Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? ( QS 2:44)
Adalah mereka generasi yang mati rasa hatinya, ketika nash-nash menjadi tanaman yang tidak berakar, nista diperjual belikan. Dalam redupnya lilin itu terbakar oleh api yang dibuatnya sendiri.
“وَصَفْتَ التُّقَى حَتَّى كَأَنَّكَ ذُو تُقًى ... وَرِيحُ الْخَطَايَا مِنْ ثيابك تسطع”[1] Engkau menjelaskan ketaqwaan seakan-akan engkaulah pemiliknya, sementara aroma dosa-dosa terpancar terang dari pakaianmu.
para pendusta, pemilik lidah tak bertulang itu bahkan mengatakan dengan lidah mereka sesuatu yang tak ada dihati mereka, dusta. Dan kehancuran bagi mereka ketika para pendusta agama itu mengkorupsi begitu banyak ruang wilayah kepemimpinan sosial.
Sementara itu tak nanti seorang muslim itu pendusta, tak ada dalam literatur seorang muslim berdusta! Wajib hukumnya setiap muslim beramal sholeh dan wajib pula bagi mereka menda’wahkannya. Sebaliknya wajib bagi setiap muslim menyampaikan dari Rasul-Nya walaupun 1 ayat yang dimilikinya, wajib pula mengamalkan 1 ayat yang di da’wahkannya.
Sa’id bin Zubair ra, berkata “لَوْ كَانَ الْمَرْءُ لَا يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ حتى لا يكون فيه شي، ما أمر أَحَدٌ بِمَعْرُوفٍ وَلَا نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ”[2] seandainya seseorang tidak menyuruh berbuat ma’ruf dan melarang melakukan kemungkaran agar dia tidak dicela, tentu tidak seorangpun yang akan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Ibnu Katsir berkata, “فَكُلٌّ مِنَ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَفِعْلِهِ وَاجِبٌ، لَا يَسْقُطُ أَحَدُهُمَا بِتَرْكِ الْآخَرِ”[3] Melakukan amar ma’ruf dan perbuatan ma’ruf hukumnya wajib, masing-masing dari keduanya tidak gugur karena tidak melakukan yang lainnya.
Sa’id Hawwa berkata, “Wajib setiap muslim berda’wah, wajib pula bagi mereka agar tidak melalaikan dirinya sendiri.”[4]
Itulah rahasia keberhasilan da’wah, nilai-nilai itu harus tegak pada diri da’i sebelum tegak pada mad’u. Sia-sialah seruan da’i tentang zuhud terhadap kehidupan dunia, sedang dunia memenuhi segenap hatinya, menyelimuti gaya hidupnya dan mengorienta-si cara berfikirnya tentang ukuran kemuliaan bagi seorang manusia.
Terbaik dari para penyeru adalah mereka yang memadukan kata dan perbuatan, memadukan amal dan keyakinan, membuktikan kebenaran imannya dengan jihad dan pengorbanan “مَنْ ذَكَّرَكُمُ اللَّهَ رُؤْيَتُهُ وَزَادَ فِي عَمَلِكُمْ مَنْطِقُهُ وَذَكَّرَكُمْ بِالآخِرَةِ عَمَلُهُ”[5] melihatnya menjadikanmu mengingat Allah, ucapannya meningkatkan amalmu dan amalnya membuatmu merindui akhirat.
... bersambung
[1] Syair Abu al Atahiyah, sebagaimana dikutip al Qurthubi dalam al jami’ li ahkam al qur’an, Qahirah: Daar al Kutub al Mishriyah, 1384 H, jilid 1, hlm 366.
[2] Sa’id Hawwa : al Asas fi Tafsir, Yordania: Daar as Salaam, 1985 M, jilid 1, hlm 129.
[3] Imaduddin ibn Katsir: Tafsir al Qur’an al Adzhim, Daar thayyibah li annashr wa attauzi’, 1420 H, jilid 1, hlm247.
[4] Al Asas fi Tafsir, hlm 129.
[5] Hadits dari Ibnu Abbas ra. Sebagaimana tercantum dalam Musnad Abi Ya’la al Musholli, Damaskus: Daar al Ma’mun li atturats, 1404 H, jilid 4, hlm 326, hadits ke 2437. Menurut Husain Salim Asad hadits ini layyin.