Bulan Syawal Usai, Puasa Syawal Belum Juga Selesai. Bolehkah Mengqadhanya?



Masyarakat Muslim di Indonesia memiliki sebuah tradisi yang baik di bulan Syawal, yaitu halal bihalal. Seusai Ramadhan setiap Muslim saling berkunjung, berkumpul dalam rangka bersilaturahim dan saling memaafkan. Semakin banyak keterlibatan seseorang dengan berbagai bentuk ikatan sosial tentu semakin banyak pula kegiatan halal bihalal yang dilakukannya. Terkadang hal ini mengakibatkan seseorang membatalkan puasanya, demi menghormati tuan rumah dan juga karena begitu banyaknya hidangan yang tersaji. Sehingga bulan Syawalpun usai, sedang puasa syawal belum juga selesai. 


Sebagaimana diketahui pada puasa wajib bulan Ramadhan, seseorang yang karena udzur (halangan yang diperkenankan syari’at) diwajibkan mengqadha puasanya dibulan lain. Apakah ketentuan tersebut berlaku pula pada puasa sunnah, khususnya puasa 6 hari di bulan syawal? Dalam hal ini terdapat 2 pendapat terkait hukumnya, pendapat pertama wajib dan pendapat kedua sunnah.


Pendapat Pertama: Wajib Mengqadha Puasa Sunnah Yang Rusak (Fasad).


Para ulama kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa mengqadha puasa sunnah yang rusak hukumnya wajib. Mereka berpendapat dengan keumuman dalil dalam surat Muhammad ayat ke 33.

وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

“Dan janganlah kalian merusak (pahala) amal-amal kalian”


Dalil berikutnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, 

يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّا كُنَّا صَائِمَتَيْنِ، فَعُرِضَ لَنَا طَعَامٌ اشْتَهَيْنَاهُ فَأَكَلْنَا مِنْهُ، فَقَال: اقْضِيَا يَوْمًا آخَرَ مَكَانَهُ. (1)

“Wahai Rasulullah sesungguhnya kami (‘Aisyah dan Hafshah} berpuasa, kemudian ditawarkan kepada kami makanan yang kami menyukainya, lalu kami memakannya. Rasulullah bersabda: “ Lakukanlah qadha puasa sehari sebagai gantinya.”


‘Alauddin al-Kasyani (wafat 587 H), ulama Hanafiyah kelahiran Halab, mengemukakan bahwa bagi kalangan kami wajib mengqadha puasa sunnah yang rusak (fasad). Kemudian ia mengemukakan hadits riwayat ‘Aisyah di atas yang menurutnya menunjukkan wajibnya mengqadha puasa sunah secara mutlak. (2)


Masih dari Kalangan Ulama Hanafiyah, Badruddin al-‘Aini (wafat 855 H), seorang faqih dan pakar hadits, menuliskan sebuah pasal dalam bukunya dengan judul “Hukum yang terkait dengan seorang yang melakukan shalat dan puasa sunnah kemudian ia merusaknya”. Secara ringkas, menurutnya wajib mengqadha puasa sunnah yang rusak, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surat Muhammad ayat 33 “Dan janganlah kalian merusak (pahala) amal-amal kalian”. Ayat ini menunjukkan larangan membatalkan kesempurnaan amal perbuatan, sehingga wajib untuk mengqadha puasa sunnah sebagaimana wajibnya puasa karena nadzar.(3)


Sependapat dengan hal tersebut al-Ru’yani (wafat 954 H), seorang faqih dari kalangan ulama Malikiyah mengemukakan bahwa 

أَنَّهُ يَجِبُ الْقَضَاءُ فِي صَوْمِ النَّفْلِ بِالْفِطْرِ، كَمَنَ شَرَعَ فِي صَوْمِ التَّطَوُّعِ ثُمَّ أَفْطَرَ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلَا عُذْرَ، فَإِنَّ إِتْمَامَ صَوْمِ النَّفْلِ وَاجِبٌ، وَلَا يَجُوزُ قَطْعُهُ. (4)

Wajib mengqadha puasa sunnah yang dibatalkan, sebagaimana ditetapkan dalam puasa sunnah kemudian membatalkan puasa tanpa udzur dan bukan dalam kondisi darurat, menyempurnakan puasa sunnah hukumnya wajib, dan tak boleh terpotong (rusak).


Pendapat Kedua: Sunnah Mengqadha Puasa Sunnah Yang Rusak (Fasad).


Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah. Menurut mereka tidak wajib mengqadha puasa sunnah yang rusak, sebagaimana hukum puasanya adalah puasa sunnah, maka hukum mengqadha puasa sunnah hukumnya tidaklah wajib melainkan sunnah. Hal ini disamakan, apakah rusaknya puasa dikarenakan suatu udzur yang dibenarkan syari’at maupun tidak karena udzur.


Imam al-Nawawi (wafat 676 H), seorang faqih yang masyhur dari kalangan ulama Syafi’iyah mengemukakan bahwa menyempurnakan amal yang disunnahkan merupakan hal yang disukai (mustahab). Sehingga mengqadha amalan sunnah termasuk puasa merupakan hal yang disukai (hukumnya sunnah). Imam al-Nawawi menegaskan sebagai berikut,


لَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ صَوْمِ التَّطَوُّعِ إذَا خَرَجَ مِنْهُ سَوَاءٌ أَخْرَجَ مِنْهُ بِعُذْرٍ أَمْ بِغَيْرِهِ (5)

Tidak wajib hukumnya mengqadha puasa sunnah yang ditinggalkan (dibatalkan), sama saja apakah karena suatu udzur maupun bukan karena suatu udzur.


Menguatkan pendapat tersebut di atas, Al-Qadhi Zakariya (wafat 926 H)  mengemukakan bahwa mengqadha amal-amal sunnah  merupakan hal yang disukai (mustahab). Puasa sunnah, sebagaimana halnya ibadah sunnah lainnya seperti sholat dhuha, sholat rawatib dan sholat tahajud dll. Jika hal tersebut biasa dilakukan maka disukai (disunnahkan) untuk mengqadhanya jika terlewat.(6) Kemudian ia mengemukakan dalil hadits tentang anjuran mengqadha sholat witir yang terlewat. Hadis ini diriwayatkan dari Abu Sa’id ra,

مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ، أَوْ نَسِيَهُ، فَلْيُصَلِّهِ إِذَا ذَكَرَهُ (7)

Barang siapa yang tidur atau terlupa sholat witir, maka sholatlah ketika ia mengingatnya.


Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh Ishaq bin Manshur (wafat 251 H) dari kalangan Hanabilah, bahwa seseorang yang membatalkan puasa sunnahnya, kemudian ia mengqadhanya, maka hal tersebut baik, dan kalaupun ia tidak mengqadhanya, maka tidak ada aib baginya.(8)


Kesimpulan


Dari berbagai pendapat di atas, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa seseorang yang sudah berniat dan berpuasa 6 hari di bulan syawal, kemudian amal tersebut rusak, batal atau tak sempurna, baik karena udzur maupun bukan karena udzur, maka dibolehkan baginya mengqadha puasanya dihari-hari lain, termasuk di bulan-bulan lain di luar bulan syawal.


Meski demikian menurut pendapat kami, sebaiknya setiap muslim berupaya untuk sebisanya melakukan ibadah pada waktunya, karena hal tersebut adalah lebih utama. 


Wallahu a’lam bishowab

Sigit Suhandoyo


Catatan Pustaka

(1) Imam Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1998), juz 2, hlm 104 hadits no 735. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud hadits no 2457, Imam Ahmad hadits no 26267, Imam al-Nasai hadits no 3277.

(2) Lihat ‘Alauddin al-Kasyani al-Hanafi, Badai’u al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1986), juz 2, hlm 102

(3) Lihat Badruddin al-‘Aini al-Hanafi, al-Bidayatu Syarh al-Hidayah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet pertama 2000), Juz 4, hlm 87-89.

(4) Muhammad al-Hatab al-Ru’yani al-Maliki, Mawahib al-Jalil Fi Syarh Mukhtashar al-Khalil, (Beirut: Dar al-Fikr, cetakan ke 3 1992), Juz 2, hlm 430.

(5) Abu Zakariya al-Nawawi al-Syafi’i, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz 6, hlm 396.

(6) Zakariya al-Anshari al-Syafi’i, Asna al-Mathalib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, tth), juz 1, hlm 207. 

(7) Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tth), Juz 2, hlm 65, hadits no 1431.

(8) Ishaq bin Manshur al-Kausaj, Masail al-Imam Ahmad wa Ibn Rahawaih, (Saudi Arabia: Lembaga Riset Universitas Madinah, 1425 H), Juz 3, hlm 1238.