Mengeraskan Suara Dzikir Seusai Shalat Berjama’ah




Sigit Suhandoyo. Berdzikir seusai sholat wajib, merupakan salah satu amal ibadah yang utama. Para ulama fiqih bersepakat menghukuminya sebagai sebuah amalan yang dicintai. Namun mereka berbeda pendapat terkait hukum mengeraskan suara dalam berdzikir seusai sholat berjama’ah. Sebagian ulama melarangnya dan sebagian membolehkan mengeraskan suara dalam berdzikir.

 

Pendapat Terkait Keutamaan Menyamarkan Suara Dzikir 


Ibnu Abidin (w 1252 H) dari kalangan Hanafiyah mengemukakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang mengeraskan atau menyamarkan suara dalam berdzikir. Menurutnya para ulama yang berpendapat bahwa menyamarkan suara dalam dzikir lebih utama, berdalil dengan hadits berikut:

عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ.(1) 

Dari Sa’ad bin Malik berkata, Rasulullah saw telah bersabda: sebaik-baik dzikir adalah yang samar.


Lebih lanjut Ibnu Abidin mengemukakan bahwa berdzikir dengan suara keras dikhawatirkan akan menimbulkan riya, mengganggu orang yang sedang shalat di masjid maupun yang sedang tidur.(2) 


Dari ulama kalangan Malikiyah, Ibnu Rusyd al-Jadd (w 520 H) mengemukakan bahwa dilarang berdzikir dengan suara keras di masjid.(3)  Kemudian ia mengemukakan riwayat berikut,

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ، وَمَجَانِينَكُمْ، وَشِرَاءَكُمْ، وَبَيْعَكُمْ، وَخُصُومَاتِكُمْ، وَرَفْعَ أَصْوَاتِكُمْ، وَإِقَامَةَ حُدُودِكُمْ، وَسَلَّ سُيُوفِكُمْ، وَاتَّخِذُوا عَلَى أَبْوَابِهَا الْمَطَاهِرَ، وَجَمِّرُوهَا فِي الْجُمَعِ.(4) 

Dari Watsilah bin al-Asqa’ bahwasanya Nabi saw telah bersabda: jauhkan dari masjid-masjid anak-anak kalian yang masih kecil, orang gila, jual beli, perdebatan, meninggikan suara, pelaksanaan hudud dan menghunuskan pedang, buatlah pada setiap pintunya tempat bersuci dan harumkanlah di setiap hari jum’at.


Masih dari ulama kalangan Malikiyah, al-Nafrawi (w 1126 H) mengemukakan pendapat serupa bahwa menurut imam-imam mazhab kami, mengeraskan suara dalam berdzikir hanya dituntut pada saat hari-hari ‘ied saja.(5) 


Dalam syarhnya atas Shahih Muslim, Imam al-Nawawi (w 676 H) menuliskan sebuah bab tentang Dzikir setelah sholat. Dalam bab itu ia mengutip pendapat Ibnu Bathal (w 449 H) tentang kepakatan para ulama mazhab, bahwa mengeraskan suara dalam dzikir merupakan hal yang tidak disukai.


أَنَّ أَصْحَابَ الْمَذَاهِبِ الْمَتْبُوعَةِ وَغَيْرَهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى عَدَمِ اسْتِحْبَابِ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ وَالتَّكْبِيرِ.(6)

Bahwasanya para pendukung mazhab kami dan yang lainnya bersepakat, bahwa mengeraskan suara dzikir dan takbir merupakan hal yang tidak disukai.


Pendapat Terkait Keutamaan Mengeraskan Suara Dzikir 


Ibnu Abidin al-Hanafi mengemukakan bahwa, para ulama yang berpendapat tentang tuntunan berdzikir dengan suara keras adalah berdasarkan dalil berikut:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ.(7) 

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: Allah Ta’ala berfirman: Dan jika hamba-Ku mengingat-Ku dalam keramaian, Aku mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik dari mereka.


Selanjutnya Ibnu Abidin mengemukakan bahwa, para ulama yang mendukung pendapat berzikir dengan suara keras menyampaikan argumen berikut:


إنَّ الْجَهْرَ أَفْضَلُ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ عَمَلًا وَلِتَعَدِّي فَائِدَتِهِ إلَى السَّامِعِينَ، وَيُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ فَيَجْمَعُ هَمَّهُ إلَى الْفِكْرِ، وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إلَيْهِ، وَيَطْرُدُ النَّوْمَ، وَيَزِيدُ النَّشَاطَ.(8) 

Sesungguhnya mengeraskan suara lebih utama, karena padanya terdapat amal kebaikan yang lebih banyak, memberikan faidah kepada para pendengar, meneguhkan hati orang-orang yang berdzikir, mengumpulkan keinginan mulia melalui fikir, memurnikan pendengaran kepadanya, menggiring orang-orang yang tidur dan meningkatkan kesigapan.


Al-Bahuty (w 1051 H) dari kalangan Hanabilah mengemukakan bahwa, mengeraskan suara dzikir berupa tasbih, tahmid dan takbir seusai sholat lebih disukai.(9)  Kemudian ia mengemukakan riwayat dari Ibnu Abbas ra,

أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَخْبَرَهُ: «أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ، بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ» وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ»(10) 

Dari Ibnu Abbas ra, mengabarkan, “sesungguhnya mengeraskan suara dalam berdzikir, setelah para sahabat melakukan sholat wajib sudah ada sejak masa Nabi Muhammad saw”. Ibnu Abbas berkata: saya mengerahui yang demikian itu dan saya mendengar zikir mereka”


Lebih lanjut al Bahuti mengemukakan, adapun jika berdo’a maka lebih disukai dengan suara yang samar.(11) 


Kesimpulan


Berdzikir dengan menyamarkan maupun mengeraskan suara, merupakan permasalahan yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Oleh karena itu, merupakan hal yang bijaksana bagi masyarakat muslim untuk saling bertoleransi dan mengutamakan kerukunan dan persaudaraan islamiyyah, wallahu a’lam bishowab


Catatan Pustaka

  1. Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, cet pertama 1421 H), Juz 3, hlm 76, hadits no 1477
  2. Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Rad al-Muhtar wa Dar al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-Fikr, cet kedua 1412 H), Juz 1, hlm 660
  3. Ibnu Rusyd al-Maliki, al-Bayan wa al-Tahshil, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, cet kedua 1988), Juz 1, hlm 495.
  4. Ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Ihya, tth), Juz 1, hlm 247, hadits no 750. Hadits ini lemah, lihat majma al-zawaid.
  5. Shihabuddin al-Nafrawi al-Maliki, al-Fawakih al-Diwani, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H), Juz 1, hlm 193.
  6. Abu Zakariya al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Araby, cet kedua 1322 H), hlm juz 5, hlm 84.
  7. Juz 9, hlm 121, hadits no 7405.
  8. Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Op.cit, Juz 1, hlm 660.
  9. Manshur bin Yunus al-Bahuty al-Hanbali, Kasyaf al-Qina, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), Juz 1, hlm 366.
  10. Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dar Thouq al-Najah, cet pertama 1422 H), Juz 1, hlm 168, hadits no 841.
  11. Manshur bin Yunus al-Bahuty al-Hanbali, op.cit, Jus 1, hlm 366.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar