BERKURBAN ATAS NAMA ORANG LAIN



Dalam tabyin al haqaa’iq disebutkan bahwa kurban adalah “اسْمٌ لِحَيَوَانٍ مَخْصُوصٍ بِسِنٍّ مَخْصُوصٍ يُذْبَحُ بِنِيَّةِ الْقُرْبَةِ فِي يَوْمٍ مَخْصُوصٍ عِنْدَ وُجُودِ شَرَائِطِهَا وَسَبَبِهَا” nama bagi hewan yang khusus disembelih dengan niat mendekatkan diri kepada Allah pada hari yang ditentukan sesuai dengan syarat-syarat dan sebab-sebabnya.[1]

Hukum kurban menurut jumhur ulama – syafi’iyyah, hanabilah dan malikiyyah -- adalah sunnah muakkad  sebagaimana hadits Rasulullah saw[2] “إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا، وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا” jika telah masuk hari ke sepuluh pada musim kurban kemudian salah seorang dari kalian ingin berkurban maka hendaklah ia tidak memotong rambut dan kuku(hewan kurban)nya (hingga datang hari berkurban).

Jumhur ulama berpendapat sesuai dengan hadits ini keinginan berkurban tidak menunjukkan dalil wajibnya kurban melainkan sunnah. Sebab kewajiban tidak terkait dengan keinginan seorang mukallaf.
Menurut mazhab syafi’iyyah,[3] tidak dibolehkan berkurban atas nama orang lain kecuali seizin orang itu, sebagaimana tidak boleh berkurban untuk orang yang sudah mati kecuali jika si mayit pernah mewasiatkan sebelumnya. Sebagaimana dalil firman Allah dalam surat an najm 39 : “وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى” dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.

Menurut madzhab maliki,[4] makruh hukumnya berkurban atas nama orang yang sudah meninggal, apabila si mayit tidak menetapkan hewan tertentu sebagai kurban sebelum wafatnya. Namun apabila si mayit menetapkannya maka sunnah hukumnya merealisasikan kurban tersebut.
Adapun menurut mazhab Hanafi dan Hambali,[5] dibolehkan berkurban atas nama orang yang sudah meninggal. Dan pahalanya sampai kepada si mayit.

Catatan Pustaka
[1] Fakhruddin al Hanafi: Tabyiin al Haqaa’iq, Mesir: al Mathba’ah al Kubro, 1414 H, jilid 6, hlm 2.
[2] Muslim bin Hajjaj: Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Araby. tt, jilid 3, hlm 1565.
[3] Lihat Khatib asy Syarbini asy Syafii: Mughni al Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfadz al Minhaj, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, Jilid 6, hlm 137.
[4] Lihat Muhammad bin Ahmad ad Dasuqy al Maliky : Hasyiyatu ad Dasuqy ala Syarh al Kabir, Beirut: Daar al Fikr. tt, jilid 2, hlm 122.
[5] Lihat al Bahuty: Kasyaf al Qina’. Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, tt, jilid 3, hlm 18.

URGENSI DAKWAH DALAM AL QUR'AN 1



Dakwah adalah Kewajiban Syari’at (الدعوة فريضة شرعية)

Allah ta’ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 104 sebagai berikut,
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran 104)

Huruf lam pada lafaz waltakun dalam firman Allah ini adalah untuk menyatakan perintah[1], sedangkan perintah itu menuntut suatu kewajiban. Demikian menurut Ibnu Asyur, shigat (bentuk) lafaz waltakun minkum ummah merupakan bentuk wajib karena menerangkan perintah.[2] Dalam menafsirkan ayat ini, Wahbah az Zuhaili berpendapat,
 يأمر الله تعالى الأمة الإسلامية بأن يكون منها جماعة متخصصة بالدعوة إلى الخير والأمر بالمعروف والنّهي عن المنكر، وأولئك الكمّل هم المفلحون في الدّنيا والآخرة”[3]
Allah ta’ala memerintahkan bagi ummat Islam tentang keharusan adanya sekelompok jama’ah yang khusus menangani perintah berda’wah kepada kebaikan menyeru yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, mereka itulah kemenangan yang sempurna di dunia dan akhirat.

Sayyid Quthb berpendapat bahwa “إن قيام هذه الجماعة ضرورة من ضرورات المنهج الإلهي ذاته”[4] menegakkan jamaa’ah da’wah ini merupakan kewajiban darurat sebagaimana kedaruratan menegakkan system Ilahiyah itu sendiri.  Menurut Ibnu Katsir, maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah,
أَنْ تَكُونَ فرْقَة مِنَ الأمَّة مُتَصَدِّيَةٌ لِهَذَا الشَّأْنِ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ وَاجِبًا عَلَى كُلِّ فَرْدٍ مِنَ الْأُمَّةِ بِحَسْبِهِ”[5]
bahwa hendaklah ada sekelompok orang dari ummat Islam yang dikerahkan untuk menanangani perintah da’wah ini, walaupun tuhgas ini merupakan kewajiban bagi setiap individu ummat Islam sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing.

Dari Abu Sa’id ra, bahwasanya Rasulullah telah bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ.[6]
“Barangsiapa diantara kalian melihat sebuah kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan perkataannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemah iman ”

Tentang wajibnya berda’wah menerangkan kebenaran juga tersirat dari makna pelarangan menyembunyikan ilmu, sebagaimana firman Allah ta’ala pada surat al Baqarah ayat 159,
إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى من بعد ما بيناه للناس في الكتاب أولئك يلعنهم الله ويلعنهم اللاعنون.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.”

Ayat ini turun terkait dengan perilaku para pendeta yahudi yang menyembunyikan kebenaran,[7] Meskipun demikian ancaman dalam ayat ini tidak hanya diperuntukkan bagi pendeta-pendeta Yahudi saja, melainkan berlaku secara umum. Al Qurthubi mengemukakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah setiap orang yang menyembunyikan kebenaran.
الْمُرَادُ كُلُّ مَنْ كَتَمَ الْحَقَّ، فَهِيَ عَامَّةٌ فِي كُلِّ مَنْ كَتَمَ عِلْمًا مِنْ دِينِ اللَّهِ يُحْتَاجُ إِلَى بَثِّهِ”[8]
Ayat ini bersifat umum. Mencakup semua orang yang menyembunyikan ilmu agama yang harus disyiarkan.

Da’wah sebagai sebuah kewajiban syari’at juga terdapat pada surat al Ashr. Dalam surat ini Allah mensifati manusia yang tidak berda’wah itu berada dalam kerugian,
والعصر. إن الإنسان لفي خسر. إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Dalam ayat ini terdapat hikmah tentang kerugian orang-orang yang tidak berda’wah. Az Zuhaili berpendapat,
حكم اللَّه تعالى بالوعيد الشديد لأنه حكم بالخسارة على جميع الناس إلا من كان آتيا بأشياء أربعة أو متصفا بصفات أربع، وهي: الإيمان، والعمل الصالح، والتواصي بالحق، والتواصي بالصبر.”[9]
Allah ta’ala mengancam manusia dengan ancaman yang keras dengan kerugian bagi seluruh manusia kecuali mereka yang memiliki sifat beriman, beramal shaleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Ar Razi berpendapat,
دَلَّتِ الْآيَةُ عَلَى أَنَّ الْحَقَّ ثَقِيلٌ، وَأَنَّ الْمِحَنَ تُلَازِمُهُ، فَلِذَلِكَ قَرَنَ بِهِ التَّوَاصِيَ”[10]
ayat ini menunjukkan bahwa kebenaran itu berat dan ujian tidak dapat dihindari dan yang demikian itu terkait dengan kegiatan saling menasihati. Maksudnya adalah beratnya menegakkan kebenaran dan ujian yang senantiasa menimpa manusia merupakan bukti pentingnya da’wah dalam bentuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Catatan Pustaka
[1] Mahmud bin Abdurrahim shafiy, al Jadwal fi I’rabil Qur’an al Karim, Damaskus : Daar Ar Rasyid, 1418 H, vol 4, hlm 265.
[2] Muhammad ath Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath Thahir bin ‘Asyur at Tunisiy, at Tahrir wa at Tanwir, Tunisia : Daar at Tunisiah li an Nusyr, 1984, vol 4, hlm 37.
[3] Wahbah bin Musthafa az Zuhaily, at Tafsir al Munir fi al Aqidati wa asy Syari’ati wa al Manhaj, Damaskus : Daar al Fikr al Muashir, 1418 H, Vol 4, hlm 33.
[4] Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy Syarabi, Fi Dzilalil Qur’an, Cairo : Daar as Syuruq, vol 1, hlm 44.
[5] Abul Fida Ismail bin ‘Amr bin Katsir al Qurasyi, Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar Thoyyibah, 1420 H,Vol 2, hlm 91.
[6] Muslim bin al Hajjaj Abul Hasan al Qusyairi an Naisabury, Shahih Muslim, Beirut : Daar Ihya at Turats al Araby,tt, Vol 1, hlm 69.
[7] Abul Hasan al Wahidiy, Asbab an Nuzul, Ad Damam : Daar al Ishlah, 1412 H, Hlm 47.
[8] Syamsuddin al Qurthubi, al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Cairo : Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, Vol 2, hlm 148
[9] Wahbah bin Musthafa az Zuhaily, op.cit, Vol 30, hlm 395.
[10] Fakhruddin arRazi, Mafatih al Ghaib, Beirut : Daar Ihya at Turats al ‘Arabiy, 1420 H, Vol 32, hlm 282.

HIJRAH NABI MUHAMMAD SAW



PELAJARAN TENTANG METODE DA’WAH  DAN PERENCANAAN MASA DEPAN ISLAM

PENDAHULUAN (مقدمة)

Dalam gerak ada keberkahan, siapa yang stagnan dan apatis dengan keadaan tidak bisa merealisasikan tuntutan iman akan hidup dengan kehinaan dan masa depan yang suram. Para muhajir telah memulainya dengan proses yang benar, suatu perpindahan yang beranjak dari kesadaran imani dan bukan sebuah anggapan yang naif tentang keterpaksaan mengamankan diri dari kesulitan hidup.

Ibnu Daqiq al I’ed merumuskan bahwa hijrah dalam Islam terbagi dalam 5 bagian yaitu: “hijrah ke habsyah, hijrah dari mekah ke madinah, hijrah para kabilah kepada Nabi saw untuk mempelajari Islam guna pengajaran bagi kaum mereka, hijrahnya penduduk mekah yang ingin masuk Islam ke madinah menemui nabi kemudian kembali ke mekah dan hijrah meninggalkan segala yang Allah larang”.[1]

Hijrah adalah sebuah aksioma dari runtutan pembangunan peradaban Islam. Demikianlah Allah ta’ala berfirman dalam surat al Anfaal ayat 74,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ.
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia”.

Bertolak dari keimanan untuk bersama seluruh makhluk-Nya tunduk dan mengabdi kepada Allah, seorang hamba memutuskan sebuah pilihan diam ditempat dalam kondisi tak bisa mengatualisasikan imannya karena ancaman pemenjaraan, pemboikotan dan pembunuhan atau hijrah untuk menjaga da’wah Islam dari gangguan dan permusuhan para penolaknya. Dan runtutan pembangunan peradaban itu pada akhirnya sampai kepada puncak bangunannya yaitu jihad.

Sejarah hijrah Rasulullah saw memberikan pelajaran kepada kita bahwa, hijrah tidak memberikan kesempatan kepada para pengecut, pemalas dan para pemimpi. Hijrah melahirkan kelas yang tidak berbasis pada kekayaan materi, keningratan nasab atau kekuatan fisik, melainkan melahirkan kader-kader da’wah yang teruji kekuatan semangat, loyalitas, pengorbanan, puncak kesetiaan serta kedermawanannya.

Sebagai sebuah runtutan pembangunan Islam, sejarah Hijrah nabi memberikan pelajaran tentang bagaimana Rasulullah saw menyebarkan Islam dengan damai dan tanpa ada paksaan dalam beragama, memprioritaskan target da’wah serta melakukan pentahapan-pentahapan dalam gerakan da’wahnya, hingga akhirnya berdirilah sebuah negara yang kokoh berdasarkan agama.

Demikianlah hijrah dalam tinjauan singkat, sebagai sebuah upaya kebangkitan negara Islam yang gemilang, masih menyisakan banyak fitnah. Bahwa Rasulullah saw adalah seorang pendendam yang mengorganisir dendamnya melalui penaklukan-penaklukan, agama islam disebarkan dengan kekerasan, hingga peperangan adalah ladang bagi ummat Islam untuk mengumpulkan harta.

Karena keterbatasan, makalah ini memfokuskan pembahasan peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw pada aspek nilai-nilai da’wah yang terkandung di dalamnya.
               
DEFINISI HIJRAH (تعريف الهجرة)

Definisi Secara Bahasa
Kata al Hijrah adalah lawan dari kata “al washol” (tersambung) [2]. Hajarahu, yahjuru, hijran dan hijranan berarti memutuskan, bentuk isimnya adalah al hijrah. Pengertian ini tersirat dalam hadits dari Abdullah bin Umar ra, disebutkan.
لَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
“tidak halal seorang Mukmin meninggalkan saudaranya (mengabaikannya) lebih dari tiga hari”[3]

Dari hadits tersebut difahami bahwa kalimat hijrah bermakna kebalikan atau lawan dari tersambung. Pada hubungan persaudaraan hal itu berarti terlepasnya ikatan kebaikan diantara keduanya.

Hijrah juga bermakna sebuah perpindahan fisik, dari sebuah tempat ke tempat yang lain. Sebagaimana pendapat ibnul Atsir “الخُرُوج مِنْ أَرْضٍ إِلَى أَرْضٍ، وتَركِ الْأُولَى للثَّانية”  (keluar / memutuskan hubungan dari sebuah kawasan kepada kawasan lain dan meninggalkan yang pertama kepada yang kedua).[4]

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat kita simpulkan hijrah adalah meninggalkan sesuatu baik secara fisik maupun psikis.

Definisi Secara Istilah
Secara istilah ada beberapa definisi yang terkait dengan makna hijrah. Kalangan hanafiyah dan hanabilah berpendapat bahwa hijrah adalah “ترك الوطن الذي بين الكفار، والانتقال إلى بلاد الاسلام” meninggalkan tanah air kafir dan berpindah ke negeri Islam[5]. Alfayumi berpendapat  “الإنتقال من دار الكفر إلى دار الإسلام، فإن كانت قربة لله فهي الهجرة الشرعية” hijrah adalah perpindahan dari negeri kafir menuju negri Islam, jika itu diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka itulah hijrah menurut syari’at[6].

Adapun yang dimaksud daarul kufar adalah “التي يحكمها الكفار، وتجري فيها أحكام الكفر، ويكون النفوذ فيها للكفار وهي على نوعين: بلاد كفار حربيين. و بلاد كفار مهادنين بينهم وبين المسلمين صلح وهدنة” negeri yang dikuasai atau pemerintahannya dijalankan oleh orang-orang kafir dan hukum yang dilaksanakan adalah hukum mereka. Berdasarkan kondisinya mereka terdiri dari dua golongan yaitu negeri kaum kafir yang memerangi Ummat Islam dan yang melindungi ummat Islam. Sementara negeri Islam adalah “التي يحكمها المسلمون، وتجري فيها الأحكام الإسلامية ويكون النفوذ فيها للمسلمين ولو كان جمهور أهلها كفاراً” negeri yang dikuasai atau pemerintahannya dijalankan oleh orang-orang Islam dan hukum yang diterapkan adalah hukum Islam, sekalipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang kafir.[7]

Hijrah juga digunakan dalam pengertian pergi untuk mendekatkan diri dalam kebiasaan-kebiasaan baik dan menjauhi dosa dan maksiat.  Rasulullah saw pernah bersabda bahwa
الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ السُّوءَ فَاجْتَنَبَهُ[8]
“orang yang hijrah adalah siapa saja yang meninggalkan dan menjauhi keburukan”
المُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ[9]
“orang yang hijrah adalah siapa saja yang menjauhi segala yang Allah larang atasnya”

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas maka dapat kita simpulkan bahwa makna hijrah adalah berpindahnya seorang mukmin dari sebuah tempat yang penuh fitnah karena keinginannya menjaga keselamatan agamanya menuju tempat yang dapat menjamin keberlangsungan agamanya, termasuk pula keselamatan harta, jiwa, keluarga dan kehormatannya.

Adapun makna hijrah secara khusus yang akan dibahas secara mendalam pada makalah ini adalah hijrah yang  dilakukan oleh Rasulullah saw bersama para sahabatnya dari Mekah ke Madinah.

KRONOLOGI PERISTIWA HIJRAH

Ijin Untuk Berhijrah

Imam Syafi’i meriwayatkan, kaum muslimin berada dalam keadaan lemah dan tertindas selama beberapa waktu di Mekah, ketika itu mereka belum mendapatkan ijin berhijrah. Kemudian Allah memberikan ijin kepada mereka untuk berhijrah yang hal tersebut merupakan jalan keluar bagi mereka. Kemudian turun firman Allah dalam surat ath thalaq ayat 2
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”

Rasulullah saw kemudian memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa Allah telah menjadikan hijrah sebagai jalan keluar bagi mereka. Kemudian Allah berfirman dalam surat an nisa ayat 100
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
“barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak”

Kemudian beliau memerintahkan kaum muslimin berhijrah ke habasyah dan beberapa orang dari mereka hijrah ke negeri tersebut. Kemudian penduduk madinah masuk Islam, lalu Rasulullah memerintahkan beberapa orang hijrah ke madinah, tanpa mengharamkan orang yang menetap dan tidak berhijrah. “Setelah Allah mengijinkan kepada mereka untuk berjihad, maka setelah itu Allah mewajibkan kepada kaum muslimin berhijrah dari negeri syirik.”[10]
               
Permulaan Hijrah

Hijrah ke Madinah merupakan sebuah proses da’wah yang panjang, hal ini dimulai ketika masuk musim haji tahun 619 M, beliau menawarkan Islam dan menyeru kabilah-kabilah untuk masuk Islam, “masuk Islam pada masa itu 6 orang penduduk madinah dari bani khazraj”.[11]  Pada musim haji selanjutnya datang lagi 12 orang dari Madinah yang terdiri dari 5 orang yang sebelumnya dan 7 orang baru, kemudian Rasulullah saw melakukan bai’at aqobah pertama. “Setelah itu Rasulullah mengirim Mushab bin Umair al Abdari sebagai duta Islam pertama ke Madinah.”[12] Hingga pada akhirnya pada musim haji ke 13 dari nubuwah, tepatnya pada bulan Juni 622 M, “lebih dari 70 muslimin penduduk Yatsrib datang ke Mekah untuk melaksanakan manasik. Dan terjadilah bai’at Aqobah kedua.”[13] Dengan klausul sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah membai’at mereka sebagai berikut,
تُبَايِعُونِي عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي النَّشَاطِ وَالْكَسَلِ، وَعَلَى النَّفَقَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ، وَعَلَى الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَعَلَى أَنْ تَقُولُوا فِي اللهِ لَا تَأْخُذُكُمْ فِيهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ، وَعَلَى أَنْ تَنْصُرُونِي إِذَا قَدِمْتُ يَثْرِبَ، فَتَمْنَعُونِي مِمَّا تَمْنَعُونَ مِنْهُ أَنْفُسَكُمْ وَأَزْوَاجَكُمْ وَأَبْنَاءَكُمْ وَلَكُمُ الْجَنَّةُ. [14]
“kalian berbai’at kepadaku untuk mendengar dan ta’at ketika bersemangat dan malas, untuk menafkahkan harta ketika sulit maupun mudah, untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, untuk berjuang karena Allah dan tak menghiraukan celaan para pencela, hendaklah kalian menolong aku jika aku datang kepada kalian, melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri, istri dan anak-anak kalian dan bagi kalian adalah surga.”

“Setelah terjadinya bai’at Aqabah kedua dan Islam berhasil memancangkan tonggak negara di Yatsrib, maka Rasulullah saw dan kaum muslimin diperkenankan hijrah.”[15] Orang yang pertama sampai di Yatsrib adalah Abu Salamah bin Abdil Asad, kemudian disusul oleh Amin bin Rabi’ah bersama istrinya Laila binti Abi Haitsamah dan dialah perempuan yang pertama datang ke Madinah. Kemudian datang para sahabat Rasulullah saw berkelompok-kelompok.[16] Hingga dalam tempo 2 bulan hampir semua kaum Muslimin, “sejumlah kurang lebih 150 orang telah meninggalkan Mekah, kecuali mereka yang tertangkap dan dipenjarakan serta tidak sanggup pergi.”[17] Kaum muslimin yang dulu hijrah ke Habsyah juga kembali dan hijrah ke Madinah. Yang tertinggal di Mekah adalah Rasulullah saw, keluarga Abu Bakar dan Ali. Setelah Abu Bakar bersiap-siap Rasulullah menyuruh Abu Bakar menunda karena Rasulullah masih menunggu ijin dari Allah untuk berhijrah.[18] Thomas W. Arnold mengatakan, “bisa jadi pengunduran keberangkatan Rasulullah saw adalah untuk membantu mengalihkan perhatian orang-orang kafir Quraisy terhadap pengikut-pengikutnya yang setia.”[19]

Hijrah Nabi

Eksodus besar-besaran ini tak lama kemudian dirasakan pengaruhnya oleh kaum kafir Quraisy. Karen Armstrong menuliskan, “Kekosongan itu seolah luka menganga yang ditimpakan Muhammad saw pada sukunya. Rumah-rumah besar tampak telantar dan kosong, pintu-pintu membuka dan menutup tanpa penghuni.”[20] Hal ini menambah kegundahan mereka akan adanya ancaman bahaya besar yang bisa mengancam kehidupan mereka. Oleh karenanya mereka mengadakan pertemuan khusus untuk menyingkirkan sumber bahaya itu, yaitu Muhammad rasulullah.

“Pada hari kamis, 12 September 622 M diadakanlah pertemuan di Daarun Nadwah.”[21]Pertemuan ini menghasilkan keputusan untuk membunuh nabi bersama-sama dengan cara setiap kabilah mengirim seorang utusan. Hingga malam itu berkumpullah serombongan pemuda yang dengan cermat mengepung kediaman Rasulullah, namun dengan takdir Allah mereka gagal membunuh Rasulullah melainkan beliau telah berangkat hijrah bersama Abu Bakar ra.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas maka dapat diketahui Rasulullah saw memulai Hijrah pada Hari Jum’at, 13 September 622 M dan tinggal di gua Tsur. Melanjutkan perjalanan ke Madinah dengan “mengupah Abdullah bin Uraiqith pada malam senin 16 September 622 M.”[22] Rasulullah saw tiba di Quba pada Hari Senin tanggal 23 September 622 M dan berdiam disana selama 4 hari dan mendirikan Masjid Quba. Masjid pertama yang didirikan atas ketaqwaan setelah nubuwwah. “Seusai sholat Jum’at Rasulullah saw memasuki Madinah.”[23]  Berdasarkan rincian tersebut maka Rasulullah hijrah selama 2 pekan, mulai 13 September hingga 27 September 622 M.

NILAI-NILAI DA’WAH DALAM PERISTIWA HIJRAH

Kaidah-Kaidah Da’wah Dalam Peristiwa Hijrah

Tidak Ada Paksaan Dalam Beragama
Hijrahnya Rasulullah saw dan para sahabat menyampaikan sebuah nilai bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Menurut Thomas W. Arnold[24] Islam adalah sebuah agama yang memenangkan pengaruhnya kepada manusia tidak melalui jalan kekerasan, peperangan apalagi pertumpahan darah.

Islam memenangkan pengaruhnya melalui ketertarikan dan ketentraman jiwa seseorang atas prinsip-prinsip didalamnya. Demikian pula pada pasca hijrah, setelah penaklukan-penaklukan dimulai sejarah membuktikan toleransi yang luar biasa atas kebebasan beragama wilayah-wilayah yang ditaklukkan.

Islam mewajibkan toleransi dan kebebasan memeluk agama bagi semua ummat dengan ketentuan membayar jizyah sebagai imbalan perlindungan keamanan yang diperolehnya. Pengislaman melalui jalan kekerasan sangat terlarang berdasarkan ayat al Qur’an dalam surat al Baqarah ayat 256,
 لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Da’wah Islam Tidak Disebarkan Melalui Peperangan

Jihad merupakan sebuah tema yang seringkali menjadi sasaran pendiskreditan ummat Islam, bahwa Islam itu haus darah dan disebarkan dengan kekerasan, padahal kita dapati bahwa “pensyari’atan jihad peperangan adalah setelah terbentuknya Madinah.”[25] Ramadhan al Buthy mengungkapkan bahwa “tema jihad merupakan salah satu tema yang menjadi peluang musuh-musuh Islam untuk mencampurkan antara kebenaran dan kebatilan dan mencari-cari kelemahan agama yang hanif ini.”[26] Karen Armstrong bahkan menuliskan jihad adalah upaya mendapatkan penghasilan bagi muhajirin agar tak menjadi beban hidup kaum Anshar,

Tak lama setelah tiba di Madinah, Muhammad mulai mengirim rombongan-rombongan Muhajirin untuk ekspedisi penyerangan. Sasaran mereka bukanlah menumpahkan darah melainkan untuk mendapatkan penghasilan dengan merebut unta-unta, barang dagangan, dan tawanan yang biasa ditawan dengan uang tebusan. Tak seorangpun pada zaman itu mendapati perkembangan semacam ini sebagai sesuatu yang mengejutkan.[27]

Menurut Abdurrahman Abdul Khaliq sebagai salah satu amaliyah utama dalam Islam jihad mempunyai pengertian,

المبالغة واستفراغ الوسع والطاقة في الحرب أو اللسان أو أي جهد يثمر إعلاء كلمة الله سبحانه وتعالى وإعزاز دينه‏[28]
berusaha keras dan mencurahkan seluruh kemampuan dan kekuatan baik dalam peperangan, berbicara dengan lisan maupun usaha lainnya dalam rangka menegakkan kalimat Allah ta’ala dan memuliakan agamanya.

Tidak hanya dalam pengertian perang, Jihad merupakan kewajiban dalam berbagai bidangnya yang memungkinkan, sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Taimiyyah 

الجهاد إما أن يكون بالقلب كالعزم عليه، أو بالدعوة إلى الإسلام و شرائعه، أو بإقمة الحجة على المبطل، أو ببيان الحق و إزالة الشبهة، أو بالرأي و التدبير فيما فيه نفع المسلمين، أو بالقتال بنفسه. فيجب الجهاد بغاية ما يمكنه[29]
 Adapun Jihad dengan hati adalah bertekad kuat untuk berjihad, menda’wahkan Islam dan syari’atnya, menegakkan kebenaran atas orang yang berbuat kebatilan, menjelaskan kebenaran dan menghapus syubhat, dengan pemikiran dan perencanaan yang bermanfaat bagi ummat Islam maupun dengan memerangi jiwanya sendiri. Jihad adalah wajib dengan tujuan sebagaimana yang memungkinkannya.

Sejarah hijrah menunjukkan pentahapan jihad sebagai berikut, pertama jihad pada masa awal Islam berupa da’wah secara damai ditandai dengan banyaknya cobaan yang berat atas keimanan. “Kemudian bersamaan dengan permulaan hijrah disyari’atkan perang defensif, setelah itu baru diwajibkan jihad qital untuk menjaga tegaknya masyarakat Islam.”[30] Lebih lanjut al buthy menekankan, sebenarnya terminology Islam tidak mengenal pembagian perang defensif maupun ofensif, jihad disyari’atkan karena kebutuhan penegakkan masyarakat Islam kepada sistem dan prinsip-prinsip Islam.[31] Hal semacam ini jelas berbeda dengan pengertian perang defensif ataupun ofensif yang terkait dengan perebutan dan penjajahan sebuah wilayah.

Jihad Qital juga tidak dibenarkan melainkan terlebih dahulu dimulai dengan garakan da’wah. Para ulama sepakat tentang wajibnya jihad melalui da’wah sebelum perang fisik. Imam as sarakhsi berkata,
ولو قاتلهم المسلمون قبل الدعوة أثموا للنهي، ولا يضمن المسلمون شيئا مما أتلفوه من الدماء و الأموال, و هذا لعدم العاصم و هو الدين، أو الإخراز بالدار[32]
“seandainya orang-orang Islam memerangi mereka (kafir) sebelum sampai da’wah kepada mereka maka itu adalah kesalahan dan dosa yang dilarang, kemudian orang-orang Islam tidak menjamin akibat perbuatan mereka atas kebinasaan dari darah dan harta dikarenakan tidak adanya perlindungan yaitu agama dan negara bagi mereka.

Demikian pula pendapat al mawardi tentang wajibnya da’wah sebelum jihad,
وَأَنْ نَبْدَأَهُمْ بِالْقَتْلِ قَبْلَ إظْهَارِ دَعْوَةِ الْإِسْلَامِ لَهُمْ، وَإِعْلَامِهِمْ مِنْ مُعْجِزَاتِ النُّبُوَّةِ وَإِظْهَارِ الْحُجَّةِ بِمَا يَقُودُهُمْ إلَى الْإِجَابَةِ [33]
Terlarang bagi kita untuk memulai perang sebelum menampakkan da’wah dan memberitahukan mereka mukjizat kenabian serta mengemukakan argumentasi yang memungkinkan mereka menerimanya.

Da’wah ke jalan Allah ta’ala merupakan kewajiban yang paling pokok untuk meraih kemenangan dan kemuliaan ummat, karena melalui da’wahlah proses menghimpun dan menyatukan ummat dimulai. Dengan demikian masih ada kewajiban yang harus ditunaikan sebelum perang yaitu da’wah. Jika da’wah itu diterima maka tidak ada perang.

Membentuk Basis Operasional Da’wah

Tetap tinggalnya ummat Islam ditengah kemusyrikan di Mekah pada masa itu menggambarkan kekokohan akidah mereka ditengah ancaman ketakutan, pemenjaraan, pemboikotan, pengusiran bahkan pembunuhan. Kesabaran menghadapi fitnah terhadap agamanya merupakan bukti bahwa Rasulullah saw telah sungguh-sungguh membangun kepribadian generasi Islam pada masa itu.

Namun pembinaan generasi Islam yang kokoh bukanlah semata bagi kepentingan pribadi mereka sendiri, melainkan untuk tujuan yang lebih besar lagi, yaitu sebagai landasan pembentukan masyarakat Islam. Bahwa mengembalikan hak-hak peribadahan kepada Allah pasti akan menghadapi tantangan yang berat dari para penguasa yang tidak menginginkan kekuasaan mereka terampas.

Sayyid Quthb mengemukakan bahwa keislaman adalah sebuah deklarasi pembebasan,
ثورة على الأوضاع التي تقوم على قاعدة من هذا الاغتصاب، وخروج على السلطات التي تحكم بشريعة من عندها لم يأذن بها الله. [34]
ia adalah deklarasi perang melawan segala bentuk otoritas yang dirampas manusia dari Allah dimana dengan otoritas itu manusia memperlakukan hukum-hukum buatan manusia sendiri yang tidak dizinkan Allah.

Dibutuhkan keberanian dan kekuatan untuk mengembalikan penyembahan manusia hanya kepada Allah, karena upaya itu adalah sebuah tantangan besar bagi otoritas duniawi yang ada pada masa tersebut, karena itu sangat dibutuhkan pembinaan aqidah yang kokoh.

Hijrah merupakan upaya beresiko, langkah menakutkan yang tak dapat dihindari. Tak seorangpun tahu bagaimana perkembangan selanjutnya dinegeri asing tersebut. Namun sebagai contoh, sejarah mencatat pengorbanan seorang sahabat Rasulullah, “Shuhaib ar Rumi yang melepaskan seluruh hartanya kepada kaum Quraisy yang menghadangnya agar dapat hijrah.” [35] 

Keimanan para muhajir ini juga diimbangi dengan keimanan kaum anshar yang menolong mereka. “Adalah Sa’ad bin al Rabi’ al Anshari ra”[36], orang terkaya madinah pada masa itu, menawarkan separuh miliknya bagi Abdurrahman bin ‘Auf ra -- orang yang baru saja dikenalnya -- dengan tawaran yang sungguh-sungguh mengandung banyak implikasi itu dengan hati yang tulus.

Demikianlah gambaran kekuatan karakter generasi pertama Islam yang menjadi landasan bagi keberhasilan sebuah perjuangan. Muhammad Ghabdan mengemukakan bahwa penting sekali membentuk basis operasional da’wah. “Menurutnya para pejuang harus didik hingga ikatan akidah mereka lebih  mendominasi ikatan apapun dalam kehidupan dunianya.” [37] Dan ikatan agama lebih kokoh dari ikatan apapun, sehingga keimanan ini akan mendorong terlaksananya program-program besar.

Membentuk Basis Sosial Da’wah

Pelajaran berikutnya dari hijrah Nabawiyah adalah untuk terciptanya kemerdekaan mengekspresikan keimanan baik dalam lingkup pribadi dan sosial dibutuhkan basis masyarakat yang mendukung. Hijrah Nabawiyah menjamin terciptanya keutuhan harga diri serta kemerdekaan mengeskpresikan penghambaan kepada Allah. Kemerdekaan beribadah, berda’wah difahami sebagai prinsip dari sebuah komitmen awal yang pada tahap selanjutnya menjadi dasar bagi tegaknya sistem nilai, otoritas dan syari’at Allah.

Sayyid Quthb mengemukakan pendapatnya  bahwa tujuan utama dilakukannya hijrah Nabawiyah adalah dalam kerangka mencari dan membina basis da’wah baru yang aman bagi proses pertumbuhan masyarakat Islam.

ومن ثم كان بحث الرسول- صلى الله عليه وسلم- عن قاعدة أخرى غير مكة، قاعدة تحمي هذه العقيدة وتكفل لها الحرية، ويتاح لها فيها أن تخلص من هذا التجميد الذي انتهت إليه في مكة. حيث تظفر بحرية الدعوة وبحماية المعتنقين لها من الاضطهاد والفتنة.. وهذا في تقديري كان هو السبب الأول والأهم للهجرة.[38]
Berangkat dari inilah Rasulullah saw mencari basis di luar Mekah yang dapat menjaga akidah dan menjamin kemerdekaan. Basis ini di harapkan akan bisa menembus kondisi yang stagnan di Mekah, dimana kebebasan berda’wah akan ditolerir. Sehingga menghindarkan para pemeluk Islam dari tekanan dan fitnah...inilah latar belakang yang paling utama dilakukannya hijrah.

Hijrah adalah langkah cerdas, ia bukan sebuah bentuk dari sikap pengecut lari dari tantangan da’wah, melainkan sebuah tribulasi baru dalam jalan da’wah untuk menemukan dan membangun basis baru bagi kebangkitan masyarakat Islam. Ini adalah langkah cerdas yang dilakukan Rasulullah saw sebagai pimpinan da’wah. Menurut Munir Muhammad Ghadban, Hijrah merupakan sebuah teori politik tingkat tinggi dan sebuah langkah tepat yang diajarkan Rasulullah saw, beliau menerapkan  “langkah yang berkesinambungan dalam membangun negara Islam dengan mencari dan mendayagunakan daerah yang cocok guna menegakkan negara Islam dan menjaga keyakinannya.” [39]

Pentahapan Gerakan Da’wah Dalam Pembentukan Negara
Ketika Rasulullah saw tiba di Yatsrib, masyarakat negeri ini belum memiliki kesatuan yang kokoh, mereka terdiri dari 2 kabilah besar yaitu Aus dan Khazraj yang senantiasa berperang. “Dalam sebuah riwayat disebutkan mereka telah berperang selama 120 tahun.”[40] Namun kedatangan nabi Muhammad saw mampu mengatasi perpecahan tersebut sekaligus membangun masyarakat yang beradab melalui sikapnya yang mulia. Esposito menuliskannya sebagai berikut,

The City had been torn by long-standing intertribal feuds, and Muhammad came as an arbiter or chief judge. He consolidated his political power and established a state informed by his propethic message. Yathrib was renamed Medina…. In the new community, Muhammad was the political as well as the religious leader. He was prophet, head of state, commander of the army, chief judge and lawgiver. Under Muhammad guidance, Islam in Medina crystallized as both a faith and sociopolitical system[41]

“Selama ini kota itu merupakan sasaran pertentangan antar suku, dan Muhammad datang sebagai arbiter dan hakim bagi mereka dan mendamaikannya. Ia mengkonsolidasikan kekuaran politik dan membangun sebuah negara berdasarkan petunjuk pesan kenabian, yatsrib menjadi Madinah… dalam masyarakat baru itu Muhammad merupakan pemuka politik disamping pemuka agama. Dia itu nabi, kepala negara, panglima pasukan, hakim agung dan pembentuk hukum. Di bawah bimbingan Muhammad Islam di Madinah makin memperlihatkan kristalisasinya sebagai sebuah keimanan dan sebuah sistem sosial politik”

Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Thomas W Arnold, “Ia berpendapat bahwa Islam pada masa itu menjelma menjadi sebuah sistem pemerintahan politik sekaligus agama.” [42] Rasulullah saw berhasil membangun suatu pemerintahan theokrasi yang  absolut.

Keberhasilan Rasulullah saw membangun negara Madinah berdasarkan moral terpuji tak terlepas dari langkah-langkah perbaikan yang beliau tempuh. Said al Qahthani mengemukakan setidaknya ada beberapa langkah bijak yang ditempuh nabi, “yaitu Membangun masjid, Mempersaudarakan muhajirin dan anshar, Mengajak kaum Yahudi masuk Islam dan Menyusun aturan bermasyarakat.” [43]

Membangun Masjid

Pekerjaan pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dalam upaya membangun Negara Madinah adalah membangun masjid. Ahmad Syalabi mengemukakan,

... وفي هذا البيت يلتقى المسلمون للعبادة، و المشاورة، و للقضاء و التجارة و اللسمر، و فيه يلتفون حول الرسول يأخذون عنه مبادىء الدين، و نظام المجتمع الجديد، و أيات القرآن الكريم، و في هذا المسجد ستمتزج النفوس و العقليات...[44]
Di rumah itu ummat Islam bertemu untuk beribadah, bermusyarah, penentuan hukum, perniagaan dan  berdiskusi. Di sanapula mereka berkumpul disekitar Rasulullah saw untuk mendapatkan darinya prinsip-prinsip agama dan system masyarakat baru, ayat-ayat al Qur’an, dan di masjid itu pula mereka membersihkan jiwa dan akal.

Melalui masjid tercipta persamaan derajat antara anshar dan muhajirin, kaya dan miskin maupun antara orang merdeka dan budak karena melalui masjidlah terletak dasar-dasar penilaian martabat seseorang berdasarkan ketaqwaan dan bukan atas dasar keturunan ataupun kekuatan fisik. Sebuah persaudaraan dan persatuan ummat Islam.

Melalui masjid pula jiwa kepedulian social ditumbuhkan, bahkan menurut seorang orientalis semisal Karen Armstrong  mengemukakan bahwa masjid nabawi pada masa itu menjadi tempat pertemuan publik dalam hal pengaturan kehidupan social, peningkaran kesejahteraan. “Hal-hal semacam memberikan derma makanan dan perawatan kesehatan pada masa Nabi saw masuk kedalam ranah kesucian agama.” [45] Hal ini mengingatkan akan pentingnya seorang da’i untuk melakukan da’wah kultural dengan cara hidup bersama masyarakatnya, melihat, mendengar, merasa dan menyelesaikan masalah-masalah masyarakat melalui kebersamaan.

Masjid Nabawi pada masa nabi saw juga menjadi tempat perbendaharaan ilmu, pendidikan agama dan dunia. Menurut Munir Muhammad Ghadban “fungsi masjid menjadi sangat strategis karena menjadi tempat berkumpulnya berbagai suku yang pada zaman jahiliyyah saling mengunggulkan keahlian, kepandaian dan kekuatannya dalam bidang militer.” [46] Integrasi berbagai keahlian ini tentu menjadi potensi luar biasa yang kemudian berperang secara taktis dan operasilan dalam keberhasilan proses penjagaan agama dan kedaulatan negara. Sehingga menurut Mahmud Sait Khattab, “masjid adalah asrama tentara pertama yang pertama dibangun dalam Islam.” [47]

Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar

Menurut Ahmad Syalabi, “proses pengikatan tali persaudaraan ini terjadi baik antara Anshar dan Muhajirin maupun antara sesama Muhajirin.”[48] Persaudaraan ini kemudian menjadi perintis kebangkitan sebuah masyarakat yang memiliki misi penyebaran nilai-nilai da’wah dan risalah, menuju pembentukan dunia baru berdasarkan dasar-dasar yang lebih kokoh dan menjamin terciptanya persamaan hak dan keadilan di depan hokum yaitu akidah yang benar dan tujuan yang baik. Abul Hasan an Nadwi bahkan menyebutnya sebagai “satu-satunya dasar bagi persaudaraan Islam secara Internasional.”[49] Islam sangat mementingkan ukhuwwah Islamiyyah dan kepedulian terhadap sesama. Inilah cerminan masyarakat baru yang lahir di Madinah yang berbeda dengan ikatan yang terbentuk pada masyarakat lain diluar Islam.

Rasulullah menyaudarakan sejumlah 90 orang antara Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Mereka saling berbagi dan membantu, muhajirin membantu pekerjaan Anshar dan Anshar membagi hasilnya. Menurut al Qahthani, hubungan persaudaraan mereka sebatas “saling tolong menolong dan sepenanggungan dan tidak sampai saling mewarisi.” [50]

Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Kaum Muslimin

Selain membangun pasar bagi kaum Muslimin, Rasulullah saw juga meletakkan dasar-dasar sistem ekonomi bagi kaum Muslimin. Sistem ekonomi adalah perpaduan dari aturan–aturan atau cara–cara yang menjadi satu kesatuan dan digunakan untuk mencapai tujuan dalam perekonomian. Perbedaan dalam tujuan ekonomi inilah yang pada akhirnya menjadikan terjadinya perbedaan dalam aturan maupun tata cara yang ditempuh. Menurut Yusuf al Qaradhawi, ekonomi Islam adalah “ekonomi ilahiyah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridho Allah dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syari’at Allah.”[51] sehingga sebagai sebuah sistem ekonomi “pondasinya adalah syari’at yang menjadi sumber pandangan dunia serta tujuan dan strateginya.”[52]

Ahmad Syalabi mengemukakan beberapa prinsip ekonomi dalam masyarakat Islam yang diterapkan Rasulullah saw di Madinah, “seperti prinsip kepemilikan pribadi, kedudukan harta dalam Islam, larangan-larangan dalam praktek berniaga,  termasuk prinsip-prinsip keseimbangan ekonomi dan pemerataan melaui zakat hingga pengaturan ekonomi dalam rumah tangga.”[53]
                               
Menyusun Aturan Bermasyarakat  antara Ummat Islam dengan Kaum Yahudi

Rasulullah saw menetapkan perjanjian antara ummat Islam dan Non Islam yang berisi perdamaian, sumpah setia serta mengakui agama dan harta-harta mereka. Rasulullah meminta jaminan kepada semua pihak untuk mematuhi perjanjian tersebut. Ahmad Syalabi menuliskan kandungan penting perjanjian itu sebagai berikut,

هذه المعاهدة من أنفس المعاهدات الدولية و أمتعتها و أجدرها بتقدير الناس جميعا على اختلاف أديانهم، و هي بالاضافة إلى ذلك تنير السبيل للمؤمنين، و تبيين لهم كيف يتعاونون مع أتباع الأديان السماوية الأخرى، و يكونون معهم و حدة تتمتع كل مجموعة فيها بالحرية الدينية[54]
“Perjanjian ini merupakan bagian yang indah dari perjanjian kenegaraan dan menciptakan ketenangan hidup bagi sesama manusia yang berbeda-beda agama, perjanjian itu juga menjadi penerang jalan bagi orang-orang beriman dan penjelas bagi mereka bagaimana berinteraksi terhadap pengikut agama samawiyah yang lain, perjanjian itu menjamin integritas bagi seluruh kelompok dengan kebebasan dalam beragama.”

Ikatan perjanjian ini memberikan peranan penting bagi terciptanya stabilitas politik dan sosial yang berdampak juga bagi kelancaran proses pendidikan dan pembinaan keagamaan bagi masyarakat Muslim. Sehingga kemudian pengaruh Islam meluas dan kokoh.

Meletakkan Dasar-Dasar Sistem Politik

Pada hakikatnya syari’ah merupakan sistem yang mengatur bagaimana menjalani hidup secara benar dan menjauhkan perbuatan yang salah. Mengajarkan manusia bagaimana menjalani hidup sejak dari tataran konsep sampai permasalahan teknis. Maka kalau kita melihatnya sebagai sebuah sistem hukum, akan segera terlihat syari’ah merupakan suatu sistem hukum yang lengkap dan terpadu. Karena suatu hukum hanya bisa dilaksanakan jika ada otoritas yang melaksanakan penerapan hukum, maka penerapan syari’ah sangat memerlukan kekuasaan politik. Pada masa Rasulullah saw beliau menetapkan musyawarah sebagai dasar sistem politik dalam masyarakat Islam. Ahmad Syalabi mengemukakan pendapatnya sebagai berikut,

وضع الرسول صلوات الله عليه في ذلك العهد المبكر أسس الحكم في المجتمع الإسلامي في مختلف الشئون، و الدعامة الرئيسية لهذه الأسس هي اتباع النص الصريح إذا وجد، فإذا لم يوجد فالشور و الإجتهاد.[55]
Pada masa yang penuh keberkahan ini Rasulullah saw meletakkan dasar-dasar hukum bagi masyarakat Islam dalam berbagai keadaan. Dasar bagi kepemimpinan dan pengaturan adalah mengikuti nash yang jelas namun jika tidak ada maka keputusan bisa ditemukan melalui musyawarah dan ijtihad.

Musyawarah memberikan hikmah jika setiap Muslim mampu berjuang mencapai sintesa baru yang memberikan suatu kontinuitas antara tuntutan perkembangan zaman dengan tuntutan syari’at Islam, maka daerah kemungkinan terbentang luas di depan mereka. Mengenai permasalahan sosial, kemasyarakatan, ekonomi, politik hingga kenegaraan. Proses ini tidak dapat dielakkan bagi pertumbuhan dan pengembangan Negara Islam, dengan tetap melibatkan identitas beserta pemahaman dan komitmen keagamaan.
               
KESIMPULAN

Hijrah adalah catatan maha gemilang dari bangkitnya sebuah generasi yang beriman kepada Allah dan mengikuti langkah-langkah Rasul-Nya. Keteguhan hati para sahabat untuk beriman dan sabar dalam menempuh jalan da’wah bersama Rasulnya menghasilkan pencapaian-pencapaian yang mengagumkan, yaitu terbentuknya negara madinah, sebuah negara yang berdiri tegak atas dasar agama.

Pencapaian-pencapaian yang diraih melalui, pendidikan, da’wah, diplomasi dan peperangan memberikan sebuah garis pemisah yang jelas bahwa Islam tidak disebarkan melalui jihad qital serta tidak ada paksaan dalam beragama. Sebab peperangan dalam Islam bukanlah dalam rangka penguasaan dan penjajahan sebuah wilayah melainkan sebagai sebuah metode untuk mendapatkan pengakuan akan kedaulatan negara Islam.

Madinah pada masa itu berhasil menyatukan dua poros, yakni keagamaan dan politis. Keyakinan dan ideologi keagamaan telah memberi motivasi yang kuat bagi kesatuan suku-suku arab dan memberikan ilham serta pengarahan untuk merubah pandangan dunia tentang kehidupan. Islam terjelmakan sebagai gagasan pengertian untuk kehidupan pribadi dan kehidupan bersama,  serta dasar ideologi masyarakat maupun negara.

Arti penting dari ragam peristiwa sejarah hijrah nabawiyah mengetengahkan berbagai cara berfikir tentang bagaimana mereaktualisasikan kembali nilai-nilai hijrah pada masa kini guna membangkitkan kembali kejayaan ummat.

Hasbunallah wa ni’mal wakil

CATATAN PUSTAKA

[1] Ibnu Daqieq al ‘Ied, tt, Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatul Ahkam, Mesir : Mathba’atu Sunnah al Muhammadiyah, 1/62
[2] Muhammad bin Muhammad bin Abdur Razzaq al Hasani Abu al Faid Murthadho az Zubaidy, tt, Taajul ‘Aruus min Jawahiril Qamus, Beirut : Daarul Hidayah, 14/396.
[3] Muslim bin al Hajjaj Abu al hasan al Qusyairy an Naisabury, tt, Shahih Muslim, Beirut: Daar ihyau At Turats al Araby, 4/1984 hadits no 2561.
[4] Majduddin Abu as Sa’adat al Mubarak bin Muhammad Ibnu al Atsir, 1399 H, an Nihayatu fi Gharibil Hadits wal Atsar, Beirut : al Maktabah al Ilmiyyah, 5/244.
[5] Sa’dy Abu Habib, 1408 H, al Qamusul Fiqhy Lughatan wa Ishtilahan, Suriah : Daarul Fikr, 1/365.
[6] Ahmad bin Muhammad bin Aly al Fayumi Abu al Abbas, tt, al Misbahul Munir fi Gharibi asy Syarhil Kabir, Beirut : al Maktabah al Ilmiyyah, 2/634.
[7] Muhammad Sa’id bin Ali bin Wahif al Qahthani, tt, al Wala wal Bara’ fil Islam min Mafaahim ‘Aqidati asSalaf, Riyadh : Daar ath Thayyibah, h.270.
[8] Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Asad asy Syaibani, 1421 H, Musnad al Imam Ahmad ibn Hanbal, Beirut : Muassasah ar Risalah, 11/521. Hadits no 6925. Shahih menurut syaikh Syu’aib al Arnauth.
[9] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhari al Ju’fi, 1422H, Shahih al Bukhari, Beirut: Daar Thuuq an Najah, 1/11. Hadits no 10.
[10] Asy Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, 1410 H, al Umm, Beirut: Daar al Ma’rifah, 4/83-84.
[11] Shafiyurrahman al Mubarakfuri, 1414H, ar Rahiqul Makhtum, (terj. Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka al Kautsar, h.150.
[12] Ibid, h 160.
[13] Ibid, h 166.
[14] Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Asad asy Syaibani, op.cit, 23/23 hadits no 14653.
[15] Shafiyurrahman al Mubarakfuri, op.cit, h 173.
[16] Muhammad Sa’id Ramadhan al Buthy, 1992, Sirah Nabawiyah, (terj. Aunur Rariq Shaleh Tamhid) Jakarta: Rabbani Press, h 236.
[17] Thomas W. Arnold, tt, The Preaching of Islam, (terj. Nawawi Rambe) Jakarta: Widjaya, h 23.
[18] Shafiyurrahman al Mubarakfuri, op.cit, h 175.
[19] Thomas W. Arnold, Ibid, h 23.
[20] Karen Armstrong, 2013, Muhammad Prophet for Our Time, (terj. Yuliani Liputo) Bandung: Mizan, h 130.
[21] Shafiyurrahman al Mubarakfuri, op.cit, h 178.
[22] Ibid, h 186.
[23] Ibid, h 193.
[24] Thomas W. Arnold, op.cit, h 40.
[25] Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, op.cit, 4/84-85. Ayat yang dimaksud adalah surat al Baqarah 216 “كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ”
[26] Muhammad Sa’id Ramadhan al Buthy, op.cit, h 229
[27] Karen Armstrong, op.cit, h 142
[28] Abdurrahman Abdul Khaliq, 1405 H, Fushulun min as Siyasati Syari’ati fi Da’wati Ilallah, Kuwait : Daar al Qolam,  hlm 6.
[29] Manshur bin Yunus bin Solahuddin Ibn Hasan bin Idris al Bahuty, tt, Kasyaf al Qina’ ‘an Matan al Iqna’, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 3/36.
[30] Muhammad Sa’id Ramadhan al Buthy, op.cit, h 230.
[31] Ibid, h 231
[32] Muhammad bin Ahmaf bin Abi Sahl Syamsu al Aimah asy Syarakhsi, 1414 H, al Mabsuth, Beirut: Daar al Ma’rifah, 10/30.
[33] Abul Hasan Ali bin Muhammad al Mawardy, tt, Ahkam as sulthoniyah, Qahirah: Daar al Hadits, hlm 72.
[34] Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy Syarabi, 1412H, Fii Dzilalil Qur’an, Cairo: Daarus Syuruq, 2/1005.
[35] Shafiyurrahman al Mubarakfuri, op.cit, h 174
[36] Ibid,h 207.
[37] Munir Muhammad Ghadhban, 1411 H, al Manhaj al Haraky li Sirah an Nabawiyah, Yordan : Maktabah al Manar, 1/65.
[38] Sayyid Quthb Ibrahim Husain asy Syarabi, op.cit, 1/29.
[39] Munir Muhammad Ghadhban, op.cit, h 68.
[40] Abul Barkat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud Hadiduddin an Nasafy, 1419 H, Madarikut Tanzil wa Haqaiqu Ta’wil, Beirut : Daar al Kalam at Thoyyib, 1/655.
[41] John L. Esposito, 1984, Islam and Politics, New York: Syracuse University Press, h 6.
[42] Thomas W. Arnold, op.cit, h 29
[43] Muhammad Sa’id bin Ali bin Wahif al Qahthani, 1994, al Hikmah fi Da’wati Ilallah, (terj. Drs Masykur Hakim, MA), Jakarta: Gema Insani Press, lihat h. 123-133.
[44] Ahmad Syalabi, 2000, al Mujtama’ al Islamy, Cairo : Maktabah an Nahdhoh al Mishriyah, h 57.
[45] Karen Armstrong, op.cit, h 133-134.
[46] Munir Muhammad Ghadban, op.cit, h 17.
[47] Mahmud Sait Khattab, 1419 H, Baina al Aqidah wal Qiyadah, Jeddah : Daar al Basyir, h 155.
[48] Ahmad Syalabi, op.cit, h 59
[49] ‘Ali Abul Hasan bin Abdul Hayyi bin Fakhruddin an Nadawi, 2007, as Siratu an Nabawiyah, (terj : Muhammad Halabi Hamdi), Yogyakarta : Mardhiyyah Press, h 226.
[50] Muhammad Said bin Ali al Qahthani, op.cit, lihat h. 126.
[51] Yusuf al Qaradhawi, 2001, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta: Rabbani Press, hlm 25.
[52] Masyhuri et.al,  2005, Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana, hlm 42.
[53] Ahmad Syalabi, op.cit, lihat h 70-111.
[54] Ahmad Syalabi, op.cit, h 62.
[55] Ibid, h 65.