'Abasa: Dia Yang Telah Bermuka Masam

Tafsir Surat 'Abasa Bagian Pertama

Kata ‘abasa merupakan bentuk persona ketiga, yang jika diartikan berarti dia telah bermuka masam. Menurut Ibnu Darid (w 321 H), seseorang bermuka masam, ketika ia mengerutkan wajahnya (Zamharat al-Lughah 1/337). Maksudnya adalah  mengerutkan bagian yang terletak diantara kedua alisnya. Al-Farabi (w 350 H) mengemukakan bermuka masam adalah muka yang menjadi gelap, seperti ada sesuatu yang menutupi wajahnya (Mu’jam Diwan al-Adab 2/494). hal ini menunjukkan rasa tidak suka terhadap sesuatu.

Dalam surat ini yang dimaksudkan dengan orang yang bermuka masam adalah Rasulullah saw. Menurut Hamka, teguran kepada Nabi Muhammad saw dengan menggunakan bentuk persona ketiga (dia) dalam ayat ini menjadi bukti bahwa Allah ta’ala menghormati Nabi-Nya. (Tafsir al-Azhar 10/7888). Teguran ini menjadi lebih halus, karena Allah ta’ala tidak langsung menegurnya dengan (عَبَسْتَ) ‘abasta, yang berarti kamu telah bermuka masam. Lebih lanjut Hamka mengemukakan bahwa Allah menghendaki agar Nabi-Nya senantiasa berwajah manis kepada siapapun, apalagi terhadap objek dakwah dan anak didiknya. 

Menurut al-Sya’rawi, kata ‘abasa merupakan teguran Allah kepada nabi-Nya. Hal ini adalah bukti kasih sayang-Nya kepada Rasululah saw. Melalui teguran itu Allah ta’ala menghendaki menjaga adab Nabi agar senantiasa dalam bimbingan-Nya. Teguran itu juga memastikan kepada seluruh manusia akan sifat amanah Nabi Muhammad saw, yang senantiasa menyampaikan firman Allah ta’ala sebagaimana adanya. Wallahu a’lam bishowab.

Sigit Suhandoyo

Daftar Pustaka

  1. Ibnu Darid, Zamharat al-Lughah, (Beirut: Dar al-‘Ilm, 1987). 
  2. Abu Ibrahim al-Farabi, Mu’jam Diwan al-Adab, (Cairo: Muassasatu Dar al-Sya’b. 2003).
  3. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1989)
  4. Mutawalli asy-Syarawi, Tafsir Juz 30, (Cairo: Akhbar al-Yaum, 2016) 

Para Pencabut Nyawa Yang Keras

Tafsir Surat An-Nazi'at Bagian Pertama

Kata an-Nazi’at berasal dari kata (نَزَعَ) naza’a, yang berarti mencabut sesuatu untuk memindahkannya. Kata ini digunakan untuk menggambarkan pemindahan sesuatu dengan paksa dan kuat (Lisan al-‘Arab 8/349). Al-Azhari (w 370 H) -seorang pakar susatera dari khurasan-  mengemukakan, kata ini juga diartikan yaitu menarik sesuatu dengan keras seperti menarik tali busur untuk melontarkan anak panah (Tahdzib al-Lughah 2/85).

Dalam surat an-Nazi’at sebagian besar pakar tafsir mengemukakan bahwa kata an-Nazi’at adalah Malaikat yang mencabut nyawa orang-orang yang kafir kepada Allah. Menurut Shihab, pencabutan nyawa dengan keras adalah dikarenakan saat sakaratul maut orang-orang kafir diperlihatkan tentang siksa neraka yang akan mereka dapatkan, sehingga mereka mempertahankan ruhnya (Tafsir al-Misbah 15/78). Orang-orang kafir akan mempertahankan ruhnya, karena ia tidak ingin berpisah dengan kehidupan dunia. Bagi orang-orang kafir dunia adalah satu-satunya kehidupan mereka. Hal ini berbeda dengan orang-orang beriman yang hidup di dunia untuk mempersiapkan kehidupan akhiratnya.Wallahu a’lam bishowab.

Sigit Suhandoyo

Daftar Pustaka

  1. Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, 2001)
  2. Ibnu Mandzhur al-Anshari, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadr, 1414 H).
  3. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005).


Berita Yang Pasti Kebenarannya

Tafsir Surat An-Naba Bagian Pertama

Sigit Suhandoyo

Dalam bahasa Arab, kata an-Naba’ biasa diartikan (خبر) khabar, yaitu sesuatu yang bergerak menyebar dari suatu tempat ke berbagai tempat yang lain (Maqayis al-Lughah 5/385).  Kata khabar mewakili seluruh makna berita secara umum, berbeda dengan kata an-Naba’ yang memiliki makna-makna khusus dari sebuah berita.

Menurut pakar susatera, kata an-Naba’ hanya digunakan untuk berita yang spesial, luar biasa dan merupakan hal yang penting. Sehingga terkadang bukti nyata atas sebuah peristiwa juga disebut dengan an-Naba. (al-Kulliyat 886)  Lebih lanjut menurutnya an-Naba adalah berita yang dipastikan benar, dan tidak mengandung kebohongan. Suatu berita disebut sebagai an-Naba dikarenakan memilki kemanfaatan yang besar dalam mengembangkan pengetahuan dan menghilangkan keraguan.(al-Kulliyat 900)

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Zabidi. Menurutnya An-Naba’ terkadang dimaknai sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini menggambarkan keutaamaan dari kebenaran isi suatu berita yang kemudian menyebabkan orang tergantung padanya. An-Naba merupakan berita yang mengarahkan orang untuk mengikuti isi berita. (Taj al-Arus 1/444) 

Dalam surat an-Naba, kata ini dikaitkan dengan kata (العظيم) al-azhim, untuk menguatkan pesan bahwa berita tentang hari akhir bukanlah berita biasa tetapi luar biasa. Hari akhir adalah kebenaran yang pasti terjadi. Kejelasan peristiwanya didukung oleh informasi pengetahuan dan bukti-bukti nyata yang mengantarkan pada keyakinan, orang-orang yang tidak mau menerima isi berita ini dipastikan akan celaka. Wallahu a’lam bishowab.

Sigit Suhandoyo

Daftar Pustaka

  1. Abu al-Biqai al-Hanafi, al-Kuliyat Mu’jam fi al-Musthalahat wa al-Furuq al-Lughawiyah, (Beirut; Muassasatu al-Risalah, tth)
  2. Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979).
  3. Murtadha al-Zabidi, Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, (Mesir: Dar al-Hidayah, tth).