Keutamaan Generasi Muda Dalam Islam



Sigit Suhandoyo. Generasi muda remaja merupakan asset yang potensial bagi sebuah bangsa, karena remaja merupakan generasi penerus bagi bangsa tersebut. Masa depan sebuah bangsa dapat terlihat dari kondisi remajanya pada saat ini.


Bagi bangsa Indonesia besarnya komposisi jumlah remaja merupakan sebuah tantangan yang dilematis.(1)  Remaja dapat dipandang sebagai sebuah asset potensial yang konstruktif jika mereka dapat dididik dan digerakkan guna mendukung program pembangunan bangsa, akan tetapi remaja akan menjadi potensi destruktif jika mereka bersikap pasif dan apatis dan hanya menjadi beban tanggungan bagi kelompok masyarakat lain. 


Jumlah remaja yang besar tersebut terkadang hanya dijadikan sebagai komoditas politik belaka, padahal remaja merupakan agen perubahan, dan generasi yang sangat diharapkan eksistensinya. Sementara itu, pengakuan nyata terhadap remaja dalam struktur sosial -- yang menjadi elemen penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan -- kurang mendapatkan tempat yang memadai.(2)  Remaja menjadi pragmatis, bersikap apatis, acuh tak acuh terhadap problematika yang berkembang di masyarakat, atau hanya aktif secara akademis untuk meraih prestasi yang tinggi tanpa peduli pada kehidupan orang lain. 


Lemahnya pengakuan masyarakat terhadap kalangan remaja, dapat menjadikan mereka mengalami problem identitas. Konteks ini berpotensi menggiring pada melemahnya ikatan-ikatan sosial di antara remaja dan masyarakat. Remaja saat ini mengalami disorientasi sosial terhadap fungsi dan perannya sebagai pelaku perubahan.(3)  Padahal, salah satu hal yang membuat peran remaja menjadi sangat penting adalah keberadaan remaja yang mengisyaratkan adanya semangat perubahan.(4)  Terutama perubahan positif yang membawa kemajuan bagi sebuah bangsa. 


Bangsa Indonesia membutuhkan adanya perubahan-perubahan yang positif. Bagi masyarakat yang mampu beradaptasi, perubahan menghadirkan peluang yang menawarkan kesempatan baru bagi kemajuan. Dalam konteks inilah, remaja perlu mendapatkan tempat dan perhatian dari berbagai elemen masyarakat, karena remaja merupakan asset yang penting bagi sebuah bangsa untuk meneruskan identitas bangsa tersebut.


Sebagai generasi harapan bangsa yang menjadi penerus identitas bangsa, remaja diharapkan memiliki semangat menempa hard skill dan soft skill. Remaja harus mempersiapkan diri untuk menjadi generasi yang berprestasi secara akademik, memiliki keterampilan tinggi serta berdaya saing dan harus memiliki mental dan moralitas yang baik agar dapat meneruskan estafeta kepemimpinan bangsa dalam berbagai bidang kehidupan. 


Untuk memenuhi harapan tersebut, para orang tua  mendukung pendidikan mereka; para pendidik bekerja keras dengan penuh dedikasi untuk membangun karakter mereka dan membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan; dan pemerintah terus membuat kebijakan-kebijakan pembangunan bidang pendidikan dan mengembangkan program-program pendidikan yang relevan dan bermutu, untuk menghantarkan para pelajar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Mengiringi para orang tua, guru-guru dan pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat terus aktif memberikan bimbingan-bimbingan, pengawasan, dan dukungan terhadap berbagai kebijakan atau program pendidikan.


Dalam Agama Islam masa remaja merupakan masa yang sangat penting untuk dimanfaatkan dalam kebaikan, sebagaimana nasihat Rasulullah saw kepada seorang pemuda yang tertera dalam hadits berikut,

 

أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ حَلِيمٍ الْمَرْوَزِيُّ، أَنْبَأَ أَبُو الْمُوَجَّهِ، أَنْبَأَ عَبْدَانُ، أَنْبَأَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ: " اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هِرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ(5)  


Dari Ibnu ‘Abbas ra telah berkata, Rasulullah saw telah berkata kepada seorang pemuda;“Rebut lima perkara sebelum datang lima perkara : Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, Hidupmu sebelum datang kematianmu.”


Menurut al Qāri masa muda merupakan sebuah fase terpenting dalam fase kehidupan seorang manusia. Pada fase ini seseorang manusia berada dalam kondisi fisik yang prima untuk mewujudkan keta’atan kepada Allah.(6)  Masa remaja sebagai masa terbaik dikemukakan pula oleh Ikrimah dan Ibnu Abbas ra, sebagaimana dikemukakan oleh ath-Thabarī dalam menafsirkan firman Allah ta’ala yang tertera dalam surat at Tiin ayat ke 4, “لقد خلقنا الإنسان في أحسن تقويم” yang berarti “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Menurut ath-Thabadi yang dimaksud sebaik-baik bentuk  atau ahsani taqwīm adalah masa muda yang kuat ketika awal pertumbuhannya.(7)  


Demikian hebat potensi masa muda ini diterangkan pula dalam sebuah riwayat dari sahabat nabi saw berikut,


عَنْ عُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ السُّلَمِيِّ، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ الشَّابَّ الْمُؤْمِنَ لَوْ يُقْسِمُ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ»(8)  

Dari ‘Utbah bin ‘Abdin as Salamiy, bahwasanya sahabat nabi saw telah berkata “Sesungguhnya seorang pemuda yang beriman bersumpah dengan nama Allah niscaya Allah akan menerimanya”. 


Riwayat tersebut di atas menerangkan bahwa potensi potensi fisik dan akal pemuda jika digabungkan dengan potensi keimanan (spiritual) maka merupakan modal yang sangat besar bagi pemuda untuk dapat memenuhi semua keinginannya.


Urgensi masa muda juga diterangkan dalam sebuah hadits, bahwa masa muda merupakan salah satu perkara yang akan Allah swt minta pertanggung-jawabannya kepada setiap manusia kelak di hari kiamat. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,


حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا حُصَيْنُ بْنُ نُمَيْرٍ أَبُو مِحْصَنٍ قَالَ: حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ قَيْسٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ، عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ.(9) 


“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi Rabb-Nya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan dan apa saja yang telah ia perbuat dari ilmu yang dimilikinya”


Menurut Syaifuddin at-Thibi, sebagaimana dikutip oleh al Qāri, maksud dari pertanyaan tentang masa muda adalah terkait evaluasi Allah atas kualitas keta’atan seorang hamba pada saat ia berada dalam kondisi yang prima untuk beribadah kepada-Nya.(10)  


Keutamaan masa muda sebagai masa terbaik juga tertera dalam hadits berikut, bahwa Allah mensifati para penghuni surga dengan kemudaan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw telah bersabda,


أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ الرِّفَاعِيُّ، حَدَّثَنَا مُعَاذٌ يْعَنِي ابْنَ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَامِرٍ الْأَحْوَلِ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أَهْلُ الْجَنَّةِ شَبَابٌ، جُرْدٌ، مُرْدٌ، كُحْلٌ، لَا تَبْلَى ثِيَابُهُمْ، وَلَا يَفْنَى شَبَابُهُمْ»(11) 

“Penghuni surga adalah pemuda, yang halus kulitnya, tidak memiliki rambut pada jenggotnya, tampan lagi memakai celak, pakaiannya tidak pernah usang dan kemudaannya tidak pernah pudar.”


Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi seorang remaja muslim sekaligus menjelaskan keutamaan mereka untuk memanfaatkan segenap potensi mereka dalam kebaikan. Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Āmir ra, bahwasanya Rasulullah telah bersabda,


حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ أَبِي عُشَّانَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ.(12) 

“Sesungguhnya Allah benar-benar kagum terhadap seorang anak muda yang tidak memiliki shabwah”


Maksud dari anak muda yang tidak memiliki shabwah, adalah anak muda yang tidak memperturutkan kecenderungan syahwat masa mudanya yang mengajak untuk berbuat keburukan.(13)  Karakter remaja muslim yang dikagumi oleh Allah ta’ala adalah remaja yang kuat menundukkan dan mengarahkan gejolak syahwatnya hingga ia tidak terjerumus dalam kehidupan yang nista. 


Relevan dengan hadits di atas, diriwayatkan dari ‘Abdullah ibnu Umar bahwasanya Nabi saw telah bersabda,


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ سَلَّامٍ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ الْجَعْدٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ سَالِمٍ الْأَفْطَسِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الشَّابَّ الَّذِي يُفْنِي شَبَابَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ»(14) 

“Sesungguhnya Allah mencintai anak muda yang menghabiskan masa mudanya dalam keta’atan kepada Allah ‘azza wa jalla”


Remaja yang memanfaatkan masa mudanya dengan ketaatan juga disifati sebagai hamba Allah yang sejati, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ نَيْرُوزَ الْأَنْمَاطِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ نَافِعٍ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ، ثنا عُمَرُ بْنُ صُبْحٍ، عَنْ أَبِي حَبَّانَ، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ أَحَبَّ الْخَلَائِقِ إِلَى اللَّهِ شَابٌّ حَدَثُ السِّنِّ، جَمِيلٌ فِي صُورَةٍ حَسَنَةٍ، جَعَلَ شَبَابَهُ وَجَمَالَهُ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ، فَذَاكَ الَّذِي يُبَاهِي بِهِ الرَّحْمَنُ مَلَائِكَتَهُ، يَقُولُ: هَذَا عَبْدِي حَقًّا "(15) 


“Sesungguhnya mahluk yang paling dicintai diantara makhluk Allah adalah anak muda yang sedang menjalani usia mudanya,indah perangainya,menjadikan usia muda dan keindahan perangainya untuk beribadah kepada Allah, maka dengan segala kebaikannya itu Allah yang Maha Rahman berkata kepada malāikat-Nya; inilah hambaku yang sejati.”


Demikianlah profil remaja muslim yang diharapkan. Dalam hadits-hadits tersebut di atas menggambarkan remaja sebagai sebuah pribadi yang mampu mengendalikan gejolak syahwatnya yang mengajak kepada keburukan, menghabiskan waktu dalam keta’atan kepada Allah, serta memiliki kemuliaan secara sosial.


Catatan Kaki

  1. Komposisi generasi muda merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia, yaitu sebesar 37% dari total Penduduk Indonesia yang 220 juta. Lihat BPS. (n.d.), “Data Statistik Indonesia”, dalam Retrieved Mei 2008, from http:// www.datastatistik indonesia.com
  2. Pandu Dewanata & Saifullah, Rekonstruksi Pemuda (Jakarta: Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, 2008), hlm. 13
  3. Aziz Syamsudin, 23 Karakter Pemuda Pilihan (Jakarta: RMBOOKS, 2009), hlm. xiii.
  4. Ibid, hlm 3.
  5. Abu Abdullah al Hakim an Naisabury, al Mustadrak ‘Ala ash Shahihain, (Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1411 H), Juz 4, hlm 341, hadits no. 7846. Hadits ini shahih menurut syarat ash shahihain.
  6. Ali bin Muhammad Abul Hasan Nuruddin al Qari, Mirqatul Mafatih Syarh Miskatul Mashabih, (Beirut: Daar al Fikr, 1422 H),  Juz 8, hlm 3239.
  7. Muhammad bin Jarir Abu Ja’far ath Thobary, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, (Beirut: Muassasatu ar Risalah, 1420H), Juz 24, hlm 508.
  8. Abu Abdurrahman Abdullah Ibnul Mubarak, az-Zuhdu wa ar-Raqāiq li Ibn al-Mubarak , (Beirut: Dār al-Kutub al ‘Ilmiyah, tth),  Juz 1, hlm 117.
  9. Muhammad bi ‘Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Mesir: Penerbit Musthofa al Halabi, 1975), Juz 4, hlm 612. hadits no 2416. Hadits ini hasan shahih, lihat kanzul ‘ummal 14/372 dan Majma’uz Zawaid 10/346.
  10. Nuruddin al Qari, op.cit, juz 4, hlm 3254.
  11. Abu Muhammad ad Dārimī, Musnad ad Dārimī, (Saudi Arabia: Dār al Mughnī, 2000), cet 1,  Juz 3, hlm 1866, hadits no 2868. Menurut Husain Salim Asad hadits ini hasan. 
  12. Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal asy-Syaibaniy, Musnad al Imam Ahmad, (Beirut: Muassasatu ar Risalah, 2001), Juz 28, hlm 600, hadits no 17.730. Menurut Syu’aib al Arnauth hadits ini hasan lighairihi.
  13. Zainuddin Muhammad al Manawi, at Taisir bi Syarhil Jami’ush Shagīr, (Riyadh: Maktabah al Imam asy-Syafi’i, 1998), Juz 1, hlm 262.
  14. Abu Nu’aim al Ashbahānī, Hilyatu al-Auliyā wa Thobaqātu al-Ashfiyā, (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1409), cet 1, juz 5, hlm 360. Hadits ini Gharīb, lihat Jāmi’ al-Ahadīts li asy-Suyuti 8/236 no 7206.
  15. Abu Hafs Umar Ibn Sahin, at Targhību fī Fadhāili al-a’māl, (Beirut: Dār al Kutub al Ilmiyyah, 2004), cet 1, hlm 78, hadits no 230. hadist ini dha’īf. lihat Kanzul ‘Umal 15/785 no 43103 dan Jāmi’ al-Ahadīts li asy-Suyuti, 7/125 no 5957.

Mengeraskan Suara Dzikir Seusai Shalat Berjama’ah




Sigit Suhandoyo. Berdzikir seusai sholat wajib, merupakan salah satu amal ibadah yang utama. Para ulama fiqih bersepakat menghukuminya sebagai sebuah amalan yang dicintai. Namun mereka berbeda pendapat terkait hukum mengeraskan suara dalam berdzikir seusai sholat berjama’ah. Sebagian ulama melarangnya dan sebagian membolehkan mengeraskan suara dalam berdzikir.

 

Pendapat Terkait Keutamaan Menyamarkan Suara Dzikir 


Ibnu Abidin (w 1252 H) dari kalangan Hanafiyah mengemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang mengeraskan atau menyamarkan suara dalam berdzikir. Menurutnya para ulama yang berpendapat bahwa menyamarkan suara dalam dzikir lebih utama, berdalil dengan hadits berikut:

عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ.(1) 

Dari Sa’ad bin Malik berkata, Rasulullah saw telah bersabda: sebaik-baik dzikir adalah yang samar.


Lebih lanjut Ibnu Abidin mengemukakan bahwa berdzikir dengan suara keras dikhawatirkan akan menimbulkan riya, mengganggu orang yang sedang shalat di masjid maupun yang sedang tidur.(2) 


Dari ulama kalangan Malikiyah, Ibnu Rusyd al-Jadd (w 520 H) mengemukakan bahwa dilarang berdzikir dengan suara keras di masjid.(3)  Kemudian ia mengemukakan riwayat berikut,

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ، وَمَجَانِينَكُمْ، وَشِرَاءَكُمْ، وَبَيْعَكُمْ، وَخُصُومَاتِكُمْ، وَرَفْعَ أَصْوَاتِكُمْ، وَإِقَامَةَ حُدُودِكُمْ، وَسَلَّ سُيُوفِكُمْ، وَاتَّخِذُوا عَلَى أَبْوَابِهَا الْمَطَاهِرَ، وَجَمِّرُوهَا فِي الْجُمَعِ.(4) 

Dari Watsilah bin al-Asqa’ bahwasanya Nabi saw telah bersabda: jauhkan dari masjid-masjid anak-anak kalian yang masih kecil, orang gila, jual beli, perdebatan, meninggikan suara, pelaksanaan hudud dan menghunuskan pedang, buatlah pada setiap pintunya tempat bersuci dan harumkanlah di setiap hari jum’at.


Masih dari ulama kalangan Malikiyah, al-Nafrawi (w 1126 H) mengemukakan pendapat serupa bahwa menurut imam-imam mazhab kami, mengeraskan suara dalam berdzikir hanya dituntut pada saat hari-hari ‘ied saja.(5) 


Dalam syarhnya atas Shahih Muslim, Imam al-Nawawi (w 676 H) menuliskan sebuah bab tentang Dzikir setelah sholat. Dalam bab itu ia mengutip pendapat Ibnu Bathal (w 449 H) tentang kepakatan para ulama mazhab, bahwa mengeraskan suara dalam dzikir merupakan hal yang tidak disukai.


أَنَّ أَصْحَابَ الْمَذَاهِبِ الْمَتْبُوعَةِ وَغَيْرَهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى عَدَمِ اسْتِحْبَابِ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ وَالتَّكْبِيرِ.(6)

Bahwasanya para pendukung mazhab kami dan yang lainnya bersepakat, bahwa mengeraskan suara dzikir dan takbir merupakan hal yang tidak disukai.


Pendapat Terkait Keutamaan Mengeraskan Suara Dzikir 


Ibnu Abidin al-Hanafi mengemukakan bahwa, para ulama yang berpendapat tentang tuntunan berdzikir dengan suara keras adalah berdasarkan dalil berikut:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ.(7) 

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: Allah Ta’ala berfirman: Dan jika hamba-Ku mengingat-Ku dalam keramaian, Aku mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik dari mereka.


Selanjutnya Ibnu Abidin mengemukakan bahwa, para ulama yang mendukung pendapat berzikir dengan suara keras menyampaikan argumen berikut:


إنَّ الْجَهْرَ أَفْضَلُ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ عَمَلًا وَلِتَعَدِّي فَائِدَتِهِ إلَى السَّامِعِينَ، وَيُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ فَيَجْمَعُ هَمَّهُ إلَى الْفِكْرِ، وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إلَيْهِ، وَيَطْرُدُ النَّوْمَ، وَيَزِيدُ النَّشَاطَ.(8) 

Sesungguhnya mengeraskan suara lebih utama, karena padanya terdapat amal kebaikan yang lebih banyak, memberikan faidah kepada para pendengar, meneguhkan hati orang-orang yang berdzikir, mengumpulkan keinginan mulia melalui fikir, memurnikan pendengaran kepadanya, menggiring orang-orang yang tidur dan meningkatkan kesigapan.


Al-Bahuty (w 1051 H) dari kalangan Hanabilah mengemukakan bahwa, mengeraskan suara dzikir berupa tasbih, tahmid dan takbir seusai sholat lebih disukai.(9)  Kemudian ia mengemukakan riwayat dari Ibnu Abbas ra,

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَخْبَرَهُ: «أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ، بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ» وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ»(10) 

Dari Ibnu Abbas ra, mengabarkan, “sesungguhnya mengeraskan suara dalam berdzikir, setelah para sahabat melakukan sholat wajib sudah ada sejak masa Nabi Muhammad saw”. Ibnu Abbas berkata: saya mengerahui yang demikian itu dan saya mendengar zikir mereka”


Lebih lanjut al Bahuti mengemukakan, adapun jika berdo’a maka lebih disukai dengan suara yang samar.(11) 


Kesimpulan


Berdzikir dengan menyamarkan maupun mengeraskan suara, merupakan permasalahan yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Oleh karena itu, merupakan hal yang bijaksana bagi masyarakat muslim untuk saling bertoleransi dan mengutamakan kerukunan dan persaudaraan islamiyyah, wallahu a’lam bishowab


Catatan Pustaka

  1. Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, cet pertama 1421 H), Juz 3, hlm 76, hadits no 1477
  2. Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Rad al-Muhtar wa Dar al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, cet kedua 1412 H), Juz 1, hlm 660
  3. Ibnu Rusyd al-Maliki, al-Bayan wa al-Tahshil, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, cet kedua 1988), Juz 1, hlm 495.
  4. Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Ihya, tth), Juz 1, hlm 247, hadits no 750. Hadits ini lemah, lihat majma al-zawaid.
  5. Shihabuddin al-Nafrawi al-Maliki, al-Fawakih al-Diwani, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H), Juz 1, hlm 193.
  6. Abu Zakariya al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Araby, cet kedua 1322 H), hlm juz 5, hlm 84.
  7. Juz 9, hlm 121, hadits no 7405.
  8. Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Op.cit, Juz 1, hlm 660.
  9. Manshur bin Yunus al-Bahuty al-Hanbali, Kasyaf al-Qina, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), Juz 1, hlm 366.
  10. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dar Thouq al-Najah, cet pertama 1422 H), Juz 1, hlm 168, hadits no 841.
  11. Manshur bin Yunus al-Bahuty al-Hanbali, op.cit, Jus 1, hlm 366.

Golongan Penerima Zakat Dalam Kajian Tafsir Hukum



Sigit Suhandoyo. Menurut al-Qur’an surat al-Taubah ayat 60, penerima zakat terbagi dalam 8 golongan yaitu: (1) fakir, (2) miskin, (3) amil zakat, (4) para muallaf (5) budak, (6) orang-orang yang berutang, (7) untuk jalan Allah dan (8) orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Para ulama tafsir memberikan definisi terhadap golongan penerima zakat sebagai berikut:


a) Fakir dan Miskin


Pembahasan tentang definisi golongan ini digabungkan, karena terdapat perbedaan para pendapat para ulama tafsir mengenai definisinya. Sehingga adapula yang berpendapat fakir dan miskin adalah satu golongan. 


Fakir lebih rendah dari miskin. Pendapat ini dikemukakan diantaranya oleh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya fakir adalah “من لا مال له ولا كسب يقع موقعا من حاجته”(1)  yaitu orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan untuk menutupi kebutuhannya. Sedangkan miskin adalah “من له مال أو كسب لا يكفيه”(2) .  


Ulama yang berpendapat demikian berdalil berdasarkan ayat 273 surat al-Baqarah yang menerangkan tentang orang-orang fakir, dan surat al Kahfi ayat 79 tentang orang orang miskin.

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi” 

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,”


Pada ayat-ayat tersebut Allah memberitahukan kondisi orang fakir yang tak mampu berusaha dan orang miskin yang masih memiliki perahu untuk melaut, dan tidak tertunrp kemungkinan juga orang miskin itu memiliki harta walaupun tidak terlalu mencukupi diri dan keluarganya. Menurut al-Qurthubi pendapat ini adalah merupakan salah satu pendapat Syaf’i dan sebagian pengikutnya.(3) 


Fakir lebih baik dari miskin. Pendapat ini dikemukakan diantaranya oleh Abu Hanifah. Kalangan yang berpendapat demikian mengemukakan pengertian sebagai berikut, “الْفَقِيرُ هُوَ الَّذِي لَهُ بَعْضُ ما يكفيه ويقيمه، والمسكين الذي لا شي لَهُ”(4)  orang fakir adalah orang yang memiliki sebagian dari kebutuhannya untuk dapat menjalani kehidupannya sedangkan orang miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki apa-apa.


Fakir dan Miskin adalah golongan yang sama. Pendapat lain dari Imam Asy-syaf’i menyebutkan bahwa makna fakir dengan miskin adalah golongan yang sama, meski penyebutannya berbeda, karena tidak ada perbedaan yang jelas antara keduanya. Demikian salah satu pendapat Asy-Syafi’i, dan ini juga rnerupakan pendapatnya Ibnu Al Qasim dan semua sahabat Malik. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Yusuf dari hanafiyah.(5) 


Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahwa orang fakir adalah orang miskin yang menahan diri, sedangkan orang miskin adalah yang meminta-minta. Demikian yang dikatakan oleh Al Azhari dan dipilih oleh Ibnu Sya'ban, dan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.(6) 


b) Amil Zakat


Menurut Zuhaili amil adalah “الساعين في تحصيلها وجمعها وهم الجباة”(7)  yaitu orang-orang yang bekerja untuk mengambil dan mengumpulkan zakat. Menurut Al-Qurthubi amil harus mendapatkan perintah dari imam. Ia mengemukakan “السُّعَاةَ وَالْجُبَاةَ الَّذِينَ يَبْعَثُهُمُ الْإِمَامُ لِتَحْصِيلِ الزَّكَاةِ بِالتَّوْكِيلِ عَلَى ذَلِكَ”(8)  orang-orang yang mengumpulkan dan membagikan zakat sesuai perintah seorang imam. Mereka adalah para wakil sekaligus para penerima zakat dari muzakki.


c. Muallaf


Secara umum muallaf adalah golongan penerima zakat yang mendapatkan zakat agar keislaman mereka menjadi lebih kuat. Wahbah Zuhaili membagi golongan ini dalam 4 kelompok yaitu, “إما أن يعطوا ليسلموا، أو يثبت إسلامهم، أو يسلم نظراؤهم، أو يدافعوا عن المسلمين”(9)  ada yang diberi bagian zakat agar masuk Islam, ada yang diberi agar keislamannya semakin kukuh, ada yang diberi agar orang-orang yang serupa dengannya masuk Islam, dan ada juga yang diberi agar membela kaum Muslimin. Untuk golongan pertama dan yang terakhir; menurut Imam Syafi'i r.a., saat ini tidak diberi bagian dari zakat dikarenakan Islam telah jaya. Sedangkan golongan kedua dan ketiga, menurut pendapat yang lebih benar tetap diberi bagian dari zakat


Al-Qurthubi menguatkan bahwa para ulama sepakat bagian zakat yang diberikan kepada muallaf yang adalah bagi mereka yang sudah masuk Islam, dan tidak ada satupun yang masih kafir.(10) 


d. Budak


Menurut al-Zuhaili maksud budak disini adalah budak mukatab, yaitu memerdekakan budak yang memilki kesepakatan dengan tuannya untuk dibebaskan dengan membayar sejumlah uang tertentu.(11)  Tidak hanya itu, menurut Asy-Syaukani, dapat juga digunakan secara umum untuk membeli budak dan memerdekakannya. Menurutnya pengertian bisa membeli budak dan memerdekakannya, dan bisa juga membantu budak mukatab untuk melunasi perjanjiannya.(12) 


Al-Zuhaili menyebutkan bahwa riqab dapat juga diartikan untuk membebaskan seorang muslim yang menjadi tawanan perang orang kafir.(13)  Meski demikian dalam pendapat ini terdapat perbedaan. Adapula yang melarangnya, sedangkan yang membolehkan mengemukakan bahwa membebaskan tawanan perang dari tangan orang-orang kafir lebih utama daripada membebaskan budak yang hidup bersama ummat Islam.(14) 


e. Orang yang berutang


Adalah orang-orang yang menanggung beban utang jika mereka berutang untuk diri mereka sendiri, bukan untuk kemaksiatan dan pemborosan, sedangkan mereka tidak dapat melunasinya.(15)  Tidak satu pun dari ulama yang berbeda pendapat mengenai hal ini, kecuali orang tersebut berutang karena hal yang sepele dan sengaja menumpuknya agar dibantu dari penyaluran zakat. orang seperti ini tidak layak menerima zakat atau dibantu oleh siapa pun, kecuali ia mau bertobat dari perbuatannya itu.(16)  


Ulama berbeda pendapat tentang yang wafat dan meninggalkan hutang, apakah dapat diambilkan dari bagian al-gharimin atau tidak. Imam Abu Hanifah tidak membenarkan, bahkan beliau mensyaratkan pemberian bantuan dari zakat bagi yang berhutang hanyalah siapa yang terancam dipenjara bila tidak membayar hutangnya. Ulama lain membolehkan bagi siapa yang telah wafat untuk dibayarkan hutangnya dari uang zakat, jika ia tidak meninggalkan harta warisan.(17)  Pendapat ini adalah pendapat yang kuat dari kalangan malikiyah.(18) 


f. Untuk Jalan Allah


Menurut jumhur ulama yang dimaksud adalah untuk membiayai para mujahid yang berperang dan tidak mendapatkan bayaran dari pemerintah.(19)  Pendapat ini merupakan pendapat yang kuat dari kalangan Malikiyah, tanpa melihat apakah mujahid tersebut kaya maupun miskin.(20)  Sebagian ulama Madzhab Hanafi menafsirkan kata sabiilillah dalam hal ini dengan menuntut ilmu. Al-Kasani menafsirkannya dengan seluruh bentuk kebaikan sehingga masuk di dalamnya semua kebaikan, seperti mengkafani mayat, membangun bendungan, membangun benteng dan membangun masjid, karena menurutnya, adalah mencakup semuanya.(21) 


g. Orang yang sedang dalam perjalanan.


Orang yang sedang dalam perjalanan adalah musafir yang kehabisan bekal ketika dalam perjalanan atau ketika ingin melakukan perjalanan untuk ketaatan, bukan untuk kemaksiatan dan dia tidak mampu mencapai tujuannya kecuali dengan bantuan. Ketaatan di sini seperti haji, jihad, dan haji sunnah. Namin menurut Imam Malik, Jika ia rnenemukan orang yang mau meminjaminya maka tidak diberi dari zakat.(22)  Adapun orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan yang dibolehkan, seperti untuk berolahraga dan berpariwisata, menurut sebagian ulama madzhab Syafi'i, dia tidak diberi bagian dari zakat karena dia tidak dalam kondisi kekurangan.(23)  


Catatan Kaki

  1. Wahbah ibn Musthafa al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cetakan ke 2, 1418 H),  Juz 10, hlm 259
  2. Ibid.
  3. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Cairo: Darul Kutub al-Mishriyah, cetakan ke 2, 1384 H), Juz 8, hlm 169
  4. Ibid.
  5. Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Fathul Qadir, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, cetakan pertama 1414 H), Juz 2, hlm 425
  6. Ibid
  7. Wahbah Zuhaili, loc.cit.
  8. Al-Qurthubi, op.cit, Juz 8, hlm 177.
  9. Wahbah Zuhaili, Loc.cit.
  10. Al-Qurthubi, Op.cit, Juz 8, hlm 181.
  11. Wahbah Zuhaili, Loc.cit.
  12. Asy-Syaukani, op.cit, Juz 2, hlm 426.
  13. Al-Zuhaili, loc.cit
  14. Al-Qurthubi, Op.cit, Juz 8, hlm 183.
  15. Al-Zuhaili, loc.cit
  16. Al-Qurthubi, loc.cit.
  17. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Juz 5, hlm 634.
  18. Al-Qurthubi, op,cit, Juz 8, hlm 185.
  19. Al-Zuhaili, op.cit, Juz 10, hlm 273.
  20. Al-Qurthubi, op,cit, Juz 8, hlm 186.
  21. Al-Zuhaili, op.cit, Juz 10, hlm 274.
  22. Asy-Syaukani, op.cit, Juz 2, hlm 427.
  23. Al-Zuhaili, op.cit, Juz 10, hlm 274. 

Membaca al-Qur’an kepada orang yang sudah wafat dan menghadiahkan pahala membaca al-Qur’an kepadanya.



Sigit Suhandoyo. Membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an dan menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an tersebut orang-orang yang sudah meninggal (mayit), merupakan hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Terkait hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai hukumnya, dan apakah pahala bacaan al-Qur’an tersebut sampai kepada orang yang sudah meninggal tersebut.


Naskah ringkas ini akan mengkaji permasalahan ini dalam tiga bagian, Pertama; Para ulama yang melarang dan mengemukakan bahwa pahala tak sampai kepada mayit. Kedua para ulama yang membolehkan dan mengemukakan bahwa pahala tersebut sampai kepada mayit, dan ketiga Kesimpulan.


Pendapat Para Ulama Fiqih Yang Melarang


Ulama Mazhab dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyyah berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagiannya melarang dan sebagian mereka membolehkan


Ahmad Al-Dasuqi al-Maliki (w 1230 H) mengemukakan bahwa ulama-ulama terdahulu memakruhkan membaca al-Qur’an bagi mayit dan menghadiahkan pahala kepadanya. Akan tetapi para ulama sesudah mereka menghukumi hal tersebut sebagai sebuah kebolehan.

 

كُرِهَ قِرَاءَةٌ (بَعْدَهُ) أَيْ بَعْدَ مَوْتِهِ (وَعَلَى قَبْرِهِ) لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِ السَّلَفِ لَكِنْ الْمُتَأَخِّرُونَ عَلَى أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَالذِّكْرِ وَجَعْلِ ثَوَابِهِ لِلْمَيِّتِ وَيَحْصُلُ لَهُ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ.(1


Makruh hukumnya membacakan al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal maupun di kuburnya, karena hal tersebut bukan merupakan amal orang-orang terdahulu, akan tetapi para ulama belakangan membolehkan membacakan al-Qur’an dan dzikir lalu menghadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah meninggal, dan pahala akan sampai kepadanya dengan izin Allah.


Serupa dengan hal tersebut Ahmad Al-Shawi al-Maliki (w 1241 H) menyampaikan bahwa, membaca al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal bisa dihukumi makruh namun bisa juga dihukumi boleh,


كُرِهَ (قِرَاءَةٌ) لِشَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ (عِنْدَ الْمَوْتِ وَبَعْدَهُ عَلَى الْقُبُورِ) لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِ السَّلَفِ، وَإِنَّمَا كَانَ شَأْنُهُمْ الدُّعَاءَ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ وَالِاتِّعَاظَ (إلَّا لِقَصْدِ تَبَرُّكٍ) بِالْقُرْآنِ فَإِنَّهُ يَجُوزُ.(2


Makruh hukumnya membacakan sesuatu dari al-Qur’an kepada orang yang meninggal dan di kuburnya karena hal tersebut bukanlah merupakan amalan orang terdahulu. Akan tetapi jika membaca al-Qur’an sebagai do’a untuk memohon ampunan, kasih sayang Allah dan pengingatan, bukan untuk tujuan tabarruk dengan al-Qur’an, maka hal tersebut dibolehkan.


Demikian pula kalangan Syafi’iyyah, sebagian menolak hal tersebut dan sebagiannya menerima. Pendapat yang menolak sampainya pahala membaca al-Qur’an bagi mayit diantaranya dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Syafi’i (w 676 H), sebagai berikut:


وَالْمَشْهُورُ فِي مَذْهَبِنَا أَنَّ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ لَا يَصِلُهُ ثَوَابُهَا.(3


Pendapat yang terkenal dari madzhab kami bahwa membaca al-Qur’an tidak sampai pahalanya (kepada orang yang sudah meninggal).


Diantara dalil yang menjadi sebab perbedaan pendapat adalah perbedaan dalam memahami makna surat al-Najm ayat 39


وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى 


dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.


Berdasarkan ayat tersebut, Imam Nawawi al-Syafi'i mengemukakan sebuah riwayat berikut:


اخبرنا الربيع بن سليمان قال حدثنا الشافعي إملاء قال: يلحق الميت من فعل غيره وعمله ثلاث: حج يؤدى عنه، ومال يتصدق به عنه أو يقضى، ودعاء. فأما ما سوى ذلك من صلاة أو صيام فهو لفاعله دون الميت.(4


Mengabarkan kepada kami Rabi ibn Sulaiman, Ia berkata menyamparkan kepada kami al-Syafi’i dengan mendiktekan. Ia berkata mengikuti (pahala) kepada mayit dari amal perbuatan orang lain 3 hal, haji yang ditunaikan atas namanya, harta yang dishadaqahkan baginya, dari hartanya atau diqadha serta do’a. adapun perbuatan apapun selain hal tersebut seperti shalat, puasa maka perbuatan dan pahalanya bagi yang melakukannya bukan bagi mayyit.


Ibnu Katsir dari kalangan Syafi’iyyah juga mengemukakan pendapatnya,


ومن وهذه الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ، رَحِمَهُ اللَّهُ، وَمَنِ اتَّبَعَهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَلَا كَسْبِهِمْ. وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ وَلَا حَثَّهُمْ عَلَيْهِ، وَلَا أَرْشَدَهُمْ إِلَيْهِ بِنَصٍّ وَلَا إِيمَاءٍ، وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ(5


Terkait ayat yang mulia Ini Imam Al-Syafi’i rahimahullah dan para pengikutnya beristinbath bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai pahalanya kepada orang yang sudah meninggal, karena bacaan al-Qur’an tersebut bukan perbuatannya bukan pula apa yang ia upayakan. Oleh karenanya Rasulullah saw tidak mensunnahkan dan menganjurkan untuk mengerjakan hal tersebut. Dan tidak pula memberikan petunjuk tentang hal tersebut baik dengan nash yang jelas maupun isyarat. Dan tidak pula diriwayatkan hal tersebut dari seorangpun sahabat radhiyallahu anhum.


Dalil lain yang menjadi sebab perbedaan pendapat adalah perbedaan dalam memahami hadits nabi saw berikut


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.(6


Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,” Jika seorang manusia meninggal, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali 3 hal: shodaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendo’akannya.


Para ulama yang mengemukakan pendapat bahwa tak sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit mengemukakan bahwa, hadits ini menunjukkan bahwa pahala bagi orang meninggal terputus, kecuali 3 hal, yang juga merupakan dampak dari amal perbuatan yang ia sendiri (orang meninggal tersebut) kerjakan semasa hidupnya.


Pendapat Para Ulama Fiqih Yang Membolehkan


Para ulama kalangan Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bolehnya membacakan al-Qur’an kepada mayit, maupun membacanya di kubur. Demikian pula pahala bacaan al-Qur’an tersebut sampai kepadanya.


Ibnu ‘Abidin al-Hanafi (w 1252 H), seorang ulama dari kalangan Hanafiyah, mengemukakan pendapatnya.


مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُورَةَ يس خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَوْمَئِذٍ(7


Barangsiapa yang masuk tempat pemakaman, kemudian membaca surat Yasin niscaya Allah meringankan kepada mereka pada hari tersebut.


Selanjutnya beliau menuliskan, cara mengirimkan pahala secara khusus kepada orang yang sudah wafat.


وَيَقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ لَهُ مِنْ الْفَاتِحَةِ وَأَوَّلِ الْبَقَرَةِ إلَى الْمُفْلِحُونَ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ - وَآمَنَ الرَّسُولُ - وَسُورَةِ يس وَتَبَارَكَ الْمُلْكُ وَسُورَةِ التَّكَاثُرِ وَالْإِخْلَاصِ اثْنَيْ عَشَرَ مَرَّةً أَوْ إحْدَى عَشَرَ أَوْ سَبْعًا أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ إلَى فُلَانٍ أَوْ إلَيْهِم.(8


Membaca yang mudah dari al-Qur’an seperti surat al-Fatihah, awal surat al-Baqarah ayat 1-5, ayat kursi dan ayat 285 (آمَنَ الرَّسُولُ), surat Yasin, surat al-Mulk, surat al-Takatsur, dan surat al-Ikhlas sebanyak 12 kali, 11 kali, 7 kali, atau 3 kali kemudian ia berkata: Ya Allah sampaikanlah pahala apa yang kami baca dari al-Qur’an kepada fulan atau kepada mereka.


Lebih baik lagi bagi orang yang menshadaqahkan pahala bacaan al-Qur’annya untuk meniatkannya bagi seluruh orang beriman baik laki-laki maupun perempuan, karena hal tersebut akan disampaikan kepada mereka tanpa mengurangi sedikitpun pahala bagi dirinya sendiri.(9


Ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat dengan argumen umum bahwa semua amal shalih pahalanya dapat disampaikan kepada orang yang sudah meninggal. Abu Bakar al-Khalal al-Hanbali (w 311 H) mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.


الْمَيِّتُ يَصِلُ إِلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ غَيْرِهِ من الخير.(10


Orang yang meninggal sampai kepadanya (pahala) segala amal shalih, seperti shodaqoh maupun yang lainnya dari amal kebajikan. 


Ibnu Muflih al-Hanbali (w 884 H) selain menguatkan pendapat di atas, juga mengemukakan sahnya seseorang menghadiahkan pahala shalat fardhu yang ia kerjakan.

 

إِذَا صَلَّى فَرْضًا، وَأَهْدَى ثَوَابَهُ صَحَّتِ الْهَدِيَّةُ، وَأَجْزَأَ فَاعِلَهُ.(11


Jika seseorang shalat fardhu kemudian ia menghadiahkan pahalanya, maka sah hadiah tersebut. Dan dibalasi pula orang yang melakukannya. 


Dibenarkan juga bagi seseorang menghadiahkan pahala shalat maupun ibadah-ibadah lainnya termasuk bacaan al-Qur’an kepada kedua orang tuanya. Meski demikian Ibnu Muflih mengemukakan tidak akan bermanfaat jika disampaikan kepada selain Muslim.(12


Musthafa Al-Rahyabani al-Hanbali (w 1234 H) bahkan mensunnahkah menghadiahkan amal sholeh kepada orang yang sudah meninggal. Ia mengemukakan


وَسُنَّ إهْدَاء الْقُرَبِ، فَيَقُولُ: اللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ ذَلِكَ لِفُلَانٍ.(13


Dan disunnahkan menghadiahkan amal kebajikan, dengan mengatakan ya Allah jadikanlah pahala atas perbuatanku untuk si fulan.


Selanjutnya al-Rahyabani menyampaikan, diutamakan untuk meminta pahala dari Allah ta’ala dan kemudian menghadiahkannya juga kepada orang lain. Sebagaimana perkataan sebagian ulama, bahwa pahala Allah bagi orang yang menghadiahkan dan yang mendapatkan hadiah, karena kemuliaan Allah sangatlah luas.(14


Dari Kalangan Syafi’iyyah, Syamsuddin al-Ramli al-Syafi’i (w 1004 H) yang dijuluki “Imam Syafi’i al-shagir” mengemukakan pendapat:


إذَا نَوَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لَهُ أَوْ دَعَا لَهُ عَقِبَهَا بِحُصُولِ ثَوَابِهَا لَهُ أَوْ قَرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ حَصَلَ مِثْلُ ثَوَابِ قِرَاءَتِهِ وَحَصَلَ لِلْقَارِئِ أَيْضًا الثَّوَابُ.(15


Jika meniatkan bacaan al-Qur’an bagi orang yang sudah meninggal, atau berdo’a baginya dengan mengiringkan pahala baginya. Atau membaca di kuburnya, sampai pahala bacaannya tersebut, dan sampai pula pahalanya kepada pembacanya.


Menguatkan pendapat tersebut di atas, Qalyubi (w 1069 H) dan Umairah, mengemukakan bahwa menurut sebagian imam, pahala yang ditujukan kepada orang yang sudah meninggal akan sampai.


إنَّ ثَوَابَ جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ عَنْ الْمَيِّتِ يَحْصُلُ لَهُ حَتَّى الصَّلَاةَ وَالِاعْتِكَافَ، وَإِنْ كَانَ مَرْجُوحًا عِنْدَنَا.(16


Sesungguhnya pahala berbagai ibadah akan sampai kepada mayyit, termasuk sholat dan i’tikaf dan ini adalah pendapat yang kuat menurut kami.


Meski demikian dalam hal ini bagi orang yang sudah meninggal, pahala shadaqah atas nama mayit lebih utama dari do’a, dan do’a lebih utama dari bacaan al-Qur’an.(17)  


Adapun diantara dalil yang menjadi landasan oleh para ulama yang membolehkan hal ini, adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,


إِنَّ مِنَ الْبِرِّ بَعْدَ الْبِرِّ أَنْ تُصَلِّيَ لِأَبَوَيْكَ مَعَ صَلَاتِكَ، وَتَصُومَ لَهُمَا مَعَ صَوْمِكَ.(18


Sesungguhnya diantara bentuk kebaikan di atas kebaikan adalah engkau sholat bagi orangtuamu dengan sholatmu, dan engkau berpuasa bagi kedua orangtuamu dengan puasamu.


Juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud


قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ.(19


Bacakanlah surat yasin atas orang yang meninggal diantara kalian.


Ahmad al-Thahtawi al-Hanafi menuliskan pendapatnya terkait dalil surat al-Najm ayat 39. Menurutnya ayat ini tak bisa menjadi dalil tak sampainya pahala kepada mayit dengan beberapa argumen, diantaranya adalah: 


Pertama, Surat al-Najm sudah dihapuskan (mansukh) hukumnya dengan surat al-Thur ayat 21. {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ} ia mengatakan, ayat ini menetapkan bahwa meski seorang terikat dengan amal masing-masing, namun keimanan dapat menghubungkan orang yang sudah meninggal dengan yang masih hidup.


Kedua, mengutip pendapat sahabat Ibnu Abbas ra, bahwa ayat ke 39 surat al-Najm adalah syari’at khusus kaum Nabi Ibrahim dan Musa as. Sebagaimana teks surat tersebut jika dibaca dari ayat 36,


أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى (36) وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى (37) أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39)


Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?, dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?, (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.


Ketiga, mengutip pendapat seorang tabi’in, Ikrimah maula Ibnu Abbas (w 104 H), bahwa yang dimaksud (الإنسان) dalam ayat ini adalah orang kafir. Sedangkan bagi orang beriman yang sudah meninggal dapat menerima manfaat dari amal orang beriman yang masih hidup.


Keempat, mengutip pendapat seorang tabi’in, Rabi’ bin Anas (w 139 H), bahwa seorang manusia tidak mendapatkan pahala kecuali atas apa yang ia upayakan adalah keadilan yang Allah tetapkan atas seluruh manusia (من طريق العدل). Kemudian berdasar Keagungan-Nya, Allah menambahkan berbagai karunia-Nya bagi mahluk-Nya (من طريق الفضل).


Kelima, mengutip pendapat salah seorang penafsir Qur’an dari Abad 3 Hijriah, Husain bin Fadhl (w 282 H), bahwa yang dimaksud “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (al-Najm 39)” adalah terkait dengan makna niyat. Bahwa setiap amal tergantung dengan niyat dan seorang manusia tidak akan mendapat kecuali apa yang ia niatkan.(20


Kesimpulan


Arti penting dari berbagai perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan fiqih dalam kajian ini adalah, mengemukakan tentang cara berfikir dalam menetapkan hukum (istinbath). Masing-masing memberikan berbagai gambaran bagi praktik fiqih yang khas dan unik yang dapat diterapkan bagi masyarakat Muslim Indonesia. Memilih dan mengikuti salah satu pendapat tentu dibenarkan, dengan menjauhkan diri dari menyalahkan dan menghujat pendapat lain. Wallahu a’lam bishowwab.


Catatan Kaki

1. Muhammad bin Ahmad al-Dasuqi al-Maliki, Hasiyatu al-Dasuqi ala al-Syarhi al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 1, hlm 423.
2. Ahmad al-Shawi al-Maliki, Hasiyatu al-Shawi ‘ala al-Syarhi al-Shagir, (Beirut: Dar al-Ma’arif, tth), Juz 1, hlm 568
3. Abu Zakariya al-Nawawi al-Syafi’i, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau al-Turats al-‘Arabi, cet ke 2, 1392 H), Juz 7, hlm 90.
4. Abu Zakariya al-Nawawi al-Syafi’i, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 15, hlm 521.
5. Abu al-Fida Isma’il ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Dar Thayibah, cet ke 2, 1420H), Juz 7, hlm 465.
6. Muslim Ibn Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Araby, tth), Juz 3, hlm 1255, hadits no 1631
7. Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Rad al-Muhtar ‘ala al-Dar al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, cet kedua 1442 H), Juz 2 hlm 243
8. Ibid
9. Ibid
10. Abu Bakar al Khalal al-Hanbali, al-Wuquf wa al-tarjil min al-Jami’ li Masa’il al-Imam Ahmad bin Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Juz 1 hlm 85
11. Burhanuddin Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’fi Syarhi al-Muqni’ , (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah cet pertama 1418 H), Juz 2 hlm 282.
12. Ibid
13. Musthafa ibn Sa’ad al-Rahyabani al-Hanbali  (w 1243 H), Mathalibu Uli al-Nuha Fi Syarhi Ghayati al-Muntaha (al-Maktab al-Islami, cet kedua 1415 H), Juz 1, hlm 937.
14. Ibid
15. Syamsuddin al-Ramli al-Syafi’i, Nihayatu al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H), Juz 6, hlm 93.
16. Ahmad Salamah al-Qalyubi & Ahmad al-Burulusi ‘Umairah, Hasiyata Qalyubi wa ‘Umairah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H), Juz 3, hlm 176.
17. Ibid
18. Muslim Ibn Hajaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Araby, tth), Juz 1,  hlm16. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah dalam Mushannifnya, hadits no 12084. Dengan tambahan matan (وَأَنْ تَصَدَّقَ عَنْهُمَا مَعَ صَدَقَتِكَ) dan engkau bershodaqah bagi kedua orangtuamu dengan shodaqahmu.
19. Abu Dawud Sulaiman ibn al-As’ats al-Sijjistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Juz 3, hlm 191, hadits no 3121.
20. Ahmad al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyatu al-Thahthawi ala Maraqi al-Falah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet pertama 1418 H), Juz 1, hlm 622. 

Bersalaman Seusai Shalat Berjama’ah



Sigit Suhandoyo. Bersalam-salaman seusai shalat berjama’ah merupakan salah satu tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia. Biasanya dilakukan seusai sholat dan wirid berjama’ah. Seluruh jama’ah berdiri untuk bersalam-salaman diiringi lantunan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam istilah fiqih bersalaman disebut dengan (المُصَافَحَةُ), dalam bukunya al-Nihayatu Fi Gharib al-Hadits, Ibnu al-Atsir (w 606 H) mengemukakan pengertian (المُصَافَحَةُ) dalam hadits (المُصَافَحَة عِنْدَ اللِّقاء), yaitu:


مُفَاعَلَةٌ مِنْ إِلْصَاقِ صَفْحِ الْكَفِّ بِالْكَفِّ وَإِقْبَال الْوَجْهِ عَلَى الْوَجْهِ.(1) 


Saling menempelkan (menggenggam) telapak tangan dengan telapak tangan serta saling menatapkan wajah. 


Tradisi bersalaman-salaman seusai shalat berjama’ah ini merupakan suatu tradisi yang baik dan memiliki argumen yang kuat dalam agama (dalam hal ini bersalaman dengan yang diperbolehkan, bukan dengan lawan jenis yang diharamkan). Dengan merujuk kepada hadits-hadits Nabi saw, kita akan membahas hal ini dalam 2 bagian.


Pertama, Tradisi dan Keutamaan Bersalaman Tangan


Bersalaman tangan merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh para sahabat Nabi saw, sebagaimana pertanyaan salah satu tabi’in kepada sahabat Nabi saw berikut,

 

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: قُلْتُ لِأَنَسٍ: أَكَانَتِ المُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: «نَعَمْ»(2) 


Artinya, dari Qatadah aku bertanya kepada Anas bin Malik ra, apakah para sahabat Nabi saw saling bersalaman? Anas menjawab, iya.


Selain tradisi para sahabat, bersalaman juga menunjukkah  sempurnanya penghormatan seorang Muslim kepada saudaranya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi (w 279 H), dengan sanad yang menurutnya lemah dari Abu Umamah secara marfu’,


تَمَامُ تَحِيَّتِكُمْ بَيْنَكُمُ المُصَافَحَةُ.(3) 


Kesempurnaan ucapan penghormatan (salam) diantara kalian adalah dengan bersalaman tangan.


Bersalaman tangan juga merupakan amalan mulia yang dapat menghapus kesalahan. Rasulullah saw mengatakan bahwa Allah mengampuni dua orang muslin yang bersalaman tangan. Hal ini dapat dirujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (w 275 H) dari al-Bara,


حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ، وَابْنُ نُمَيْرٍ عَنِ الْأَجْلَحِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ، فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا»(4) 


Artinya, tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu berjabat tangan melainkan keduanya pasti diampuni sebelum mereka berpisah.


Hadits berikutnya tentang keutamaan bersalaman tangan adalah, bahwa hal tersebut pernah dicontohkan oleh para sahabat yang menyalami  dan mencium tangan Nabi saw seusai melaksanakan shalat. Hal ini dapat dirujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (w 256 H) dari Abu Juhaifah 


حَدَّثَنَا الحَسَنُ بْنُ مَنْصُورٍ أَبُو عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ الأَعْوَرُ، بِالْمَصِّيصَةِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الحَكَمِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ، قَالَ: «خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالهَاجِرَةِ إِلَى البَطْحَاءِ، فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ» قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ، عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ، قَالَ: «كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا المَرْأَةُ، وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ المِسْكِ»(5) 


Dari Abu Juhaifah, ia berkata: bahwa Rasulullah saw keluar pada siang hari yang sangat panas menuju Batha, kemudian ia berwudhu, shalat zuhur 2 raka’at dan ashar 2 raka’at dan dihadapan beliau ada tongkat. Syu’bah berkata dan Aun menambahkan periwayatan yang diterima dari ayahnya Abu Juhaifah. Ia berkata para wanita berlalu di belakang tongkat itu, Kemudian orang-orang serentak bangun dan memegang tangan nabi lalu meletakkan tangan Beliau ke wajah mereka. Saya (abu Juhaifah) juga melakukannya. Ternyata tangan beliau lebih sejuk daripada salju dan lebih harum dari minyak misik.


Hadits di atas menceritakan bagaimana Abu Juhafah dan para sahabat bergegas menyalami dan mencium tangan Nabi Muhammad saw, seusai mengerjakan shalat berjama’ah dzuhur dan ashar. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi bersalaman sudah pernah dipraktekkan pada zaman Nabi saw.


Pakar hadits Ibnu Bathal (w 449 H) memberikan penjelasan tentang hadits ini sebagai berikut:


المصافحة حسنة عند عامة العلماء، وقد استحبها مالك بعد كراهة، وهى مما تنبت الود وتؤد المحبة. وقد قال أنس: إن المصافحة كانت فى أصحاب رسول الله، وهم الحجة والقدوة الذين يلزم اتباعهم، وقد ورد فى المصافحة أثار حسان.(6) 


Menurut pendapat umum para ulama, bersalaman tangan merupakan suatu bentuk kebajikan. Imam Malik berpendapat bahwa hal tersebut adalah hal yang disukai, setelah sebelumnya memakruhkan. Bersalaman tangan menumbuhkan persahabatan  dan rasa cinta. Sebagaimana telah dikatakan oleh Anas ra, bahwa para sahabat Rasul saling bersalaman tangan. Perbuatan mereka merupakan argumen, teladan yang harus diikuti. Bersalaman tangan merupakan atsar yang baik.


Kedua, Hukum Bersalaman Seusai Shalat Berjama’ah


Para ulama mazhab fiqih berbeda pendapat tentang hukum bersalaman tangan seusai shalat berjama’ah. Ada yang mengatakannya mustahab (dicintai), ada yang membolehkan, dan ada pula yang melarangnya.


Ibnu Hajar al-Asqalani (w 852 H) dari kalangan ulama Syafi’iyyah menuliskan dalam Fath al-Bari, bahwa Imam al-Nawawi mengutip pendapat Ibnu ‘Abdul Salam bahwa mengkhususkan waktu bersalaman seusai shalat subuh dan ashar merupakan bid’ah yang dibolehkan.(7)  Selanjutnya Ibnu Hajar mengutip pendapat Imam al-Nawawi (w 676 H),


وَأَصْلُ الْمُصَافَحَةِ سُنَّةٌ وَكَوْنُهُمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ لَا يُخْرِجُ ذَلِكَ عَن أصل السّنة.(8) 


Hukum asal jabat tangan adalah sunah, dan kebiasaan mereka melakukannya dalam sebagian kondisi (termasuk seusai sholat) tidak mengeluarkannya dari hukum asalnya (yaitu sunah).


Dari kalangan ulama Hanafiyah, Mula Khasru (w 885 H), menguatkan pendapat bahwa bersalaman tangan seusai shalat tidaklah mengapa dan bahkan hal tersebut adalah mandub (sunah).(9)  


Ulama dari kalangan Hanafiyah lainnya, Ibnu ‘Abidin (w 1252 H) mengemukakan pendapat yang serupa,


أَنَّ الْمُصَافَحَةَ مُسْتَحَبَّةٌ عِنْدَ كُلِّ لِقَاءٍ، وَأَمَّا مَا اعْتَادَهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ، فَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهِ فَإِنَّ أَصْلَ الْمُصَافَحَةِ سُنَّةٌ وَكَوْنُهُمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ.(10) 


Bersalaman tangan merupakan hal yang disukai dilakukan dalam setiap pertemuan. Adapun kebiasaan masyarakat mengkhususkan bersalaman tangan seusai sholat subuh dan ashar, adalah perkara yang tidak ada dasarnya dalam syari’at. Akan tetapi hal tersebut tidak mengapa, karena hukum asal bersalaman tangan adalah sunnah, sehingga mereka menjaga hal tersebut (bersalaman tangan) dalam berbagai keadaan.


Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Ibnu al-Hajj (w 737 H), seorang ulama dari kalangan ulama Malikiyah,


وَمَوْضِعُ الْمُصَافَحَةِ فِي الشَّرْعِ إنَّمَا هُوَ عِنْدَ لِقَاءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ لَا فِي أَدْبَارِ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، وَذَلِكَ كُلُّهُ مِنْ الْبِدَعِ فَحَيْثُ وَضَعَهَا الشَّرْعُ نَضَعُهَا فَيُنْهَى عَنْ ذَلِكَ.(11) 


Berjabat tangan dalam hukum Islam hanya ketika seorang Muslim bertemu saudaranya, bukan setelah shalat 5 waktu berakhir. Dan semua itu dari bid'ah, apapun yang ditetapkan syariah kami menetapkannya, maka dari itu kami melarang hal tersebut dilakukan.


Dari berbagai pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang hukum bersalaman seusai sholat, masing-masing memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Hendaknya sesama Muslim menghargai perbedaan pendapat para ulama tersebut. Meski demikian, menurut kami memilih pendapat mayoritas ulama yang membolehkannya adalah lebih baik. Wallahu a’lam bishowab.


Catatan Kaki

  1. Majiduddin Abu Sa’adat Ibn al-Atsir, al-Nihayatu Fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1979), juz 3,  hlm 43.
  2. Muhammad bin Ismail al-Bukhari, shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thouq al-Najah, cet pertama 1422 H), Juz 8, hlm 59 hadits no 6263.
  3. Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: Penerbit Musthafa al-Baabi al-Halabi, cet kedua 1975), Juz 5, hlm 76, hadits no 2731.
  4. Abu Dawud al-Sijjistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Juz 4, hlm 354, hadits no 5212.
  5. Muhammad bin Ismail al-Bukhari, shahih al-Bukhari, (Riyadh: Dar Thouq al-Najah, cet pertama 1422 H), Juz 4, hlm 188 hadits no 3553
  6. Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, cet kedua 2003), Juz 6, hlm 44
  7. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-ma’rifah, 1379 H), Juz 11, hlm 55.
  8. Ibid.
  9. Mula Khasru, Dhurar al-Hukkam Syarh Ghurar al-Ahkam, (Cairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tth) Juz 1, hlm 318
  10. Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Radd al-Muhtar wa Dar al-mukhtar, (Beirut: Dar al-fikr, cet kedua 1412 H), Juz 6, hlm 381
  11. Ibnu al-Hajj al-Maliki, al-Madkhal li Ibn al-Hajj, (Dar al-turats, tth) Juz 2, hlm 219.

Yasinan Berjama’ah Setiap Malam Jum’at


Sigit Suhandoyo. Yasinan merupakan suatu tradisi dalam Ibadah yang biasa dilakukan oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Biasanya berlangsung setiap malam Jum’at, jama’ah berkumpul di Masjid untuk untuk bersama-sama membaca al-Qur’an surat Yasin. Sebagian komunitas Muslim menilai tradisi ini merupakan suatu bid’ah yang tak dapat dipertanggung-jawabkan. Benarkah tradisi yasinan tidak memiliki dasar dalam syari’at agama? Kajian ringkas ini akan berupaya membahasnya dalam 3 bagian.


Pertama, Keutamaan Membaca al-Qur’an secara berjama’ah


Membaca al-Qur’an merupakan kewajiban pribadi setiap Muslim. Demikian pula membacanya secara berjama’ah, merupakan suatu ibadah yang memiliki keutamaan yang besar. Hal ini dapat dirujuk kepada sebuah hadis dalam shahih Muslim yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra,


وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ,.(1) 


artinya, Tidaklah berkumpul sekelompok orang di sebuah rumah, dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah (al-Qur’an), dan saling mempelajari diantara mereka, kecuali akan turun ketenangan kepada mereka, dilimpahkan rahmat (kasih sayang Allah) dan malaikat menaungi mereka, Serta mereka diingat disisi Allah.


Dalam hadits ini anjuran membaca al-Qur’an bersifat umum, tidak ada pembatasan. Boleh membaca al-Qur’an hingga khatam, boleh juga memilih ayat maupun surat-surat tertentu.


Ketika menjelaskan hadits ini, Imam al-Nawawi menuliskan judul keutamaan berkumpul untuk membaca al-Qur’an dan berdzikir, beliau juga menjelaskan bahwa hadits ini merupakan dalil bagi keutamaan berkumpul di masjid untuk bersama-sama membaca al-Qur’an.(2)  Sedangkan menurut al-Sanadi, tidak hanya di Masjid, melainkan juga disemua tempat yang dibangun dengan tujuan sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala(3) , seperti madrasah, majelis ta’lim dsb.


Kedua, Keutamaan Membaca Surat Yasin di Malam Hari


Membaca surat Yasin memiliki berbagai keutamaan. Terdapat beberapa riwayat tentang keutamaan membaca surat Yasin maupun keutamaan membacanya di waktu malam. 


1. Pahala membaca surat Yasin seperti membaca al-Qur’an 10 kali.


عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْبا، وَإِنَّ قَلْبَ الْقُرْآنِ يس، مَنْ قَرَأَهَا، فَكَأَنَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ عَشْرَ مَرَّاتٍ»(4) 


Artinya, sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, dan hati al-Qur’an adalah surat Yasin, barangsiapa yang membacanya seolah-olah ia telah membaca al-Qur’an sepuluh kali.


2. Allah mengampuni seorang Muslim yang membaca surat Yasin di malam hari.


Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, hadits berikut,

 

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ قَرَأَ يس كُلَّ لَيْلَةٍ غُفِرَ لَهُ.(5) 


Artinya: barang siapa membaca surat Yasin setiap malam, niscaya Allah mengampuninya.


Terdapat pula hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud al-Thayalisi dari Abu Hurairah ra,


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ قَرَأَ: يس فِي لَيْلَةٍ الْتِمَاسَ وَجْهِ اللَّهِ غُفِرَ لَهُ "(6) 


Artinya: barang siapa membaca surat yasin di malam hari dengan mengharap keridhoan Allah niscaya Allah mengampuninya.


Ketiga, Membaca Surat Yasin di Malam Jum’at


Adapun pemilihan surat Yasin untuk dibaca bersama-sama di Masjid setiap malam Jum’at, merupakan sebuah amalan yang juga tak dapat disalahkan. Terkait membaca yasin di malam Jum’at, Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah ra hadits berikut, 


قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ قَرَأَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ حم الدُّخَانَ وَيس أَصْبَحَ مَغْفُورًا لَهُ "(7). 


Artinya: barang siapa membaca dimalam Jum’at hamim al-Dukhan dan surat Yasin maka Allah mengampuninya di pagi hari.


Demikianlah pembahasan tentang Yasinan setiap malam Jum’at, terlepas dari kedudukan beberapa hadits yang lemah, anjuran umum untuk berjama’ah membaca al-Qur’an, diiringi dengan mempelajarinya, memiliki dalil yang kuat. Demikian pula para ulama membolehkan mengamalkan hadits lemah untuk tujuan memotivasi melakukan berbagai amal-amal kebaikan. Wallahu a’lam. 


Catatan Kaki

  1. Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabiy, tth), Juz 4, hlm 2074, hadits no 2699
  2. Abu Zakariya al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabiy, cet kedua 1392 H), Juz 17, hlm 21
  3. Muhammad bin Abdul Hadi al-Sanadi, Kifayatu al-Hajah fi Syarh Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Jiil, tth) Juz 1, hlm 99.
  4. Abu Muhammad al-Darimi, Sunan al-Darimi, (Saudi Arabia: Dar al-Mugni, cet pertama 2000), juz 4, hlm 219 no 3459. Hadits ini Gharib, lihat Mahmud Muhammad Khalil, al-Musnad al-Jami’, (Beirut: Dar al-Jiil,  cet pertama 1993), Juz 2, hlm 261.
  5. Abu Bakar al-Baihaqi, Syuab al-Iman, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, cet pertama 2003), Juz 4, hlm 95, hadits no 2234. Sanadnya shahih, Lihat Muhammad bin Ali al-Syaukani, al-Fawaid al-Majmu’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), hlm 303.
  6. Abu Dawud al-Thayalisi, Musnad Abu Dawud, (Mesir: Dar Hajar, cet pertama 1999), Juz 4, hlm 212, hadits no 2589. Hadits ini lemah lihat Nuruddin al-Haitsami, majma’ al-Zawaid, (Cairo: Maktabah al-Qudsy, 1994), Juz 7, hlm 97.
  7. Abu Bakar al-Baihaqi, op.cit, juz 4, hlm 104, hadits no 2248. Al-Baihaqi menilai riwayat hadits ini lemah.

Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 34-41 (Peristiwa Kebangkitan)


Sigit Suhandoyo. Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan betapa Maha Kuasanya Allah atas segala ciptaan-Nya,  dan bahwa kesemuanya itu menunjukkan pentingnya manusia menyadari bahwa begitu mudah dirinya dibangkitkan kembali, dan dimintai pertanggung-jawaban atas segala yang pernah dilakukannya. Maka dalam kelompok ayat 34-41 ini menjelaskan persitiwa yang terjadi pada hari kebangkitan.

 

فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى (34) يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى (35) وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِمَنْ يَرَى (36) فَأَمَّا مَنْ طَغَى (37) وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (38) فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (39) وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41)


Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).


Malapetaka Besar. Hari kiamat adalah malapetaka  besar, yang mengerikan dan menakutkan yang merampas seluruh perhatian manusia. Hari kiamat merupakan malapetaka besar, yang mengungguli  segala macam malapetaka, ia adalah malapetaka yang tidak terbendung, petaka di atas petaka. Hari ketika manusia dibangkitkan kembali dari kematiannya, untuk kemudian digiring ke surga atau neraka.(1) Dan pada hari itu pula manusia teringat segala hal yang pernah dikerjakannya di dunia, kebaikan maupun keburukan.


Kata (الطَّامَّةُ) berasal dari kata (طمّ) yang berarti segala yang mengisi sesuatu hingga tertutupi. Jika dikatakan (طم الْفرس طميما) adalah seekor kuda yang dengan mudah melampaui lawannya berlari.(2)  Menurut al-Azhari (w 370 H), kata (طمّ) juga berarti (الشَّيْء الّذي يَكثُر حَتَّى يَعْلُو) yaitu sesuatu yang lebih banyak hingga lebih tinggi melampaui. Seperti air bah yang melampaui dan mengalahkan segala sesuatu.(3)


Neraka diperlihatkan. Pada hari kebangkitan, neraka akan diperlihatkan dengan sangat jelas. Ibnu Abbas ra berkata, (يُكْشَفُ عَنْهَا فَيَرَاهَا تَتَلَظَّى كُلُّ ذِي بَصَرٍ) yaitu, neraka dibuka hingga semua orang yang memiliki penglihatan dapat melihamya berkobar-kobar.(4) Pakar Tafsir asy-Sya’rawi mengemukakan bahwa, setiap orang pasti melewati neraka. Melihat berbagai siksa didalamnya dan kemudian Allah selamatkan orang-orang yang bertakwa.(5) Sebagaimana teks surat Maryam ayat 71,


وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (71) ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا (72)

Dan tidak ada seorang pun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang dzalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.


Lebih lanjut asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa dalam hal ini, Orang yang bertakwa mendapat nikmat dua kali: (1). nikmat ketika melihat azab yang dia diselamatkan darinya; dan (2) nikmat melihat surga yang ia akan dimasukkan ke dalamnya.


Karakteristik Penghuni Neraka. Ayat 37 dan 38 surat ini menerangkan bahwa penghuni neraka adalah orang-orang yang melampaui batas dan orang yang lebih mengutamakan kehidupan dunia.


Menurut asy-Sya’rawi, kata (طَغَى) artinya berbuat semena-mena hingga melampaui batas kewajaran. Perbuatan melampaui batas bersumber dari kerusakan akal, hingga zalim, atau bersikap sombong. Lebih lanjut menurut asy-Sya’rawi, Orang yang dapat berbuat zhalim disebabkan 2 hal. Pertama, karena merasa dirinya kuat dan orang lain yang dizhalimi lemah. Kedua, orang tersebut tidak merasa bahwa suatu saat ada kemungkinan dirinya juga akan menjadi lemah.(6) 


Dari keterangan ayat selanjutnya diketahui bahwa orang berlaku sombong juga dikarenakan tidak memiliki rasa takut terhadap Allah ta’ala. 


Neraka juga dihuni oleh orang-orang yang lebih mementingkan kehidupan dunianya, tidak diingatnya lagi bahwa hidup di dunia ini hanyalah buat sementara, lalu hatinya terpaut kepada dunia yang akan ditinggalkan itu, sehingga tersesatlah dia daripada jalan yang benar. (7)


Karakteristik Penghuni Surga. Ayat 40 surat ini menerangkan bahwa penghuni surga adalah orang-orang yang takut kepada kebesaran tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsu.


Pakar tafsir hukum al-Qurthubi, mengemukakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah, terkait dengan Mush’ab bin Umair. Ia menjadikan tubuhnya sebagai tameng bagi Rasulullah SAW pada perang Uhud. Ketika orang-orang sedang kocar-kacir, hingga beberapa anak panah menembus tubuhnya. 


Selanjutnya al-Qurthubi juga mengutip pendapat Ibnu Abbas ra bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang takut kepada Tuhannya adalah “مَنْ خَافَ عِنْدَ الْمَعْصِيَةِ مَقَامَهُ بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ، فَانْتَهَى عَنْهَا” yaitu orang yang takut keberadaannya dihadapan Allah, ketika akan melakukan kemaksiatan, maka dia pun berhenti melakukannya.(8) 


Penggalan ayat ini ditutup dengan  janji Allah akan surga bagi orang-orang yang takut kepada Allah dan menahan hawa nafsunya. Merupakan dorongan bagi manusia untuk berbakti kepada Allah dengan ikhlas, mengutamakan kehidupan akhirat, serta menginsafi diri sebagai mahluk yang tidak berhak memiliki kesombongan. Hasbunallah wa ni’mal wakil.


Catatan Kaki

  1. Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 19, hlm 206
  2. Ibnu Darid, Zamharatu al-Lughah, (Beirut: Dar al’Ilm, cet pertama 1987), Juz 1, hlm 151
  3. Abu Manshur al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, 2001), juz 13, hlm 209.
  4. al-Qurthubi, op.cit, Juz 19, hlm 207.
  5. Mutawalli asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2016), Juz 15, hlm 98
  6. Ibid, hlm 100.
  7. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1989) Juz 10, hlm 7883
  8. al-Qurthubi, Op.cit, Juz 19, hlm 208.

 

Tafsir Surat An-Nazi’at ayat 27-33



Sigit Suhandoyo. Setelah menjelaskan kisah tentang kesombongan Fir'aun, kelompok ayat 27-33 ini menjelaskan beberapa argumentasi tentang kekuasaan Allah atas berbagai mahluk yang diciptakan-Nya. Betapapun adikuasanya manusia, manusia hanyalah ciptaan Allah, tidak mungkin dibandingkan dengan-Nya. Penuturan tentang penciptaan manusia, langit dan bumi, siang dan malam, serta sarana kehidupan bagi manusia, menunjukkan adanya hakikat hukum-hukum Allah yang mengatur dan mengendalikan keserasian fungsi dan keberadaan ciptaan-Nya. Sementara penafsir mengemukakan bahwa kesemuanya itu menunjukkan pentingnya manusia menyadari bahwa begitu mudah dirinya dibangkitkan kembali, dan dimintai pertanggung-jawaban atas segala yang pernah dilakukannya. (tafsir al-Munir 30/44)

   

أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا (27) رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا (28) وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحَاهَا (29) وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا (30) أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا (31) وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا (32) مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ (33)


Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya, Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.


Langit yang Sempurna. Allah ta’ala berfirman, menanyakan dengan tujuan mengecam keingkaran manusia kepada-Nya. Manakah penciptaan yang lebih sulit antara manusia dan langit. Tentu dalam pandangan manusia penciptaan langit adalah jauh lebih sulit. Meski pada hakikatnya semua itu mudah bagi Allah.


Kata (السمك) dari segi bahasa berarti sesuatu yang tinggi dan jauh, dan dapat pula diartikan jarak. Pengertian ini menjadikan sementara ulama memahami kata tersebut sebagai bermakna jarak antara berbagai benda-benda langit. Menurut Shihab, Allah ta’ala menetapkan ukuran yang teliti tentang jarak benda-benda langit yang menjadikan kehidupan di bumi menjadi nyaman.(tafsir al-Misbah 15/44) 


Kemudian Allah ta’ala menyempurnakan penciptaan langit, yang tak ada padanya ketidak serasian, tidak ada kerusakan dan tidak ada kesia-siaan pada fungsinya dan keberadaannya, ((لَا تَفَاوُتَ فِيهِ، وَلَا شُقُوقَ، وَلَا فُطُورَ)). (al-Jami li Ahkam al-Qur’an 19/204).


Pakar tafsir ath-Thobari menambahkan bahwa maksud ayat ke 28 ini adalah,  

فسوّى السماء، فلا شيء أرفع من شيء، ولا شيء أخفض من شيء، ولكن جميعها مستوي الارتفاع والامتداد

Yaitu Allah  membentangkan langit, maka tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dari yang lain dan tidak pula yang lebih rendah dari yang lain, akan tetapi semuanya sama tinggi dan terbentang. (Jami’ al-Bayan 24/206)


Kesamaan dalam hal ketinggian dan terbentang dimungkinkan karena seluruh benda-benda langit itu beredar dan saling mengitari, peristiwa ini yang kemudian menyebabkan terjadinya siang dan malam di bumi.


Ibrah bagi orang-orang yang takut kepada Allah. Sesungguhnya kisah Musa a.s. bersama Fir'aun dan bala tentaranya merupakan pelaiaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran dan nasihat bagi orang yang mau mengambil nasihat. 


Dalam kisah ini dan penderitaan yang diberikan Allah kepada Fir'aun serta terwujudnya kemenangan bagi Musa a.s., terdapat sebuah pelajaran dan nasihat bagi orang yang takut kepada Allah. Di dalam kisah tersebut, terdapat penjelasan siksa yang setimpal serta sebab-sebabnya. Dengan kisah tersebut, jelaslah bagi setiap orang yang berakal pentingnya meninggalkan sifat membangkang perintah Allah SWT dan mendustakan para Nabi-Nya. Demikian juga, harus diketahui bahwa Allah SWT akan senantiasa menolong para Nabi, Rasul dan para pengikut mereka.


Adapun kata (نَكَالَ) pada ayat 25 berasal dari kata (نَكَلَ) yang berarti menghalangi atau mejadikan contoh untuk menakuti orang lain. sebagaimana dikemukakan oleh al-Alusi,

التعذيب الذي ينكل من رآه أو سمعه ويمنعه من تعاطي ما يفضي إليه

Siksaan dinamai demikian karena ia dapat menghalangi siapapun yang melihat ataupun mendengarnya serta mencegahnya untuk mengikuti hal yang menuntun kepada siksa tersebut (ruhul ma’ani 15/231). Wallahu a’lam bisshowab


Daftar Pustaka

  • Zanuddin al-Razi, Mukhtar Ash-Shahah, (Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah, cet kelima, 1999)
  • Ar Raghib al Ashfahani, al Mufradat fi Gharib al Qur’an, (Damaskus: Daar al Qalam, 1412 H),
  • Sa’id Hawwa, al Asas fi Tafsir, (Yordania: Daar as Salam, 1405 H) 
  • Shihabuddin al-Alusi, Ruhul Ma’ani, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet pertama, 1415 H)
  • Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional Singapura, 1989)
  • Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Asy-Sya’rawi, (Medan: Duta Azhar, 2016)


Pengertian Akad dalam Fiqih Islam


Sigit Suhandoyo, Dalam kamus umum bahasa Indonesia, akad memilik arti: perjanjian dan kontrak. Kata akad merupakan kata serapan dari bahasa Arab (الْعَقْدُ). Menurut ar-Razi, kata (عَقَدَ) berarti (الْحَبْلَ وَالْبَيْعَ وَالْعَهْد) yaitu ikatan, jual beli dan perjanjian.(1) 


Dalam al-Qur’an kata akad diantaranya terdapat dalam surat al-Maidah ayat 1, tentang perintah untuk memenuhi akad,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ 

artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.


Menurut Asy-Syaukani kata (الْعُقُودِ) berarti (الْعُهُود) yaitu janji. Asal makna (الْعُقُودِ) adalah (الرُّبُوطُ) yang berarti ikatan. Bentuk tunggalnya adalah (عَقْدٌ). Dalam bahasa Arab jika dikatakan (عَقَدْتُ الْحَبْلَ وَالْعَهْدَ) maka itu berarti aku mengikat tali dan perjanjian. Kata akad dengan demikian dapat digunakan untuk makna material maupun abstrak. Lebih lanjut menurut Asy-Syaukani bahwa yang dimaksud dengan (الْعُقُودِ) memiliki dua pengertian, yang pertama adalah yang diikatkan Allah kepada para hamba-Nya dan hukum-hukum yang ditetapkan kepada mereka. Kedua, adalah akad-akad yang terjadi di antara sesama manusia yang berupa akad-akad mu'amalah.(2) 


Dalam terminology fiqih, pengertian akad terbagi menjadi 2, yaitu umum dan khusus. Wahbah Az-Zuhaili mengemukakan bahwa pengertian akad secara umum adalah:


كل ما عزم المرء على فعله، سواء صدر بإرادة منفردة كالوقف والإبراء والطلاق واليمين، أم احتاج إلى إرادتين في إنشائه كالبيع والإيجار والتوكيل والرهن.(3) 


Yaitu; setiap sesuatu yang ditekadkan oleh seseorang untuk melakukannya, baik muncul dengan kehendak sendiri seperti wakaf, pengguguran hak, talak dan sumpah, maupun yang membutuhkan dua kehendak dalam menciptakannya seperti jual beli, sewa-menyewa, pewakilan, dan gadai.


Adapun pengertian akad secara khusus adalah,

ارتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره في محله(4) 

Yaitu; hubungan antara ijab (pewajiban) dengan qabul (penerimaan) dalam kerangka syariat yang menimbulkan efek terhadap objeknya. 


Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa akad adalah suatu perjanjian yang bersifat mengikat perorangan maupun para pihak yang terlibat didalamnya, atas suatu objek tertentu, untuk meraih kemaslahatan pribadi, kemaslahatan para pihak, dan tujuan syari’at yang bersifat global. 


Catatan Kaki

  1. Zainuddin ar-Razi, Mukhtar Ash-Shohah, (Beirut: Maktabah al-Ashriyah, cet kelima, 1999), Hlm 214
  2. Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Fathul Qadir, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, cet pertama, 1414 H), Juz 2, hlm 6
  3. Wahbah az-Zuhaili, al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), juz 4, hlm 433-434.
  4. Ibid, hlm 434.