Hafidzat



Sigit Suhandoyo. Kajian para penafsir al-Qur’an tentang peran istri dalam keluarga memiliki dimensi dan sumber transenden. Secara harfiah terinterpretasikan dari realitas  cinta yang primordial. 


Pendekatan terhadap pemaknaan hafidzat, menunjukkan upaya memasuki wilayah privasi terdalam eksistensi sebuah keluarga. Invasi itu menerobos kedalam relung jiwa wanita, menyatukan hal-hal yang saling bertentangan dari esensi dan bentuk kehidupan keluarga. Seperti sebuah shibghah terhadap inti sebuah keluarga, yang menjadikan kehidupan keluarga setelah itu tak bisa tidak, harus dijalani dengan lebih baik.


Pakar tafsir zaman Dinasti Murabitun, Ibnu athiyah menuturkan pengertian yang paling mendasar tentang hafidzat sebagai wanita yang menjaga terlaksananya perintah-perintah Allah melalui ketundukan, ketaatan, rasa takut kepada Tuhan.(1)  


Sebagaimana halnya sebuah bentuk kreativitas, visi tersebut kemudian berevolusi secara perlahan menjadi semakin universal, mentransformasikan dimensi ilahiyah, dari pribadi kepada kehidupan keluarga.


Gagasan ini disampaikan Maha Guru tafsir dari lereng Alborz, ath-Thobari. Menurutnya hafidzat adalah para wanita yang selain hidupnya diliputi oleh berbagai kualitas rasa yang sangat dalam dan tulus dalam menjaga hak Allah,  menjaga kehormatan diri dan suaminya, meski sedang berada dalam kesendirian.(2) 


Para hafidzat itu menyikapi makna-makna kehidupan yang tidak selalu koheren dengan menghadirkan Allah. Pengalaman itu tergambar sebagai shibghah ilahiyah yang membebaskan desakan perasaan atas kekurangan suami, dan mengalirkan kerinduan.


Penafsir dari abad 10 H, Syaikh ‘Ulwan dari Nakhjawan menuturkan, para hafidzat itu senantiasa memelihara kewajiban-kewajiban batiniah yang tersembunyi.(3)  Mereka menempatkan suami sebagai satu-satunya kekasih yang sepenuhnya mendapatkan kecintaan yang mendalam,(4)  imbuh Muqatil Ibnu Sulaiman.


Sebagai hasrat yang paling sensitif dari kerinduan suci, cinta dalam keluarga mengungkapkan dirinya dalam rahasia yang tersembunyi. Muhammad Rasyid bin Ali Ridho mengemukakan, hafidzat itu adalah para wanita yang menjaga segala perkara rahasia, dan tidak menampakkan dari dirinya segala sesuatu yang khusus hanya untuk suaminya.(5)  Pengertian semacam ini juga diamini oleh Maha Guru Tafsir Musthofa al Maraghi.


Dan seperti kata-kata, kualitas ini kemudian mengungkapkan pemaknaaan, melakukan identifikasi dan separasi secara spasial. As-Sa’dy mengemukakan hafidzat itu adalah para wanita yang senantiasa menjaga dirinya dari syubhat, menjaga amanah, merawat rumah, menjaga keluarga dengan pendidikan yang baik, adab yang bermanfaat bagi agama dan dunia. Para hafidzat itu mengerahkan seluruh potensinya seraya mengetuk pintu-pintu pertolongan dan kasih sayang Allah melalui munajat dan pertaubatan sejati.(6)  


Melalui pengalaman sejati, hafidzat itu memperoleh pandangan baru kebenaran dan kebermaknaan. Kekuatan cinta mereka kepada Allah menjadi dasar atas terjaganya rahasia dan kekurangan suami terkasih. Menjadi pondasi bagi lahirnya keberadaban. 


Mereka menjadikan Allah bukan sebagai realitas Maha Mengetahui yang berada jauh diluar sana, melainkan menghadirkan Allah dalam pikiran, hati dan wujud tingkah laku. Melalui pengalaman sejati, hafidzat menempuh perjalanan spiritual kedalam wilayah yang tak dapat dijangkau melalui persepsi wanita biasa. 


Hafidzat bukanlah merupakan definisi dari sebuah inferioritas kultural dan spiritual. Mereka meletakkan nilai transenden di pusat kehidupan keluarga, menanamkan sikap batin, serta menjaga arah perjalanan keluarga. Dan dalam keheningannya yang fasih, mereka tak lekang memuji Tuhannya.


Catatan Kaki

  1. Ibnu ‘Athiyah al-Andalusi, al-Muharar al-Wajiz Fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan pertama, 1422 H), Juz 2, hlm 47.
  2. Abu Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, Cetakan pertama, 1420 H),Juz 8, hlm 295.
  3. Ni’matullah bin Mahmud al-Nakhjawani, al-Fawatih al-Ilahiyah wa al-Mafatih al-Ghaibiyah, (Mesir: Dar Rukabi li an-Nashr, cetakan pertama 1419 H), Juz 1, hlm 151.
  4. Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, (Beirut: Dar Ihyau Turats, Cetakan pertama, 1423 H), Juz 1, hlm 371
  5. Muhammad Rasyid Ridha al-Husaini, Tafsir al-Manar, (Mesir: al-Haiah a-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990), Juz 5, hlm 58.
  6. Abdurrahman al-Sa’di, Taisir al-Lathif al-Manan Fi Khalasah Tafsir al-Qur’an, (Kerajaan Saudi Arabia: Departemen Urusan Islam, Cetakan pertama, 1422 H), Juz 1, hlm 138.

 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion