PENYAKIT-PENYAKIT HATI YANG DISEBABKAN OLEH SYUBHAT DAN TERAPINYA DALAM ISLAM



Jenis-Jenis Penyakit Hati yang disebabkan oleh Syubhat

Syirik

Kata syaroka berarti “مُخَالَطَةُ الشَّرِيكَيْنِ” mencampur dua persekutuan[1]. Dalam Qamus al Fiqh[2] kata asy syirku berarti “النصيب” bagian, dikatakan pula asy syirku“اعتقاد تعدد الآلهة” keyakinan akan banyaknya sesembahan, karena pelaku syirik membagi penyembahannya kepada banyak ilah selain Allah.


Asal mula syubhat ini adalah berlebih-lebihan dalam mencintai orang-orang shaleh hingga mengkultuskannya dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah ta’ala berfirman pada surat Nuh ayat 23-24,

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا (23) وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا (24)

Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa`, yaghuts, ya`uq dan nasr".

Pengertian Hati serta Hubungannya dengan Akal, Ruh dan JiwaA



Sigit Suhandoyo. Empat kata berikut ini yaitu hati, akal, ruuh dan jiwa merupakan kata yang seringkali digunakan untuk membahas sifat, karakter manusia dan segala sesuatu yang bersumber darinya berupa pengetahuan, kecenderungan, maupun perbuatan. Terdapat banyak sekali pendapat dalam pendefinisian hal-hal tersebut.

Hati adalah bagian terpenting dalam diri manusia, ia adalah sumber dari segala perilaku lahiriyah dan batiniyah manusia. Al Muhasibi berkata[1] “الْقلب هُوَ الاصل والجوارح أَغْصَان وَلَا تقوم الاغصان إِلَّا بالاصل” hati adalah pokok dan anggota badan adalah cabangnya sehingga tidak akan tegak cabang tanpa pokoknya. Hati memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

Pertama, Menurut syaikh Abdurrahman Habanakah[2], hati adalah tempat menetapnya akidah yang kokoh karenanya ia merupakan tempat bagi iman yang benar, “القلب مستقر القائد الراسخة، لذلك مستقر الإيمان الصادق”. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Anfaal ayat 2,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.

Ar Raghib berkata[3], “ووجل القلب: هو الخشية للحق على سبيل التصديق له باليقين” dan hati yang bergetar adalah hati yang takut terhadap kebenaran atas jalan pembenaran padanya dengan penuh keyakinan.

Kedua, Hati adalah tempat bagi berbagai perasaan serta ilmu pengetahuan. Al Ghazali mendifinisikan hati sebagai[4], “لطيفة ربانية روحانية لها بهذا القلب الجسماني تعلق وتلك اللطيفة هي حقيقة الإنسان وهو المدرك العالم العارف من الإنسان وهو المخاطب والمعاقب والمعاتب والمطالب” bagian lembut yang bersifat spiritual dan ketuhanan, yang memiliki kaitan dengan jantung dan jasad. Bagian lembut ini merupakan hakikat manusia. Ia merupakan alam pengetahuan pada manusia. Ia berbicara, membalas dan menuntut.

Ketiga, hati adalah tempat perenungan dan berfikir. Allah ta’ala berfirman dalam surat al Hajj ayat 46,

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

Keterkaitan Hati, Akal, Ruuh dan Jiwa. Pada surat al Hajj ayat 26, Allah ta’ala menggambarkan bahwa fungsi hati adalah berfikir. Jelas yang dimaksud bukanlah fisik otak, namun sesuatu yang lebih mendalam. Sebagaimana yang dimaksud fungsi mendengar bukanlah fungsi telinga mereka cacat, melainkan sesuatu yang lebih mendalam pula. Kemudian Allah menegaskan bahwa hati mereka buta.

Muhammad Ali al Juzu berpendapat[5],” فالفقه و العلم مكانهما القلب، و هذا يؤكد أهمية القلب بالنسبة للمعرفة، فيهما يشتر كان في الناحية الفكرية” pemahaman dan ilmu kedudukannya ada di dalam hati. Ini mendukung fungsi hati yang terkait dengan pengetahuan. Keduanya memiliki aspek kesamaan pada aspek pemikiran.

Jika diibaratkan fungsi pendengaran, penglihatan, perasa, serta otak adalah sebagai pengumpul informasi maka proses pengolahan data dan pengambilan keputusan yang tidak menyertakan hati maka akan tergelincir pada kesalahan. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya manusia memiliki hati yang sehat.

Dengan demikian diketahui bahwa hati juga berperan mengontrol kecenderungan jiwa (nafs), sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat al Jaatsiyah ayat 23 yang menggambarkan orang-orang yang mengikuti nafsunya maka Allah sekat hatinya hingga tidak dapat menimbang kebenaran dan tertutup dari hidayah kecuali Allah bukakan,

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Mengenai ruuh Ibnu Katsir berpendapat,[6]” إن الروح هي أَصْلُ النَّفْسِ وَمَادَّتُهَا، وَالنَّفْسُ مُرَكَّبَةٌ مِنْهَا وَمِنَ اتِّصَالِهَا بِالْبَدَنِ ، وَهَذَا مَعْنًى حَسَنٌ” ruuh adalah itu merupakan asal dan materi jiwa (nafs). Jiwa terbentuk dari ruuh dan terhubung dengan badan, dan ini adalah pengertian yang baik.

Dengan demikian nafs adalah unsur yang terbentuk dari peniupan ruuh kepada jasad manusia. Karena memiliki unsur akhirat dan duniawi, nafs memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan buruk. Oleh karenanya manusia harus membimbing jiwanya dengan kejernihan hati.

Catatan Kaki
  1. Al Haarits al Muhasibi, tt, Adabun Nufus, Libanon: Daar al Jiil, h 179.
  2. Abdurrahman Habanakah, tt, al Akhlaq al Islamiyyah wa Ususuha, Beirut: Daar al Qalam, h.245.
  3. Ar Raghib al Ashfihany, 1428 H, adz Dzari’atu ila Makarimi asy Syari’ah, Cairo: Daar as Salam. h 159.
  4. Al Ghazali, tt, Ihya Ulumuddin, Beirut: Daar al Ma’rifah, 3/3.
  5. Dr. Muhammad Ali al Juzu,1983, Mafhuum al Aql wa al Qalb fi Al Qur’an wa as Sunnah, Beirut: Daar al ‘Ilm. H 275.
  6. Ibnu Katsir,1419 H, Tafsir al Qur’anul Adzhim, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 5/107

URGENSI DAKWAH DALAM AL QURAN 5



Dakwah Mengandung Maslahat Internal dan Eksternal 
Maslahat Internal; Terbentuknya Ummat Terbaik 

Rasulullah saw berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik sepanjang zaman dengan dakwah beliau. Dakwah secara umum dan pembinaan kader secara khusus adalah jalan satu-satunya menuju terbentuknya khairu ummah yang kita idam-idamkan. Rasulullah saw mencetak kader-kader dakwah di kalangan para sahabat beliau di rumah Arqam bin Abil Arqam ra, beliau juga mengutus Mush’ab bin Umair ra ke Madinah untuk membentuk basis dan cikal bakal masyarakat terbaik di Madinah (Anshar). 

Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw ini adalah juga jalan yang harus kita tempuh untuk mengembalikan kembali kejayaan umat. Imam Malik bin Anas ra berkata:

لاَ يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ الأُمَّةِ إِلاَّ بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا [1] 

Akhir umat ini tidak menjadi baik kecuali menggunakan cara yang digunakan untuk memperbaiki generasi awalnya. 

Umat Islam harus memainkan peran dakwah & amar ma’ruf nahi munkar dalam semua keadaannya, baik ketika memperjuangkan terbentuknya khairu ummah maupun ketika cita-cita khairu ummah itu telah terwujud. Allah swt berfirman:

كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله 

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Ali Imran (3): 110). 
Muhammad Mahmud al Hijazi berkata

أصلح نفسك ثم ادع غيرك، ولا شك أن مرتبة دعوة الغير إلى الهدى والخير مرتبة عالية، ولا يلقاها إلا أفراد قلائل زكت نفوسهم وطهرت أرواحهم وامتلأت إيمانا ويقينا”[2] 

Dalam pengertian lain, perbaikilah dirimu kemudian serulah kepada orang lain, dan jangan ragu sesungguhnya berda’wah kepada orang lain hingga mendapatkan petunjuk dan kebaikan adalah dejarat yang tinggi, dan derajat yang mulia itu tidak diberikan Allah kecuali kepada sebagian kecil manusia yang mensucikan jiwa dan ruhnya serta memenuhi dirinya dengan iman dan keyakinan. 

Miqdad Yaljan[3] menguraikan bahwa masyarakat terbaik atau khairu ummah memiliki berdasarkan karakteristiknya yaitu, Pertama, Masyarakat yang senantiasa memiliki semangat meyebarkan kebaikan. Kedua, masyarakat yang memilki semangat ukhuwwah insaniyyah. Ketiga, masyarakat yang senantiasa memperluas persatuan dan kekuatan. Keempat, masyarakat yang berorientasi kepada kemaslahatan bersama. Kelima, masyarakat yang memiliki semangat tunduk pada peraturan. Keenam, masyarakat yang semangat meraih kemajuan di berbagai bidang. 

Maslahat Eksternal; Tegaknya Keadilan Syari’at Allah di muka Bumi.

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين. 

Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS Al Anbiya: 107) 

Risalah Islam datang kepada ummat ini dengan kelengkapan manhajnya. Di dalamnya Allah menghimpun seluruh perangkat perbaikan social yang konfrehensif. Tujuan dakwah ini terfokus pada kepemimpinan manhaj ini, menyeru manusia kepadanya, menampilkannya dalam kehidupan nyata, mengokohkannya di muka bumi, membimbing manusia dengannya sehingga mereka menikmati eksistensinya dan mencapai kehidupan dunia yang bahagia bersamanya. 

al mawardi mengemukakan bahwa diutusnya Rasulullah sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam memiliki pengertian secara khusus dan umum. Secara khusus rahmat bagi orang-orang beriman adalah berupa, ”petunjuk kepada ketaatan dan pahala atas ketaatan tersebut, dan secara umum bagi seluruh manusia adalah menghindarkan azab bagi mereka.”[4] maksudnya adalah bahwa Allah tidak menurunkan azab kepada manusia selama masih ada Rasulullah saw ditengah-tengah mereka sebagai kesempatan bagi manusia untuk menerima dakwah. Demikian pula selama masih ada orang-orang yang berdakwah ditengah-tengah masyarakat. 

[1] Nashirudin Al Albani, Fiqhul Waqi’, hal.22. 
[2] Muhammad Mahmud al Hijazy, 1413 H, at Tafsir al Wadhih, Beirut: Daar al Jaliil al Jadiid, jilid 3, hlm 340. 
[3] Miqdad Yaljan, 2011, Peranan Pendidikan Akhlaq Islam dalam Pembentukan Individu, Masyarakat dan Peradaban manusia, terjemahan Dr. Azra’ie Zakaria, MA. LP2M Universitas Islam Asy Stafi’iyyah, h.87. 
[4] Abul Hasan al Mawardi, an Nukat wal Uyun, (Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, tt) vol 3, hlm 475.

URGENSI DAKWAH DAKWAH DALAM AL QUR'AN 4




Dakwah adalah Jalan Mencapai Kemenangan Hakiki

إنا لننصر رسلنا والذين آمنوا في الحياة الدنيا ويوم يقوم الأشهاد
Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat), (QS Al Mu’min: 51).

Kemenangan Hakiki Di Dunia, Yaitu Kehidupan Yang Berkah


Yang dimaksud dengan keberkahan adalah kebaikan yang banyak dan melimpah di sisi Allah swt.

ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض ولكن كذبوا فأخذناهم بما كانوا يكسبون

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96).

URGENSI DAKWAH DALAM AL QUR'AN 3



Dakwah adalah Tuntutan Sosial Kontemporer

Kondisi kehidupan kita saat ini diwarnai oleh kerusakan, ketamakan dan hawa nafsu, sementara orang-orang munafik bekerjasama mengajak masyarakat untuk menyebarkan kerusakan dimuka bumi. Allah ta’ala berfirman dalam surat at Taubah ayat 67,

المنافقون والمنافقات بعضهم من بعض يأمرون بالمنكر وينهون عن المعروف ويقبضون أيديهم نسوا الله فنسيهم إن المنافقين هم الفاسقون.

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.”

Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang beriman untuk tolong menolong dalam menegakkan kebaikan agar ia tersebar luas dan tidak ada lagi fitnah dimuka bumi. Allah ta’ala berfirman dalam surat at Taubah ayat 71,

والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسوله أولئك سيرحمهم الله إن الله عزيز حكيم.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “

Dalam ayat tersebut di atas, Allah ta’ala menjadikan amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagai pembeda antara orang-orang beriman dan orang-orang munafik. Az Zuhaily berpendapat,

تبيّن هذه الآيات وما بعدها الفروق الواضحة بين صفات المؤمنين وصفات المنافقين، ولما كان المؤمنون يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر، كان المنافقون عكسهم”[1]

ayat ini menjelaskan perbedaan sifat yang jelas antara orang beriman dan munafik. Jika orang beriman menyuruh yang baik dan menjegah kemungkaran maka orang munafik membaliknya.

Dengan demikian jelas bahwa karakter orang-orang munafik yang memusuhi gerakan kebaikan dalam posisi yang berhadapan langsung. Kesamaan gerakan mereka dalam hal menyeru kepada kerusakan Allah hadapkan langsung kepada pensifatan orang beriman yang saling menjadi wali dalam hal tolong menolong dan menyebarkan kebaikan.

Dalam ayat yang lain Allah ta’ala berfirman tentang sebuah peringatan kepada kita agar berhati-hati terhadap siksa yang tersebar secara luas kepada seluruh manusia, sebagaimana surat al Anfal ayat 25,

واتقوا فتنة لا تصيبن الذين ظلموا منكم خآصة واعلموا أن الله شديد العقاب.

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”

Ibnu Abbas ra menafsirkan bahwa maksud ayat ini adalah,

أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْ لَا يُقِرُّوا الْمُنْكَرَ بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ فَيَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ يُصِيبُ الظَّالِمَ وَغَيْرَ الظَّالِمِ”[2]  

Allah ta’ala memerintahkan orang-orang beriman agar mereka mengingkari kemungkaran yang ada ditengah-tengah mereka, karena jika tidak maka Allah akan menimpakan adzab kepada orang-orang dzalim dan selain orang dzalim.

Imam Ahmad meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يُعَذِّبُ الْعَامَّةَ بِعَمَلِ الْخَاصَّةِ، حَتَّى يَرَوْا الْمُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ، وَهُمْ قَادِرُونَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوهُ فَلَا يُنْكِرُوهُ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ، عَذَّبَ اللهُ الْخَاصَّةَ وَالْعَامَّةَ[3]

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab (manusia secara umum) karena perbuatan khusus (segelintir orang) sehingga kemungkaran Nampak ditengah-tengah mereka dan mereka sanggup mencegahnya tapi tidak melakukannya, jika yang demikian itu terjadi maka Allah akan mengadzab secara khusus dan umum ”

Catatan Pustaka
  1. Wahbah bin Musthafa az Zuhaily, op.cit, Vol 10, hlm 296.
  2. Abu Muhammad al Baghawi, op.cit, vol 2, hlm 283.
  3. Ahmad ibn Hanbal asy Syaibaniy, Musnad al Imam Ahmad ibn Hanbal, Beirut : Muassasatu ar Risalah, 1421 H, Vol 29, hlm 258. Hadits no 17.720. menurut Syu’aib al Arnauth hadits ini hasan li ghairihi.

URGENSI DAKWAH DALAM AL QUR'AN 2



Dakwah adalah Kebutuhan Hidup Manusia

Dengan hikmahnya Allah telah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang terbaik dari segi fisik maupun psikis. Mengistimewakan manusia dengan berbagai karakter dan sifat dengan sangat rinci dan mendetail serta memiliki berbagai macam kondisi dan perubahan.  Jika setiap Muslim mampu mengarahkan keburukan nafsunya dan mendidiknya kejalan yang benar maka sungguh dia telah beruntung, dan sebaliknya jika dia tidak berhasil mendidiknya maka sungguh dia telah merugi. Allah ta’ala berfirman dalam surat Yusuf ayat 53 tentang kecenderungan nafsu manusia yang menyuruh kepada kejahatan,

وما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي إن ربي غفور رحيم.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Yusuf 53).

Menurut az Zuhailiy ayat ini menujujukkan bahwa

أنّ أكثر النّفوس نزّاعة للشّهوة، ميّالة للهوى، ذات نزعة شريرة، تحتاج إلى مجاهدة ومكافحة ومراقبة وتحذير”[1]
sesungguhnya sebagian besar jiwa bertentangan dengan syahwat, cenderung kepada kesenangan hatinya yang mengarah kepada keburukan, hal ini membutuhkan kesungguhan, pertahanan, pengawasan dan peringatan.

Al Jurzani memaknai nafsu yang menyuruh berbuat buruk sebagai berikut

هي التي تميل إلى الطبيعة البدنية، وتأمر باللذات والشهوات الحسية، وتجذب القلب إلى الجهة السفلية، فهي مأوى الشرور، ومنبع الأخلاق الذميمة” [2]

nafsu yang cenderung kepada tabi’at tubuh, menyuruh menikmati kelezatan dan syahwat inderawi dan menarik hati ke tingkat yang rendah. Maka itulah tempat bagi berbagai kejahatan dan sumber segala perilaku tercela.

Penutupan ayat ini diakhiri dengan, … “sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Pengasih”, maksudnya adalah,

إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ عظيم المغفرة فيغفر ما يعتري النفوس بمقتضى طباعها ومبالغ في الرحمة فيعصمها من الجريان على موجب ذلك”[3]

ampunan bagi siapapun yang mau bertaubat dan kembali dari ajakan jiwa yang menyuruhnya berbuat buruk. Mahakasih, yang melindungi jiwa dari terus mengikuti perintah jiwa ini serta meningkatkannya pada kondisi jiwa yang lebih baik.

Allah ta’ala juga berfirman dalam surat asy Syams ayat 7 – 10, tentang kondisi jiwa manusia yang memerlukan da’wah agar senantiasa berada dalam kebenaran.

ونفس وما سواها. فألهمها فجورها وتقواها. قد أفلح من زكاها. وقد خاب من دساها.

“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy Syams 7 – 10).

Allah ta’ala memberikan pada jiwa manusia karakteristik berupa kemampuan untuk mengetahui yang baik dan buruk. Ayat ini mengisyaratkan akan adanya tabiat manusia yang dapat menerima kebaikan dan keburukan. Adapun maksud dari kalimat “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha”, adalah; “Menurut ibnu Abbas dalam riwayat Ali bin Abi Thalhah maksudnya adalah, “بَيَّنَ لَهَا الْخَيْرَ وَالشَّرَّ” menjelaskan kepadanya kebaikan dan keburukan. Sedangkan dalam riwayat ‘Athiyah “عَلَّمَهَا الطَّاعَةَ وَالْمَعْصِيَةَ” mengajarkan kepadanya keta’atan dan maksiat. Al Kalby meriwayatkan dari Aby Shalih, “عَرَّفَهَا مَا تَأْتِي مِنَ الْخَيْرِ وَمَا تَتَّقِي مِنَ الشَّرِّ” memperkenalkan kepadanya segala sesuatu yang datang dari kebaikan dan berhati-hati terhadap segala keburukan.”[4]

Menurut al Fairuz Abadi jiwa manusia itu memiliki sifat-sifat sebagai berikut; “مَيْلُ النَّفس إِلى الشَّهْوَة” jiwa itu memiliki kecenderungan kepada sesuatu yang diinginkannya, “العِشْقُ، ويكون فى الخَيْر والشرّ” --kecenderungannya terhadap sesuatu itu -- menjadikan hatinya tertambat baik terhadap kebaikan maupun keburukan, “إِرادةُ النَّفْس والمحَبَّة”  -- kecenderungannya terhadap sesuatu itu -- menjadikannya sebagai pilihan jiwa dan kecintaan. [5]

Maka da’wah merupakan sesuatu yang dibutuhkan setiap manusia untuk mengarahkan dan menjadikan kebaikan sebagai sesuatu yang dicintai bagi dirinya. Serta mengalihkan jiwanya dari kecenderungan menyukai perbuatan buruk.
 
Catatan Pustaka
  1. Wahbah bin Musthafa az Zuhaily, op.cit, Vol 7, hlm 13.
  2. Asy Syarif al Jurzani, Kitab al Ta’rifat, Beirut : Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah,1403 H, hlm 243.
  3. Syihabuddin al Alusi, Ruuh al Ma’aniy, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1415 H, Vol 7, hlm 5.
  4. Abu Muhammad al Baghawi, Ma’alim at Tanziil fi Tafsir al Qur’an, Beirut : Daar Ihyau at Turats al ‘Arabiy, 1420 H,Vol 5, hlm 258.
  5. Majiduddin Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al Al Fairuz Abadiy, Bashairu Dzawi at Tamyiz fi Lathaif al Kitab al Aziz, Qahirah : Lajnah Ihya at Turats al ‘Araby, 1412 H, vol 5, hlm 359.