Sigit Suhandoyo
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمُ النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ.(1)
Allah telah membuatku mencintai dari dunia; kaum wanita dan wewangian dan penyejuk pandangan mataku ialah shalat.
Cinta itu sesuatu yang putih bersih, tersembunyi namun terlahirkan. Demikianlah yang dituliskan oleh Muhammad dalam Madarijus Salikin. Salah satu masterpiecenya, yang menuturkan tentang jalan-jalan spiritual para Salik.
Seperti itulah cinta, kesuciannya terjaga di lubuk hati. ia terkekang, bersembunyi dan malu untuk menampakkan dirinya. Namun ia juga ingin terlahirkan, ingin berbagi keindahannya. Dalam keheningannya, ia bergemuruh. Dalam kebisuannya, ia menyapa. Tak dapat ditutup-tutupi, cinta selalu menginginkan melantunkan pujian bagi kekasihnya, sentimental penuh gairah.
Pemilik nama pena Ibnul Qayyim al-Jauziyah ini menuturkan lebih lanjut, Cinta itu sesuatu yang konsisten, kokoh, menjaga dan memiliki.(2) Entah kita menyadarinya atau tidak, cinta adalah akar dari eksistensi manusia. Ia adalah unsur elementer bagi proses kreatif kebajikan.
Seperti juga yang dituturkan oleh Ar-Raghib; Sang Perindu dari Isfahan. Cinta itu ingin memiliki dan takut berpisah. Cinta menginginkan kebaikan dan kemuliaan, bukan kenistaan.(3) Melalui cinta, Allah sematkan pandangan baru tentang makna kebenaran dan pertaubatan. Yang secara mendasar Al-Ghazali menyebutkannya sebagai sepasang sayap; rasa harap dan rasa takut.
Pakar tafsir al-Qurthubi mengemukakan, hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw memiliki watak kemanusiaan, menikmati keindahan atas penciptaan manusia. Allah ta’ala mensyari’atkan kepada manusia kecenderungan kepada kebenaran dengan mudah. Keberadaan syahwat tidak menjadikan manusia hina, ketika manusia kembali kepada hukum-hukum Allah dengan hati yang bersih.(4)
Mencintai wanita bagi Nabi saw, adalah sebuah momentum lahirnya gerakan legalistik dan asketik bagi pemuliaan wanita. Berbakti kepada ibu, menikah, memuliakan wanita, mengasihi anak wanita, adalah diantara aspek cinta positif dan sehat yang terlegitimasi.
Mencintai wanita bagi Nabi saw, bukan suatu symbol hiperseksual, sebagaimana tuduhan para kritikus. Ia adalah tahapan normatif dan formatif untuk memindahkan wanita dari posisinya sebagai; penghasut pada kejahatan, pemaling perhatian pria dari upaya intelektual dan spriritual, maupun komoditas yang dapat diperdagangkan dan diwariskan. Sebagaimana pandangan tradisi sebelum Nabi saw terhadap wanita.
Mencintai wanita (istri) atas segala aspek kewanitaannya adalah keta’atan, salah satu bentuk penghambaan diri kepada Allah yang bernilai ibadah.
Pakar hadits Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutnya sebagai bentuk kedinamisan beribadah. Menikahi dan mencintai wanita (istri) adalah pengalaman keagamaan; separuh dien. Dalam pengalaman ini hal-hal yang saling bertentangan berbaur, tanpa batas, tak ada perbedaan, melahirkan warna-warni yang harmoni dan menyatu. Dinamis. Wanita dan wewangian itu menguatkan ruh, meningkatkan semangat hidup, demikian tutup Ibnu Rajab.(5)
Kenapa dalam hadits ini, wanita lebih awal disebutkan dari sholat? Padahal shalat adalah sebaik-baik perkara agama.
Nuruddin al-Qari menyebutkan wanita adalah perkara terbesar yang menguji kehidupan manusia di dunia. Bukan untuk dijauhi, bukan pula untuk dinistakan, melainkan untuk dicintai dalam segala skema cinta dalam agama.
Selanjutnya penulis Mirqatul Mafatih ini menuturkan, kebaikan dalam hubungan cinta akan menjadi dasar bagi pemiliknya untuk meraih kebaikan dalam sholat. Meraih sebaik-baik perkara akhirat, beralaskan sebaik-baik perkara dunia. Bukankah dunia itu perhiasan? dan sebaik-baik perhiasan dunia itu wanita (istri) sholihat,(6) Demikian pakar hadits asal khurasan ini menyimpulkan.
Sependapat dengan al-Qari, Zainuddin al-Munawi pensyarah kitab hadits al-Jami’ush Shagir ini menuturkan. Disebutkan wanita lebih awal, karena wanita adalah bagian dari pria, yang ujud lahiriyahnya merupakan penyejuk pandangan mata (qurratu a’yun) suaminya. Dan sholat sebagaimana dicontohkan Nabi, hendaknya menjadi penyejuk pandangan mata batin. Istri adalah bagian dari diri suaminya, mengenali istri merupakan bagian dari mengenali diri sendiri. Dan siapa yang mengenali dirinya Ia akan mengenali Tuhannya.(7)
Demikianlah, wujudnya cinta suami istri adalah awal dari wujudnya berbagai kebaikan perkara akhirat. Al-Ghazali menyebutkannya sebagai nilai didaktik cinta “metaforis” dalam mencintai Allah secara sejati.
Gagasan yang menggelitik dikemukakan oleh Ismail Haqi -Dalam tafsirnya yang bercorak Isyari, Ruhul Bayan- ia menuturkan, termasuk keperkasaan maskulin (jima’) suami kepada istrinya, merupakan kebaikan bagi agama keduanya.(8)
Dalam pandangan ini, cinta adalah realitas yang terang, merambah semua tataran wujud, jiwa dan raga, menuntut penerimaan penuh, kelembutan, kesungguhan, perhatian dan tanggung jawab.
Ismail Haqi memandang bahwa energi erotis dan konsekuensinya adalah upaya yang dilakukan para pencari kebenaran untuk meniti jalan kepada Tuhannya. Inilah sebabnya menurut pandangan sementara kaum sufi, manusia bisa lebih mulia dari malaikat, karena malaikat tak memiliki hawa nafsu.
Boleh setuju ataupun tidak, Sahl at-Tustari, seorang penafsir dari abad 3 hijriah, bahkan mengaitkan keperkasaan maskulin seorang pria atas istrinya, dengan tingginya tingkat keshalihan. Sebuah gagasan yang juga diamini oleh al-Hakim at-Tirmidzi dari abad berikutnya.(9)
Dari era yang sama, Ibnu ‘Ajibah mengemukakan, Mencintai istri bukanlah bentuk dominasi syahwat atas diri seorang suami. Melainkan syafaqah, yaitu; lemah lembut merasakan keadaan emosional istri dan membimbingnya. Dan juga rahmah, keintiman dalam kasih sayang, yang bukan semata bagi kebaikan dunia namun juga bagi kebaikan akhirat.(10)
Selanjutnya penulis tafsir Bahrul Madid ini mengutip perkataan Ibnul Mubarak, al-Ushrah ash-Shahihah; adalah sesuatu yang tidak akan meninggalkan penyesalan, cepat maupun lambat, didunia maupun akhirat.
Hasbunallah wa ni’mal wakil
Catatan Kaki
- Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, Cetakan pertama, 1421 H), Juz 19, hlm 307, hadits no 12294.
- Ibn Qayyim al-Jauziyah, Madarij al-Salikin, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cetakan ke 3, 1416 H), Juz 3, hlm 11.
- Al-Raghib al-Ashfihani, al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-Qalam, cetakan pertama 1412 H), Juz 1, hlm 214.
- Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, Cetakan ke 2, 1384 H), Juz 10, hlm 56.
- Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ul Ulum wal Hikam, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, tth), Juz 2, hlm 192
- Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala al-Harawi al-Qari, Mirqatu al-Mafatih, (Beirut: Dar al-Fikr, cetakan pertama 1412 H), Juz 8, hlm 3294.
- Zainuddin al-Munawi, Al-Taysir bi Syarhi al-Jami’ ash-Shagir, (Riyadh: Maktabah al-Imam al-Syafi’i, cetakan ke 3 1408 H), Juz 1, hlm 493.
- Isma’il Haqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 2, hlm 183.
- Ibid, Juz 4, hlm 384
- Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Ajibah, al-Bahrul Madid fi Tafsir al-Qur’anul Majid, (Cairo: Terbitan Pribadi Hasan Abbas Zaki, 1419 H), Juz 4, hlm 333.