Dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw, teks da’wah ilallah diungkapkan dengan berbagai istilah. Pengkajian terhadap istilah-istilah ini diperlukan untuk memperluas khasanah keilmuan tentang da’wah. Perbedaan penggunaan istilah dimungkinkan karena adanya kekhususan makna serta kandungan hukum tertentu.
Istilah-istilah yang dibahas dalam naskah ini adalah al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar, tablīg, hisbah, nasihat dan al-Irsyad.
A. al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar
Dalam al-Qur’an lafaz ini tertera diantaranya pada surat Ali Imran ayat 104,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Kata “al-amru” secara bahasa berarti perkataan yang menuntut sebuah perbuatan. Kata ini biasa diartikan dengan perintah. Sedangkan kata “ma’rūf” Menurut Ibnu al-Atsīr, adalah “اسْمٌ جامعٌ لكُلِّ مَا عُرِفَ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَالتَّقَرُّبِ إِلَيْهِ والإحْسَان إِلَى النَّاس، وكُلّ مَا ندَب إِلَيْهِ الشَّرع ونَهى عَنْهُ مِنَ المُحَسِّنات والمُقَبِّحات”(1) dalam pengertian lain adalah nama yang menghimpun semua pengertian ketaatan kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya dan berbuat baik kepada sesama manusia. Termasuk di dalamnya segala sesuatu yang dianjurkan dan dilarang oleh syari’at dari berbagai bentuk kebaikan dan keburukan. Adapun kata an-nahī merupakan kebalikan dari “al-amru” yang berarti larangan. Kata “munkar” sendiri berarti, “كلُّ مَا قَبَّحه الشَّرْعُ وحَرَّمه وكَرِهه فَهُوَ مُنْكَرٌ”(2) yaitu segala sesuatu yang secara syari’at merupakan keburukan, diharamkan dan dibenci. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “ma’rūf” adalah segala sesuatu yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, dan sebaliknya kata “munkar” adalah sesuatu yang dilarang Allah dan Rasul-Nya.
Secara istilah menurut al-haqīl, al-Amru bi al-Ma’rūf adalah, seruan da’wah kepada segala sesuatu yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, memberikan kabar gembira dengannya, mempersiapkan dasar-dasarnya hingga kokoh rukun-rukunnya, dan terbuka jalan bagi kebaikan mendominasi kehidupan. Dan makna an-Nahī ‘an al-Munkar menurutnya adalah, berpaling dari segala sesuatu yang dilarang Allah, membenci dan melawannya serta menutup jalan baginya, hingga tidak terjadi atau terulang kembali.(3) Dengan demikian al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar adalah perintah untuk mengerjakan segala perintah Allah dan Rasul-nya serta tuntutan mencegah segala perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.
Penggunaan teks al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar dengan demikian lebih khusus dari penggunaan teks da’wah yang berdasar definisinya dapat dimaknai mengajak kepada petunjuk maupun kesesatan.
B. Tablīg.
Kata tablīg berasal dari “balaga” yang berarti “aushola ilaih” yaitu menyampaikan, bisa juga berarti “syarofa ‘alaih” atau mendekatkan.(4) Kata “balāg” berarti “مَا يُتَوَصَّل بِهِ إِلَى الشَّيْءِ الْمَطْلُوبِ” hal-hal yang mengantarkan pada sesuatu yang diminta. Dan orang-orang yang menyampaikan sesuatu dari al-Qur’an dan Sunnah di sebut mubalīg.(5) Dalam al-Qur’an lafaz ini tertera dalam surat al-māidah ayat 67,
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Menurut az-Zuhailī, kata tablīg berarti “إعلان الدعوة الإسلامية، وإعلام جميع ما تضمنته من أحكام وأخبار للناس”(6) penyiaran da’wah Islam, serta menginformasikan dan memberitakan seluruh kandungan hukum-hukumnya kepada khalayak umum. Dari pengertian ini tablig merupakan bentuk kegiatan da’wah melalui pemberitaan ajaran Islam. Kegiatannya dapat dilakukan melalui lisan dan tulisan.
Menarik untuk dicermati adalah pengertian yang dikemukakan oleh al-Asfihāni. Menurutnya kata tablīg berarti “الانتهاء إلى أقصى المقصد والمنتهى، مكانا كان أو زمانا، أو أمرا من الأمور المقدّرة”(7) yaitu sebuah proses mengupayakan suatu hal agar mencapai sebuah tujuan akhir dalam wujud tempat atau waktu atau perkara yang telah ditentukan. Pengertian ini memberikan arti penting tablīg sebagai sebuah proses yang termanaj untuk pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Tablīg dengan demikian tidak dapat dimaknai secara sempit hanya berbentuk ceramah semata dan seorang da’ī tidak hanya diwakili oleh mereka yang sering tampil di mimbar-mimbar. Menurut Ilyas Ismail, istilah tablīg mengalami pereduksian makna. Tablīg tidak lagi dipandang sebagai sebuah proses dari tahapan panjang da’wah melainkan menggeser posisi da’wah. Pola pikir ini menganggap da’wah sekedar khotbah-khotbah semata.(8) Jika menggunakan perspektif Hasan al-Banna, tablīg dianggap sebagai tahapan awal dari proses aktifitas da’wah dalam rangka penseleksian mitra da’wah (mad’ū),(9) untuk kemudian terlibat bersama dalam menanggung aktifitas-aktifitas da’wah yang lebih besar lagi.
C. al-Hisbah
Al-Hisbah secara bahasa berarti, perhitungan, baiknya perencanaan dan pertimbangan.(10) Menurut para pakar fiqh, hisbah adalah, “أمر بالمعروف إذا ظهر تركه، ونهي عن المنكر إذا ظهر فعله”(11) Menurut al-Maydanī, urusan ini dilembagakan pertama kali pada masa khalifah Umar Ibn al-Khattab. Lembaga ini mengurusi perkara-perkara penegakan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan aturan umum ummat Islam. Seperti penegakkan hak, penjagaan norma-norma umum, mencegah perkara-perkara yang tidak sesuai dengan agama, memberikan sanksi bagi orang yang bersalah, melakukan tindakan hukum bagi orang yang terang-terangan berbuat maksiat.(12)
Dalil-dalil hisbah diantaranya adalah firman Allah dalam surat al-maidah ayat 2,
...وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Menurut Ibnu Khaldun, hisbah merupakan bagian dari al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar, ia adalah kewajiban agama guna menegakkan urusan-urusan ummat Islam dan dikhususkan bagi orang-orang yang menguasai urusan-urusan tersebut.(13 Tugas-tugas pelaku hibah “muhtasib” adalah, (a) menegakkan al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar secara umum, (b). menegakkan etika umum masyarakat, seperti etika berpakaian, perbincangan, hiburan, dan sejenisnya, (c). pengasawan kesehatan umum, seperti pengelolaan rumah sakit, rumah makan, mck umum, (d). pengawasan pasar, (e). pengawasan tempat-tempat pendidikan, (f). pengawasan pengelolaan gedung-gedung, dan sebagainya.(14) Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa hisbah merupakan bagian dari da’wah kepada Allah. Hisbah dijalankan dengan dukungan pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap kemaslahatan rakyatnya.
D. Nasihat
Dalil tentang nasihat diantaranya terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Tamim ad-Dari ra, bahwasanya Nabi saw telah bersabda,
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ» قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ»(15)
“agama itu nasihat” para sahabat bertanya: bagi siapa? Rasulullah bersabda, “bagi Allah, kitab-kitabnya, rasul-rasul-Nya, para pemimpin ummat Islam dan bagi manusia secara umum”
An-Nashīḫat merupakan isim dari kata kerja “nashoḫa” yang berarti “al-Khulus”(16) . Kata ini bisa diartikan dengan kemurnian, kejernihan atau ketulusan hati. Dalam kamus modern Mu’jam al-Wasith disebutkan bahwa kata “النصح” berarti “إخلاص المشورة”(17) yaitu saran atau pertimbangan yang tulus. Adapun secara istilah kata nasehat berarti, “إخلاص الرأي من الغس للمنصوح” tulusnya pendapat dari maksud buruk kepada orang yang meminta nasihat. Nasihat dapat pula diartikan dengan, “الدعاء إلى ما فيه الصلاح و النهي عما فيه الفساد و إيثار مصلحة”(18) Ajakan yang dengannya menimbulkan kebaikan dan mencegah munculkan kerusakan serta mendahulukan kemaslahatan. Kalimat nasihat menurut an-Nawawi mencakup seluruh makna dari memberikan kebahagiaan kepada orang yang meminta nasihat.(19)
Menurut Hamid, nasihat merupakan seruan da’wah yang dilakukan dengan menjaga perasaan orang yang meminta nasihat, sehingga diharapkan petuah yang diberikan bersifat konstruktif serta terhindar dari penolakan, perdebatan, tanggapan yang buruk maupun perselisihan.(20) Nasihat dengan demikian merupakan da’wah kepada Allah yang bersifat pribadi. Para ulama lebih memilih agar memberikan nasihat secara rahasia, meskipun memberikan nasihat secara terang-terangan diperbolehkan.
E. al-Irsyād
Secara bahasa “الإرشاد” berarti “الهداية و الدلالة”(21) yaitu petunjuk dan bukti. Sebagian ulama mengemukakan bahwa teks al-irsyad digunakan khusus sebagai bentuk da’wah kepada kebaikan dengan mengemukakan kepada mitra da’wah dalil atau argumen berupa kemaslahatan dunia semata. Sedangkan sebagian lain berpendapat teks ini dapat dimaknai sebagai ajakan kepada kebaikan dengan dalil-dalil kemaslahatan dunia maupun akhirat.(22) Dengan demikian upaya mengungkapkan hikmah-hikmah kemaslahatan dunia dari penetapan syari’ah termasuk bentuk da’wah yang terwakili dari terma al-Irsyad.
Kesimpulan
Arti penting dari penggunaan istilah-istilah yang terkait da’wah adalah sebagai sumber penafsiran yang inspiratif dan beragam. Selain memperdalam makna, beberapa istilah memberikan batasan-batasan dan acuan bagi aktifitas da’wah. Masih sangat diperlukan analisis isi terhadap makna istilah-istilah tersebut berdasarkan khasanah keislaman.
Catatan Kaki
- Abū Sa’adat Ibnu al-Atsīr, an-Nihāyatu Fī Gharīb al-Hadīts wa al-Atsar, (Beirut: Maktabatu al-‘Ilmiyyah, 1979), Jilid 3, hlm 216.
- Ibid, jilid 5, hlm 115.
- Sulaiman bin ‘Abdurrahman al Haqil, al-Amru bi al-Ma’rūf wa an-Nahī ‘an al-Munkar fi dhoui al-kitab wa as-sunnah, (cet ke 4, 1996), hlm 34.
- Abū Nashr al-Jauharī, ash-Shohah Taj al-Lugah wa Shohah al-‘Arabiyah, (Beirut: Dar al-Ilm al Malayin, cet ke 4, 1987), Jilid 4, hlm 1316.
- Abū Sa’adat Ibnu al-Atsīr, op.cit, Jilid 1, hlm 152.
- Wahbah Zuhaili, Tafsīr al-Munīr, (Damaskus: Dar al-Fikr, cet ke2, 1418 H), Jilid 6, hlm 258
- Ragib al-Asfihani, Mufradat Fi Garib al-Qur’an, (Beirut: Dār al-Qalam, cet pertama, 1412 H), hlm 144.
- Ilyas Ismail, Paradigma Da’wah Sayyid Quthb, (Jakarta: Penamadani, cet pertama, 2004), hlm 5.
- Musthofa Muhammad Thahhan, al-Fikru al-Islamy al-Wasith, Dirasatu fi Fikri al-Ikhwan al-Muslimin, (Kuwait: 1423 H), hlm 210-211.
- Abū Nashr al-Jauharī, op.cit, Jilid 1, hlm 110.
- Lihat Abū Ya’lā Ibnu Farā, al-Ahkām as-Sulthāniyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet kedua, 2000), hlm 284. Lihat juga Abu al-Hasan ‘Ali al-Mawardi, al-Ahkām as-Sulthāniyah, (Cairo: Dār al-Hadits, tth), hlm 349. Lihat Juga Dhiyāuddīn Ibnu Ukhwah, Ma’alim al-Qurbah fi Thalab al-Hisbah, (Dār al-Funun, tth), hlm 7.
- Abdurrahman Habanakah al-Maydānī, al-Hadharatu al-Islamiyyah; Ususuha wa wasailuha, (Damaskus: Dār al-Qalam, cet pertama, 1998), hlm 632.
- Sebagaimana dikutip oleh Abdul Karim Zaydan, Ushul ad-Dakwah, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, cet ke 9, 1421 H), hlm 176.
- al-Haqil, op.cit, hlm 27.
- Muslim bin al-Hajaj an-Naisabury, Shahīh Muslim, (Beirut: Dār Ihyau Turats al-‘Arabi, tth), Jilid 1, hlm 74, hadits no 55.
- Abū Sa’adat Ibnu al-Atsīr, op.cit, Jilid 5, hlm 63.
- Ibrahim Musthafa et.al, Mu’jam al-Wasith, (Cairo: Dār ad-Da’wah,tth), Jilid 2, hlm 925.
- Asy-Syarīf al-Jurjānī, at-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet pertama, 1983), Jilid 1, hlm 241. Lihat juga Muhammad al-Barkatī, Qawa’id al-Fiqh, (Karachi: ash-shadaf, cet pertama, 1986), hlm 528.
- Abu Zakaria an-Nawawi, al-Minhaj, (Beirut: Dār Ihyau Turats al-‘Arabi, cet ke 2, 1392 H), Jilid 2, hlm 37.
- Solih bin ‘Abdullah bin Hamid, Mafhum al-Hikmah fi ad-Da’wah, (Saudi Arabia: Kementrian Urusan Islam, Wakaf dan Penerangan, cet pertama, 1422 H), hlm 43.
- Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadr, cet ketiga, 1414 H), Jilid 3, hlm 176.
- Lihat ‘Alauddin al-Bukharī, Kasyfu al-Asrār Syarh Ushūl al-Bazdawī, (Beirut: Dar al-Kitāb al-Islāmī, tth), Jilid 1, hlm 107.