Bidadari Dalam Kajian Penafsir Al-Qur'an


Sigit Suhandoyo. Pendahuluan. Kajian seputar kehidupan akhirat merupakan hal yang menarik, karena menghadirkan dogma keagamaan dalam wilayah ilmiah manusia. Kehidupan akhirat merupakan tempat pembalasan, tempat keadilan kepada seluruh makhluk akan ditegakkan. Keyakinan akan adanya kehidupan akhirat adalah faktor koheren dengan semangat beragama dan ketahanan dalam menempuh segala ujian kehidupan dengan baik. Kehidupan beragama yang baik diyakini merupakan jalan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.


Ayat-ayat al-Qur’an yang menuturkan gagasan tentang hari akhir, biasanya menuturkan pula kondisi orang-orang yang beruntung karena nikmat, serta kondisi orang-orang yang celaka karena siksa yang didapat. Interpretasi para penafsir tentang ayat-ayat yang menjelaskan kenikmatan surga inilah yang menyebabkan dialektika dalam tataran empiris manusia. Kalangan feminis menilai bahwa interpretasi para penafsir al-Qur’an dipengaruhi oleh gender. Para penafsir al-Qur’an yang didominasi oleh kaum laki-laki itu, mengakibatkan bias patriarki dalam penafsiran ayat-ayat yang terkait teks bidadari.


Menurut kalangan feminis, dalam topik mengenai bidadari, para penafsir al-Qur’an klasik tidak memasukkan perempuan sebagai subjek yang berhak memperoleh nikmat surga sebagaimana laki-laki. Padahal, perempuan masuk sebagai subjek untuk ayat-ayat keimanan, amal salih, dan ganjaran surga. Sayangnya kenyataan tersebut tidak berimbas kepada balasan di akhirat, berupa pelayan dan pendamping (bidadari) bagi para mukminah. Dalam perspektif inilah, kalangan feminis menawarkan gagasan rekonstruksi pemahaman tafsir. Bahwa perempuan sebagai subjek ayat, tidak hanya terhenti pada perintah keimanan saja, tetapi juga terus sampai pada deskripsi balasan di surga. Bahwa surga juga menjadi tempat perempuan memperoleh segala kenikmatan yang paripurna, yaitu termasuk mendapat pasangan hidup (bidadari) di surga. (1)


Kekeliruan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an tentang bidadari ini, menurut kalangan feminis, menyebabkan wanita dalam posisi lemah, rendah, serta kurang dalam berbagai bidang dibanding kaum laki-laki. Hal itu jelas bertentangan dengan tujuan yang ada di dalam al-Qur’an, yang mengajak seluruh umat manusia untuk berlomba-lomba meraih sejumlah prinsip-prinsip kemanusiaan; keadilan, persamaan, keharmonisan, tanggung-jawab moral, kesadaran spiritual, dan perkembangan, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.


Namun adanya gagasan kalangan feminis dengan melakukan rekonstruksi pemahaman tafsir klasik yang dianggap otorier, perlu dicermati dengan mendalam. Alih-alih dengan argumen melakukan rekonstruksi terhadap penafsiran al-Qur’an, yang terjadi justru memaksakan pemahaman terhadap makna al-Qur’an, yang justru berdampak menodai kesuciannya. Atas dasar pemikiran tersebut, makalah ringkas ini disusun sebagai upaya melakukan kajian terhadap makna bidadari dalam al-Qur’an dengan melakukan pendekatan pustaka terhadap interpretasi para penafsir al-Qur’an.

Teks Ayat Tentang Bidadari dalam al-Qur’an


Dalam al-Quran, Bidadari diungkapkan dengan kata (حُوْر) yang disandingkan dengan kata (عِين), sehingga berarti bidadari bermata jeli. kata ini disebutkan pada 3 tempat yaitu pada surat al-Dukhan (44) ayat 54, surat al-Thur (52) ayat 20, dan surat al-Waqi‘ah (56) ayat 22, sedangkan 1 kata lainnya disandingkan dengan kata (مَقْصُورَاتٌ), yang berarti bidadari jelita. Yaitu pada surat al-Rahman (55) ayat 72. 


Bidadari juga diungkapkan dengan kata (أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ) atau istri-istri yang suci. Kata ini disebutkan sebanyak 4 kali, yaitu pada surat al-Baqarah (2) ayat 25, surat Ali Imran (3) ayat 15, surat al-Nisa’ (4) ayat 57, surat Yasin (36) ayat 56.


Pemaknaan bidadari juga ditunjukkan dengan (قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ) kata kiasan yang berarti perempuan yang mencinta hanya kepada suaminya. Kata ini disebutkan pada surat al-Shaffat (37) ayat 48, Shaad (38) ayat 52 dan al-Rahman (55) ayat 56.


Terakhir pemaknaan bidadari ditunjukkan pula dengan kata (كَوَاعِبَ) pada surat al-Naba (78) ayat 33. Yang secara tekstual berarti gadis-gadis remaja.



Bidadari Bermata Jeli


Salah satu penafsir dari kalangan tabi’in, Mujahid bin Jabr (w 104 H), mengatakan (وَالْحُورُ الَّتِي يُحَارُ فِيهَا الطَّرْفُ)(2)  bahwa dinamakan bidadari (حُورُ) karena membuat panas (يُحَارُ) mata yang memandangnya, karena keindahannya. 


Mahaguru tafsir al-Thobari mengemukakan bahwa kata (حُورٌ) atau bidadari adalah wanita wanita yang putih bersih. Kata (حُورٌ) merupakan bentuk jamak, adapun bentuk tunggalnya adalah (حوراء) haura.(3)  Pendapat semacam ini didukung pula oleh al-Qurthubi, menurutnya kata (الحُورٌ) berarti (الْبِيضُ) yang berarti putih. Bentuk tunggalnya adalah (حوراء) yang berarti (الْبَيْضَاءُ الَّتِي يُرَى سَاقُهَا مِنْ وَرَاءِ ثِيَابِهَا)(4)  yaitu wanita putih yang betisnya terlihat dari balik pakaiannya. Menurutnya lagi, adapula pendapat yang mengatakan bahwa bidadari disebut hūr karena hawarnya mata mereka. Hawar adalah kontrasnya warna putih dari warna hitam pada mata.(5) 


Menurut al-Zuhailiy, bidadari adalah (نساء بيض حسان واسعات الأعين)(6)  yaitu perempuan-perempuan yang putih bersih dan bermata lebar. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Mujahid yang mengatakan bahwa (حُورٌ عِينٌ) adalah (سَوْدَاءَ الْحَدَقَةِ، عَظِيمَةَ الْعَيْنِ)(7)  yaitu biji mata yang hitam dan mata yang besar. Adapula yang mengartikannya dengan mata yang sipit.(8)  


Berdasarkan makna-makna kebahasaan yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa makhluk yang menjadi pendamping orang-orang beriman disurga, adalah makhluk yang kalau kita terjemahkan secara lahiriyah merupakan wanita berparas cantik, berkulit putih dan jelita, dengan mata yang kontras antara warna hitam dan putih pada matanya. Dengan ukuran mata yang besar atau sipit, dan memandangnya membuat mata terpesona. 


Demikian sempurnanya penggambaran lahiriyah tentang sosok bidadari, sehingga ‘Abd al-Rahman al-Sa’di mengemukakan,

نساء جميلات من جمالهن وحسنهن أنه يحار الطرف في حسنهن وينبهر العقل بجمالهن وينخلب اللب لكمالهن(9)  


Bidadari adalah wanita cantik, yang karena keelokannya memikat mata yang memandang, membuat kagum akal dan mengikat hati karena kesempurnaannya.


Pengertian secara kebahasaan tentang bidadari dapat pula diartikan secara maknawi. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Ibnu al-Qayyim yang mengatakan bahwa bidadari adalah wanita yang terhimpun padanya sifat-sifat baik dan elok yang tampak pada matanya.(10)  Dengan demikian bidadari adalah wanita yang suci, matanya sipit karena terbatas dari memandang mahluk lain, dan menjadi lebar dan terbuka memberi perhatian penuh pada pasangannya. Memandangnya menentramkan hati, karena tampak pada matanya kebaikan budi pekerti.


Bidadari yang Terpelihara


Selain disifati dengan keelokan paras dan kemuliaan pekertinya, para penafsir al-Qur’an juga mendeskripsikan bidadari sebagai wanita yang terpelihara pandangannya, dan dijaga pula dari pandangan maupun sentuhan mahluk lain.


Pakar tafsir al-Zuhaili mengemukakan bahwa makna kata (حُورٌ مَقْصُورَاتٌ) adalah bidadari yang dipingit (dijaga) di dalam rumah-rumah surga, tidak berkeliaran di jalanan.(11)  Pemeliharaan bidadari dalam rumah-rumah surga itu menjadikan dirinya terjaga dari pandangan dan sentuhan mahluk selain pasangannya.(12)  Selain pengertian tersebut, Mahaguru tafsir al-Thabari menambahkan bahwa (حُورٌ مَقْصُورَاتٌ), juga memiliki arti (قُصِر طرفهنّ وأنفسهنّ على أزواجهنّ) menjaga cinta dan jiwa hanya untuk pasangannya.(13) 


Adapun menurut shihab kata (مَقْصُورَاتٌ) dapat juga berarti terpelihara dengan baik, tidak keluar masuk dari satu tempat ke tempat lain secara tidak wajar, dan dengan demikian dia benar-benar hanya milik pasangannya. Atau dapat juga diartikan bidadari itu terlayani dengan baik, sehingga tidak perlu berpayah-payah keluar rumah mencari nafkah atau mengurus apapun, karena segalanya telah diatur dan dipersiapkan.(14) 


Interpretasi para penafsir yang dikemukakan diatas, menggambarkan bidadari sebagai mahluk yang suci, terpelihara dalam rumah-rumah dan terpenuhi kebutuhannya. Terjaga dirinya dari pandangan mahluk lain dan menjaga dirinya dari mencintai selain pasangannya.


Istri-Istri yang Suci


Dalam surat al-Baqarah ayat 25, teks yang digunakan untuk menunjukkan arti bidari adalah (أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ) yaitu istri-istri yang suci. 


Adapun arti kata (مُطَهَّرَةٌ) menurut Ibnu Katsir adalah, suci dari kotoran dan najis. Kata ini juga bisa diartikan dengan suci dari haid, buang air, meludah dan memiliki keturunan. Selain itu muthoharah juga berarti bebas dari tugas pekerjaan.(15)  


Terkait pengertian tersebut, Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir ra bahwasanya Nabi saw bersabda,

إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَأْكُلُونَ فِيهَا وَيَشْرَبُونَ، وَلَا يَتْفُلُونَ وَلَا يَبُولُونَ وَلَا يَتَغَوَّطُونَ وَلَا يَمْتَخِطُونَ» قَالُوا: فَمَا بَالُ الطَّعَامِ؟ قَالَ: «جُشَاءٌ وَرَشْحٌ كَرَشْحِ الْمِسْكِ، يُلْهَمُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ، كَمَا تُلْهَمُونَ النَّفَسَ(16) 


Para penghuni surga makan dan minum di dalamnya, tetapi mereka tidak meludah dan tidak buang air dan tidak beringus. Para sahabat bertanya, Lantas bagaimana dengan makanan yang mereka telan itu? Beliau menjawab, Mereka hanya berserdawa dan berkeringat seperti resapan minyak misk. Mereka terilhami untuk bertasbih dan bertahmid seperti kalian terilhami untuk bernafas.


Gadis-Gadis yang Sebaya


Pensifatan terakhir tentang bidadari yang dikaji dalam makalah ini adalah, bidadari tercipta dalam bentuk gadis-gadis yang sebaya. Sebagaimana teks surat al-Naba ayat 33, (وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا). 


Menurut al-Qurthubi, kata (كَوَاعِبَ) adalah bentuk jamak, kata tunggalnya adalah (كَاعِبٍ) yang berarti (النَّاهِدُ) yaitu gadis remaja. Sedangkan kata (أَتْرَابًا) berarti sebaya.(17)  Jika merujuk kepada pendapat Hamka, maka usia bidadari adalah gadis remaja yang baru tumbuh daya tarik fisiknya.(18) 


Menambahkan kajian di atas, Shihab mengemukakan bahwa Kata (أَتْرَابًا) adalah bentuk jamak dari kata (ترب) tirb yakni sebaya. Kata ini pada umumnya hanya digunakan terhadap wanita yang sebaya. Sementara ulama berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata tara’ib yakni tulang rusuk karena ia terdiri dari banyak tulang yang serupa. Atau dari kata turab yang berarti tanah, karena seseorang yang lahir, dia lahir di tanah tumpah darahnya. Seakan-akan mereka semua lahir pada saat yang sama.(19) 


Wanita Mukminah atau Bidadari 


Para penafsir al-Qur’an berbeda pendapat terkait, kedudukan siapakah yang lebih mulia di surga. Apakah wanita mukminah atau bidadari. Pakar tafsir al-Qurthubi mengemukakan beberapa pendapat, yang bertentangan dan tidak memilih pendapat yang menurutnya lebih kuat. Adapun pendapat yang mengemukakan bahwa wanita mukminah lebih utama, dikutipnya dari Hibban bahwa wanita dunia yang masuk surga lebih utama dari bidadari, karena amal soleh mereka di dunia.(20)  


Pendapat ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Thabarani dari Umu Salamah ra yang bertanya kepada Nabi saw. 


يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنِسَاءُ الدُّنْيَا أَفْضَلُ أَمُ الْحُورُ الْعِينُ؟ قَالَ: «بَلْ نِسَاءُ الدُّنْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْحُورِ الْعَيْنِ كَفَضْلِ الظَّهَارَةِ عَلَى الْبِطَانَةِ» . قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَبِمَ ذَاكَ؟ قَالَ: «بِصَلَاتِهِنَّ وَصِيَامِهِنَّ وَعِبَادِتِهِنَّ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ...(21)  


Wahai Rasulullah, apakah wanita dunia (yang masuk surga) lebih utama atau bidadari? Rasulullah menjawab: Wanita dunia lebih utama dari bidadari seperti keutamaan lapisan atas permadani dari lapisan bawahnya. Aku bertanya lagi, Mengapa bisa begitu? Beliau menjawab: Berkat shalat, puasa, dan ibadah mereka kepada Allah Azza wa jalla.


Pakar tafsir al-Zuhaili juga memilih pendapat yang mengemukakan bahwa wanita beriman didunia yang masuk surga jauh lebih utama dari bidadari.(22) 


Wildan al-Mukhaladun; Pasangan Wanita Beriman di Surga?


Dalam al-Qur’an terdapat teks wildān al-mukhaladūn, yang berarti anak-anak muda yang tetap muda. Apakah teks ini dimaksudkan untuk menjelaskan pasangan yang Allah tetapkan bagi para wanita beriman di surga? Teks ini tertera pada dua tempat dalam al-Qur’an yaitu surat al-Waqi’ah ayat 17 dan surat al-Insan ayat 19.

 

يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُخَلَّدُونَ

Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda,


وَيَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُخَلَّدُونَ إِذَا رَأَيْتَهُمْ حَسِبْتَهُمْ لُؤْلُؤًا مَنْثُورًا

Dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila kamu melihat mereka kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan.


Para penafsir al-Qur’an memberikan ragam pendapat tentang makna wildān al-mukhaladūn. Sementara penafsir menyebutkannya sebagai para pelayan yang senantiasa muda, yang melayani para penghuni surga dengan cekatan. Mereka membedakannya dengan bidadari sebagai pasangan orang beriman.


Berbeda dengan pendapat di atas, dalam tafsir al-Azhar Buya Hamka menuturkan bahwa yang dimaksud dengan wildān al-mukhaladūn adalah pasangan bagi para wanita beriman yang ketika di dunianya belum menikah. Tugasnya sebagai pelayan melingkupi makna pasangan bagi wanita beriman. Adapun ketiadaan penyebutan sifat dan karakteristik fisiknya dalam al-Qur’an, menurut Buya Hamka adalah karena pemuliaan al-Quran terhadap para wanita, agar tetap terjaga harga dirinya.(23)  

Pasangan Wanita Beriman di Surga


Para ulama tafsir tidak membahas secara terperinci tentang pasangan bagi wanita beriman di surga, yang semasa hidupnya di dunia belum menikah. Dikemukakan secara samar oleh pakar tafsir hukum al-Qurthubi tentang adanya pasangan bagi wanita beriman di surga. Ketika menafsirkan ayat 25 surat al-baqarah, (وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ) yang berarti dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci. Menurutnya kata (أَزْوَاجٌ) lebih tepat diartikan pasangan-pasangan, karena (أَزْوَاجٌ) adalah bentuk jamak dari kata (زَوْجٍ), dan (وَالْمَرْأَةُ، زَوْجُ الرَّجُلِ. وَالرَّجُلُ، زَوْجُ الْمَرْأَةِ)(24)  seorang perempuan adalah (زَوْجٍ) pasangan/istri bagi seorang laki-laki. Seorang laki-laki adalah (زَوْجٍ) pasangan/suami bagi seorang perempuan. Sehingga secara kebahasaan kata zauj menunjukkan makna pasangan bagi laki-laki maupun pasangan bagi perempuan. Lebih lanjut al-Qurthubi mengutip pendapat pakar susatera al-Asma’i yang mengemukakan bahwa orang Arab hampir tidak pernah menggunakan kata zaujah untuk menunjukkan istri.(25)  Kata ini lebih tepat berarti pasangan. Meski demikian al-Qurthubi tidak memberikan pembahasan yang lebih terperinci tentang sifat atau karakteristik pasangan bagi wanita beriman di surga.


Sebagaimana al-Qurthubi, Shihab juga melakukan pembahasan secara kebahasan tentang kata (حُورُ) yang sering diartikan bidadari. Menurutnya kata “hur” yang berjenis feminin adalah bentuk jamak dari kata (حَوْرَاء) haura yang berjenis maskulin.(26)  Dengan demikian menurut Shihab kata “hur” atau bidadari tidak hanya menunjukkan kepada jenis wanita melainkan juga jenis laki-laki. Namun sebagaimana halnya al-Qurthubi, Shihab juga tidak melakukan pengkajian lebih lanjut tentang karakter pasangan bagi wanita beriman di surga.


Bidadari Keghaiban yang Tersembunyi


Sebagaimana halnya surga, bidadari adalah sesuatu yang ghaib yang disampaikan oleh Allah kepada manusia. Kajian terhadap penggambaran sifat-sifat balasan bagi kebaikan manusia diakhirat, berupa surga, bidadari, dan semacamnya, mengembalikan kepada manusia hal-hal yang mendasar tentangnya,


فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (17)

Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.


Ayat ini menunjukkan bahwa penggambaran yang dijelaskan Allah ta’ala -tentang surga dan termasuk bidadari- kepada manusia, sesungguhnya manusia tidak akan dapat memahami yang sesungguhnya. Sebagaimana dikemukakan oleh al-Sya’rawi, Tidak ada lafaz dalam bahasa manusia untuk menyebutkan makna-makna yang terdapat di dalam surga, oleh sebab itu Allah memberikan ilustrasi atau contoh atau permisalan atau perumpamaan dari nikmat dunia untuk menjelaskan sebagian dari arti surga yang sebenarnya.(27) 


Manusia terbatas pengetahuannya pada apa yang dapat dijangkau oleh akal, pancaindra, serta imajinasinya yang terbentuk dari gabungan hal-hal yang pernah terjangkau oleh indranya. Sedangkan surga adalah sesuatu yang belum terjangkau oleh manusia. Dengan demikian termasuk halnya bidadari/ pasangan bagi orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan di surga. Bahwa keterbatasan manusia mengetahui hakikat yang sesungguhnya tentang balasan kenikmatan yang Allah berikan kelak, selayaknya menempatkan akal manusia untuk menghindari pemaksaan dalam hal menafsirkan ayat-ayat Allah. Demikian pula menundukkan nafsu manusia untuk tunduk dan berserah kepada kehendak Allah. wallahu a’lam bishowwab. Hasbunallah wa ni’mal wakil. Sigit Suhandoyo


Catatan Kaki

  1. Amina Wadud, Wanita dalam al-Qur’an, terjemah oleh Yaziar Radianti, (Bandung: Pustidaka), hlm 126
  2. Mujahid bin Jabr, Tafsir Mujahid, (Mesir: Dar al-Fikr, 1989), Hlm 598
  3. Abu Ja’far al-Thabari, Jāmi’ al-Bayān Fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasatu al-risalah, 1420 H), jilid 22, hlm 55
  4. Syamsu al-dīn al-Quthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet ke 2, 1964), Jilid 16, hlm 152.
  5. Ibid.
  6. Wahbah Musthafa al-Zuhaylī, al-Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet ke 2, 1418 H), Juz 25, hlm 239.
  7. Mujahid bin Jabr, ibid, 599.
  8. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid 13, hlm 25.
  9. Abd al-Rahman al-Sa’di, Taisir al-karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, (Beirut: Muasasah al-risalah, 2000), hlm 774.
  10. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Tafsir al-Qayim, (Beirut: Dar al-Hilal, 1410 H), hlm 473
  11. Wahbah Musthafa al-Zuhaylī, op.cit, Juz 27, hlm 233.
  12. Syamsu al-dīn al-Quthubī, op.cit, Jilid 17, hlm 189.
  13. Abu Ja’far al-Thabari, op,cit, jilid 23, hlm 76.
  14. M. Quraish Shihab, op.cit, Jilid 13, hlm 536
  15. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Mesir: Dar Thayibah, 1999), Jilid 1, hlm 203.
  16. Muslim bin al Hajjaj Abul Hasan al Qusyairi an Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut : Daar Ihya al-Turats al-Arabiy, tth), Jilid 4, hlm 2180, hadits no 2835.
  17. Syamsu al-dīn al-Quthubī, op.cit, Jilid 19, hlm 183.
  18. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, 1989), Juz 10, hlm 7864.
  19. M. Quraish Shihab, op.cit, Jilid 15, Hlm 21.
  20. Syamsu al-dīn al-Quthubī, op.cit, Jilid 17, hlm 190.
  21. Abu al-Qasim al-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, (Cairo: Maktabah Ibn Taimiyah, 1994), Juz 23, hlm 367, hadits no 870.
  22. Wahbah Musthafa al-Zuhaylī, op.cit, Juz 1, hlm 107
  23. Buya Hamka, op.cit, Juz 9, hlm 7122-7123, lihat juga Juz 10, hlm 7801.
  24. Syamsu al-dīn al-Quthubī, op.cit, Jilid 1, hlm 240.
  25. Ibid.
  26. M. Quraish Shihab, op.cit, Jilid 13, Hlm 25.
  27. Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, (Kairo: Akhbar al-Yaum, tth), Vol 30, hlm 54. 


Da’i dan Kompetensi Moral


Sigit Suhandoyo. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap Muslim yang mukallaf adalah pelaku da’wah “dā’ī” yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada umat manusia. Meskipun pada saat yang sama bisa saja berpredikat sebagai mitra dakwah. Secara khusus, orang yang seharusnya berperan lebih intensif sebagai dā’ī adalah mereka yang memang mempunyai keahlian ataupun memang secara sengaja mengkonsentrasikan dirinya dalam tugas mempelajari serta mengajarkan ajaran agama Islam untuk disampaikan kepada orang lain sehingga ilmu dan ajaran agamanya tersebut dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku obyek dakwah tersebut.


Da’wah dan dā’ī merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tanpa dā’ī tidak akan ada kegiatan da’wah Islam. Da’wah memerlukan para da’i yang memiliki kompetensi moral “akhlaq” yang unggul karena mereka adalah para pendidik dan pembangun generasi. Akhlaq merupakan unsur yang sangat penting bagi keberhasilan da’wah. Penerimaan mad’u terhadap nilai-nilai da’wah terkait erat keselarasan dan kesesuaian akhlaq sang da’i terhadap da’wahnya. Semakin sesuai pengamalan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sang da’i maka akan semakin memudahkan mad’u mengikuti seruan da’wah. Oleh karenanya naskah ini akan membahas tentang pengertian dā’ī dan kompetensi moral yang idealnya dimiliki oleh para penyeru ke jalan Allah.

PENGERTIAN DĀ’Ī


Menurut al-Wurī, dā’ī adalah, “من يمارس الدعوة إلى الله على الدوام” (1) orang yang senantiasa mengusung da’wah kepada Allah. Tidak hanya sebagai sebuah bentuk aktifitas menyampaikan semata, dā’ī juga menyerukan kepada janji setia “bai’at” kepada sebuah agama.(2)  Sebagai sebuah agama yang paripurna mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, maka seruan kepada “bai’at” berarti, janji setia untuk menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan. 


Dā’ī dengan demikian merupakan penyeru ke jalan Allah, pengibar panji-panji Islam dan pejuang yang mengupayakan terwujudnya sistem Islam dalam realitas kehidupan ummat manusia.(3)  Secara profesional dā’ī melakukan tugas-tugas dakwah bukan saja dalam bentuk ceramah atau khutbah semata, melainkan juga menerapkan sistem Islam dalam kehidupan manusia.(4)  Pengertian-pengertian semacam ini sebagaimana pendapat al-Bayānūnī. Menurutnya dā’ī adalah, “المبلّغُ للإسلام، و المعلّم له، و السّاعي إلى تطبيقه”(5)  yaitu orang yang menyampaikan dan mengajarkan Islam serta bekerja dalam upaya menerapkannya dalam kehidupan. Demikian pula menurut Jum’ah Amin, dā’ī adalah orang yang berusaha untuk mengajak manusia melalui perkataan dan perbuatannya kepada Islam, menerapkan manhajnya, memeluk aqidahnya dan melaksanakan syari’atnya.(6)  Ahmad ‘Īsāwī mendefinisikan bahwa da’i adalah,


الإنسان المؤهل روحيا، و وجدانيا و عقليا، و جسديا للإضطلاع بمهمة التبليغ و الدعوة لرسالة الله تعالى إلى الأفراد و المجتمعات و الأمم بقصد حملهم طواعية على اتباع تعاليمة، و العمل على ما جاءت به من: عقائد و تصورات و عبادات و معاملات و أخلاق و آداب.(7) 

Ragam pengertian tentang dā’ī tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa dā’ī selain penceramah agama, juga merupakan pendidik masyarakat. Selain itu dā’ī juga pembina masyarakat, melalui gagasan, tingkah laku, keteladanan serta kepemimpinannya menyebabkan tersampaikan dan teraplikasikannya Islam dalam kehidupan manusia. 


KOMPETENSI MORAL DĀ’Ī


Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memilih nabi Muhammad saw, mendidiknya dengan sebaik-baik pendidikan hingga beliau memiliki Akhlaq yang agung. Sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah ra, “كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآن”(8)  bahwasanya akhlaq Nabi adalah al-Qur’an. Tak dapat dipungkiri bahwa dā’ī yang berakhlaq sesuai dengan apa yang dida’wahkannya, tershibgah dengan apa yang didakwahkannya, akan membantu bagi keberhasilan da’wahnya. Berikut ini akhlaq-akhlaq utama yang idealnya dimiliki oleh para dā’ī;


Ikhlas


Wajib bagi para dā’ī untuk menghiasi dirinya dengan keikhlasan. Da’wah adalah seruan kepada Allah, bukan kepada golongan tertentu, bukan pula bagi kepentingan dā’ī itu sendiri. Allah ta’ala hanya mewajibkan setiap muslim mukallaf untuk berda’wah. Adapun hidayah adalah merupakan hak Allah. Hal ini menjelaskan urgensi keikhlasan dalam da’wah. Para dā’ī harus senantiasa melakukan segala aktifitasnya karena Allah dan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. 


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Yusuf 108,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".”


As-Sa’dy mengemukakan bahwa jalan da’wah merupakan jalan yang menyeru kepada Allah ta’ala. Jalan da’wah ini menghimpun ilmu dan amal yang benar serta keikhlasan karena Allah ta’ala. Jalan da’wah ini mengumpulkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, menumbuhkan rasa cinta kepada-Nya serta rasa takut untuk menjauhkan diri dari Allah.(9) 


Musthafa Masyhur bahkan mengemukakan bahwa tujuan da’wah adalah semata-mata karena Allah. Segala kepentingan lain selain Allah dalam da’wah adalah bentuk penyimpangan da’wah. Allah menghendaki segala amal itu ikhlas karena-Nya.(10)  Menurutnya lagi bahwa sifat riya, lupa diri, sombong, ego-sentris dan gila popularitas merupakan pembusukan terhadap da’wah. Oleh karenanya penting bagi para da’i untuk senantiasa memperhatikan niatnya dalam berda’wah agar tidak rusak amalnya. Hasan al-Bashri mengatakan,

لا يَزَالُ العَبْدُ بِخَيْرٍ ما عَلِمَ الذي يُفْسِدُ عليهِ عَمَلهُ.(11) 

“Seorang hamba akan selalu berada dalam kebaikan, selama ia mengetahui hal-hal yang akan merusak amalnya.”


Selain bukan untuk kepentingan pribadi, da’wah juga bukan untuk kepentingan golongan tertentu. Da’wah bukanlah seruan kepada sebuah kelompok, organisasi ataupun partai politik tertentu. Kelompok, organisasi maupun partai politik idealnya hanyalah merupakan sarana semata dan bukan tujuan. Para da’i adalah mereka yang menyeru hanya kepada Allah semata, bukan untuk tujuan-tujuan yang parsial. Kebenaran adalah milik Allah, bukan klaim sekelompok orang tertentu seraya mendeskreditkan kelompok lain. Ibnu Hajar mengutip perkataan an-Nawawi ketika mensyarah hadits tentang kelompok ummat yang senantiasa dalam kebenaran(12)  adalah untuk senantiasa saling melengkapi, menguatkan dan memenuhi kebutuhan seluruh ummat dengan segala bidangnya, dan bukan untuk saling merasa benar sendiri.


هَذِهِ الطَّائِفَةُ فِرْقَةً مِنْ أَنْوَاعِ الْمُؤْمِنِينَ مِمَّنْ يُقِيمُ أَمْرَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ مُجَاهِدٍ وَفَقِيهٍ وَمُحَدِّثٍ وَزَاهِدٍ وَآمِرٍ بِالْمَعْرُوفِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الْخَيْرِ وَلَا يَلْزَمُ اجْتِمَاعُهُمْ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ.(13)  

Kelompok ini merupakan kelompok dari berbagai bagian kaum mukminin yang melaksanakan perintah Allah, dari kalangan para pejuang, ahli fiqih, ahli hadits, ahli zuhud dan orang-orang memerintahkan yang ma’ruf dan berbagai kebaikan lainnya. Mereka tidak harus berhimpun di satu tempat yang sama.


Sabar


Sabar merupakan sikap hidup dibutuhkan manusia terutama para da’i. Dalam usuran agama dan dunia, sabar sangat diperlukan para da’i ketika menunaikan perintah da’wah. Ia memerlukan sabar bagi dirinya sendiri dan sabar dalam menghadapi mitra da’wahnya. Secara pribadi seorang da’i harus senantiasa bersabar dalam menjalankan kewajibannya, melawan hawa nafsunya. Sedangkan dalam hubungannya dengan mitra da’wahnya ia harus bersabar dalam mendidik dan membina mereka. Seorang da’i juga dituntut untuk sabar menghadapi gangguan orang-orang yang memusuhi da’wah. Dalam surat al-Mudatsir Allah ta’ala mengiringi perintah da’wah dengan perintah bersabar,


يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3) وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5) وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ (6) وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ (7)

Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.


Pakar tafsir al-Maragi mengemukakan bahwa kesabaran yang dimaksud dalam ayat ini melingkupi dua hal, sabar dalam menta’ati dan beribadah kepada Allah serta sabar dalam permusuhan dan penolakan terhadap da’wah.(14)  Perintah bersabar dalam ayat ini adalah wasiat bagi para da’i, sabar adalah persenjataan utama dalam medan pertempuran yang berat. Sayyid Quthb mengatakan, da’wah adalah medan pertempuran dengan musuh ganda, melawan penyakit hati dan syahwat pribadi serta penolakan terhadap da’wah. Pertempuran da’wah merupakan pertempuran panjang yang membutuhkan kesabaran prima.(15) 


Secara bahasa sabar berarti menahan, sebagaimana firman Allah swt, dalam surat al-Kahfi 28,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا


“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”


al-Maragi mengemukakan bahwa ayat ini merupakan perintah untuk bersabar. Dalam artian menahan, menetapkan diri dan menghabiskan waktu bersama orang-orang yang menyeru kepada Allah dengan mengharap keridhoan-Nya.(16)  Perintah sabar dalam berda’wah juga terdapat pada surat al-Ahqaf ayat 35. Allah mengaitkan kesabaran dengan sifat tergesa-gesa ”isti’jal”.


فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.”


Kesabaran dan larangan tergesa-gesa merupakan keniscayaan bagi jalan da’wah. Karena janji Allah adalah sesuatu yang pasti, maka para da’i hendaklah bersabar dan tidak tergesa-gesa menginginkan perubahan prilaku secara instan pada mitra da’wahnya. Dalam ayat ini ketergesa-gesaan merupakan gambaran putus asanya seorang da’i atas hasil da’wahnya hingga meminta disegerakan azab bagi mereka. Menurut Sayyid Muhammad Nuh, isti’jal dalam perspektif da’wah berarti sikap ketergesaan untuk mengubah kondisi kehidupan ummat Islam dalam waktu sekejap. Tanpa memperhatikan akibatnya, tanpa menghiraukan situasi dan kondisi dan tanpa persiapan yang matang metode dan sarananya.(17)  


Dari kajian ayat-ayat di atas dapat dikatakan bahwa sabar dalam da’wah adalah menertibkan diri untuk senantiasa berada di jalan da’wah bersama-sama orang-orang yang menyeru ke jalan Allah, serta menahan diri dari perbuatan dan perkataan mitra da’wah. Tidak tergesa-gesa dalam menilai keberhasilan maupun kegagalan dalam da’wah. Termasuk dalam kesabaran adalah menahan diri dari fitnah orang-orang yang memusuhi da’wah. Sabar untuk tidak membalas keburukan dengan keburukan. Sabar untuk tidak berhenti berda’wah ketika jenuh. Sabar untuk tidak putus asa ketika belum menuai keberhasilan.

Shidiq


Shidq adalah kejujuran dan kebenaran. Shidiq merupakan kesesuaian antara apa yang diniatkan dengan apa yang diucapkan dan dikerjakan. Akhlaq ini merupakan akhlaq yang penting bagi da’i, karena seharusnyalah da’i menjadi teladan bagi mitra da’wahnya. Dalam al-Qur’an surat al Baqarah ayat 44, Allah subhanahu wa ta’ala mensifati Bani Israil dengan ketidak-jujuran mereka,


أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”


Menjelaskan ayat ini, pakar tafsir hukum al-Qurthubi mengutip sya’ir abu al-athiyah,

“وَصَفْتَ التُّقَى حَتَّى كَأَنَّكَ ذُو تُقًى ... وَرِيحُ الْخَطَايَا مِنْ ثيابك تَسْطَعَ”.(18)  

Engkau menjelaskan ketaqwaan seakan-akan engkaulah pemiliknya, sementara aroma dosa-dosa terpancar terang dari pakaianmu.


Sementara itu dalam literatur seorang mukmin, tak mungkin ia berdusta. Kata Nabi, “bukanlah golongan kami mereka yang berdusta”.(19)  Wajib hukumnya setiap muslim beramal sholeh dan wajib pula bagi mereka menda’wahkannya. Sebaliknya wajib bagi setiap muslim menyampaikan dari Rasul-Nya walaupun 1 ayat yang dimilikinya, wajib pula mengamalkan 1 ayat yang di da’wahkannya. 


Dalam ayat ini Allah mengecam mereka yang melalaikan diri sendiri dengan da’wahnya, bukan mengecam mereka yang berda’wah. Kecaman tersebut adalah wujud kasih sayang Allah agar para juru da’wah selamat sebagaimana keselamatan yang diperoleh mitra da’wahnya. Sa’id bin Zubair ra, berkata, “لَوْ كَانَ الْمَرْءُ لَا يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ حتى لا يكون فيه شي، ما أمر أَحَدٌ بِمَعْرُوفٍ وَلَا نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ”(20)  seandainya seseorang tidak menyuruh berbuat ma’ruf dan melarang melakukan kemungkaran agar dia tidak dikecam (karena melalaikan diri sendiri), tentu tak seorangpun yang akan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.


Ibnu Katsir berkata, “فَكُلٌّ مِنَ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَفِعْلِهِ وَاجِبٌ، لَا يَسْقُطُ أَحَدُهُمَا بِتَرْكِ الْآخَرِ”(21)  Melakukan amar ma’ruf dan perbuatan ma’ruf hukumnya wajib, masing-masing dari keduanya tidak gugur karena tidak melakukan yang lainnya. 


Sa’id Hawwa berkata, “Wajib setiap muslim berda’wah, wajib pula bagi mereka agar tidak melalaikan dirinya sendiri.”(22)  Itulah rahasia keberhasilan da’wah, nilai-nilai itu harus tegak pada diri da’i sebelum tegak pada mad’u. Sia-sialah seruan da’i tentang zuhud terhadap kehidupan dunia, sedang dunia memenuhi segenap hatinya, menyelimuti gaya hidupnya dan mengorientasi cara berfikirnya tentang ukuran kemuliaan bagi seorang manusia. 


Terbaik dari para penyeru adalah mereka yang memadukan kata dan perbuatan, memadukan amal dan keyakinan, membuktikan kebenaran imannya dengan jihad dan pengorbanan “مَنْ ذَكَّرَكُمُ اللَّهَ رُؤْيَتُهُ وَزَادَ فِي عَمَلِكُمْ مَنْطِقُهُ وَذَكَّرَكُمْ بِالآخِرَةِ عَمَلُهُ”(23)  melihatnya menjadikanmu mengingat Allah, ucapannya meningkatkan amalmu dan amalnya membuatmu merindui akhirat.


Da’wah seharusnya lahir dari kebersihan hati seorang da’i, menginginkan kebaikan bagi ummat, ia bukan ambisi dan nafsu pribadi. Perbuatan da’i sesuai dengan jalan lurus yang digariskan. Gaya hidupnya merupakan aktualisasi perkataannya, yang terlihat darinya adalah cerminan hatinya. Jika ia mengajak kepada sesuatu ia berkomitmen dengan hal itu. Jika ia melarang sesuatu ia berkomitmen pula untuk meninggalkan hal tersebut. Da’i semacam ini meninggalkan jejak kebaikan bagi diri dan sesamanya.


نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ، فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.(24)  

“Allah menyinari orang yang telah mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya dengan baik dan menyampaikannya kepada orang lain persis seperti apa yang didengarnya, maka betapa banyak orang yang menyampaikan itu lebih mengerti dari pada orang yang mendengar saja.


Cinta dan Kasih Sayang


Seorang da’i wajib mengetahui bahwa risalah Islam adalah risalah kasih sayang yang dengan hal itu pula Rasulullah saw diutus,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (al-anbiya 107)


Demikian pula bagi para da’i, hendaknya berkasih sayang dengan mitra da’wahnya. Allah ta’ala berfirman dalam surat ali Imran 159,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ


Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.


Dalam ayat ini terdapat sejumlah prinsip besar dalam ungkapan yang singkat. Akhlaq Nabi yang mulia, pengasih dan lemah lembut merupakan rahmat ilahiyyah bagi manusia sebagai mitra da’wahnya. Menurut Sayyid Quthb kasih sayang merupakan karakter yang harus dimiliki para da’i guna menyatukan hati mitra da’wahnya. Demikian pula bermusyawarah adalah dasar atas penggerakan dan pengorganisasian masyarakat untuk mencapai kebaikan bersama.(25) 


Menurut Jum’ah Amin, termasuk keburukan seorang da’i terhadap dirinya sendiri adalah apabila ia memberat-beratkan manusia. Seakan ia melihat mereka dengan penglihatan yang hina, hingga seakan-akan ia mengatakan kepada manusia, “kalian adalah orang-orang yang fasik dalam amal kalian, kafir dalam I’tiqad serta ahli bid’ah dengan segala kebiasaan kalian.(26)  Da’i yang demikian ini pada hakikatnya bukan sedang berda’wah menyatukan ummat Islam dalam kebaikan, melainkan ia dengan sengaja memecah belah persatuan ummat. Membuat manusia lari dari da’wah, menjadikan kesulitan dalam berislam, serta menanamkan kebencian. 


Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda,

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا، وَلاَ تُنَفِّرُوا.(27) 

“permudahlah dan jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat jera”

Menurut an-Nawawi bahwa yang dimaksud mempermudah dalam hadits adalah pentahapan “tadarruj” dalam pembebanan. Sedangkan kabar gembira adalah berita tentang luasnya karunia dan kasih sayang Allah kepada seluruh makhluqnya.(28)  Bagi mitra da’wah pentahapan dalam pemberian beban adalah bentuk kasih sayang. Sebagaimana Allah ta’ala mentahapkan pengharaman khamr. Demikian pula Ahli maksiat yang berharap kasih sayang dan ampunan Allah, ia memerlukan pertaubatan dan menjalankan ajaran Islam sedikit demi sedikit.


Demikianlah diantara sifat cinta kasih Allah ta’ala, Ia jaga hamba-Nya agar terhindar bermaksiat, hingga hamba itu menjadi dekat kepada-Nya. Ibnu Abi Hatim bahkan mengatakan makna asma-Nya Gafur dan Rahim adalah, “غَفُورٌ لِمَا كَانَ مِنْهُمْ قَبْلَ التَّوْبَةِ رَحِيمٌ بِهِمْ بَعْدَ التَّوْبَةِ”(29)  Allah mengampuni mereka sebelum bertaubat dan melimpahkan cinta kasih-Nya kepada mereka setelah taubat. 


Demikian pula kasih sayang para da’i terhadap mitra da’wahnya adalah dalam bentuk saling menjaga diantara mereka, saling menasihati diantara mereka, ruhama-u baynahum. Menginginkan kebaikan bagi sesamanya. “kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus kehormatan ummat ini, jika memang tebusan itu yang dibutuhkan, atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan dan terwujudnya cita-cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar. Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap demikian selain rasa cinta yang mengharu biru hati kami, menguasai perasaan kami, memeras habis air mata kami dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami.”(30) 


Bahkan jika Allah menguji dengan keburukan seorang muslim, maka pertolongan pertama seorang da’i padanya adalah menyelamatkan hatinya dengan berlapang dada. Demikian pula seorang da’i dituntut kesanggupannya menggapai tangga teratas ukhuwwah -itsar- bagi saudara muslimnya yang memerlukan pertolongan. Perkataan yang baik, nasihat dengan haq dan sabar, senyum ramah dan simpati yang dalam adalah peredam bagi keburukan dan kesulitan mitra da’wah. Tiadalah kebaikan yang ringan itu menjadi sulit dan berat melainkan bagi orang-orang yang ada nifaq di hatinya.


Rasulullah saw mencontohkan bahwa keberhasilan da’wahnya diraih dengan memenuhi  kasih sayang atas nama Allah, berpegang teguh kepada tali Allah dengan menjadikan al-Qur’an dan hadits sebagai jalan hidup, menjauhi perpecahan dan menyatukan hati atas cinta kepada Allah. Atas dasar itulah seruan kejalan Allah dilakukannya.

 

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا.(31)  


Kalian bersama prasangka kalian, sesungguhnya prasangka itu seburuk-buruk perkataan, janganlah saling mencari-cari keburukan, janganlah saling mengadu domba, janganlah saling mendengki, janganlah saling bermusuhan, janganlah saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.


Bagi para da’i adalah keniscayaan untuk menjalani hidup bersama saudara muslimnya dengan mawaddah, lemah lembut, belas kasih, saling pengertian dan tolong-menolong dalam kebaikan dengan hati yang bening dan nasihat. Tidakkah kesempurnaan iman juga terukur dari kadar cinta pada sesama muslim.


KESIMPULAN

Demikianlah akhlak merupakan asas utama keteladanan dalam da’wah, ia adalah hujjah yang sanggup melawan keragu-raguan orang-orang yang bimbang, mematahkan serangan orang-orang yang membenci, serta penentram hati mereka yang mengikuti seruan da’wah. Jika para da’i ingin menang tanpa perang, tanpa melukai, tanpa rasa sakit, tanpa dendam dan permusuhan maka akhlaq adalah senjata yang harus diproduksi. Menyenangkan jika sosok da’i itu terkenal karena fitrahnya yang bersih, hatinya penyayang, jiwanya tenang, ikhlas, santun dan pembuat kebaikan.


Demikianlah akhlaq mulia para da’i, da’i yang demikian bagai mata air, mereka yang dahaga pasti meminumnya. bagai cahaya, mereka yang merasakan kegelapan pada jiwanya akan mencarinya.

 

Catatan Kaki

  1. Adam ‘Abdullah al-Wuri, Tārīkh ad-Da’wah Ilallah Baina al-Ams wa al-Yaum, (Cairo: Maktabah Wahbah, cet ke 2, 1979), hlm 18.
  2. Taufiq al-Wa’i, Da’wah ke Jalan Allah, edisi terjemah, (Jakarta: Rabbani Press, cet pertama, 2010), hlm 11. 
  3. A Ilyas Isma’il, Paradigma Dakwah Sayyid Quthb; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani 2008), hlm 271.
  4. Menurut al-Qahthani da’wah adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah. Dalam bentuk da’wah fardiyyah, pelaku da’wah dituntut sesuai kesanggupannya, kapasitas dan keilmuannya. Sedang dalam bentuk da’wah jama’iyyah, pelaku da’wah dituntut bekerjasama dalam pencapaian tujuan-tujuan da’wah yang lebih luas untuk menerapkan Islam dalam seluruh sistem kehidupan manusia. Lihat Sa’id bin Wahf al-Qahthani, al-Hikmatu Fi Dawah Ilallah, (Saudi Arabia: Kementrian Urusan Islam, wakaf, da’wah dan penerangan, cetakan pertama 1423 H), hlm 120. 
  5. Muhammad Abul Fath al Bayanūnī, al Madkhal ilā Ilmi ad-Dakwah, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet 2, 1993), hlm 40.
  6. Jum’ah Amin ‘Abdul ‘Aziz, Fiqh Da’wah, edisi terjemah, (Solo: Era Intermedia, cet 3, 2000), hlm 27.
  7. Ahmad ‘Īsāwī, Manhajiyatu al-Bahts Fi al-Ittishal al-Da’wah, (Cairo: Dār al-Kitāb al-Hadīts, 2012), hlm 100.
  8. Ahmad ibn Hanbal asy-Syaibani, Musnad al Imam Ahmad, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet pertama, 2001), jilid 42, hlm 183, hadits no 25302. Shahih menurut Syua’ib al-Arnauth.
  9. ‘Abdurrahman as-Sa’di, Taysir al-Karim ar-Rahman, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet. pertama, 2000), hlm 406.
  10. Musthafa Masyhur, Fiqh Da’wah, edisi terjemah, (Jakarta: al-Itisham, cet. Ke-8, 2017), jilid 1, hlm150.
  11. ‘Abdul ‘Aziz Salman, Mawarid al-Dhoman Lidurus az-Zaman, (cet. Ke-3, 1424 H), jilid 1, hlm 183.
  12. Hadits yang dimaksud adalah “لاَ يَزَالُ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ” suatu kelompok dari ummatku akan tetap berada dalam kebenaran yang nyata dan kemenangan hingga datang ketentuan Allah. Lihat Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Saudi Arabia: Dar Thuwaiq an-Najah. Cet. Pertama 1422 H), Jilid 4, hlm 207, hadits no 3640.
  13. Ibnu Hajar al-asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), Jilid 1, hlm 164.
  14. Ahmab bin Musthafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: perusahaan penerbitan al-Halabi, cet. Pertama, 1946), Jilid 29, hlm 127.
  15. Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, (Beirut: Dar asy-Syuruq, cet. ke-17, 1412 H), Jilid 6, hlm 3755.
  16. Al-Maragi, op.cit, jilid 15, hlm 142.
  17. Sayyid Muhammad Nuh, Terapi Mental Aktifis Harakah, edisi terjemah, (Solo: Pustaka Mantiq, cet.ke-5, 1995), hlm 81.
  18. Abu Abdullah al-Qurthubi, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al Kutub al Mishriyah, 1384 H), jilid 1, hlm 366.
  19. Teks hadits ini adalah “مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا”. Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, tth), Jilid 1, hlm 99, hadits no 164.
  20. Sa’id Hawwa, al Asas fi Tafsir, (Yordania: Dar as Salaam, 1985), jilid 1, hlm 129.
  21. Imaduddin ibn Katsir, Tafsir al Qur’an al Adzhim, (Beirut: Dar thayyibah li annashr wa attauzi’, 1420 H), jilid 1, hlm247.
  22. Sa’id Hawwa, op.cit, hlm 129.
  23. Atsar dari Ibnu Abbas ra. Lihat, Abu Ya’la al-Musholli, Musnad Abi Ya’la al Musholli, (Damaskus: Dar al Ma’mun li atturats, 1404 H), jilid 4, hlm 326, no. ke 2437. 
  24. Muhammad bin Isa at Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, (Mesir, 1395 H), jilid 5, hlm 34 hadits ke 2657, shahih menurut al Albany.
  25. Lihat Sayyid Quthb, op.cit, jilid 1, hlm 500-501.
  26. Jum’ah Amin  ‘Abdul ‘Aziz, op.cit, hlm 103.
  27. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, op.cit, jilid 1, hlm 25, hadits no 69. 
  28. Abu Zakaria an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-Arabi, cet. ke-2, 1392 H),Jilid 12, hlm 41.
  29. Ar-Razi Ibnu Abi Hatim, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Saudi Arabia: Maktabah Nazar, cet. ke-3, 1419 H), Jilid 7, hlm 2159.
  30. Hasan al Banna, Kumpulan Risalah Dakwah, edisi terjemah, (Jakarta: al-I’tisham, cet.ke-7, 2011), hlm 14-15. 
  31. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, op.cit, jilid 8, hlm 19 hadits ke 6064.


Hukum Da'wah

 


Sigit Suhandoyo. Dalam al-Qur’an dan Sunnah terdapat teks-teks yang menunjukkan hukum, perintah-perintah maupun anjuran bagi setiap muslim dan muslimah untuk melakukan da’wah ilallah. Para ulama bersepakat akan wajibnya da’wah bagi setiap muslim dan muslimah, akan tetapi mereka berbeda pendapat akan tingkatan kewajiban da’wah. Apakah da’wah termasuk fardhu ‘ain atau fardhu kifayah.


Naskah ini akan membahas dalil-dalil tentang hukum da’wah dalam al-Qur’an dan hadits serta mengungkapkan argumen-argumen penyebab perbedaan pendapat para ulama tentang hukum da’wah 


Pembahasan

A. Dalil-Dalil Tentang Da’wah

1) Perintah Da’wah

Allah swt memerintahkan untuk berda’wah dengan cara yang baik dalam al Qur’an surat al Nahl ayat 125

ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".”


Para pakar tafsir mengemukakan bahwa ayat-ayat ini merupakan keumuman perintah bagi setiap Muslim untuk menda’wahi sesama manusia kepada Allah. Sebagaimana thariqah, sunnah dan manhaj Nabi saw dalam berda’wah maka seperti itu pula setiap muslim meneladaninya. Termasuk didalamnya perintah untuk berda’wah dengan cara yang baik dan argumentasi yang dapat diterima.(1)  


2). Perintah menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran

Allah swt memerintahkan untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dalam al Qur’an surat ali Imran ayat 104,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”


Teks “وَلْتَكُنْ” merupakan bentuk “sīgat” yang menunjukkan kewajiban dari Allah untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Teks perintah mencegah kemungkaran juga tertera dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id berikut,


سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ».(2) .

“aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya. yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.”


Allah swt juga mensifati keimanan dengan perilaku menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran dalam  surat at-Taubah ayat 71,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”


Rasulullah saw juga mensifati pengikutnya dengan perilaku manyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah telah bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرِ الْكَبِيرَ، وَيَرْحَمِ الصَّغِيرَ وَيَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ، وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ.(3) 

“tidak termasuk ummatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda dam memerintahkan pada kebaikan serta mencegah kemungkaran”


3). Perintah Tablīg

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”


Menurut pakar tafsir Thantawi, ayat ini mengarahkan Nabi saw, mengokohkan dan menguatkan hatinya atas perintah menyampaikan risalah-Nya kepada manusia.(4)  Demikianlah hendaknya risalah itu disampaikan dengan penuh keyakinan, menyeluruh, tidak ada rasa takut ataupun “futur” berhenti setelah beraktifitas. Perintah tablīg juga tertera dalam hadits Abdullah bin ‘Amr berikut, bahwasanya nabi saw bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ(5).  

“Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”


Ibnu Hajar mengemukakan bahwa diantara maksud dari hadits ini adalah agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya kepada orang lain, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar perkataan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.(6) 


B. Pembahasan Tentang Hukum Da’wah

Sebagian besar ulama sepakat tentang wajibnya hukum da’wah. An-Nawawi misalnya berpendapat da’wah kepada Allah adalah kewajiban. Hal tersebut menurutnya, adalah ijma’ ummat Islam berdasarkan hadits nabi bahwasanya nasihat adalah agama.  Para ulama kemudian berbeda pendapat tentang jenis kewajiban tersebut. Apakah wajib ‘aini atau wajib kifayah. Masing-masing pihak berpegang pada teks dengan dimensi penalaran yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan karena cara-cara pemahaman mereka terhadap dalil-dalil naqli (Al-Qur’an dan hadits) di samping adanya kenyataan kondisi tiap muslim yang berbeda kemampuan dan spesifikasi ilmunya.


1). Da’wah Adalah Fardhu Kifayah

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh jumhur ulama ahlusunnah.(8)  Dalil yang ditafsirkan diantaranya adalah surat Ali Imran ayat 104,

ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”


Karena hakikat ayat ini berkonotasi sebagian maka hal ini menunjukkan hukum fardhu kifayah. Jika sudah ada sebagian orang yang telah melakukannya maka gugur kewajibannya bagi sebagian yang lain. Pekerjaan berda’wah kepada kebaikan, memerintah kepada hal yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran pun lebih tepat dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas untuk hal itu.


Para ulama yang berpendapat bahwa da’wah adalah fardhu kifayah berpendapat bahwa kata min dalam kalimat “waltakun minkum ummatun” menunjukkan makna lit tab’îdh atau bermakna sebagian. Sehingga ayat tersebut bermakna ”ليكن بعض منكم أمة أى طائفة”(9)  jadilah sebagian dari kalian ummat atau thaifah yang berda’wah. Diantara ulama yang berpendapat seperti ini ialah Wahbah az-Zuhailiy. Menurutnya perintah untuk menyeru manusia kejalan Islam dan menyebarkan da’wah keseluruh penjuru dunia serta mengajak berbuat baik dan mencegah perbuatan munkar merupakan fardhu kifayah.(10)  Hal ini dikuatkan pula dengan firman Allah ta’ala dalam surat at taubah ayat 22,


وما كان المؤمنون لينفروا كآفة فلولا نفر من كل فرقة منهم طآئفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”


2). Da’wah Adalah Fardhu ‘Ain

Para ulama yang berpendapat da’wah adalah fardhu ‘ain juga mengemukakan surat Ali Imran ayat 104 tersebut di atas. Menurut mereka kata min dalam kalimat “waltakun minkum ummatun” menunjukkan lil bayān atau sebagai penjelasan bukan menunjukkan sebagian. Sehingga ayat ini bermakna, “لتكونوا أيها المؤمنون جميعا أمة” (11)  hendaklan kalian semua orang beriman menjadi ummat yang berda’wah. 


Diantara ulama yang berpendapat da’wah merupakan fardhu ‘ain adalah Muhammad Abduh. ia cenderung pada pendapat bahwa hukum da’wah adalah wajib ‘ain dengan alasan bahwa huruf “lam” yang terdapat pada kalimat “waltakum” mengandung makna perintah yang sifatnya mutlak tanpa syarat. Sedangkan huruf “mim” yang terdapat pada kalimat “minkum” mengandung makna li al-bayān yang artinya bersifat penjelasan.(12)  


Menurut Ibnu Rajab, mencermati hadits “مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا” Mencegah kemungkaran dengan tangan dan lisan adalah wajib sesuai dengan kesanggupan. Ia berpendapat,

فَدَلَّتْ هَذِهِ حَدِيثُ عَلَى وُجُوبِ إِنْكَارِ الْمُنْكَرِ بِحَسَبِ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ، وَأَمَّا إِنْكَارُهُ بِالْقَلْبِ لَا بُدَّ مِنْهُ، فَمَنْ لَمْ يُنْكِرْ قَلْبُهُ الْمُنْكَرَ، دَلَّ عَلَى ذَهَابِ الْإِيمَانِ مِنْ قَلْبِهِ(13)  

Hadits ini menunjukkan kewajiban mengingkari kemungkaran sesuai dengan kadar kesanggupan setiap muslim. sementara membencinya dengan hati adalah diwajibkan dalam keadaan apapun. Tidak gugur kewajiban ini dari siapapun dalam keadaan apapun.  maka barangsiapa yang hatinya tidak membenci kemungkaran membuktikan perginya iman dari hatinya.


Kata man pada man rā-a minkum munkaran, merupakan kata yang berlaku umum mencakup setiap orang yang mampu merubah kemungkaran dengan tangannya, lisannya atau hatinya. Dengan demikian maksud yang ditunjukkan hadits ini adalah bahwa merubah kemungkaran itu wajib sesuai dengan kadar kemampuan. Jika seorang mampu maka yang paling utama adalah dengan tangannya, kemudian dengan lisannya dan terakhir dengan hatinya. Jika salah satu dari tiga tahapan ini tidak dilakukan, maka hilanglah imannya.


Termasuk dalam fardhu ‘ain dalam kondisi-kondisi seperti berikut, (a). situasi kemungkaran yang hanya diketahui oleh seseorang, maka bagi orang tersebut hukumnya fardhu ‘ain. (b). kemungkaran yang dilakukan oleh orang yang dalam pertanggungjawabannya, seperti kepala keluarga yang melihat kemungkaran anggota keluarganya. (c). Petugas hisbah pada negara Islam yang mendapatkan kewenangan penuh untuk melakukan tugasnya.(14) 


3). Pendapat-Pendapat lain Tentang Hukum Da’wah

Berbeda dengan pendapat-pendapat tersebut di atas, Hasan al-Bashri mengemukakan bahwa da’wah merupakan ibadah nafilah.(15)  Artinya da’wah merupakan sunnah rasul yang merupakan keutamaan jika diteladani. Pendapat lain tentang hukum da’wah dikemukakan oleh Jalāl al-Bulqīnī dari kalangan ulama syafi’iyyah. Menurutnya hukum da’wah terkait dengan tingkatan amal  yang diserukan.(16)  Jika suatu perkara wajib dikerjakan atau haram dikerjakan, maka amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi wajib pula hukumnya. Jika sebuah perkara sunnah untuk dikerjakan dan makruh dikerjakan maka amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi sunnah pula hukumnya. 


Kesimpulan

Kajian terhadap hukum da’wah memberikan sebuah kesimpulan akan keumuman wajib da’wah bagi setiap Muslim. Menetapkan hukum da’wah sebagai fardhu ‘ain mungkin dapat menjadi jalan tengah dengan menarasikan beberapa argumen yang telah dikemukakan sebelumnya. Bahwa da’wah mencegah kemungkaran adalah kewajiban setiap muslim sesuai dengan kadar kesanggupannya hingga titik terendah yaitu membenci kemungkaran dengan hatinya. Selain itu sebuah fardhu kifayah tetaplah menjadi fardhu ‘ain hingga kewajiban tersebut dapat ditegakkan secara benar. Setiap muslim wajib menyumbangkan seberapapun kesanggupannya untuk tegaknya kewajiban da’wah ilallah.

 

Catatan Kaki

  1. Abu Bakar al-Jashas al-Hanafi, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Araby, 1405 H), Jilid 4, hlm 396.  Lihat juga Muhammad Sayyid Thantawi, at-Tafsir al-Wasith lil Qur’an al-Karim, (Cairo: Dar an-Nahdhah, cet pertama,1998),  jilid 8, hlm 262. Lihat juga Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet kedua 1418 H), jilid 13, hlm 84.
  2. Muslim bin al Hajjaj an-Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Daar Ihyau at Turats al ‘Araby, t.th) jilid 1, hlm 69 hadits no 78. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Daar Ihyau al Kutub al ‘Arabiyah, t.th), jilid 2, hlm 1330 hadits no 4013.
  3. Ahmad bin Hanbal bi Asad asy-Syaibani, Musnad al-Imam Ahmad, (Beirut: Muasasatu ar-Risalah, cet pertama, 2001), Jilid 4, hlm 170, hadits no 2329. Menurut Syuaib al-Arnauth hadits ini shahih lighairihi.
  4. Muhammad Sayyid Thantawi, op.cit, jilid 4, hlm 223.
  5. Muhammad  bin Isma’il Abu Abdullah al Bukhari, Shahih al Bukhari, (Saudi Arabia: Daar Thuwaiq an Najah, 1422 H), Jilid 4, hlm 170 hadits no 3461. Diriwayatkan pula oleha Ahmad bin Hanbal asy Syaibani, Musnad al Imam Ahmad, (Beirut: Muassasatu ar Risalah, 1421 H), Jilid 11, hlm 25, 488, 583. Hadits no 6486, 6888, 7006.
  6. Ibnu Hajar al Asqalany, Fathul Baary Syarh Shahih al Bukhari,(Beirut: Daar al Ma’rifah, 1379 H), Jilid 6, hlm 498.
  7. Abu Zakaria an-Nawawi, al-Minhaj, (Beirut: Dār Ihyau Turats al-‘Arabi, cet ke 2, 1392 H),Jilid 2, hlm 39.
  8. Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Maushu’at al-Fiqhiyah, (cet kedua, 1986), Jilid 6, hlm 248.
  9. Muhammad Sayyid Thantawi, op.cit, jilid 2, hlm 202.
  10. Wahbah bin Musthofa az Zuhaili, at Tafsīr al Munīr fil Aqidati wasy Syari’ati wal Manhaj, (Damaskus : Daar al Fikr al Mu’ashir, 1418 H), jilid 4, hlm 35.
  11. Muhammad Sayyid Thantawi, loc.cit.
  12. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo: al Haiah al Mishriyah al ‘Ammah lil Kitab, 1990.), Jilid 4, hlm, 28.
  13. Ibnu Rajab al Hambali, Jami’ul Ulum wal Hikam fi Syarh Khamsina Haditsan min Jawami’ al Kalam, (Beirut: Muassasatu ar Risalah, 1422 H), jilid 2, hlm 245.
  14. Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, loc.cit.
  15. Ibid.
  16. Ibnu Hajar al-Haitami, az-Zawāzir ‘an Iqtiraf al-Kabāir, (Beirut: Dar al-Fikr, Cet pertama, 1987), Jilid 2, hlm 278.


Istilah-Istilah Terkait Dengan Dakwah



Dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw, teks da’wah ilallah diungkapkan dengan berbagai istilah. Pengkajian terhadap istilah-istilah ini diperlukan untuk memperluas khasanah keilmuan tentang da’wah. Perbedaan penggunaan istilah dimungkinkan karena adanya kekhususan makna serta kandungan hukum tertentu. 


Istilah-istilah yang dibahas dalam naskah ini adalah al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar, tablīg, hisbah, nasihat dan al-Irsyad.


A. al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar


Dalam al-Qur’an lafaz ini tertera diantaranya pada surat Ali Imran ayat 104,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”


Kata “al-amru” secara bahasa berarti perkataan yang menuntut sebuah perbuatan. Kata ini biasa diartikan dengan perintah. Sedangkan kata “ma’rūf” Menurut Ibnu al-Atsīr, adalah “اسْمٌ جامعٌ لكُلِّ مَا عُرِفَ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَالتَّقَرُّبِ إِلَيْهِ والإحْسَان إِلَى النَّاس، وكُلّ مَا ندَب إِلَيْهِ الشَّرع ونَهى عَنْهُ مِنَ المُحَسِّنات والمُقَبِّحات”(1)  dalam pengertian lain adalah nama yang menghimpun semua pengertian ketaatan kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya dan berbuat baik kepada sesama manusia. Termasuk di dalamnya segala sesuatu yang dianjurkan dan dilarang oleh syari’at dari berbagai bentuk kebaikan dan keburukan. Adapun kata an-nahī merupakan kebalikan dari “al-amru” yang berarti larangan. Kata “munkar” sendiri berarti, “كلُّ مَا قَبَّحه الشَّرْعُ وحَرَّمه وكَرِهه فَهُوَ مُنْكَرٌ”(2)  yaitu segala sesuatu yang secara syari’at merupakan keburukan, diharamkan dan dibenci. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “ma’rūf” adalah segala sesuatu yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya kata “munkar” adalah sesuatu yang dilarang Allah dan Rasul-Nya. 


Secara istilah menurut al-haqīl, al-Amru bi al-Ma’rūf adalah, seruan da’wah kepada segala sesuatu yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, memberikan kabar gembira dengannya, mempersiapkan dasar-dasarnya hingga kokoh rukun-rukunnya, dan terbuka jalan bagi kebaikan mendominasi kehidupan. Dan makna an-Nahī ‘an al-Munkar menurutnya adalah, berpaling dari segala sesuatu yang dilarang Allah, membenci dan melawannya serta menutup jalan baginya, hingga tidak terjadi atau terulang kembali.(3)  Dengan demikian al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar adalah perintah untuk mengerjakan segala perintah Allah dan Rasul-nya serta tuntutan mencegah segala perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.


Penggunaan teks al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar dengan demikian lebih khusus dari penggunaan teks da’wah yang berdasar definisinya dapat dimaknai mengajak kepada petunjuk maupun kesesatan.

B. Tablīg. 

Kata tablīg berasal dari “balaga” yang berarti “aushola ilaih” yaitu menyampaikan, bisa juga berarti “syarofa ‘alaih” atau mendekatkan.(4)  Kata “balāg” berarti “مَا يُتَوَصَّل بِهِ إِلَى الشَّيْءِ الْمَطْلُوبِ” hal-hal yang mengantarkan pada sesuatu yang diminta. Dan orang-orang yang menyampaikan sesuatu dari al-Qur’an dan Sunnah di sebut mubalīg.(5)  Dalam al-Qur’an lafaz ini tertera dalam surat al-māidah ayat 67,


يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”


Menurut az-Zuhailī, kata tablīg berarti “إعلان الدعوة الإسلامية، وإعلام جميع ما تضمنته من أحكام وأخبار للناس”(6)  penyiaran da’wah Islam, serta menginformasikan dan memberitakan seluruh kandungan hukum-hukumnya kepada khalayak umum. Dari pengertian ini tablig merupakan bentuk kegiatan da’wah melalui pemberitaan ajaran Islam. Kegiatannya dapat dilakukan melalui lisan dan tulisan. 


Menarik untuk dicermati adalah pengertian yang dikemukakan oleh al-Asfihāni. Menurutnya kata tablīg berarti “الانتهاء إلى أقصى المقصد والمنتهى، مكانا كان أو زمانا، أو أمرا من الأمور المقدّرة”(7)  yaitu sebuah proses mengupayakan suatu hal agar mencapai sebuah tujuan akhir dalam wujud tempat atau waktu atau perkara yang telah ditentukan. Pengertian ini memberikan arti penting tablīg sebagai sebuah proses yang termanaj untuk pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Tablīg dengan demikian tidak dapat dimaknai secara sempit hanya berbentuk ceramah semata dan seorang da’ī tidak hanya diwakili oleh mereka yang sering tampil di mimbar-mimbar. Menurut Ilyas Ismail, istilah tablīg mengalami pereduksian makna. Tablīg tidak lagi dipandang sebagai sebuah proses dari tahapan panjang da’wah melainkan menggeser posisi da’wah. Pola pikir ini menganggap da’wah sekedar khotbah-khotbah semata.(8) Jika menggunakan perspektif Hasan al-Banna, tablīg dianggap sebagai tahapan awal dari proses aktifitas da’wah dalam rangka penseleksian mitra da’wah (mad’ū),(9)  untuk kemudian terlibat bersama dalam menanggung aktifitas-aktifitas da’wah yang lebih besar lagi. 

C. al-Hisbah 

Al-Hisbah secara bahasa berarti, perhitungan, baiknya perencanaan dan pertimbangan.(10)  Menurut para pakar fiqh, hisbah adalah, “أمر بالمعروف إذا ظهر تركه، ونهي عن المنكر إذا ظهر فعله”(11)  Menurut al-Maydanī, urusan ini dilembagakan pertama kali pada masa khalifah Umar Ibn al-Khattab. Lembaga ini mengurusi perkara-perkara penegakan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan aturan umum ummat Islam. Seperti penegakkan hak, penjagaan norma-norma umum, mencegah perkara-perkara yang tidak sesuai dengan agama, memberikan sanksi bagi orang yang bersalah, melakukan tindakan hukum bagi orang yang terang-terangan berbuat maksiat.(12) 


Dalil-dalil hisbah diantaranya adalah firman Allah dalam surat al-maidah ayat 2,

...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”


Menurut Ibnu Khaldun, hisbah merupakan bagian dari al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar, ia adalah kewajiban agama guna menegakkan urusan-urusan ummat Islam dan dikhususkan bagi orang-orang yang menguasai urusan-urusan tersebut.(13  Tugas-tugas pelaku hibah “muhtasib” adalah, (a) menegakkan al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar secara umum, (b). menegakkan etika umum masyarakat, seperti etika berpakaian, perbincangan, hiburan, dan sejenisnya, (c). pengasawan kesehatan umum, seperti pengelolaan rumah sakit, rumah makan, mck umum, (d). pengawasan pasar, (e). pengawasan tempat-tempat pendidikan, (f). pengawasan pengelolaan gedung-gedung, dan sebagainya.(14)  Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa hisbah merupakan bagian dari da’wah kepada Allah. Hisbah dijalankan dengan dukungan pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap kemaslahatan rakyatnya.


D. Nasihat

Dalil tentang nasihat diantaranya terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Tamim ad-Dari ra, bahwasanya Nabi saw telah bersabda,

«الدِّينُ النَّصِيحَةُ» قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ»(15) 

“agama itu nasihat” para sahabat bertanya: bagi siapa? Rasulullah bersabda, “bagi Allah, kitab-kitabnya, rasul-rasul-Nya, para pemimpin ummat Islam dan bagi manusia secara umum”


An-Nashīḫat merupakan isim dari kata kerja “nashoḫa” yang berarti “al-Khulus”(16) . Kata ini bisa diartikan dengan kemurnian, kejernihan atau ketulusan hati. Dalam kamus modern Mu’jam al-Wasith disebutkan bahwa kata “النصح” berarti “إخلاص المشورة”(17)  yaitu saran atau pertimbangan yang tulus. Adapun secara istilah kata nasehat berarti, “إخلاص الرأي من الغس للمنصوح” tulusnya pendapat dari maksud buruk kepada orang yang meminta nasihat. Nasihat dapat pula diartikan dengan, “الدعاء إلى ما فيه الصلاح و النهي عما فيه الفساد و إيثار مصلحة”(18)  Ajakan yang dengannya menimbulkan kebaikan dan mencegah munculkan kerusakan serta mendahulukan kemaslahatan. Kalimat nasihat menurut an-Nawawi mencakup seluruh makna dari memberikan kebahagiaan kepada orang yang meminta nasihat.(19) 


Menurut Hamid, nasihat merupakan seruan da’wah yang dilakukan dengan menjaga perasaan orang yang meminta nasihat, sehingga diharapkan petuah yang diberikan bersifat konstruktif serta terhindar dari penolakan, perdebatan, tanggapan yang buruk maupun perselisihan.(20)  Nasihat dengan demikian merupakan da’wah kepada Allah yang bersifat pribadi. Para ulama lebih memilih agar memberikan nasihat secara rahasia, meskipun memberikan nasihat secara terang-terangan diperbolehkan. 


E. al-Irsyād

Secara bahasa “الإرشاد” berarti “الهداية و الدلالة”(21)  yaitu petunjuk dan bukti. Sebagian ulama mengemukakan bahwa teks al-irsyad digunakan khusus sebagai bentuk da’wah kepada kebaikan dengan mengemukakan kepada mitra da’wah dalil atau argumen berupa kemaslahatan dunia semata. Sedangkan sebagian lain berpendapat teks ini dapat dimaknai sebagai ajakan kepada kebaikan dengan dalil-dalil kemaslahatan dunia maupun akhirat.(22)  Dengan demikian upaya mengungkapkan hikmah-hikmah kemaslahatan dunia dari penetapan syari’ah termasuk bentuk da’wah yang terwakili dari terma al-Irsyad.


Kesimpulan

Arti penting dari penggunaan istilah-istilah yang terkait da’wah adalah sebagai sumber penafsiran yang inspiratif dan beragam. Selain memperdalam makna, beberapa istilah memberikan batasan-batasan dan acuan bagi aktifitas da’wah. Masih sangat diperlukan analisis isi terhadap makna istilah-istilah tersebut berdasarkan khasanah keislaman.


Catatan Kaki

  1. Abū Sa’adat Ibnu al-Atsīr, an-Nihāyatu Fī Gharīb al-Hadīts wa al-Atsar, (Beirut: Maktabatu al-‘Ilmiyyah, 1979), Jilid 3, hlm 216.
  2. Ibid, jilid 5, hlm 115.
  3. Sulaiman bin ‘Abdurrahman al Haqil, al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar fi dhoui al-kitab wa as-sunnah, (cet ke 4, 1996), hlm 34.
  4. Abū Nashr al-Jauharī, ash-Shohah Taj al-Lugah wa Shohah al-‘Arabiyah, (Beirut: Dar al-Ilm al Malayin, cet ke 4, 1987), Jilid 4, hlm 1316.
  5. Abū Sa’adat Ibnu al-Atsīr, op.cit, Jilid 1, hlm 152.
  6. Wahbah Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, (Damaskus: Dar al-Fikr, cet ke2, 1418 H), Jilid 6, hlm 258
  7. Ragib al-Asfihani, Mufradat Fi Garib al-Qur’an, (Beirut: Dār al-Qalam, cet pertama, 1412 H), hlm 144.
  8. Ilyas Ismail, Paradigma Da’wah Sayyid Quthb, (Jakarta: Penamadani, cet pertama, 2004), hlm 5.
  9. Musthofa Muhammad Thahhan, al-Fikru al-Islamy al-Wasith, Dirasatu fi Fikri al-Ikhwan al-Muslimin, (Kuwait: 1423 H), hlm 210-211.
  10. Abū Nashr al-Jauharī, op.cit, Jilid 1, hlm 110.
  11. Lihat Abū Ya’lā Ibnu Farā, al-Ahkām as-Sulthāniyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet kedua, 2000), hlm 284. Lihat juga Abu al-Hasan ‘Ali al-Mawardi, al-Ahkām as-Sulthāniyah, (Cairo: Dār al-Hadits, tth), hlm 349. Lihat Juga Dhiyāuddīn Ibnu Ukhwah, Ma’alim al-Qurbah fi Thalab al-Hisbah, (Dār al-Funun, tth), hlm 7.
  12. Abdurrahman Habanakah al-Maydānī, al-Hadharatu al-Islamiyyah; Ususuha wa wasailuha, (Damaskus: Dār al-Qalam, cet pertama, 1998), hlm 632.
  13. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Karim Zaydan, Ushul ad-Dakwah, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet ke 9, 1421 H), hlm 176.
  14. al-Haqil, op.cit, hlm 27.
  15. Muslim bin al-Hajaj an-Naisabury, Shahīh Muslim, (Beirut: Dār Ihyau Turats al-‘Arabi, tth), Jilid 1, hlm 74, hadits no 55.
  16. Abū Sa’adat Ibnu al-Atsīr, op.cit, Jilid 5, hlm 63.
  17. Ibrahim Musthafa et.al, Mu’jam al-Wasith, (Cairo: Dār ad-Da’wah,tth), Jilid 2, hlm 925.
  18. Asy-Syarīf al-Jurjānī, at-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet pertama, 1983), Jilid 1, hlm 241. Lihat juga Muhammad al-Barkatī, Qawa’id al-Fiqh, (Karachi: ash-shadaf, cet pertama, 1986), hlm 528.
  19. Abu Zakaria an-Nawawi, al-Minhaj, (Beirut: Dār Ihyau Turats al-‘Arabi, cet ke 2, 1392 H), Jilid 2, hlm 37.
  20. Solih bin ‘Abdullah bin Hamid, Mafhum al-Hikmah fi ad-Da’wah, (Saudi Arabia: Kementrian Urusan Islam, Wakaf dan Penerangan, cet pertama, 1422 H), hlm 43.
  21. Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadr, cet ketiga, 1414 H), Jilid 3, hlm 176.
  22. Lihat ‘Alauddin al-Bukharī, Kasyfu al-Asrār Syarh Ushūl al-Bazdawī, (Beirut: Dar al-Kitāb al-Islāmī, tth), Jilid 1, hlm 107.