Memahami Tsaqofah Islamiyyah




Sigit Suhandoyo
Pendahuluan

Islam sebagai sumber dan jalan kebenaran yang berasal dari Allah ta’ala adalah pandangan hidup yang bukan saja diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kebahagiaan ummat Islam melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam yang bersumber dari kebenaran ilahiyah baik yang terkandung dalam ayat-ayat al Qur’an dan sunnah Rasulullah saw adalah petunjuk jalan segala zaman. Demikian pula Islam mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dengan Tuhannya dan dengan alam lingkungannya.

Sebagai sebuah sistem kehidupan bagi manusia, agama Islam merupakan sebuah sistem pemikiran sekaligus sistem perilaku, artinya seorang Muslim wajib menyelaraskan aspek pemikiran maupun perilakunya dengan syari’at Islam. Kesalahan memahami Islam sebagai sebuah sistem kehidupan akan berdampak kepada kesalahan mengamalkan Islam secara aplikatif. Kesalahan pertama bersifat fundamental yang berakibat munculnya kesalahan-kesalahan berikutnya.

Sebagai contoh Allah ta’ala merumuskan kerangka berfikir bagi ummat Islam bahwa ukuran kemuliaan seseorang berdasarkan ketaqwaannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat al hujurat ayat 13,
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Kerangka berfikir semacam ini akan menghasilkan aplikasi prilaku manusia muslim yang saling berlomba-lomba dalam ketaqwaan, dan mewujudkan kebaikan secara universal. Karena disitulah terdapat sebuah mizan bagi kemuliaan mereka. Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu ‘Asyur ketika menafsirkan ayat ini, 
فَإِنْ تَنَافَسْتُمْ فَتَنَافَسُوا فِي التَّقْوَى كَمَا قَالَ تَعَالَى: وَفِي ذلِكَ فَلْيَتَنافَسِ الْمُتَنافِسُونَ (1) 
“maka jika kalian saling berkompetisi, berkompetisilah dalam hal ketaqwaan. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala, dan untuk yang demikian itu (surga) hendaknya manusia berkompetisi. ”

Model perilaku demikian tentu akan sulit didapati pada kerangka berfikir materialism yang mengukur kemuliaan manusia berdasarkan materi yang dikuasainya. Manusia akan berkompetisi untuk mengumpulkan materi dan berprilaku hedonis. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa setiap individu maupun bangsa pasti memiliki sistem nilai untuk menafsirkan realitas yang dihadapinya.

Realitanya ummat Islam memiliki kekurangan dalam hal ini. Kekurangan dalam memahami konsepsi Islam serta aspek perilaku yang kurang berdayaguna. Hal ini terlihat pada sebagian kaum Muslimin yang bersikap formalistik, hanya mengutamakan ibadah pada aspek legal formal dan mengabaikan unsur ruhaniyah yang melandasinya, kemudian sebagian kaum Muslimin lainnya hidup permisif, hedonis kemudian berangan-angan kosong tentang kasih sayang Allah. Selain itu masih ada sekelompok lain kaum Muslimin yang mulai putus asa dengan dinamika sosial. Hingga akhirnya mereka mengurung diri dan mengabaikan peran sosial politik. Situasi semacam ini pada akhirnya menguntungkan para orientalis dan kolonialis yang menyebarkan faham pengharaman partisipasi politik Islam dan membiarkan para musuh berpolitik yang merugikan kaum Muslimin, hingga kemudian justru mereka yang mendapatkan perlindungan dan kekuasaan atas urusan-urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sebagai Ummat Islam, Sistem pemikiran dan prilaku Islam, seharusnya menjadi identitas, bukan ideologi-ideologi lain selain Islam. Cukuplah Islam sebagai Aqidah, syari’ah, etika, sistem politik, budaya, ekonomi dan sosial serta seluruh sendi kehidupan manusia. Islam mengatur hubungan manusia secara vertikal dan horisontal dalam skala yang seimbang dan benar. 

Kembali kepada pemahaman yang benar terhadap Islam adalah jalan yang harus ditempuh setiap muslim. Seorang pemikir berpendapat, “wajib bagi kita mengikuti sunnah rabbaniyyah (petunjuk dari Allah) jika ingin merubah realitas buruk internal, sebab proses perubahan terjadi sepenuhnya mengikuti sunnah tersebut yang harus kita fahami dan aplikasikan dalam merekayasa perubahan sosial.”(2) 

Pengertian Tsaqofah Islamiyyah

Dalam bahasa Arab kata tsaqufa berarti, (صَارَ حَاذِقاً خَفِيفاً فَطِناً فَهِماً)(3)  menjadi, cerdas, cekatan, cepat mengerti dan mengetahui.  Seorang yang tsaqif berarti (حاذِقٌ فَهِم) seorang yang cepat dalam memahami. Juga berarti (سُرعةُ التَّعَلُّمِ) cepat dalam mempelajari.(4)  Selain pengertian tersebut kata tsaqofah juga memiliki pengertian (الظفر بالشيء والتغلب عليه)  mengalahkan dan mendominasi, (التقويم والتهذيب) membentuk dan memperbaiki.(5)  Sedangkan penggunaan kata (الثِّقَافُ والثِّقَافَةُ) dalam bahasa arab berarti (العَمَلُ بالسَّيْفِ) mengerjakan sesuatu dengan pedang.(6)  

Dalam al Qur’an bentukan kata tsaqufa digunakan dalam 6 tempat(7)  sebagai contoh dalam surat al Anfal ayat 57 Allah ta’ala berfirman,
فإما تثقفنهم في الحرب فشرد بهم من خلفهم لعلهم يذكرون
“Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran.”

Pemakaian kata (تثقفنهم) dalam ayat ini menurut Al Qurthubi memiliki arti,
تأسر هم وتجعلهم في ثقاف، أو تلقا هم بِحَالِ ضَعْفٍ، تَقْدِرُ عَلَيْهِمْ فِيهَا وَتَغْلِبُهُمْ(8) 
Menahan mereka dalam peperangan, atau menjadikan mereka dalam keadaan yang sempit dan menguasai dan mengalahkan mereka dalam peperangan.

Dari pengertian tersebut tersirat bahwa tujuan penguasaan tsaqofah adalah agar ummat Islam memiliki daya tahan dan penguasaan atas musuh-musuhnya dalam hal kecerdasan maupun integritas.

Adapun pengertian tsaqofah secara istilah Menurut Musthofa Muslim dan Fathi Muhammad adalah, 
مجموعة المعارف و المعلومات النظرية، و الخبرات العملية المستمدة من القرآن الكريم و السنة النبوية، التي يكتسبها الإنسان، و يحدد على ضوئها طريقة تفكيره، و منهج سلوكه في الحياة (9) 
“Kumpulan pengetahuan dan teori serta pengalaman praktis yang berasal dari al Qur’an dan Sunnah yang merupakan kreatifitas usaha manusia yang menentukan cara berfikir, berprilaku dan pendekatan manusia dalam kehidupan.”

Pengertian serupa tentang tsaqofah dikemukakan olah al ‘Amiri. Ia berpendapat bahwa tsaqofah adalah,
الشخصية الإسلامية التي تقوم على عقيدة التوحيد وعلى تطبيق الشريعة الإسلامية والأخلاق الإيمانية المستقاة من مصادر الإسلام الأساسية وهي الكتاب والسنة.(10) 
“Kepribadian Islami yang didasarkan atas aqidah tauhid dan penerapan syari’at Islam serta moral keimanan yang merupakan cerminan dari sumber-sumber asasi Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah.”

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa tsaqofah Islamiyyah adalah sebuah wawasan yang memunculkan kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotorik yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah. Kecerdasan ini menjadi sebuah perisai dan daya juang dalam berkompetisi menjalani kehidupan.

Urgensi Mempelajari Tsaqofah Islamiyyah
Secara umum mempelajari tsaqofah Islamiyyah akan membawa dampak kepada peningkatan kepekaan sosial dan pengembangan potensi seorang muslim, berikut beberapa urgensinya,

a. Komitmen kepada Islam
Sesungguhnya komitmen seorang muslim kepada agamanya muncul dari tsaqofahnya yang benar terhadap Islam. Sahnya keimanan seorang Muslim adalah jika ia memahami dan mempraktekkan ajaran Islam dengan sepenuh keyakinan. Hal ini dikarenakan semakin kuat kerangka berfikir seseorang itu berbanding lurus dengan semakin berdaya-gunanya kerangka prilakunya.

b. Kekokohan Pemikiran
Mempelajari tsaqofah Islamiyyah merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan untuk merekonstruksi pemikiran dan pengetahuan seorang Muslim agar mampu memahami dan menafsirkan kehendak Allah dan memiliki kekebalan terhadap invasi pemikiran yang tidak berasal dari Islam.

c. Menumbuhkan Kepekaan Sosial seorang Muslim terhadap Masyarakatnya
Allah ta’ala menciptakan manusia dengan semangat dan cita-cita yang menggelora. Dalam al Qur’an manusia disebutkan sebagai khalifah Allah yang merupakan wakil Allah dimuka bumi. Sayyid Quthb berpendapat bahwa sebagai khalifah, “manusia bertanggung-jawab menjaga kelestarian serta keteraturan alam dunia maupun manusia dengan undang-undang Ilahiyah”.(11) 
Dengan mempelajari tsaqofah Islamiyyah maka seorang muslim akan memiliki kepekaan sosial terkait perannya merealisasikan hukum Allah atas dirinya, masyarakatnya dan dunianya.

d. Memberikan Solusi Atas Kerusakan Ummat
Kelemahan memalukan yang diderita ummat Islam saat ini, adalah wujud dari kelemahan tsaqofahnya. Dominasi musuh-musuh Islam atas kehidupan politik, ekonomi, seni dan budaya juga merupakan dampak dari lemahnya tsaqofah ummat terhadap agamanya.
Dengan mempelajari tsaqofah Islamiyah diharapkan setiap muslim melandasi setiap perilakunya dengan motivasi relijius, sehingga tidak terjadi dikotomi antara dunia dan akhirat.

Karakteristik Tsaqofah Islamiyyah
Tsaqofah Islamiyyah memiliki karakteristik yang istimewa, membentuk kepribadian yang merdeka, integritas spiritual, dan watak yang unik. Berikut beberapa karakter inti dari tsaqofah Islamiyyah,

a. Rabbaniyyah
Sumber tsaqofah Islamiyyah adalah wahyu Ilahiyah yaitu al Qur’an dan Sunnah, serta istinbath hukum para ulama yang juga berdasarkan tafsiran terhadap al Qur’an dan Sunnah. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Baqarah ayat 138,
صبغة الله ومن أحسن من الله صبغة ونحن له عابدون
“Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.”

Karakteristik rabbaniyyah ini adalah karakteristik khas tsaqofah Islamiyyah yang tidak dimiliki agama lain. Seorang pemikir Barat membandingkan konsepsi barat dan Islam tentang agama, “Dalam menghadapi problema yang kongkrit dalam kehidupan material dan perkembangan ilmiah, Barat telah kehilangan rasa supernatural (ghaib) secara besar-besaran. Barat merasa heran bahwa yang ghaib dan suci itu (Tuhan) dapat memberikan premis kepada pendekatan pemikiran dan dasar-dasar dari organisasi kemasyarakatan.”(12) 

b. Kesesuaian dengan Fitrah Manusia
Sekalipun sumber tsaqofah Islamiyyah berasal dari Allah, namun risalah tersebut diwahyukan melalui perantaraan seorang manusia mulia yaitu Muhammad saw. Sehingga melalui Beliau hidayah Allah sampai kepada kita, memperbaiki invividu, menyusun pola hubungan antar sesama manusia.
Syari’at Islam sebagai sumber tsaqofah Islamiyyah tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Sebagai contoh Islam tidak mengenal dosa warisan, Islam mengatur hubungan pernikahan, serta mengarahkan kecenderungan manusia kearah yang baik bukan mematikannya.

c. Solutif
Islam adalah agama tanpa mitos-mitos yang tidak benar. Hal ini mengajarkan bahwa Islam itu mudah dan masuk akal, serta bebas dari segala bentuk kepercayaan yang irrasional. Kejelasan konsep tentang keesaan Allah, kenabian Muhammad serta kehidupan setelah mati merupakan dasar-dasar keimanan yang memudahkan manusia untuk beramal. 
Seorang pemikir berpendapat, “there is no hierarchy of priests in Islam, no far-fetched abstractions, no complicated rites and rituals. everybody may approach the Book of God directly and translate its dictates into practice”(13)  Dalam Islam tidak ada hirarki imam, tidak ada penjelasan terlalu mengada-ada, tidak ada upacara dan ritual yang rumit, semua orang dapat merujuk Kitabullah secara langsung dan menerjemahkan perintah tersebut ke dalam amaliah praktis.

d. Menyeluruh dan Sempurna
Tsaqofah Islamiyyah bersifat menyeluruh dan sempurna sebagaimana Islam yang bersifat kekal dan tidak ada sesuatupun yang luput darinya. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Maidah ayat 3,
... اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا...
“… Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu…”

وما من دآبة في الأرض ولا طائر يطير بجناحيه إلا أمم أمثالكم ما فرطنا في الكتاب من شيء ثم إلى ربهم يحشرون
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”

e. Seimbang dan Moderat
Tsaqofah Islamiyyah bersifat seimbang dan moderat dalam membangun sistem bermasyarakat. Memperhatikan kemaslahatan pribadi dan kelompok, serta kepentingan dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Qashas 77,
وابتغ فيما آتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد في الأرض إن الله لا يحب المفسدين
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

f. Menyatukan Prinsip Antara Yang Tetap dan Berkembang
Islam ajaran kekal, menerima perkembangan dinamika manusia sekaligus tetap berpijak pada pondasi tetap dan tidak menerima perubahan. Tsawabit (tetap) dan mutaghayyirat (dinamis) adalah dua hal yang sama-sama diakui.

Tsawabit adalah masalah-masalah prinsip yang berdalil qath’i atau mutlak dan pasti baik secara hujjah maupun  makna dan pengertiannya tidak diperselisihkan oleh para ulama. Adapun mutaghayirat adalah hal-hal yang mungkin mengalami pergantian, perubahan dan pengembangan. Hal ini bukan merupakan pelanggaran terhadap hal-hal pokok (al ushul)  dan asasi, ia  lebih merupakan fleksibilitas terkait perubahan waktu, perubahan tempat, perubahan kondisi, perubahan pengetahuan, perubahan kebutuhan manusia, serta keadaan musibah atau fitnah. Allah ta’ala menetapkan tsawabit dan menjamin keberlangsungan mutaghayirat hingga  agama mampu bergerak membimbing kaum Muslimin menjadi pelopor peradaban dunia.

Dimensi khasanah Islam yang boleh menerima perubahan, pembaharuan dan ijtihad teramat luas. Kebanyakan hukum syara’ dan urusan kehidupan dunia termasuk dalam ruangan ini sebagaimana  sabda Rasulullah s.a.w, dari Anas bin Malik ra,
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ(14) 
"Kamu lebih mengetahui tentang perkara dunia kamu".

Begitu juga termasuk dalam ruangan ini ialah perkara-perkara yang tidak ada nashnya atau sekedar mempunyai nash-nash umum dan nash-nash khusus yang boleh ditafsirkan dan difahami berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad yang dimaklumi. Hal-hal yang bisa berubah atau mengalami inovasi adalah politik, sosial, ekonomi dan pendidikan serta segala hal yang masuk dalam wilayah tathbiqiyyah (penerapan).

Sedangkan dimensi khasanah Islam yang tetap, bersifat tertutup serta tidak boleh menerima pembaharuan, ijtihad dan perubahan dengan sembarangan adalah perkara-perkara akidah, prinsip-prinsip umum, hukum-hukm qath’i (hukum yang jelas melalui dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah yang tidak boleh ditakwilkan lagi) yang menyatukan fikiran,perasaan dan suluk (peradaban ummah). Seperti : ‘Aqaid (masalah-masalah keimanan), Ibadah (rukun Islam yang lima) dan Akhlaq (kumpulan pekerti yang utama seperti kejujuran, ihsan, keikhlasan, dsb).

Penutup
Bagi setiap muslim, ajaran Islam itu secara abadi tetap serasi dan berlaku. Faktor kunci dalam tsaqofah Islamiyyah adalah status, nilai dan otoritas syari’at yang tetap di dalam Islam yang berfungsi sebagai landasan cara berfikir, pengambilan keputusan, serta tindakan dalam hal mengkreasikan suatu hal baru dalam kemanusiaan. Apakah beririsan dengan nilai-nilai keagamaan maupun nilai-nilai sosial secara umum.

Mempelajari Tsaqofah Islamiyyah adalah keniscayaan guna membangkitkan kembali ummat Islam kepada kejayaannya. Menyerah pada nasib, serta apatis membiarkan ummat ini tersesat karena kebodohan, lemah karena perpecahan serta jauh dari kejayaan, adalah kehinaan. Muslim sejati tak sanggup hidup tanpa kehormatan. Hasbunallah wa Ni’mal Wakil

Catatan Kaki

  1. Ibnu ‘Asyur at Tunisiy, at Tahrir wat Tanwir, (Tunisia: Daar at Tunisiyah lin Nashr, 1984), Vol 26, hlm 261.
  2. Muhammad Quthb, Tafsir Islam Atas Realitas, (terj: Abu Ridho, Jakarta: Yayasan SIDIK, 1996) hlm 11.
  3. Abul Faydh Murtadho az Zubaidy, Taajul ‘Arus min Jawahiril Qamus, (Beirut: Daar al Hidayah, tt) vol 23, hlm 60.
  4. Ibnu Mandzhur, Lisanul Arab, (Beirut: Daar Shadr, 1414 H), vol 9, hlm. 19.
  5. Nadiyah Syarif al ’Amiri, Adhwa ’Ala Tsaqafah al Islamiyyah, (Beirut: Muassasatu ar Risalah, 1422 H). hlm. 13.
  6. Az Zubaidy, op.cit, vol 23, hlm 63.
  7. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfadzhil Qur’an,(Beirut: Daar al Fikr, 1407 H) hlm 159.
  8. Syamsuddin al Qurthuby, al Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Cairo : Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H) Vol 8, hlm 30.
  9. Musthofa Musallam & Fathi Muhammad az Za’by, Ats Tsaqafatu al Islamiyyah, (Saudi Arabia : Itsra Li Nasyr wat Tauzi’, 2007) hlm 18.
  10. Al ‘Amiri, op.cit, hlm 17.
  11. Sayyid Quthb, Fii Dzilalil Qur’an, (Beirut : Daar Asy Syuruq, 1412 H), h. 56. 
  12. Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, (terj. H.M Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1980) hlm 79.
  13. Khurshid Ahmad, Islam Its Meaning and Message, (London: Islamic Council of Europe, 1976) hlm 34.
  14. Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Daar Ihyau Turats al ‘Araby,tt) vol 4, hlm 1863 hadits no 2363.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

4 komentar

  1. Terima kasih atas penjabarannya

    BalasHapus
  2. Jazakillah, terima kasih atas ilmu yang sangat bermanfaat ini

    BalasHapus
  3. Jazakillah atas ilmunya,, sangat bermanfaat,,

    Maaf......
    Kalau boleh nanya : apa perbedaan shaqofah dengan peradaban islam

    BalasHapus