, tt, 19/6
[6] Ibnu Taimiyah : Majmu’ al Fatawa, Saudi Arabia : Percetakan raja fahd, 1416 H, Bab Ushulun fi Tahrimi wa Tahlil, 29/315.
[7] Sebagaimana dikutip Dr Musthafa Dieb al Bugha & Muhyidin Misthu : al Wafi Fi Syarhi al Arba’in an Nawawiyah, Beirut : Daar Ibnu Katsir, 1414 H, h 33.
[8] Ibnu ‘Utsaimin : Syarh al Arba’in an Nawawiyah, Daar ats Tsurayya lin Nusr, tt, h 105.
[9] Ahmad bin Hanbal : al Musnad, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1421 H, 3/248 hadits ke 1723. Shahih menurut syaikh Syu’aib al Arnauth. Hadits ini juga dikemukakan oleh Ath Thoyalisi 1178, at Tirmidzi 2518, al Hakim 2/13 dan al Baihaqi 5/335, imam al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh adz Dzahabi.
[10] Abu Nu’aim al Ashbahany : Hilyatul Auliya wa Thobaqotul Ashfiya, Beirut : Daar al Kitab al ‘Araby, 1394 H, 7/288.
[11] Ibnu Rajab : Jami’ul Ulum wal Hikam, Beirut : Muassasah ar Risalah, 1422 H, h 204.
[12] Ash Shon’any : Subulus Salam, Daar al Hadits, tt, 2/689.
[13] Abu Dawud ath Thoyalisi : Musnad Abu Dawud, Mesir : Daar Hijr, 1419 H, 3/282 hadits ke 1819. Hadits ini dhaif menurut al albany lihat dha’if al jami’ no 4254, demikian pula al Haitsamy lihat Majma’uz Zawaid 3/136 no 4753.
[14] Sholih al Asmary : Majmu’at al Fawaid, Saudi Arabia : Daar ash shami’iy lin Nusyr wat Tau’zi’, 1420 H, h 80.
[15] Universitas Islam Madinah : Mudzakiratu Ushul Fiqh, tt, 1/16.
[16] Abu Bakar al Baihaqi : Sya’abul Iman, Saudi Arabia : Maktabah ar Rusyd, 1423 H, 1/257 hadits ke 108. Hadits ini dhaif menurut al Albany, lihat Silsilatu al Ahadits adh Dho’ifah 9/71 no 4074.
[17] Asy Syariif Al Jurzani: Kitab at Ta’rifat, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1403 H, h 243.