Fungsi Iman Dalam Menyatukan Masyarakat Muslim



Bagi komunitas Muslim, konsep keimanan seharusnya mendasari makna hidup pribadi dan sosial, tidak hanya sekedar dalam tataran pemikiran dan nilai, namun juga dalam tataran fisik dan material. Sebagaimana alam semesta, merupakan sebuah ekosistem yang tertib, teratur, dan tunduk pada hukum-hukum Allah, dan mengejawantahkan keagungan-Nya.

Iman yang bukan sekedar diiucapkan dengan lisan, Iman yang merupakan sumber kebahagiaan manusia didunia dan akhirat, merupakan suatu realitas batin dan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup manusia. tentang kebenaran universal tentang pencipta dan pelindung alam semesta, tentang kemanusiaan, pengetahuan dan moral serta askatologi memberikan dimensi dan arti baru dalam kehidupan manusia sebagai pribadi dan sosial.

Salah satu contoh keterkaitan pemaknaan iman pribadi dan sosial adalah sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari berikut,

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ»(1) 

Menuturkan Qatadah dari Anas bin Malik ra, dari Rasulullah saw telah bersabda: “tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (dalam kebaikan)”

Membahas hadits ini ibnu Bathal menuturkan, bahwa maksud hadit ini adalah tidak sempurna (cacat) iman seorang Muslim yang tidak mencintai saudara muslimnya. Selanjutnya ia mengatakan,

ظاهره التساوى وحقيقته التفضيل، لأن الإنسان يحب أن يكون أفضل الناس(2) 

Meskipun secara lahiriyah teksnya menuturkan kewajiban menyetarakan dalam hal-hal yang disukai, namun secara hakikat hadits ini mengajarkan untuk memuliakan saudaranya dari dirinya sendiri. Karena manusia menyukai dirinya dimuliakan.

Pakar hadits al-Munawi(3)  mengemukakan bahwa, kecintaan dalam hadits ini terkait berbagai kebaikan dan manfaat didunia, serta kecintaan dalam hal agama.(4)  Jadi seorang yang memiliki iman yang baik dalam hadits ini adalah selain kebaikan dalam hal dunia, orang-orang beriman juga menyukai saudaranya juga baik dalam hal-hal keagamaan.

Merujuk kepada al-Qur’an surat al Hujurat ayat 10, kita akan temukan sebuah aksioma tentang iman yang menyatukan. Ragam kajian para ulama menunjukkan bahwa persaudaraan dalam Islam itu dilandasi Iman yang kemudian membentuk persaudaraan secara lahiriyah dan batiniyah.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

Muhammad Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa Ukhuwah Imaniyah direfleksikan menjadi Ukhuwah Islamiyah karena didasarkan pada ikatan iman, atau karena persamaan keimanan mereka kepada Allah SWT. Maka semua muslim, baik yang masih hidup, yang akan lahir dan yang sudah meninggal dunia adalah bersaudara. Oleh karena itu sangat tidak pantas jika terjadi permusuhan, pertikaian, saling membenci, saling memfitnah dan tidak pantas pula jika saling berselisih satu sama lain.(5) 

Imam An-Nasafi juga sama menerangkan bahwa imanlah yang menjadi perekat dan pengikat ukhuwah sesama muslim, baik karena keimanan  dan nasab, dan persaudaraan berlandaskan keimanan itulah yang hakiki.(6)  

Al Imam al-Maraghi menuturkan dalam tafsirnya tentang Iman yang menyatukan,

والإخوة فى النسب، والإخوان فى الصداقة، واحدهم أخ، وقد جعلت الأخوّة فى الدين كالأخوّة فى النسب وكأن الإسلام أب لهم(7). 

Persaudaraan karena nasab, dan persaudaraan karena persahabatan iman, merupakan satu saudara, karena telah dijadikan persaudaraan karena agama itu sebagaimana persaudaraan karena nasab, karena agama Islam itu adalah nenek moyang setiap Muslim.

Lebih lanjut al-Maraghi menguatkan bahwa orang-orang beriman itu bersaudara karena nasab keimanan, 

انهم منتسبون إلى أصل واحد وهو الإيمان الموجب للسعادة الأبدية(8) 

Orang-orang beriman terikat oleh sumber nasab yang satu yaitu iman yang memberikan kebahagiaan abadi.

Memerinci pendapat-pendapat di atas, Shihab melakukan analisanya terhadap penggunaan teks-teks dalam ayat tersebut, 

Kata (إِنَّمَا) digunakan untuk membatasi sesuatu. Di sini kaum beriman dibatasi hakikat hubungan mereka dengan persaudaraan. Seakan-akan tidak ada jalinan hubungan antar mereka kecuali persaudaraan itu. Kata innama biasa digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang telah diterima sebagai suatu hal yang demikian itu adanya, dan telah diketahui oleh semua pihak secara baik. Penggunaan kata innama dalam konteks penjelasan tentang persaudaraan antara sesama mukmin ini, mengisyaratkan bahwa sebenarnya semua pihak telah mengetahui secara pasti bahwa kaum beriman bersau-dara, sehingga semestinya tidak terjadi dari pihak mana pun hal-hal yang mengganggu persaudaraan itu.(9) 

Kata (أخْ) yang berbentuk tunggal itu, biasa juga dijamak dengan kata (إخون) ikhwan. Bentuk jamak ini biasanya menunjuk kepada persaudaraan yang tidak sekandung. Berbeda dengan kata (إخوة) ikhwah yang hanya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan seketurunan, kecuali ayat al-Hujurat di atas. Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim, adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman, dan kali kedua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian hakiki. Dengan demikian tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu. Ini lebih-lebih lagi jika masih terikat oleh persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib dan sepenanggungan.(10) 

Ayat di atas memberikan pelajaran penting tentang iman yang menyatukan, merupakan dasar hubungan sesama ummat Islam, sumber keharmonisan dan kebahagiaan. Sebaliknya perselisihan dan perpecahan merupakan sumber kehancuran dan kesengsaraan yang meruntuhkan kekuatan Islam.

Demikianlah Iman difahami sebagai sebuah pondasi bagi tegaknya bangunan Islam, atau ruh kehidupan bagi manusia. Dengan iman seluruh sistem kehidupan menjadi tegak, kokoh dan memberikan arti. Komitmen keimanan, tidak sekedar mengatur hubungan individu secara vertikal kepada Allah ta’ala, melainkan juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk, dan hubungan-hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah. Membangun kesatuan ummat Islam melalui persaudaraan merupakan gerak konstruktif yang memindahkan unsur keyakinan kepada perilaku praktis. Tentu saja hal ini tidak akan terwujud hanya dengan penjelasan lisan atau tabligh semata melainkan juga melalui membangun kesadaran melalui pewarisan nilai-nilai, pembiasan dan pendidikan.

Wujudnya kesatuan ummat Islam berdasarkan keimanan merupakan tahapan yang progresif bagi kekuatan masyarakat Islam.  Berdasarkan keimanan setiap Muslim selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, etika, tradisi dan faham hidupnya. Tujuan hidupnya sangat jelas, ibadah, kerja keras dan bahkan jiwanya ditujukan kepada Allah. Sehingga setiap individu dalam masyarakat Islam tidak akan pernah terjerat pada nilai-nilai palsu atau bekerja tanpa nilai yang hakiki yaitu mencari keridhaan Allah. Maka hubungan dalam masyarakat Islam adalah hubungan bangsa berlandasakan keimanan, masyarakat terbentuk di atas satu pijakan yang sama dalam hubungan kasih sayang dimana ikatan tersebut terbentuk karena kekuatan hubungan mereka kepada Allah.


Catatan Kaki

  1. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thuwaiq al-Najh, cet pertama, 1422 H), Jilid 1, hlm 12, hadits no 13.
  2. Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari il Ibn Bathal, (Riyadh: Maktabatu al-Rusyd, cet ke2, 1423 H), Jilid 1, hlm 65.
  3. Ia adalah Muhammad Abdurrauf al-Munawi, ulama keanamaan dari abad ke 11 H. Pernah menjadi guru di madrasah shalihiyah Mesir, Madrasah ini merupakan sebuah sekolah elit yang mengampu pewarisan keilmuan fiqh dalam 4 mazhab. banyak meninggalkan karya diantaranya yang paling popular adalah Faidh al-Qadir syarh al-Jami’ al-Shagir. 
  4. Zain al-din al-Munawi, al-itihafat al-saniyah bi al-Ahadits al-Qudsiyah, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, tth), jilid 1, hlm 34.
  5. Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwah At-Tafasir, (Kairo: Dar Ash-Shabuni, tt), Jilid 3, hlm. 234 – 235.
  6. Abu al-Barkat al-Nasafi, Madariku al-Tanzil wa Haqaiqu al-Ta’wil, (Beirut: Dar Kalam al-Thayib, cet pertama 1998) ,Jilid 3, hlm 353.
  7. Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Perusahaan penerbitan Musthafa al-halabi, cet pertama 1946), Jilid 26, hlm 130
  8. Ibid, hlm 131.
  9. Quraish Sihab, Tafsir al Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, Cet ketiga, 2005), Jilid 13, hlm 247
  10. Ibid, hlm 248.