Kajian Tafsir Tentang Teks Ekonomi (Iqtishad) Dalam al-Qur'an


Sigit Suhandoyo.

Pendahuluan. Kata ekonomi dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah kata serapan dari oikosnomos yang dalam bahasa Yunani berarti peraturan rumah tangga.  Sedangkan dalam terminologi Islam kata ekonomi dipadankan dengan kata (اقتصاد) atau iqtishād. Naskah ini selanjutnya akan membahas pendapat para ulama tafsir terkait pengertian penggunaan teks iqtishād dalam al-Qur’an.

Pembahasan. Kata iqtishād dalam bahasa arab merupakan sebuah kata yang berasal dari kata dasar qasd. Kata ini dengan beragam bentukannya terulang sebanyak 6 kali di dalam al-Qur’an . (al-Mu’jam al-Mufahras 545)


Menurut al-Fayrūz Ābādī Kata al-qasd berarti (إِتيان الشىءِ)  yaitu meniatkan melakukan sesuatu. (Bashāiru Dzawī al-Tamyīz 4/271) Kata وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ  dalam surat Luqman ayat 19 adalah salah satu nasihat Luqman bagi anaknya untuk berjalan dengan sederhana. Pakar tafsir Wahbah al-Zuhaylī  mengemukakan bahwa maksud dari berjalan dengan sederhana adalah berjalan secara pertengahan, tidak terlalu cepat seperti lompatan setan dan tidak terlalu lambat seperti orang yang lemah karena ingin terlihat zuhud.  (al-Tafsir al-Munīr 21/151) Maksudnya adalah berjalan dengan wajar, jangan terlalu cepat sehingga orang melihatnya sebagai sebuah kesombongan sebagaimana sifat syaitan. 

Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh al-Qurthubi , bahwa yang dimaksud al qashd pada ayat ini adalah “تَوَسَّطْ فِيهِ. مَا بَيْنَ الْإِسْرَاعِ وَالْبُطْءِ”  (al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an 14/171) berjalan dengan proporsional diantara antara cepat dan lambat.  Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Abu Ja’far al Thabari, menurutnya al-qashd dalam ayat ini berarti (وتواضع في مشيك إذا مشيت، ولا تستكبر، ولا تستعجل، ولكن اتئد)  (Jāmi’ al-Bayān Fi Ta’wil al-Qur’an 20/146) yaitu Luqman menasihati anaknya agar bersikap rendah hati, jika berjalan jangan bersikap sombong dan jangan tergesa-gesa, bersikaplah dengan tenang.

Dapat disimpulkan penggunaan teks al-qashd pada ayat ini menunjukkan arti suatu sikap yang sederhana, tenang dan wajar. Ia juga berarti sikap pertengahan atau proporsional antara tergesa-gesa dengan terlalu santai. Dapat pula berartirendah hati bukan sombong dan bukan pula rendah diri. 

Selanjutnya teks al-qashd pada surat al-Naḫl ayat 9, 

وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ. 

“dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok”. 

Wahbah az-Zuhailī menerangkan bahwa arti kata قَصْدُ السَّبِيلِ pada ayat adalah “الطريق المستقيم الذي لا اعوجاج فيه” yaitu jalan lurus yang tidak berkelok dan atau bercabang.  (al-Tafsir al-Munīr 17/174) Sehingga maksud jalan yang lurus adalah jalan yang terang menuju kepada kebenaran dan kebaikan berdasarkan petunjuk yang benar. Jalan lurus menurut al-Qurthubī adalah yang jalan yang menuju kepada sesuatu yang diharapkan, dan dapat pula berarti jalan kembali atau tujuan akhir dari suatu perjalanan.  (al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an 10/81-82) 

Yahya Ibn Salam  berpendapat bahwa pengertian qasd al-sabil adalah (الْبَيَانُ، حَلالُهُ، وَحَرَامُهُ، وَطَاعَتُهُ، وَمَعْصِيَتُهُ)  (Tafsir Yahya Ibn Salam 1/63) jalan yang menjelaskan antara halal dan haram, antara ketaatan dan maksiat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-samarqandi , bahwa maksudnya adalah (بيان الهدى،أو هداية الطريق)  (Baḫrul ‘Ulūm 2/267) yaitu menjelaskan petunjuk atau jalan yang mendapat petunjuk. Pendapat serupa juga dikemukakan al-Tsa’labi , menurutnya qashd al-sabil berarti jalan lurus, yaitu jalan kebenaran yang menerangkan hukum-hukum syari’at dan kewajiban-kewajiban itulah jalan Islam yang hanif (bersih).  (al-Kasyf wa al-Bayān 6/9)

Penggunaan teks al-qashd dalam ayat ini memiliki ragam pengertian, yaitu sesuatu yang lurus tidak berkelok dan bercabang. Ia juga berarti terang karena mendapatkan cahaya petunjuk kepada kebenaran. Al-qashd berarti menjelaskan hukum-hukum syari’at dan kewajiban-kewajiban sehingga diketahui kehalalan dan keharaman sesuatu, serta diketahui pula sebuah perbuatan itu bermakna ketaatan atau kemaksiatan hingga berhasil meraih tujuan akhir yang diharapkan.

Pengertian al-Qashd sebagai sifat pertengahan antara sesuatu juga ditemukan dalam teks ayat ke 42 surat at-Taubah.

لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ …(42)

“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka…”

Terdapat perbedaan pendapat tentang makna (سَفَرًا قَاصِدًا) sebagian berpendapat bahwa maksudnya adalah perjalanan yang mudah karena dekatnya tempat tujuan. Sebagaimana dikemukakan diantaranya oleh al-Thabarī bahwa maknanya adalah (قريبًا سهلا)  (Jāmi’ al-Bayān Fi Ta’wil al-Qur’an 14/217) yaitu, perjalanan yang dekat dan mudah. Sedangkan pendapat yang lain mengemukakan bahwa maksudnya adalah perjalanan yang mudah karena tujuannya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, atau bersifat pertengahan sebagaimana makna al-qashd sebelumnya. 

Wahbah az-Zuhailī mengemukakan bahwa kata (سَفَرًا قَاصِدًا)dalam ayat ini berarti (سهلا لا عناء فيه ولا مشقة، أي وسطا معتدلا)  (al-Tafsir al-Munīr 10/228) yaitu suatu perjalanan yang mudah, tidak ada kepenatan atau kesulitan didalamnya, yaitu perjalanan yang tengah-tengah atau sedang. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh al-Maraghi   (لا مشقة فيه من القصد وهو الاعتدال)  yaitu perjalanan yang tidak ada kesulitan di dalamnya, yaitu perjalanan yang sedang. (Tafsir al-Marāghī 10/125) Menguatkan pendapat tersebut, al-Syaukānī  mengemukakan bahwa maksudnya adalah (سَفَرًا مُتَوَسِّطًا بَيْنَ الْقُرْبِ وَالْبُعْدِ، وَكُلُّ مُتَوَسِّطٍ بَيْنَ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ فَهُوَ قَاصِدٌ)  yaitu perjalanan yang pertengahan antara dekat dan jauh, dan setiap yang pertengahan berada di antara berlebih-lebihan dan terlalu lalai.( Fath al-Qadīr 2/414) Berikutnya kata (مُقْتَصِدٌ) yang tertera pada surat luqman ayat 32,  

فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ 

“maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus”

Pakar Tafsir al-Qurthubī mengutip beberapa pendapat, menurut Ibnu Abbas ra, bahwa  maksud teks (مُقْتَصِدٌ) pada ayat ini adalah menunaikan apa yang ia janjikan kepada Allah. Menurut al-Naqassy, adalah berlaku adil dalam janji dan menunaikannya. Sedangkan menurut al-Hasan adalah orang beriman yang memegang teguh ketauhidan serta ketaatan.  (al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an 14/80) Sedangkan menurut Shihab kata ini berasal kata al-qashd, yaitu moderasi yakni yang hidup antara rasa takut dan harapan. Ada juga yang memahaminya dalam arti peringkat pertengahan, yakni dia bukan termasuk orang durhaka, tetapi dalam saat yang sama bukan juga orang yang sangat taat beragama.( Tafsir al-Misbah 11/160)  Selanjutnya Shihab mengemukakan bahwa makna ayat ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat Fathir ayat 32,

فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ 

lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. 

Beragam pendapat yang dikemukakan lagi oleh al-Qurthubī terkait ayat ini. Diantara pendapat yang dikutipnya adalah pendapat dari Muhammad bin jazid bahwa maksud muqtashid adalah (هُوَ الَّذِي يُعْطِي الدُّنْيَا حَقَّهَا وَالْآخِرَةَ حَقَّهَا)  mereka yang memberikan hak dunia dan hak akhiratnya secara seimbang. Lebih lanjut ia menyimpulkan bahwa muqtashid adalah, golongan yang senantiasa bersikap moderat dan seimbang serta berupaya meninggalkan kecenderungan apapun. Muqtashid adalah golongan moderat yang tidak mendzahilimi diri sendiri namun bukan pula golongan yang lebih dahulu berbuat kebaikan.( al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an 14/346) 

Dengan demikian penggunaan kata muqtashid dalam dua ayat tersebut diatas, dapat disimpulkan memilliki pengertian golongan pertengahan yang menunaikan janjinya kepada Allah, bersikap pertengahan antara rasa takut dan berharap kepada Allah. Melakukan apa yang menjadi kewajiban dunia dan akhirat secara seimbang. Bukan termasuk golongan yang durhaka kepada Allah, meski juga bukan golongan yang lebih cepat dalam ketaatan kepada Allah.

Pembahasan berikutnya adalah kata muqtashidah yang dikaitkan dengan kata ummah yaitu (أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ),  pada surat al maidah ayat 66. Menurut al-Mawardi , kata ini mempunyai dua arti yaitu ummat yang pertengahan dalam mengerjakan perintah Allah dan ummat yang menegakkan keadilan. (al-Nukat wa al-‘Uyun 2/53)   Sedangkan menurut al-Qusyairi  (المقتصد الواقف على حدّ الأمر لا يقصّر فينقص، ولا يجاوز فيزيد)  al muqtashid adalah berhenti atas batasan perintah, tidak memendekkan dan mengurangi, tidak pula melebihkan dan menambahkan.( Lathaif al-Isyarat 1/437) 

Al-Razi  menuturkan (لِاقْتِصَادِ فِي اللُّغَةِ الِاعْتِدَالُ فِي الْعَمَلِ مِنْ غَيْرِ غُلُوٍّ وَلَا تَقْصِيرٍ), secara bahasa al-Iqtishad adalah bersikap moderat dalam perbuatan tidak melebih-lebihkan dan tidak pula mengurang-ngurangi. (Mafatih al-Ghayb 12/399) Al-Zuhailī mengemukakan bahwa ummatun muqtashidah adalah (جماعة معتدلة في أمر الدين)  yaitu kelompak yang lurus dalam menjalankan perintah agama. (al-Tafsir al-Munir 6/264) Al-Thanthawi  mengemukakan, ummatun muqtashidah adalah (جماعة مستقيمة على طريق الحق) , yaitu kelompok yang berjalan lurus diatas kebenaran. (al-Tafsir al-Wasith 4/222) Pendapat serupa dikemukakan oleh al-Tsa’labi yaitu (الاعتدال والرفْقُ والتوسُّط الحَسَن في الأقوال والأفعال) , ummat yang moderat, lemah lembut, dan pertengahan, baik dalam perkataan dan perbuatan.(al-Kasyf wa al-Bayan 2/402)

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas maka maksud dari ummatan muqtashid, adalah ummat moderat yang menegakkan keadilan, berada diatas jalan yang lurus dengan menjaga batas-batas syari’at Allah, sederhana dalam berikap, lemah lembut dan baik dalam bertutur dan berbuat.

Kesimpulan. Kata al-qashd --dalam berbagai derivasinya-- sebagai akar kata dari iqtishad yang dikaji dalam ayat ini, terdapat pada 6 tempat dalam kitab suci. Kata-kata tersebut mengacu pada makna moderat atau pertengahan dan bisa juga berarti menegakkan keadilan dalam segala hal. Sebagai ummat, menjadi ummat Moderat di antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Menjadi ummat berkeadilan dalam menegakkan tuntutan dunia dan akhirat. Termasuk pula secara individual, menjadi individu yang sederhana. Proporsional dalam mengambil keputusan, tidak tergesa-gesa dan tidak pula menunda-nunda. Proporsional dalam bersikap tidak sombong dan tidak pula rendah diri.

Kata iqtishad juga mengandung makna jalan lurus, yang terang benderang. Jalan ini memiliki petunjuk yang jelas, pentunjuk kepada halal dan haram, petunjuk yang membedakan prilaku kebaikan dan kejahatan. Petunjuk itu mengantarkan kepada tujuan yang hendak diraih, yaitu kebaikan dunia dan akhirat.

Kajian para penafsir al-Qur’an terhadap kata Iqtishad dalam berbagai bentuknya memberikan makna yang mendalam tentang ekonomi Islam. Kata iqtishad syarat akan nilai-nilai moral terhadap sesama dan Sang Pencipta. Keutamaan dalam pemaknaan iqtishad ini dapat menjadi panduan bagi praktek dalam aktifitas ekonomi.

Bahan Bacaan

  • Muhammad Fuād ‘Abd  a-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fādz al-Qur’ān al-karīm, (Libanon: Dār al-FIkr, 1987)
  • al-Fayrūz Ābādī, Bashāiru Dzawī al-Tamyīz, (Cairo: Lajnah Ihyāu Turats al-Islāmī, 1996)
  • Wahbah al-Zuhaylī, al-Tafsir al-Munīr, (Damaskus: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, cet ke 2, 1418 H)
  • Syamsu al-dīn al-Quthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet ke 2, 1964)
  • Abu Ja’far al-Thabari, Jāmi’ al-Bayān Fi Ta’wāl al-Qur’an, (Beirut: Muassasatu al-risalah, 1420 H)
  • Yahya Ibn Salam, Tafsir Yahya Ibn Salam, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet pertama, 2004)
  • Abu Laits al-Samarqandi, Baḫrul ‘Ulūm, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth).
  • Abū Ishāq al-Tsa’labī, al-Kasyf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, cet pertama, 1422 H)
  • Musthafa al-Marāghī, Tafsir al-Marāghī, (Mesir: Perusahaan Penerbitan Musthafa al-Halabi, 1946)
  • Muhammad bin ‘Alī al-Syaukānī, Fath al-Qadīr, (Beirut: Dār Ibn Katsīr, cet pertama, 1414H)
  • Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, cet 4, 2005)
  • Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyun, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth)
  • ‘Abd al-Karim al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat, (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah, tth)
  • Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghayb, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, cet ketiga, 1420 H)
  • Muhammad sayyid al-Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith, (Mesir: Dār Nahdhah, tth)

Tafsir Surat An-Naba Ayat 31-36


Sigit Suhandoyo. Setelah kelompok ayat sebelumnya menerangkan keadaan neraka, sifat para pendusta dan azab bagi mereka, kelompok ayat ini menguraikan ganjaran orang-orang yang bertaqwa kepada Allah. Al-Qur’an menerangkan kedua hal yang bertolak belakang agar menjadi sarana perenungan bagi manusia dan memilih yang terbaik diantara kedua hal tersebut.

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا (31) حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا (32) وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا (33) وَكَأْسًا دِهَاقًا (34) لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا (35) جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا (36)

(31)Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan. (32)(yaitu) kebun-kebun dan buah anggur. (33) dan gadis-gadis remaja yang sebaya. (34)dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). (35) Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. (36)Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak,

Kebahagiaan Orang-Orang Bertaqwa. Sebenarnyalah orang-orang yang bertakwa mendapatkan keselamatan dan pembebasan dari neraka ke surga, serta memperoleh berbagai keadaan yang membahagiakan.

Musthafa Muslim mengemukakan, orang-orang yang bertaqwa adalah (الراسخون في الخوف) yaitu orang-orang yang mendalam rasa takutnya kepada Allah ta’ala, sehingga mereka menjaga dirinya untuk selalu mendapatkan keridho’an Allah degan perbuatan, perkatan dan keadaan mereka.  Menurut Buya Hamka, ketakwaan, jugaberarti usaha selalu memelihara hubungan yang baik dan mesra dengan Allah, sehingga hidup di dunia diatur dengan melaksanakan perintah Ilahi dan menjauhi apa yang dilarang. 

Kemenangan dan Keselamatan. Kata (مَفَازًا) berasal dari kata  (فوز ) yang berarti kemenangan, memperoleh kenikmatan, dan mendapatkan apa yang dicari, serta selamat dari neraka. Dikemukakan pula kata ini berasal dari (مَفَازَةٌ) mafazah, yaitu selamat dari padang pasir. Mafazah adalah ketika seseorang dapat keluar dari padang pasir sebagai pemenang. Tingkat kemenangan yang terendah adalah tidak mendapat kebinasaan, sedang yang tertinggi adalah mendapat kebajikan, demikian ungkap Asy-Sya’rawi. 

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ

Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. (Ali Imran 185)

Kebun-Kebun dan Buah Anggur. Kata (حَدَائِقَ) merupakan bentuk jamak dari kata (حديقة) hadiqah, yaitu kebun. Abu Ja’far Ath-Thabari mengemukakan, bahwa hadiiqah adalah kebun yang terlindung yang dikelilingi oleh pagar dinding, karena hadiiqah itu sendiri berarti sesuatu yang dikelilingi.  Adapun penyebutan buah anggur menurut sebagian ulama tafsir hanyalah untuk menggambarkan suatu jenis buah yang dikenal oleh manusia dalam kehidupan dunia, hal ini untuk memudahkan manusia memahami, karena surga pada dasarnya adalah sesuatu yang ghaib.

Gadis-Gadis Remaja yang Sebaya. Kata (كَوَاعِبَ) merupakan bentuk jamak dari kata (كاعب) ka'ib. Menurut Buya Hamka, Ka'ib adalah gadis-gadis perawan muda yang baru tumbuh payudaranya.  Ayat ini menerangkan salah satu sifat bidadari yang senantiasa suci lahiriyah dan batiniyahnya. Baik dari kalangan wanita mukminah penghuni surga maupun mahluk yang Allah ciptakan khusus di surga. 

Gelas-Gelas yang Berisi Minuman. Menurut Asy-Sya’rawi  gelas-gelas di Surga berisi berbagai macam minuman, termasuk di dalamnya adalah Khamr. Namun tidak ada satupun minuman di dalam surga itu yang memabukkan, yang menyebabkan berkurangnya fungsi Akal. Sebab di dalam surga tidak ada pembicaraan yang sia-sia. Sebagaimana perkataan sia-sia yang terjadi di dunia karena kurangnya fungsi akal manusia.  

Demikianlah diantara kebahagiaan bagi orang-orang yang bertaqwa di surga kelak. Allah melimpahkan pemberiannya yang sangat banyak kepada mereka. Menurut sebagian ahli tafsir, penggunaan kata (حِسَابًا) menggambarkan sebuah situasi yang sangat mencukupi, yang tidak dapat lagi menerima tambahan. Wallahu a’lam bis showab.


Hukum Berqurban


Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum berkurban; apakah wajib atau sunnah. Abu Hanifah dan para sahabatnya berkata, "Berkurban hukumnya wajib satu kali setiap tahun bagi seluruh orang yang menetap di negerinya." (Tabyin al-Haqaiq 6/2)

Adapun menurut pendapat sebagian besar ulama fiqh, seperti para ulama mazhab syafi’i, mazhab Hanbali dan Imam Malik serta para Abu Yusuf sahabat Abu Hanifah, hukum berkurban adalah sunnah muakkad. (al maushu’at al-fiqhiyah 5/76) 

Menurut pendapat yang populer dalam madzhab Maliki, hukum berkurban adalah sunnah muakkad, serta makruh meninggalkannya bagi seorang yang mampu melakukannya. hukum seperti ini berlaku bagi orang yang tidak sedang menunaikan ibadah haji yang pada saat itu tengah berada di Mina.

Selanjutnya, menurut ulama Mazhab Maliki sangat dianjurkan bagi orang yang mampu untuk mengeluarkan kurban atas setiap anggota keluarganya, meskipun jika orang itu hanya berkurban sendirian lantas meniatkannya sebagai perwakilan dari seluruh anggota keluarganya, atau orang-orang yang dalam tanggungannya, maka kurban yang bersangkutan tetap dipandang sah. 

Sementara itu, menurut madzhab Syafi'i, hukum berkurban adalah sunnah 'ain bagi setiap orang, satu kali seumur hidup, dan sunnah kifayat [setiap tahun) bagi setiap keluarga yang berjumlah lebih dari satu. Dalam arti apabila salah seorang dari anggota keluarga tadi telah menunaikannya, maka dipandang sudah mewakili seluruh keluarga.

Adapun argumentasi yang dikemukakan madzhab Hanafi dalam mewajibkan kurban adalah firman Allah ta’ala dalam surat al-Kautsar,

فَصَل لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.

Menurut mereka ayat perintah ini secara mutlak menunjukkan wajibnya mengerjakan sholat ‘ied dan berkurban. Demikian pula jika diwajibkan bagi Nabi Muhammad saw, maka wajib pula bagi ummatnya untuk mengikutinya, karena Nabi Muhammad saw adalah pemimpin dan teladan bagi ummatnya. (al maushu’at al-fiqhiyah 5/77)  

Juga sabda Rasulullah saw,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

"Siapa yang dalam kondisi mampu lalu tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami ini. (Nail al Authar 5/108)

Menurut mereka, ancaman yang seperti ini tidak akan diucapkan Nabi saw terhadap orang yang meninggalkan suatu perbuatan yang tidak wajib.

Adapun, jumhur ulama menetapkan sunnah hukumnya berkurban bagi setiap orang yang mampu. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits seperti disebutkan di bawah ini:

أن رسول الله صلّى الله عليه وسلم قال: إذا رأيتم هلال ذي الحجة: وأراد أحدكم أن يضحي، فليمسك عن شعره وأظفاره

Jika kalian melihat hilal, tanda masuknya bulan Dzulhiiiah lalu salah seorang kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia tidak memotong rambut dan kukunya (hingga datang hari berkurban). (HR Muslim 3/1565 hadits no 1977)

Jumhur ulama menyatakan bahwa pada hadits ini tindakan berkurban dikaitkan dengan keinginan seseorang. Sementara itu, pengaitan sesuatu dengan keinginan menunjukkan ketidakwajiban.

Imam Ahmad meriwayatkan

ثلاث هن علي فرائض، وهن لكم تطوع: الوتر، والنحر وصلاة الضحى

Ada tiga hal yang bagi saya hukumnya adalah fardhu sementara bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, berkurban, dan mengerjakan shalat Dhuha. (Musnad al Imam Ahmad 3/485 hadits no 2050, juga diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)

Terdapat pula sebuah riwayat al-Baghwi tentang dua sahabat utama Nabi saw yaitu Abu bakar ra dan Umar ra. 

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، كَانَا لَا يُضَحِّيَانِ كَرَاهِيَةَ أَنْ يُرَى أَنَّهَا وَاجِبَةٌ

Bahwa pada suatu waktu mereka berdua tidak berkurban, karena khawatir orang-orang akan memandangnya sebagai perbuatan yang diwajibkan. (Syarh Sunan li al-Baghawi 4/384)

Riwayat yang serupa juga disampaikan oleh al-Baihaqi

كان أبو بكر وعمر رضي الله عنهما لا يضحيان السنة والسنتين مَخَافَةَ أَنْ يُرَى ذَلِكَ وَاجِبًا

Bahwasanya Abu Bakar dan Umar ra tidak berkurban dalam satu dan dua tahun karena khawatir, masyarakat menganggap berkurban menjadi sebuah kewajiban. ( sunan al-Baihaqi 9/265, dalam al-Majmu’ Imam an-Nawawi menghasankan riwayat ini 8/383) 

wallahu a’lam bishhowab.

Pengertian & Hikmah Ibadah Qurban



Secara etimologis, kurban berarti sebutan bagi hewan yang dikurbankan atau sebutan bagi hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha. Adapun definisinya secara fiqih adalah perbuatan menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan dilakukan pada waktu tertentu. Kurban juga didefinisikan dengan hewan-hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ibadah kurban disyariatkan pada tahun ketiga Hijrah, sama halnya dengan zakat dan shalat hari raya. Landasan pensyariatannya dapat ditemukan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'. Landasan kurban dari Kitabullah adalah firman Allah SWT,

فصلّ لربك وانحر

"Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)." (alKautsar:2)

والبدنَ جعلناها لكم من شعائر الله

"Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah...." (al-Haii: 36);

syiar Allah SWT artinya tanda-tanda pokok dalam agama Allah SWT. Adapun landasan dari As-Sunnah tersebar dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Aisyah r.a., yaitu sabda Rasulullah saw.,

ما عمل ابن آدم يوم النحر عملاً أحب إلى الله تعالى من إراقة الدم، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأظلافها وأشعارها، وإن الدم ليقع من الله عز وجل بمكان قبل أن يقع على الأرض، فطيبوا بها نفساً

Tidak ada satu amal pun yang dilakukan anak cucu Adam pada hari raya kurban yang lebih dicintai Alloh SWT dibandingkan amalan menumpahkan darah (hewan). Sesungguhnya ia (hewan-hewan yang dikurbankan itu) pada hari Kiamat kelak akan datang dengan diiringi tanduk kuku, dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darah yang ditumpahkan (dari hewan itu) telah diletakkan Allah SWT di tempat khusus sebelum ia jatuh ke permukaan tanah. Oleh karena itu, doronglah diri kalian untuk suka berkurban. (Nail al-Authar 5/108)

Seluruh umat Islam sepakat bahwa berkurban adalah perbuatan yang disyariatkan Islam. Banyak hadits yang menyatakan bahwa berkurban adalah sebaik-baik perbuatan di sisi Allah SWT yang dilakukan seorang hamba pada hari raya kurban. Demikian juga, bahwa hewan kurban itu akan datang pada hari Kiamat kelak persis seperti kondisi ketika ia disembelih di dunia. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa darah hewan kurban itu terlebih dulu akan sampai ke tempat yang diridhai Allah SWT sebelum jatuh ke permukaan bumi, sebagaimana kurban merupakan ajaran yang dilakukan pertama kali oleh Nabi Ibrahim a.s., seperti dinyatakan dalam firman Allah SWT,

وفديناه بذبح عظيم

"Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (ash-Shaffaat: 107)

Adapun hikmah disyariatkannya berkurban adalah untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Allah SWT terhadap nikmat-nikmat-Nya yang beraneka ragam. Demikian juga rasa syukur masih diberi kesempatan hidup dari tahun ke tahun, serta rasa syukur telah diampuni dosa-dosa yang dilakukan, baik dosa yang disebabkan pelanggaran terhadap perintah-Nya maupun ketidak optimalan dalam menjalankan suruhan-Nya. Di samping itu, berkurban juga disyariatkan dalam rangka melapangkan kondisi keluarga yang berkurban dan fihak-pihak lainnya. Dengan demikian, kurban tidak boleh diganti dengan uang; berbeda halnya dengan zakat Fitrah yang memang ditujukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup fakir miskin. Itulah sebabnya, menurut Imam Ahmad berkurban lebih utama dari bersedekah dengan uang yang senilai dengan harga hewan kurban itu. (sumber: al-fiqh al-Islami wa adillatuhu)