Sigit Suhandoyo. Sebagai sebuah integritas utama seorang wanita, Qanitat atau keta’atan berkaitan erat dengan ketaksempurnaan alamiah manusia dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan dari Zat Yang Maha Sempurna. Pertumbuhan akan terjadi jika manusia menyadari bahwa dirinya inferior dan membutuhkan Tuhan, seraya secara tak terhentikan berjuang keras mengembangkan jiwa secara gradual dan alamiah.
Pengertiaan Qanitat sebagai wanita yang penuh keta’atan,(1) sebagaimana dikemukakan oleh Mujahid bin Jabr, menunjukkan bimbingan kepada kaum wanita yang menuntut kualitas keyakinan dan moral yang lahir dari visi tentang Tuhan yang Maha Suci.
Gagasan murid Ibnu Abbas ra tersebut diikuti oleh sebagian besar penafsir Qur’an. Bahkan penulis tafsir Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Razi mengemukakan sebuah narasi, bahwa beragam derivasi teks qunut dalam al-Qur’an mengandungi arti keta’atan(2) .
Beragam pengertian Qanitat berikut, menunjukkan ragam makna keta’atan yang menunjukkan keutamaan wanita, penuh kehormatan dan menginspirasi. Seperti sebuah wiracarita tentang perjuangan memasuki zona esensial kehidupan yang penuh pengorbanan.
Ash-shobuni. Penulis tafsir Shofwatu Tafasir ini mengemukakan gagasan, bahwa qanitat adalah wanita yang melazimkan pengabdian kepada Tuhan dengan penuh ketundukan.(3)
Isma’il Haqi, penulis tafsir Ruhul Bayan mengemukakan, qanitat adalah wanita yang tekun dan teratur mewujudkan keta’atan kepada Tuhan.(4)
Keta’atan itu diiringi kesatuan tekad, kejelasan arah tujuan, serta penuh harap dan cinta kepada Tuhan,(5) Imbuh Sayyid Quthb penulis tafsir Fii Dzilalil Qur’an.
Qanitat menunjukkan konsepsi menarik mengenai kedalaman jiwa wanita yang merefleksikan orientasi eksoteris dan esoteris kepada Tuhan Yang Maha Suci. Orientasi ini membuat hati pemiliknya, senantiasa terkait dengan Tuhan, merekomendasikan gagasan tentang esensi dalam memandang seluruh kehidupan, terutama usaha kreatif dan gagasan-gagasan moral terhadap Tuhan dan sesama.
Ketulusan, Qanitat adalah wanita yang keikhlasannya teruji dalam keadaan susah maupun senang.(6) Ungkap pakar ilmu munasabah, Burhanuddin dari lembah Biqa’.
Keinsyafan. Qanitat adalah wanita yang senantiasa kembali dari segala sesuatu yang tak disukai Allah kepada yang disukai Allah.(7) Imbuh pemikir agung dari zaman keemasan Dinasti ‘Abassiyah, al-Mawardi.
Kehormatan, Qanitat adalah wanita yang terjaga kesuciannya dari perbuatan tercela karena agamanya,(8) tambah Abu Laits pakar tafsir dari Samarkand.
Keakraban. Qanitat adalah wanita yang banyak mencurahkan waktu untuk bersujud dan menyampaikan permohonan kepada Tuhannya,(9) demikian tutup Abu Ishaq, sang pemberi nasihat dari Tsa’lab.
Tidak saja merefleksikan keindahan abstraksi batiniyah, qanitat terlihat pula dalam perspektif lahiriah yang menawan. Ketaatan wanita kepada Tuhan memenuhi potensi esensial watak ilahiyah pada batiniyah mereka, teradaptasi dalam aspek lahiriah.
Pakar tafsir lughowi dari abad 6 hijriah, Mahmud bin abil hasan an-Naisabury, memberikan kesaksian yang mengharukan dan mencerahkan, tentang makna qanitat sebagai wanita yang memegang teguh hak-hak suami dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.(10)
Dikarenakan pengabdian mereka kepada Tuhan, para wanita itu mempersembahkan kepada suaminya kemurnian jiwa dan ketentraman hati,(11) ungkap maha guru tafsir universitas al-Azhar, Sayyid Thantawi.
Konsistensi batiniyah dan lahiriyah menjadi arsitek bagi kebermaknaan wanita. Seperti koherensi kimiawi, menimbulkan daya tarik molekul-molekul yang menghindarkan terpisahnya bagian-bagian. Para pembawa energi ilahiyah itu menumbuhkan kedamaian dan ketenangan tertentu disekitar mereka, memberi rasa akan kebermaknaan.
Qanitat. Para wanita penuh kasih itu terbakar oleh hasrat mengabdi yang suci. Menjaga keseimbangan yang memikat antara pola fikir lahiriyah dan batiniyah karena Tuhannya. Mendatangkan kedamaian bagi sesama, menggagas makna batin peradaban. Hasbunallah wa ni’mal wakil
Catatan Kaki
- Mujahid bin Jabr, Tafsir Mujahid, (Mesir: Dar al-Fikr al-Islami al-Haditsah, Cetakan pertama 1410 H), hlm 275.
- Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar Ihyau Turats al-‘Arabi, Cetakan ke 3, 1420 H), Juz 6, hlm 488.
- Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatu al-Tafasir, (Cairo: Dar al-Shabuni, Cetakan pertama, 1417 H), Juz 1, hlm 250.
- Isma’il Haqi, Ruh al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 2, hlm 202.
- Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq, Cetakan ke 17, 1412 H), Juz 2, hlm 652.
- Burhanuddin al-Biqa’i, Nadhmu al-Durar fi Tanasubi al-Ayat wa al-Suwar, (Cairo: Dar al-Kitab al-Islami, tth), Juz 20, hlm 194.
- Abul Hasan al-Mawardi, al-Nukat wal ‘Uyun, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), Juz 6, hlm 41.
- Abu al-Laits al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulum, (Beirut: Dar al-Fikr,tth), Juz 1, hlm 300.
- Abu Ishaq al-Tsa’labi, Al-Kasyaf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an, (Beirut; Dar Ihyau al-Turats al-‘Arabiy, Cetakan pertama, 1422 H), Juz 9, hlm 349.
- Nidzham al-Din al-Qumi al-Naisabury, Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan pertama, 1416 H), Juz 2, hlm 409. Lihat juga Juz 1, hlm 656.
- Muhammad Sayyid Thantawi, Al-Tafsir Al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, (Cairo: Dar Nahdhah, 1997), Juz 3, hlm 138.