Keteladanan Dalam Da'wah Ilallah 2


Terminologi Keteladanan (al qudwah)

Menurut bahasa al qudwah berarti “الأَصْلُ تَتَشَعَّبُ مِنْهُ الفُرُوعُ”[1] cabang-cabang yang mengikuti pokoknya. Sholih bin Hamid berkata alqudwah adalah “السَيرُ وَالِاتِبَاعُ عَلَى طَرِيقِ الْمُقْتَدِي بِهِ”[2] mengikuti seseorang dalam sebuah perjalanan.

Dengan demikian qudwah dalam da’wah dapat kita artikan keteladanan da’i kepada objek da’wah agar mengikutinya dalam perkara da’wah yang ia serukan.

Menurut Jum’ah Amin, “hikmah ilahiyyah keteladanan dalam da’wah adalah Allah jadikan manusia tidak mengambil ilmu agama melainkan dari mereka yang benar-benar beriman dan menerapkan manhaj Islam dalam diri mereka.[3] 
  
Kecenderungan meniru figur teladan pada diri manusia adalah karena adanya perasaan yang sama dalam kelompok sosialnya serta naluri ketundukan kepada figur utama dalam kelompoknya. Budaya dalam kelompok organisasi adalah cerminan dari hal tersebut.

Semakin sulit situasi yang dihadapi, kondisi-kondisi yang tak bisa diramalkan, resiko-resiko yang menuntut pengorbanan berat akan memunculkan kecenderungan akan  sosok teladan dan panutan. Padahal itulah karakter jalan da’wah ini.

Hamzah Manshur berkata[4], “Sesungguhnya risalah yang agung ini membutuhkan semua kekuatan terbaik dari komitmen untuk kebangkitannya. Kepentingan mulia yang mendesak, jalan yang tidak terukur, jalur sulit pendakian yang banyak. Hal ini akan menumbuhkan keragu-raguan bersikap dan keinginan menarik diri dari aktifitas amal.” Keteladanan adalah pembangkit kekuatan yang letih, semangat yang memudar, dan inspirasi untuk mencari solusi atas permasalahan. 
... bersambung

[1] Ibrahim Musthofa et.al. : Al Mu’jam al Wasith. Turki: al Maktabah al Islamiyyah li at thiba’ah wa annashr wa attauji’. tt, hlm 721.
[2] Shalih bin Hamid: al Qudwah mabadi wa namudaj, Saudi arabia: wizaratu al Auqaf as Su’udiyyah, tt, hlm 5.
[3] Jum’ah Amin Abdul Aziz: Fiqh Da’wah (edisi terjemah), Solo: Intermedia, 1998 M, hlm 209.
[4] Hamzah Manshur : Hakadza ‘Alimtany Da’wah al Ikhwan, 1419 H, hlm 24.

Senandung Para Pejuang 1



لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الحَقِّ ظَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ يَخْذُلُهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
Segolongan orang dari kalangan umatku masih terus menerus “berperang” membela perkara yang benar, orang-orang yang menentang mereka tiada membuat kemudaratan kepadanya hingga datang ketentuan Allah. (sunan at tirmidzi 4/504 hadits ke 2229, )
Kekuatan Iman, Bagi mereka yang mengetahui tujuan utama jalan hidup akan membayar tiketnya berapapun harga yang diminta. Kesulitan menjadi gairah, beban menjadi kehormatan, anugrah menambahi kekuatan dan ujian itu menjadi kemenangan. Manusia macam ini tak takut masuk angin karena mereka terbiasa selamat mengarungi badai. Jika keteguhan komitmen itu berarti perjumpaan dengan kekasih sejati maka untuk apa mencari jalan untuk berpaling.
Sungguh jika kita telah beriman dengan keimanan yang tidak diragukan lagi, tidak ada tuduhan atasnya dan tiada kebutuhan lain bagi jiwa kita selain keimanan itu, niscaya ia akan menjadi rasa dalam amal, tashawur atas akal dan bashirah atas hati. Tenang di atas jalan keselamatan.
Iman itu mengungkapkan rasa manis yang begitu nyata atas amal mereka, kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan hati. Kelezatan hati dalam menunaikan ketaatan dan kesabaran yang indah dalam menahan derita. Manis karena Allah menjadi poros segala cinta di hatinya.
Iman itu menembus batas kemampuan indera lahiriahnya. Adalah kecerdasan yang menembus batas meyakini sesuatu yang abstrak menjadi nyata dan beramal atasnya, meski tak semua itu rasional bagi akalnya. Hakikat atas wujud dan hakikat kekuatan-kekuatan yang bergerak di dalam entitas wujud adalah bukti nyata kelemahan peradaban akal manusia. “orang beriman itu cerdas dan pandai”, karena akal mereka mampu merasionalisasi hakikat di balik realita itu.
Jika bashirah -- bukti yang nyata seakan terlihat -- adalah derajat tertinggi dalam mengungkap dalil iman, maka  Para pemiliknya adalah mereka yang Rasul mulia saw gambarkan, beribadah seakan-akan melihat Allah, surga dan neraka. Dimana perbandingan apa yang diketahui padanya kepada hati adalah sebagaimana benda yang terlihat oleh pandangan mata. Hati itu ”melihat” Allah, surga dan neraka sebagaimana pandangan mata mereka melihat benda lahiriah. Sungguh pengungkapan dalil iman yang tak terbantahkan.
Seorang mukmin itu pejuang yang ahli ibadah atau ahli ibadah yang pejuang, janganlah sekali-kali engkau hanya menjadi salah satu dari keduanya. “الْمُؤْمِنُ هو الُمَتَحَامِلُ وَالمُؤْمِنُ هُوَ الْمُتَقَوِّى وَالمُؤْمِنُ هُوَ الْمُتَشَدِّدُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنِينَ هُمُ الْعَجَاجُونَ اِلَى اللهِ اللَّيْلَ وَالنَّهَارِ” mukmin itu penjaga amanah, mukmin itu kuat, mukmin itu berkemauan keras, dan sesungguhnya mereka senantiasa mesra dalam memohon kepada Allah siang dan malam. (Qatadah)
Nenek moyang kami adalah darah dan air mata
Darah itu kami tanam pada tiap jengkal kemuliaan tanah kelahiran
Air mata itu kami bentang di atas sajadah takut, harap dan cinta.
Duhai Sang Pemilik semua jalan kembali, ijinkan kami meraih kemenangan dan gugur di jalan itu

...bersambung

Memahami Makna Jihad Dalam Islam



Pengertian Jihad
Secara bahasa jihad berasal dari kata “الجَهْدُ” yang bermakna “الْمَشَقَّةُ” kesulitan dan kesukaran, juga “الجُهْدُ” yang bermakna “الطَّاقَةُ” kemampuan menahan derita.[1] Juhdu juga bermakna “طلب حَتَّى وصل إِلَى الْغَايَة وَبلغ الْمَشَقَّة” menuntut sesuatu hingga menembus batas kesulitan untuk mendapatkan yang diinginkan.[2] Ibnul Atsir mengatakan “المُبَالَغة واسْتِفْراغ مَا فِي الوُسْع والطَّاقة مِنْ قَوْلٍ أَوْ فعْل” berlebih-lebihan dan mengeksploitasi semua kemampuan dari perkataan dan perbuatan.[3] Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pengertian jihad secara bahasa adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghadapi seluruh rintangan kesulitan guna meraih tujuan.

Ibnu Taimiyyah mendefinisikan istilah jihad secara menyeluruh dengan pengertian sebagai berikut “الجهاد إما أن يكون بالقلب كالعزم عليه، أو بالدعوة إلى الإسلام و شرائعه، أو بإقمة الحجة على المبطل، أو ببيان الحق و إزالة الشبهة، أو بالرأي و التدبير فيما فيه نفع المسلمين، أو بالقتال بنفسه. فيجب الجهاد بغاية ما يمكنه” Adapun Jihad dengan hati adalah bertekad kuat untuk berjihad, menda’wahkan Islam dan syari’atnya, menegakkan kebenaran atas orang yang berbuat kebatilan, menjelaskan kebenaran dan menghapus syubhat, dengan pemikiran dan perencanaan yang bermanfaat bagi ummat Islam maupun dengan memerangi jiwanya sendiri. Jihad adalah wajib dengan tujuan sebagaimana yang memungkinkannya.[4]

Adapun penggunaan kalimat jihad dalam istilah fiqh adalah “بَذْلُ الْجَهْدِ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ أَوْ الْبُغَاةِ” berjuang dengan mengerahkan seluruh kemampuan dalam memerangi orang kafir dan pemberontak[5]. Alauddin as Samarqandy berkata jihad adalah “الدُّعَاء إِلَى الدّين الْحَقِّ وَالقِتَالِ مَعَ مَنِ امْتَنَعَ عَنِ الْقبُولِ بِالْمَالِ وَالنَّفْسِ” seruan kepada agama yang benar dan berperang termasuk kepada mereka yang menghindarkan diri dari menerima seruan itu dengan harta dan jiwa.[6] Demikian pula pendapat Al Kasani “يُسْتَعْمَلُ فِي بَذْلِ الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ بِالْقِتَالِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِالنَّفْسِ وَالْمَالِ وَاللِّسَانِ” mengerahkan seluruh potensi dalam berperang dijalan Allah azza wa jalla dengan jiwa, harta dan lisan.[7]  Abdurrahman Abdul Khaliq mendefinisikan jihad adalah “المبالغة واستفراغ الوسع والطاقة في الحرب أو اللسان أو أي جهد يثمر إعلاء كلمة الله سبحانه وتعالى وإعزاز دينه‏” berusaha keras dan mencurahkan seluruh kemampuan dan kekuatan baik dalam perang, berbicara dengan lisan maupun usaha lainnya dalam rangka menegakkan kalimat Allah ta’ala dan memuliakan agamanya.[8]

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa jihad terbagi dalam tiga kategori. Pertama, berbentuk informasi, hujjah dan argumentasi. Kedua berbentuk pendidikan dan pelatihan. Terakhir memerangi orang-orang yang memusuhi agama Allah dengan berbagai metode.

Pensyari’atan Jihad (Perang)
Sesungguhnya prinsip hidup bersama yang diserukan oleh agama Islam adalah as salam (perdamaian). Islam mencintai kehidupan dan membebaskan manusia dari rasa takut dan mengarahkan kehidupan kepada keluhuran dan kemajuan.

Dengan demikian sebenarnya perang tidak dikenal dalam Islam, kecuali dalam dua kondisi darurat yaitu,[9]

Pertama “الدفاع عن النفس، والعرض، والمال، والوطن عند الاعتداء” mempertahankan diri, nama baik, harta dan tanah air ketika diserang musuh. Dari Sa’ad bin Zaid bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda,
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
“siapa yang gugur mempertahankan hartanya ia syahid, siapa yang gugur mempertahankan jiwanya ia syahid, siapa yang gugur membela agamanya ia syahid dan siapa yang gugur membela keluarganya ia juga syahid.”[10]

Kedua, “الدفاع عن الدعوة إلى الله إذا وقف أحد في سبيلها. بتعذيب من آمن بها، أو بصد من أراد الدخول فيها، أو بمنع الداعي من تبليغها” mempertahankan da’wah ilallah. Jika ada yang menghentikan da’wah ini dengan menyiksa orang-orang yang seharusnya keamanannya terjamin, atau merintangi mereka yang ingin memeluk ajaran Allah. Atau melarang dengan kekerasan juru da’wah menyampaikan ajaran Allah. Allah ta’ala berfirman dalam surat an Nisa ayat 90,
فإن اعتزلوكم فلم يقاتلوكم وألقوا إليكم السلم، فما جعل الله لكم عليهم سبيلا
... Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak memerangimu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan kepadamu untuk memerangi mereka.

Da’wah Sebelum Jihad
Da’wah ke jalan Allah ta’ala merupakan kewajiban yang paling pokok untuk meraih kemenangan dan kemuliaan ummat, karena melalui da’wah lah proses menghimpun dan menyatukan ummat dimulai. Dengan demikian jika syarat-syarat perang terpenuhi secara syari’at maka masih ada kewajiban yang harus ditunaikan sebelum perang yaitu da’wah. Jika da’wah itu berhasil maka perang dibatalkan.

Para ulama sepakat tentang wajibnya jihad melalui da’wah sebelum perang fisik. Imam as sarakhsi berkata,[11]
ولو قاتلهم المسلمون قبل الدعوة أثموا للنهي، ولا يضمن المسلمون شيئا مما أتلفوه من الدماء و الأموال, و هذا لعدم العاصم و هو الدين، أو الإخراز بالدار
“seandainya orang-orang Islam memerangi mereka (kafir) sebelum sampai da’wah kepada mereka maka itu adalah kesalahan dan dosa yang dilarang, kemudian orang-orang Islam tidak menjamin akibat perbuatan mereka atas kebinasaan dari darah dan harta dikarenakan tidak adanya perlindungan yaitu agama dan negara bagi mereka.

Demikian pula pendapat al mawardi tentang wajibnya da’wah sebelum jihad,
وَأَنْ نَبْدَأَهُمْ بِالْقَتْلِ قَبْلَ إظْهَارِ دَعْوَةِ الْإِسْلَامِ لَهُمْ، وَإِعْلَامِهِمْ مِنْ مُعْجِزَاتِ النُّبُوَّةِ وَإِظْهَارِ الْحُجَّةِ بِمَا يَقُودُهُمْ إلَى الْإِجَابَةِ
Terlarang bagi kita untuk memulai perang sebelum menampakkan da’wah dan memberitahukan mereka mukjizat kenabian serta mengemukakan argumentasi yang memungkinkan mereka menerimanya.[12]

Reaktualisasi Jihad
Meskipun tidak dalam kondisi wajibnya perang kewajiban jihad perang tentu saja tidak gugur. Hadits berikut mengajarkan kita untuk senantiasa bertekad dan bersiap siaga berperang jika memang diperlukan untuk membela tanah air. Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ، مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
Siapa yang mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan berjihad, ia mati dalam salah satu cabang sifat munafik.[13]

Hadits ini adalah dalil yang mewajibkan senantiasa bertekad kuat untuk berjihad. Dan hal tersebut bukanlah sebuah mimpi melainkan terealisasi dalam langkah-langkah yang nyata.

Mempersiapkan Perbekalan
Allah ta’ala berfirman dalam surat al Anfaal ayat 60,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَع  ْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ....
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka ke-kuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan itu) kamu menggentarkan mu-suh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.

Izzuddin bin Abdus Salam[14] mengartikan persiapan berupa kekuatan itu adalah “السلاح، أو التظافر واتفاق الكلمة، أو الثقة بالله - تعالى - والرغبة إليه، أو الرمي مروي أو ذكور الخيل” persenjataan, kesatuan ummat, tsiqah kepada Allah ta’ala serta rindu dan berharap kepada-Nya, memanah dan kuda perang.

Melatih Diri & Melakukan Spesialisasi
Allah ta’ala berfirman dalam surat an Nisa ayat 71
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا
Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!

Ayat ini adalah perintah atas seluruh ummat Islam untuk menjadi pejuang Islam, oleh karena itu sunnah bagi mereka untuk berlatih berenang, berkuda (kendaraan) dan memanah. Langkah selanjutnya adalah melakukan spesialisasi dalam setiap bidang dari ilmu perang.

Dari Uqbah bin Amir al Juhani bahwa Rasulullah saw bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ الرَّمْيَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَقَدْ عَصَانِي
Barangsiapa yang berlatih memanah kemudian ia meninggalkannya maka ia telah berbuat dosa.[15]

Senantiasa Menegakkan Kebenaran
Dari Tsauban ra,  Rasulullah saw pernah bersabda:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الحَقِّ ظَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ يَخْذُلُهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
Segolongan orang dari kalangan umatku masih terus menerus “berperang” dalam rangka membela perkara yang benar, orang-orang yang menentang mereka tiada membuat kemudaratan kepadanya hingga datang ketentuan Allah.[16]

Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
Allah menyinari orang yang telah mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya dengan baik dan menyampaikannya kepada orang lain persis seperti apa yang didengarnya, maka betapa banyak orang yang menyampaikan itu lebih mengerti dari pada orang yang mendengar saja.[17]

Sesungguhnya berbagai macam permasalahan bangsa merupakan tanggung jawab bersama untuk menuntaskannya, kemiskinan, pengangguran, kerusakan moral, generasi penerus memerlukan jihad dari kita. Permasalahan semacam ini membutuhkan keahlian dan kerja keras. Masih banyak penghalang yang menghadang dan tidak akan sanggup ditembus kecuali dengan anugrah Allah dan usaha optimal dalam setiap aspeknya.
Hasbunallah wa ni'mal wakil
sigit suhandoyo

Catatan Pustaka
[1] Ibnu Mandzhur : Lisan al arab, Beirut: Daar as Shadar, 1414H, jilid 3, hlm 133.
[2] Ibrahim Musthofa et.al. : Al Mu’jam al Wasith. Turki: al Maktabah al Islamiyyah li at thiba’ah wa annashr wa attauji’, tt, jilid 1, hlm 142.
[3] Ibnul Atsir: An Nihayatu fi Gharib al Hadits wal Atsar, Beirut : Maktabah al Ilmiyah, 1399 H, Jilid 1, hlm 369.
[4] Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh al Bahuty dalam Kasyaf al Qana’ ‘an Matan al Iqna’, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, tt, jilid 3, hlm 36.
[5] Muhammad bin Ismail Ash Shon’any: Subulus Salam, Daar al Hadits, tt, Jilid 2, hlm 459.
[6] Alauddin as Samarqandy : Tuhfatu al Fuqaha, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1414 H, jilid 3, hlm 293.
[7] Abu Bakar al Kasani: Bada’i as Shona’i fi Tartibi as Sara’i, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyyah, 1406 H, Jilid 7, hlm 97.
[8] Abdurrahman Abdul Khaliq: Fushulun min as Siyasati Syari’ati fi Da’wati Ilallah, Kuwait : Daar al Qolam, 1405 H, hlm 6.
[9] Sayyid Sabiq : Fiqh Sunnah, Beirut : Daar al Kitab al ‘Araby, 1397 H, jilid 2, hlm 613.
[10] Muhammad bin Isa at Tirmidzi : Sunan at Tirmidzi, Mesir: Syirkatu Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al baby al halby, 1395 H, Jilid 4, hlm 30, hadits ke 1421. Menurut Muhammad Nashirudin al Albani hadits ini shahih.
[11] As Sarakhsi : al Mabsuth, Beirut: Daar al Ma’rifah, 1414H, Jilid 10, hlm 30.
[12] Imam al Mawardi : Ahkam as sulthoniyah, Qahirah: Daar al Hadits, tt, hlm 72.
[13] Muslim bin Hajjaj : Shahih Muslim, Beirut: Daar ihya at Turats al Araby, tt, jilid 3, hlm 1517.
[14] Izzuddin bin Abdus Salam : Tafsir al Qur’an, Beirut : Daar Ibnu Hazm, 1416H, jilid 1, hlm 542.
[15] Ibnu Majah : Sunan Ibnu Majah, Daar Ihya al Kutub al Arabiyah, Jilid 2, hlm 940. Shahih menurut Muhammad Nashirudin al Albany.
[16] Sunan at tirmidzi, jilid 4, hlm 504. Hadits ke 2229. Shahih menurut Muhammad Nashirudin al Albani.
[17] Ibid, jilid 5, hlm 34. Hadits ke 2567, Shahih menurut Muhammad Nashirudin al Albany.

Keteladanan Dalam Da'wah Ilallah 1



Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? ( QS 2:44)

Adalah mereka generasi yang mati rasa hatinya, ketika nash-nash menjadi tanaman yang tidak berakar, nista diperjual belikan. Dalam redupnya lilin itu terbakar oleh api yang dibuatnya sendiri.

“وَصَفْتَ التُّقَى حَتَّى كَأَنَّكَ ذُو تُقًى ... وَرِيحُ الْخَطَايَا مِنْ ثيابك تسطع”[1] Engkau menjelaskan ketaqwaan seakan-akan engkaulah pemiliknya, sementara aroma dosa-dosa terpancar terang dari pakaianmu.

para pendusta, pemilik lidah tak bertulang itu bahkan mengatakan dengan lidah mereka sesuatu yang tak ada dihati mereka, dusta. Dan kehancuran bagi mereka ketika para pendusta agama itu mengkorupsi begitu banyak ruang wilayah kepemimpinan sosial.

Sementara itu tak nanti seorang muslim itu pendusta, tak ada dalam literatur seorang muslim berdusta! Wajib hukumnya setiap muslim beramal sholeh dan wajib pula bagi mereka menda’wahkannya. Sebaliknya wajib bagi setiap muslim menyampaikan dari Rasul-Nya walaupun 1 ayat yang dimilikinya, wajib pula mengamalkan 1 ayat yang di da’wahkannya.

Sa’id bin Zubair ra, berkata “لَوْ كَانَ الْمَرْءُ لَا يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ حتى لا يكون فيه شي، ما أمر أَحَدٌ بِمَعْرُوفٍ وَلَا نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ”[2] seandainya seseorang tidak menyuruh berbuat ma’ruf dan melarang melakukan kemungkaran agar dia tidak dicela, tentu tidak seorangpun yang akan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Ibnu Katsir berkata, “فَكُلٌّ مِنَ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَفِعْلِهِ وَاجِبٌ، لَا يَسْقُطُ أَحَدُهُمَا بِتَرْكِ الْآخَرِ”[3] Melakukan amar ma’ruf dan perbuatan ma’ruf hukumnya wajib, masing-masing dari keduanya tidak gugur karena tidak melakukan yang lainnya.

Sa’id Hawwa berkata, “Wajib setiap muslim berda’wah, wajib pula bagi mereka agar tidak melalaikan dirinya sendiri.”[4]

Itulah rahasia keberhasilan da’wah, nilai-nilai itu harus tegak pada diri da’i sebelum tegak pada mad’u. Sia-sialah seruan da’i tentang zuhud terhadap kehidupan dunia, sedang dunia memenuhi segenap hatinya, menyelimuti gaya hidupnya dan mengorienta-si cara berfikirnya tentang ukuran kemuliaan bagi seorang manusia.

Terbaik dari para penyeru adalah mereka yang memadukan kata dan perbuatan, memadukan amal dan keyakinan, membuktikan kebenaran imannya dengan jihad dan pengorbanan “مَنْ ذَكَّرَكُمُ اللَّهَ رُؤْيَتُهُ وَزَادَ فِي عَمَلِكُمْ مَنْطِقُهُ وَذَكَّرَكُمْ بِالآخِرَةِ عَمَلُهُ”[5]  melihatnya menjadikanmu mengingat Allah, ucapannya meningkatkan amalmu dan amalnya membuatmu merindui akhirat.

... bersambung

[1] Syair Abu al Atahiyah, sebagaimana dikutip al Qurthubi dalam al jami’ li ahkam al qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, jilid 1, hlm 366.
[2] Sa’id Hawwa : al Asas fi Tafsir, Yordania: Daar as Salaam, 1985 M, jilid 1, hlm 129.
[3] Imaduddin ibn Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar thayyibah li annashr wa attauzi’, 1420 H, jilid 1, hlm247.
[4] Al Asas fi Tafsir, hlm 129.
[5] Hadits dari Ibnu Abbas ra. Sebagaimana tercantum dalam Musnad Abi Ya’la al Musholli, Damaskus: Daar al Ma’mun li atturats, 1404 H, jilid 4, hlm 326, hadits ke 2437. Menurut Husain Salim Asad hadits ini layyin.