Wali Orang-Orang Beriman



1. Teks Ayat
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). Ali Imran 28.[1]

2. Sebab Turunnya Ayat
Al Qurthubi menuliskan dalam tafsirnya sebuah riwayat dari adh dhohak dari Ibnu ‘Abbas sebagai berikut,
أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ الْأَنْصَارِيِّ وَكَانَ بَدْرِيًّا تَقِيًّا وَكَانَ لَهُ حِلْفٌ مِنَ الْيَهُودِ، فَلَمَّا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ قَالَ عُبَادَةُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّ مَعِي خَمْسَمِائَةِ رَجُلٍ مِنَ الْيَهُودِ، وَقَدْ رَأَيْتُ أَنْ يَخْرُجُوا مَعِي فَأَسْتَظْهِرُ بِهِمْ عَلَى الْعَدُوِّ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى:" لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرِينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ"
bahwa ayat ini diturunkan tentang ‘Ubadah bin ash shomit al anshari seorang ahli badar. Ia memiliki sahabat dari kalangan Yahudi. Ketika Nabi Muhammad saw keluar pada saat perang Ahzab ia berkata, Ya Nabiyullah, aku memiliki sahabat orang Yahudi sebanyak 500 orang, dan aku menganggap perlu kalau mereka itu mau keluar bersamaku untuk menghadapi musuh. Kemudian Allah menurunkan Ayat ini, “janganlah orang-orang beriman mengangkat orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang  beriman.” Al Jami’ li Ahkam al Qur’an 4/58)[2]

3. Tafsir Ayat
Pengertian Wali
Aulia adalah bentuk jamak dari wali yang berarti an nashiir dan al ma’iin yaitu penolong dan pembantu. Tafsir al Muniir 3/198 sedangkan al muwalah berarti,
المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر
Bergaul dengan baik di dunia dengan pertimbangan lahiriyah as sais: tafsir ayat al ahkam 1/191
Ibnu Jarir menuliskan sebuah riwayat dari mutsanna, dari Abdullah bin sholih, dari mu’awiyyah dari ali dari ibnu abbas ia berkata bahwa maksud kalimat “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” adalah,
نهى الله سبحانه المؤمنين أن يُلاطفوا الكفار أو يتخذوهم وليجةً من دون المؤمنين، إلا أن يكون الكفارُ عليهم ظاهرين، فيظهرون لهم اللُّطف، ويخالفونهم في الدين.
Allah subhanahu wa ta’ala melarang orang beriman berlemah lembut kepada orang-orang kafir atau mengambil mereka sebagai teman setia hingga meninggalkan orang-orang mukmin, kecuali hanya menunjukkannya secara lahiriah semata dan meningkari mereka dalam urusan agama. Jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 6/313

Pengertian Taqiyah
Ash shobuni menuliskan dalam tafsirnya bahwa taqiyah berarti kondisi seorang manusia yang menjaga dirinya dari kejahatan yang mungkin menimpa dirinya shafwah at tafasir 1/176. Sehingga  mencari keselamatan dengan bersiasat. Kondisi ini dikarenakan lemahnya muslim di suatu negeri.az zuhaili: tafsir al munir 3/179.
ibnu Abbas mengatakan taqiyyah itu adalah
هُوَ أَنْ يَتَكَلَّمَ بِلِسَانِهِ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
bersiasat dengan lisan sedangkan hati mereka tenang dalam keimanan. Hal ini pernah terjadi pada masa-masa awal Islam, Sebagaimana perkataan mu’adz bin jabal dan mujahid,
كَانَتِ التَّقِيَّةُ فِي جِدَّةِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ قُوَّةِ الْمُسْلِمِينَ، فَأَمَّا الْيَوْمُ فَقَدْ أَعَزَّ اللَّهُ الْإِسْلَامَ أَنْ يَتَّقُوا مِنْ عَدُوِّهِمْ
Kami melakukan taqiyah pada awal-awal Islam sebelum ummat Islam memiliki kekuatan, adapun pada hari Allah memuliakan Islam maka kami menjadi berani atas musuh-musuh.[3]

4. Kandungan Hukum· 

Mengangkat orang kafir sebagai wali
Mengangkat orang kafir sebagai pemimpin, wali, berkasih sayang dengan mereka haram hukumnya sebagaimana dalil ayat ini. sebagaimana tidak adanya hubungan antara seorang muslim dengan kafir dalam hal kekuasaan dan warisan. Ibnu Abbas mengatakan,
نهى الله المؤمنين أن يلاطفوا الكفار، أو يتخذوهم وليجة من دون المؤمنين.
Allah melarang orang beriman untuk berkasih sayang dengan orang kafir atau mengangkat mereka sebagai sahabat karib selain orang-orang beriman.[4]

Meminta Pertolongan Kepada Selain Ummat Islam Dalam Memerangi Musuh
Para fuqaha berbeda pendapat tentang dibolehkannya memohon pertolongan kepada orang musyrik dalam memerangi musuh. Kalangan  hanafiyah dan hanabilah dan syafi’iyyah selain ibnul mundzir dan ibnu hubaib dari malikiyah. Sebagaimana riwayat dari imam Malik bahwa dibolehkannya meminta bantuan kepada selain orang Islam ketika sangat dibutuhkan. Maushu’at fiqhiyyah 16/146
Dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah memberikan syarat bahwa imam yang mengambil keputusan tersebut harus terkenal baik oleh ummat Islam, dan diyakinkan aman dari pengkhianaan mereka. Kemudian Syafi’iyyah menambahkan syarat bahwa jumlah ummat Islam harus lebih banyak, sehingga jika terjadi pengkhianatan mereka masih bisa menyelesaikan masalahnya. Maushu’at fiqhiyyah 16/146
Al Mawardi memberikan syarat bahwa yang dimintai pertolongan itu harus berbeda keyakinan dengan musuh. Menurut Malikiyah selain ibnu Hubaib dan sekelompok dari ahli ilmu diantara mereka ibnul mundzir dan az zauzajaniy berpendapat tidak boleh meminta pertolongan kepada orang musyrik.[5]
Sedangkan meminta pertolongan kepada ahli kitab, maka kalangan syafi’iyyah berpendapat dibolehkan mengontrak mereka, karena mereka tidak berhak mendapatkan ghanimah dari perang tersebut. Nihayah al muhtaj 8/62-63

Mengangkat Orang Kafir Untuk Menangani Urusan Ummat Islam.
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengang-kat orang kafir untuk menangani urusan ummat Islam tidak di bolehkan. Sebagaimana tidak dibolehkannya menghormat dan mengagung-kannya dalam majlis-majlis, karena sesungguh-nya orang-orang musyrik itu adalah najis (9:28). As shobuni: rowaiul bayan 1/403

Bersiasat Demi Melindungi Diri
Bersiasat dalam keadaan darurat demi melindungi diri dari ancaman dibenarkan dalam Islam sebagaimana dalil ayat ini dan surat an nahl 106,
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.
Kondisi seperti ini pernah terjadi di masa Rasulullah saw ketika dua orang sahabat tertangkap oleh musailamah al kadzab. Al Hasan berkata,
أَخَذَ مُسَيْلِمَةُ الْكَذَّابُ رَجُلَيْنِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِأَحَدِهِمَا: أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ نَعَمْ نَعَمْ، فَقَالَ: أَفَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟  قَالَ: نَعَمْ، وَكَانَ مُسَيْلِمَةُ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ بَنِي حَنِيفَةَ، وَمُحَمَّدٌ رَسُولُ قُرَيْشٍ، فَتَرَكَهُ وَدَعَا الْآخَرَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَفَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟ فَقَالَ: إِنِّي أَصَمُّ ثَلَاثًا، فَقَدَّمَهُ وَقَتَلَهُ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم، فقال: أَمَّا هَذَا الْمَقْتُولُ فَمَضَى عَلَى يَقِينِهِ وَصِدْقِهِ فَهَنِيئًا لَهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَقَبِلَ رُخْصَةَ اللَّهِ فَلَا تَبِعَةَ عَلَيْهِ.
Musailamah menangkap dua orang sahabat Nabi saw, lalu ia berkata kepada salah seorang diantara mereka berdua itu: apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah? Ia menjawab: benar, benar, benar. Musailamah bertanya lagi: apakah engkau bersaksi bahwa aku juga utusan Allah? Iapun menjawab: benar. Musailamah menganggap ia rasul bagi suku hanifah dan Muhammad adalah rasul suku quraisy, maka Musailamah melepaskan orang tersebut dan memanggil yang lainnya. Ia bertanya apakah engkau meyakini bahwa Muhammad itu utusan Allah? Ia menjawab: benar. Lalu bertanya lagi: apakah engkau meyakini bahwa aku juga utusan Allah? Ia menjawab sesungguhnya aku bisu, ini diucapkannya hingga 3 kali. Maka dibunuhlah ia. Kemudian sampailah berita ini kepada Rasulullah saw. Lalu ia bersabda; “adapun orang yang terbunuh ia telah melaksanakan keyakinan dan kebenarannya maka berbahagialah ia. Adapun yang seorang lagi maka ia menerima suatu keringanan dari Allah, karenanya ia tidak disiksa.”[6]
Al Hasan berkata bahwa taqiyyah dibolehkan bagi orang beriman hingga hari kiamat.[7] Berbeda dengannya, Al Qurthubi mengingkari adanya taqiyyah berdasarkan perkataan Mu’adz bin Jabar sebagaimana ia dan ar razi nisbahkan kepada mujahid,
كَانَتِ التَّقِيَّةُ فِي جِدَّةِ الْإِسْلَامِ قَبْلَ قُوَّةِ الْمُسْلِمِينَ، فَأَمَّا الْيَوْمُ فَقَدْ أَعَزَّ اللَّهُ الْإِسْلَامَ أَنْ يَتَّقُوا مِنْ عَدُوِّهِمْ
Kami melakukan taqiyah pada awal-awal Islam sebelum ummat Islam memiliki kekuatan, adapun pada hari Allah memuliakan Islam maka kami menjadi berani atas musuh-musuh.[8]
As Sarakhsi mengatakan bahwa taqiyyah adalah bagian dari nifaq. al mabsuth 24/45

5.Kesimpulan
Ayat ini menunjukkan larangan mengangkat orang kafir sebagai wali maupun pemimpin hingga menyampingkan orang beriman.
Bersiasat demi menyelamatkan diri dari ancaman kejahatan  orang-orang kafir diboleh-kan sekalipun teguh dalam pendirian adalah lebih utama.

Wallahu a’lam

  1. Wahbah az zuhaili menuliskan dalam tafsirnya bahwa ayat yang semakna dengan perngertian ini banyak ditemukan dalam al qur’an, yaitu Ali Imran 118, al mujadalah 22, al maidah 51, an nisa 144, al mumthanah 1, al anfal 73 dan at taubah 71.
  2. Lihat juga ats tsa’laby: al kasyaf al bayan an tafsir al qur’an 3/47, Nidzhomuddin Hasan an Naisabury: gharaib al qur’an wa raghaib al furqan 2/139, Wahbah musthofa az zuhaili: tafsir al munir fi al aqidah wa asy syari’at wa al minhaj 3/198.  
  3. Lihat al Qurthubi: al Jami’ li ahkam al qur’an 4/57. Ibnu Abi Hatim : tafsir al qur’an al adzhim 11/204. Ath thobari: jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 6/315
  4. Lihat ath Thobari : jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 6/313, al jashas: ahkam al qur’an 2/288, al kayya alhirasy: ahkam al qur’an 2/283-384, al qurthubi: al jami’ li ahkam al qur’an 4/57, ibnu katsir: tafsir al qur’an al adzhim 2/30, asy syaukani: fath al qadir 1/380, as sayis: tafsir ayat al ahkam 1/190.
  5. Lihat Ibnu ‘Abidin 3/235, al mabsuth 10/33, fath al qadir 5/242, al mudawanah 3/40, mughni al muhtaj 4/221, raudhah ath tholibin 10/239, al mughni 8/414, kasyaf al qana’ 3/48.
  6. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 12/308 dari jalur yunus dari hasan al bashri. Hadits ini mursal. Hadits ini banyak dikemukakan oleh para mufassir ketika menafsirkan surat an nahl 106, diantaranya,  al jami’ li ahkam al qur’an 10/189, fath al qadir 3/237, jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 20/505, tafsir ibnu katsir 4/606.
  7. Ad dar al mansur 5/182, ar razi 8/28, fath al baari 12/112.
  8. al qurthubi: al jami’ li ahkam al qur’an 4/57, ar razi 8/14.

Qishash



1. Nash Ayat
Allah telah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 178 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

2. Sebab Turunnya Ayat
Wahbah Zuhaili menuliskan dalam tafsirnya tentang sebab turunnya ayat ini. Diriwayatkan dari qatadah, asy sya’bi dan sekelompok dari tabi’in.
أَنَّهُ كَانَ مِنْ أَهْلِ الجَاهِلِيَّةِ بَغْيٌ وَطَاعَةٌ لِلشَيْطَانِ،فَكَانَ الحَيُّ إِذَا كَانَ فِيهِمْ عِدَّةٌ وَمَنَعَةٌ، فَقَتَلَ عَبْدُ قَوْمٍ آخرِينَ عَبْدًا لَهُمْ، قَالوُا: لَا نَقْتُلُ بِهِ إِلَّا حُرًّا، اِعْتِزَازًا بِأَنْْفُسِهِمْ عَلَى غَيْرِهِمْ. وَإِنْ قُتِلَتْ لَهُمْ اِمْرَأَةٌ قَالوُا: لَا نَقْتُلُ بِهَا إِلَّا رَجُلاً، فَأَنْزَلَ اللهُ هَذِهِ الآيةِ، يُخْبِرُهُمْ أَنَّ الْعَبْدَ باِلْعَبْدِ، وَالأُنْثَى باِلأُنثْىَ، فَنَهَاهُمْ عَنِ الْبَغْيِ.
Bahwa orang-orang jahiliyyah bangsa arab melakukan kezaliman dan mengikuti ajakan syaitan, apabila satu suku yang memiliki peralatan perang dan kekuatan kemudian seorang hamba dari mereka membunuh hamba dari suku yang lain, maka mereka berkata: “Kami tidak akan membunuh melainkan orang yang merdeka” karena rasa keangkuhan mereka atas yang lain. Dan jika ada seorang perempuan diantara mereka membunuh seorang perempuan dari suku yang lain, merekapun berkata: “kami tidak akan membunuh melainkan seorang laki-laki”. Kemudian Allah menurunkan ayat ini yang mengabarkan kepada mereka bahwa seorang hamba dengan hamba, perempuan dengan perempuan, maka ayat ini mencegah mereka dari berbuat dzolim.[1]

3. Penjelasan Kalimat
Menurut istilah qishash adalah,
أَنْ يَفْعَلَ بِالْفَاعِلِ الجَانِي مِثْلَ مَا فَعَلَ
Melakukan sesuatu kepada si pelaku dosa dengan perkara yang sama dengan perbuatannya. ...al Jurjaaniy: at ta’rifat) Al fayumi berpendapat,
ثُمَّ غَلَبَ استِعْمَالَ القِصَاصِ فِي قَتْلِ القَاتِلِ، وَ جَرْحِ الجَارِحِ وَ قَطْعِ القَاطِعِ
Qisash itu menjadi sempurna dengan membunuh si pembunuh, melukai si peluka dan memotong si pemotong ...misbah al munir)
Berdasarkan definisi tersebut difahami bahwa qishash selain memberikan kepuasan akan rasa keadilan bagi orang yang teraniaya juga memberikan batasan agar mereka yang teraniaya tidak berbuat melampaui batas kepada pelaku dosa.

4. Kandungan Hukum
Wajibnya Qishash & Keutamaan Memaafkan
Para fuqaha sepakat akan wajibnya hukum mengqishash atas orang yang terkena perintah jika orang yang berhak mengqishash tidak menghapuskan tuntutannya. Mubah meminta pengampunan dan maaf sebelum orang yang berhak mengqishash mengambil hak sepenuhnya atas qishash. Memaafkan dan melakukan perdamaian lebih utama bagi orang yang berhak mengqishash. Pendapat ini berdasarkan ayat ini serta dalil lain sebagai berikut,
Surat al isra ayat 33
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Surat al Maidah 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.

Hadits Rasulullah yang diriwayatkan bukhari-muslim dari anas bin an nadhar,
وَعَنْ أَنَسٍ أَنَّ الرُّبَيِّعَ بِنْتَ النَّضْرِ - عَمَّتَهُ - كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ، فَطَلَبُوا إلَيْهَا الْعَفْوَ، فَأَبَوْا، فَعَرَضُوا الْأَرْشَ، فَأَبَوْا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَأَبَوْا إلَّا الْقِص َاصَ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِالْقِصَاصِ، فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ الرُّبَيِّعِ؟ لَا، وَاَلَّذِي بَعَثَك بِالْحَقِّ، لَا تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: يَا أَنَسُ، كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ فَرَضِيَ الْقَوْمُ فَعَفَوْا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ: إنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
Dari Anas bahwa Rubayyi’ binti an nadhar – saudara perempuan ayahnya – meretakkan gigi depan seorang gadis, lalu mereka meminta maaf, namun keluarga gadis menolak, kemudian mereka menawarkan denda, namun mereka tetap menolak. Menghadaplah keluarga gadis kepada rasulullah saw dan mereka menolak kecuali qishash. Anas bin Nadhar berkata, “wahai Rasulullah apakah gigi depan Rubayyi’ juga akan diretakkan (diqishash)? Tidak demi Rabb yang telah mengutusmu dengan kebenaran, giginya tidak akan diretakkan. Rasulullah saw berkata, “wahai Anas, kitabullah memerintahkan qishash”, maka relalah keluarga gadis itu dan mereka memberikan ampunan. Lalu rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya di antara hamba Allah itu kalau ada yang bersumpah dengan nama Allah, ia akan melaksanakannya.[2]

Jenis-jenis Pembunuhan & Qishashnya
Pembunuhan yang diancam keras sebagaimana disebutkan dalam hadits adalah pembunuhan yang disengaja (qatlul 'amd) dan bukan pada  semua bentuk pembunuhan. Jumhur ulama membagi pembunuhan menjadi tiga macam : pembunuhan disengaja (qatlul amd), pembunuhan setengah disengaja (al-qotlu syibhul amd) dan pembunuhan salah (al-qatlu al-khata').

Pembunuhan Disengaja
Pembunuhan disengaja adalah tindakan pelaku pembunuhan yang sengaja membunuh seorang manusia yang bebas  darahnya, seperti seorang yang dengan sengaja membunuh dengan pistol atau senjata atau sarana lainnya. Qatlul Amd dapat terjadi dengan cara langsung atau dengan sebab, seperti merusak bagian penting mobil seseorang yang berakibat pada kematian sopirnya atau yang menaikinya. Banyak lagi bentuk pidana yang sifatnya tidak aktif atau biasa disebut  al-jara-im as-salbiyah (Pidana Pasif) yang masuk pada pembunuhan disengaja.

Jika lebih dari seorang terlibat dalam pembunuhan, sedang mereka sengaja melakukannya , maka kondisi tersebut masuk dalam pembunuhan disengaja dan setiap orang terkena sangsi pembunuhan disengaja. Pendapat tersebut diikuti sebagian besar Fuqaha dan pendapat Umar ibnul Khattab r.a.. Diriwayatkan oleh Said ibnul Musayyib bahwa Umar ibnul Khattab membunuh tujuh orang penduduk San'a yang membunuh satu orang dan berkata:
لَوْ تَمَا لَأَعَلَيْهِ أَهْلُ الصَّنْعاَءِ لَقَتَلْتُهُم
” Jika penduduk San'a membangkang maka akan aku bunuh semuanya”[3]
Ibnu Katsir berpendapat tidak diketahui ada orang yang menentang keputusan Umar tersebut di masanya dan yang demikian itu menjadi semacam ijma’ sahabat.[4]

Pembunuhan Setengah Disengaja
Pembunuhan setengah disengaja adalah pembunuhan yang dilakukan seseorang secara tidak sengaja dan  tidak bermaksud membunuh-nya tetapi hanya bermaksud melukainya, tetapi menimbulkan kematiannya. Perbedaannya dengan qatlul amd ada dua, yaitu pada niat atau maksud pelakuknya dan pada sarana yang dipakai. Dalam qatlul amd pelaku memang bermaksud membunuhnya dan sarana yang dipakai pun secara dominan dapat digunakan untuk membunuh seperti; pedang, pistol dan lain-lain.

Adapun al-qatlu syibhul amd pelakunya tidak berniat membunuhnya dan alat yang digunakannya biasanya tidak membunuh. Pendapat ini diyakini oleh jumhur ulama sebagaimana dalil hadits dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda:
اقْتَتَلَتْ امْرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلٍ، فَرَمَتْ إحْدَاهُمَا الْأُخْرَى بِحَجَرٍ، فَقَتَلَتْهُمَا وَمَا فِي بَطْنِهَا، فَاخْتَصَمُوا إلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ: عَبْدٌ أَوْ وَلِيدَةٌ وَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْأَةِ عَلَى عَاقِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ
“Dua orang wanita dari suku Hudzail saling bunuh. Seorang diantara mereka   melempar dengan batu dan membunuh-nya dan janin yang ada dalam perutpun meninggal. Maka orang-orang datang pada Rasul Saw. meminta fatwa. Kemudian beliau memutuskan bahwa bagi mereka yang membunuh terkena sangsi dengan membayar diyat anaknya  seorang hamba lelaki atau perempuan dan memutuskan untuk membayar diyat wanita bagi keluarga si pembunuhnya.”[5]

Pembunuhan Salah
Tindakan pelaku pembunuhan yang tidak ada maksud membunuh dan tidak pula menyakitinya tetapi terjadi korban karena kesalahan. Dan pembunuhan salah disebut pidana sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an: ” Tidak boleh seorang mukmin membunuh mukmin lain kecuali karena salah. Barangsiapa membunuh karena salah maka harus memerdekakan budak mukmin dan membayar diyat yang diberikan kepada keluarganya ….” (an-Nisaa: 92).

Sanksi Pembunuhan disengaja
Sangsi atas tindakan pidana kriminal pembunuhan secara sengaja dalam Islam adalah qishash, kecuali keluarga pihak terbunuh memaafkannya. Dan jika memaafkan maka harus membayar diyat, kecuali juga membebaskannya. Dan jika keluarga terbunuh memaafkannya dari qishash dan diyat maka pemerintah harus memberikah hukuman yang setimpal. Allah SWT berfirman:” Telah diwajibkan qishash pada pembunuhan” (al-Baqarah 178). “Dan dalam qishash ada kehidupan,bagi kaum yang berfikir” (al-Baqarah 179). Sangsi dalam penjatuhan hukuman qishash  tidak boleh mengenai pihak yang tidak berdosa. Misalnya seorang wanita hamil yang terkena qishash maka tidak boleh diqishash sampai melahirkan dan menyusui secara cukup, sesuai firman Allah:” Tidak boleh berlebih-lebihan dalam membunuh” (al-Israa: 33) Dan ayat lain:” Tidak boleh seseorang menanggung kesalahan orang lain.” (al- An'am 164).

Membunuh Dalam Keadaan Gila
Para fuqaha sepakat bahwa qishash diberlakukan bagi seorang mukallaf yakni seorang berakal dan baligh ketika dia melakukan kejahatannya sehingga tidak diwajibkan qishash atas orang gila dan anak kecil.
Adapun jika seorang pembunuh ketika membunuh dalam keadaan berakal kemudian setelah itu menjadi gila setelah diajukan ke pengadilan maka menurut ulama hanafiyah wajib baginya qishash, sedangkan jika ia menjadi gila sebelum diajukan ke pengadilan maka dihapuskan qishash baginya dan mengganti diyat.
Jika ia gila dan kembali sadar, kemudian membunuh dalam keadaan sadar maka baginya qisash, dan jika ia menjadi gila kembali setelah itu gugur qishash atasnya.[6]
Menurut ulama malikiyah dalam kasus demikian maka ditunggu dahulu hingga ia sadar kemudian diambil qishash atasnya.
Jika seorang pembunuh gila kehilangan akal dalam waktu yang singkat (periodic), kemudian dia membunuh dalam keadaan sadarnya maka diambil qishash darinya dan jika dia membunuh dalam keadaan kehilangan akal maka tidak diambil qishash darinya.[7]
Demikian pula menurut ulama syafi’iyyah jika seorang pembunuh dan dia gila dengan sebenarnya maka dia tidak diqishash.
Dan jika dia gila secara singkat dan membunuh dalam keadaan gila maka tidak di qishash atasnya karena dalam keadaan demikian dia tidak termasuk mukallaf. Dan jika dia membunuh dalam keadaan sadar atau berakal kemudian membunuh maka wajib qishash atasnya[8]
Sedangkan menurut kalangan Hanabilah jika seorangpembunuh membunuh dalam keadaan sadar kemudian menjadi gila maka tidak gugur qishash atasnya, kemudian diambil qishash atasnya meski dalam keadaan gila jika telah ditetapkan terjadi pembunuhan dengan bukti yang kuat. Dan jika menjadi kuat bukti pembunuhan dengan kesaksian darinya maka tidak diambil qishash darinya hingga ia sadar.[9]
Dan yang semisal dengan keadaan gila adalah tidur dan pingsan hingga meniadakan taklif [10] dalam hadits disebutkan,
إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتىِ الخَطَأَ وَ النِسْيَانِ وَمَا اسْتَكْرَهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah meletakkan atas ummatku kesalahan dan kelupaan dan apa-apa yang kalian minta dijauhkan darinya.[11]
Adapun orang  yang mabuk ulama hanafiyah, malikiyah, syafi’iyyah dan hanabilah sepakat jika ia membunuh dalam keadaan mabuk dengan sesuatu yang diharamkan maka wajib atasnya qishash, dan jika mabuk karena dipaksa maka tidak ada qishash atasnya. 

Wallahu a’lam

[1] Lihat tafsir al munir 2/104-105, al qurthubi: al jami’ li ahkam al qur’an 2/245, ibnu katsir: tafsir al qur’an al adzhim 1/209, al wahidi: asbab an nuzul 26, as suyuthi: ad darr al manshur 1/173, zad al masir 1/180 dan ath thabari : jami’ al bayan an ta’wil li ayyi al qur’an 2/103.
[2] Diriwayatkan al bukhari dalam fath al bari 6/21 dan Muslim 3/1302.
[3] Riwayat Imam Malik Az-Zi'liy Nasbur Rayah 4/353, Lihat shohih bukhari 9/8 hadits ke 6896 dengan matan yg berbeda, Imam Malik: al Muwatha 2/871 hadits ke 13, Imam asy Syafi’i: al Musnad 1/200, Mushannif Ibnu Abi Syaibah 5/429 hadits ke 27693, sunan ad daruquthniy 4/279 hadits ke 3463, imam al baihaqi: sunan al kubra 8/73 hadits ke 15973, Syarh sunnah al baghawi 10/183.
[4] Lihat Ibnu Katsir: Tafsir al Qur’anul Adzhim 1/490.
[5] Lihat matan lengkap dalam Shohih al bukhari 9/11 hadits ke 6910, shohih muslim 3/1309 hadits ke 1681, sunan abu dawud 4/192 hadits ke 4576, sunan an nasa-i 8/48 hadits ke 4818, mushannif abdur razaq ash shan’ani 10/56 hadits ke 18338, musnad imam ahmad 13/132, shahih ibnu hibban 13/377 dan  sunan al kubro al baihaqi 8/123 hadits ke 16130.
[6] Ibnu ‘abidin 5/343
[7] Ad dasuqiy 4/237, az zarqaaniy 8/2
[8] Mughni al muhtaj 4/15, raudatu ath thalibin 9/149, hasyiyatu al qalyubiy 4/105.
[9] Al mughni 7/665
[10] Ibnu ‘abidin 5/376, az zarqaniy 8/2 dan al mughni 7/664.
[11] Diriwayatkan Ibnu Majah 1/659 dari ibnu ‘Abbas ra, an Nawawi menghasankannya sebagaimana dalam jami’ al ‘ulum wal hikam 2/361.

Urgensi & Syarat Taubat



وَعَنْ أَنَسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءُونَ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ.  )أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَسَنَدُهُ قَوِيٌّ(
Dari Anas ra berkata, “Rasulullah saw bersabda, “setiap anak adam pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang selalu bertaubat” (HR at Tirmidzi & Ibnu Majah, sanadnya kuat. Menurut Muhammad Nashirudin Al Albani Hadits ini hasan, shahih at Tirmidzi 2499)
Khataaun artinya (كَثِيرُو الْخَطَأِ إذْ هُوَ صِيغَةُ مُبَالَغَةٍ) banyak melakukan kesalahan, ini adalah bentuk sighat mubaalaghah.

Kandungan Hadits
وَالْحَدِيثُ دَالٌّ عَلَى أَنَّهُ لَا يَخْلُو مِنْ الْخَطِيئَةِ إنْسَانٌ لِمَا جُبِلَ عَلَيْهِ هَذَا النَّوْعُ مِنْ الضَّعْفِ وَعَدَمِ الِانْقِيَادِ لِمَوْلَاهُ فِي فِعْلِ مَا إلَيْهِ دَعَاهُ وَتَرْكِ مَا عَنْهُ نَهَاهُ.
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang manusia pasti tidak akan terlepas dari kesalahan, karena manusia memiliki tabiat yang lemah & ada kecenderungan untuk tidak mematuhi aturan yang telah diperin-tahkan Allah serta ada keengganan untuk meninggalkan larangan-Nya.
وَلَكِنَّهُ تَعَالَى بِلُطْفِهِ فَتْحَ بَابَ التَّوْبَةِ لِعِبَادِهِ وَأَخْبَرَ أَنَّهُ خَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ الْمُكْثِرُونَ لِلتَّوْبَةِ عَلَى قَدْرِ كَثْرَةِ الْخَطَأِ.  وَفِي الْأَحَادِيثِ أَدِلَّةٌ عَلَى أَنَّ الْعَبْدَ إذَا عَصَى اللَّهَ وَتَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ.
Akan tetapi atas Rahmat Allah ta’ala, Allah membukakan pintu taubat bagi para hamba dan mengatakan bahwa sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang mau bertaubat dan senantiasa bertaubat dari segala kesalahannya. Hadits ini juga merupakan bukti bahwa apabila seorang hamba melakukan perbuatan maksiat, lantas ia bertaubat, maka Allah pasti akan menerima taubatnya dan demikian seterusnya.

Syarat Taubat
Sebagian besar fuqoha dan ahli tafsir menyebutkan bahwa taubat memiliki 4 syarat,[1]
meninggalkan perbuatan maksiat tersebut,
الإِقْلاَعُ  عَنِ المَعْصِيَةِ حَالاً
menyesali atas perbuatan dosanya pada masa lalu,
النَدْمُ عَلَى فِعْلِهَا فِي المَضِى         
bertekad dengan tekad yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama selamanya.
العَزْمُ عَزْمًا جَزِمًا أَنْ لاَ يَعُودَ إلىَ مِثْلِهَا أَبَدَا
Apabila kemaksiatan itu berhubungan dengan hak-hak orang lain, maka disyaratkan pula mengganti kedholiman yang telah diperbuatnya dan meminta ampun ampun kepada yang telah di dholimi.
إِنْ كَانَتِ المَعْصِيَةُ تَتَعَلَّقُ بِحَقٍّ آدَمِيٍ، فَيُشْتَرَطُ فِيْهَا رَدُّ المُظَلِمِ إِلَى أَهْلِهَا أَوْ تَحْصِلُ البَرَاءَةِ مِنْهُم.

[1] al bada-i’ 7/96, al fawakih ad diwani 1/88-89, haasiyatul qalyubi 4/102, al mughni 9/201, al adaab asy syar’iyyah 1/100, tafsir al alusi 28/109

Janji Setia Wanita Mukminah



Tadabbur Ayat 12-13 Surat al-Mumthahanah

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12)
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ قَدْ يَئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ (13)

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 12
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.  13

Sebab Turunnya Ayat 12
Ayat ini diturunkan pada hari penaklukan (fathu makkah) ketika Rasulullah selesai membai’at laki-laki ia mengambil bai’at dari para wanita.[1]

Sebab Turunnya Ayat 13
Diriwayatkan dari ibnul mundzir dari ibnu abbas berkata:
كان عبد الله بن عمر، وزيد بن الحارث يوادّان رجلا من يهود، فأنزل الله: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَوَلَّوْا قَوْماً غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الآية
adalah abdullah bin umar dan zaid bin al harits bersahabat karib dengan seorang laki-laki yahudi. Maka kemudian Allah menurunkan ayat ini.[2]

Hikmah Dari Ayat

Bai’at Dalam Keimanan & Balasannya.
Bai’at adalah suatu ikatan yang disertai dengan adanya transaksi.[3] Ayat ini menjelaskan kepada Rasulullah saw perkara-perkara yang diajukan dalam bai’at tersebut dan bagaimana cara beliau untuk membai’at para wanita tersebut dalam keimanan kepada-Nya. Imam Bukhari meriwayatkan,
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَخِي ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَمِّهِ قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْتَحِنُ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ بِهَذِهِ الْآيَةِ: {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ} إِلَى قَوْلِهِ: {غَفُورٌ رَحِيمٌ} قَالَ عُرْوَةُ: قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا الشَّرْطِ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ، قَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَدْ بَايَعْتُكِ"، كَلَامًا، وَلَا وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطّ فِي الْمُبَايَعَةِ، مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ: "قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ"
Ya’qub bin Ibrahim memberitahu kami, putera saudaraku, ibnu syihab memberitahu kami, dari pamannya, ia bercerita. “urwah memberitahuku bahwa ‘Aisyah ra, isteri nabi saw pernah memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah saw telah menguji kaum wanita mukminah dengan ayat ini (al mumthohanah 12). Urwah bercerita bahwa Aisyah berkata: “wanita mukminah yang mau menerima persyaratan ini, Rasulullah saw akan berkata kepadanya: “sesungguhnya aku telah memba’iatmu,” Beliau hanya mengucapkan kata-kata itu saja dan demi Allah, tangan beliau sama sekali tidak bersentuhan dengan seorang wanitapun dalam bai’at tersebut. Rasulullah saw tidak membai’at mereka melainkan hanya dengan mengatakan: “sungguh aku telah membai’atmu atas hal itu.”[4]

Al Qusyairi menjelaskan secara ringkas bahwa ayat ini memerintahkan kepada Rasul untuk membai’at mereka,
إذا جاءك النساء يبايعنك على الإسلام فطالبهنّ وشارطهنّ بهذه الأشياء. ترك الشّرك، وترك السرقة والزنا وقتل الأولاد والافتراء في إلحاق النّسب، وألا يعصينك في معروف
Jika datang kepadamu wanita-wanita (yg berhijrah) bai’atlah mereka atas keislaman, maka tuntutlah mereka dan berikan mereka syarat dengan perkara-perkara ini, tinggalkan syirik, mencuri, berzina, membunuh anak-anak, berbohong dalam penentuan nasab serta larangan mendurhakai engkau dalam kebaikan.[5]

Sayyid Quthb menuliskan bahwa ayat ini meletakkan dasar bagi tegaknya bangunan aqidah dan kehidupan sosial yang baru.[6]

Larangan melakukan kemusyrikan adalah perintah yang sangat orisinal dari Allah, sebab berhala dalam segala bentuknya adalah sumber dari segala kerusakan manusia. Larangan berikutnya berisi prinsip-prinsip dasar kehidupan keluarga dan bermasyarakat, yang menurut sayyid quthb merupakan sebuah isyarat hal yang terjadi pada masa jahiliyyah itulah yang menghancurkan kehidupan mereka.[7] Syarat terakhir adalah perjanjian untuk menaati Rasulullah saw dalam setiap perkara kebaikan, ini mencerminkan prinsip dasar kehidupan bernegara.

Kaidah tidak ada ketaatan atas seorang pemimpin kecuali dalam kebaikan menjadikan kekuasaan dan kepemimpinan haruslan bersumber dari syari’at Allah. Tidak berdasar atas keinginan pemimpin maupun keinginan rakyat sementara hal itu bertentangan dengan syari’at Islam.

Penggalan akhir pada ayat ke 12 ini menggambarkan balasan yang diterima bagi orang-orang yang diterima bai’atnya adalah Rasulullah memintakan ampunan bagi mereka kepada Zat yang Maha Pengampun atas segala kesalahan mereka yang telah lampau. Dan Allah Maha mengampuni, memberi rahmat dan menghapus segala dosa.[8]

Larangan Menjadikan Selain Muslim Sebagai Wali.
Wali yang berarti an nashiir dan al ma’iin yaitu penolong dan pembantu.[9] Menurut al Qurthubi, al baghawi, ath thobari yang dimaksudkan adalah orang yahudi.[10] Sedangkan menurut az zuhaili yang dimaksud adalah yahudi, nashrani dan semua orang-orang kafir.[11] Pendapat semisal juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir dan sayyid quthb meskipun dalam banyak riwayat bahwa yang dimaksud kaum yang dimurkai adalah yahudi, namun hal ini tidak menafikan keumuman nash yang meliputi semua musuh-musuh Allah. Karena mereka semua berputus asa dari kehidupan akhirat dan tidak memperhitungkannya sebagai-mana putus asanya orang-orang kafir dalam quburnya.[12]

Mengangkat orang kafir sebagai wali, berkasih sayang dengan mereka haram hukumnya. sebagaimana tidak adanya hubungan antara seorang muslim dengan kafir dalam hal kekuasaan dan warisan. Ibnu Abbas mengatakan,
نهى الله المؤمنين أن يلاطفوا الكفار، أو يتخذوهم وليجة من دون المؤمنين.
Allah melarang orang beriman untuk berkasih sayang dengan orang kafir atau mengangkat mereka sebagai sahabat karib selain orang-orang beriman.[13]

Termasuk dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa mengangkat orang kafir untuk menangani urusan ummat Islam tidak di bolehkan. Sebagaimana tidak dibolehkannya menghormat dan mengagungkannya dalam majlis-majlis, karena sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis (9:28).[14]

Allah melengkapi dalil atas larangan menjadikan musuh-musuhnya sebagai wali adalah karena mereka itu orang yang berputus asa dari kehidupan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang miskin dari tujuan hidupnya.  Keputusasaan mereka itu diibaratkan  sebagaimana orang kafir meninggal yang melihat serta mengetahui balasan yang akan diterimanya.[15]
Wallahu a’lam

[1] Wahbah zuhaili: tafsir al munir 28/151
[2] Ibid, 28/152. Jalaludin as suyuthi: dar al mantsur 8/144.
[3] Ibrahim Musthofa et.al: al mu'jam al wasith 79.
[4] Shohih Bukhari 4891. Lihat juga al Baghawi: ma’alim at tanziil fi tafsir al qur’an 5/73, Ismail Haqi: ruuh al bayan 9/491. Asy syaukani: fath al qadir 5/259
[5] Abdul karim al qusyairi: lathoif al isyarot 3/574
[6] Sayyid Quthb: fi dzilal al qur’an 6/3547
[7] idem
[8] idem
[9] Wahbah az zuhaili: tafsir al munir 3/198
[10] Lihat al Qurthubi: al Jami’ li ahkam al Qur’an 18/76. Al Baghawi: ma’alim at tanzil fi tafsir al qur’an, Ibnu Jarir ath Thobari: jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 23/346.
[11] Wahbah az zuhaili: tafsir al munir 28/155
[12] Sayyid Quthb: fi dzilal al qur’an 6/3548, Ibnu Katsir: Tafsir al qur’an al adzhim 8/103
[13] Lihat ath Thobari : jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 6/313, al jashas: ahkam al qur’an 2/288, al kayya alhirasy: ahkam al qur’an 2/283-384, al qurthubi: al jami’ li ahkam al qur’an 4/57, ibnu katsir: tafsir al qur’an al adzhim 2/30, asy syaukani: fath al qadir 1/380, as sayis: tafsir ayat al ahkam 1/190.
[14] Ash shobuni: rowai’ al bayan 1/403.
[15] Mujahid bin Jabr: Tafsir Mujahid 1/657.

Hikmah Dari Peristiwa Hijrah Wanita Beriman



Tadabur Ayat 10-11 Surat al Mumthohanah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (10)
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 10

وَإِنْ فَاتَكُمْ شَيْءٌ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ إِلَى الْكُفَّارِ فَعَاقَبْتُمْ فَآتُوا الَّذِينَ ذَهَبَتْ أَزْوَاجُهُمْ مِثْلَ مَا أَنْفَقُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (11)
Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari istrinya itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman. 11

Sebab Turunnya Ayat 10

Diriwayatkan oleh bukhari dari marwan bin alhakim,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لما عاهد كفار قريش يوم الحديبية، جاءه نساء من المؤمنات، فأنزل الله: يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا جاءَكُمُ الْمُؤْمِناتُ مُهاجِراتٍ إلى قوله: وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوافِرِ.
Bahwasanya rasulullah saw, ketika membuat perjanjian dengan orang-orang kafir quraisy pada hari hudaibiyah, datang kepadanya wanita-wanita mukminat, kemudian Allah menurunkan ayat ini…[1]

Ibnu Katsir menuliskan sebuah riwayat ibnu tsaur menceritakan dari ma’mar dari az zuhri,
أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ بِأَسْفَلَ الْحُدَيْبِيَةِ، حِينَ صَالَحَهُمْ عَلَى أَنَّهُ مَنْ أَتَاهُ مِنْهُمْ رَدَّهُ إِلَيْهِمْ، فَلَمَّا جَاءَهُ النِّسَاءُ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَرُدَّ الصَّدَاقَ إِلَى أَزْوَاجِهِنَّ، وَحَكَمَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مِثْلَ ذَلِكَ إِذَا جَاءَتْهُمُ امْرَأَةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَرُدُّوا الصَّدَاقَ إِلَى زَوْجِهَا، وَقَالَ: {وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ}
Ayat ini diturunkan kepada Rasulullah saw pada saat beliau berada di tempat yang paling bawah dari hudaibiyah. Beliau mengadakan perjanjian dengan kaum kafir quraisy dengan kesepakatan bahwa siapapun dari golongan mereka yang datang kepada beliau maka beliau harus mengembalikan kepada mereka. Dan setelah ada beberapa orang wanita yang datang kepada beliau, maka turunlah ayat tersebut dan beliau memerintahkan agar para wanita itu mengembalikan mahar kepada suami mereka. Hal yang sama juga diberlakukan kepada orang-orang musyrik, dimana jika ada wanita muslimah yang datang kepada mereka, maka mereka harus mengembalikan mahar kepada suami mereka. Dan Allah ta’ala berfirman “dan janganlah kamu tetap berpegang kepada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir”[2]

Sebab Turunnya Ayat 11
Ibnu Abi Hatim menceritakan dari al hasan bahwa,
نزلت في أم الحكم بنت أبي سفيان ارتدت، فتزوجها رجل ثقفي، ولم ترتد امرأة من قريش غيرها.
Ayat ini turun kepada ummul hakam binti abu sofyan yang kembali murtad, maka seorang pemuda menikahinya, dan ia tidak menikahi wanita quraisy lainnya [3]

Hikmah Dari Ayat

Ujian Keimanan Bagi Para Wanita Yang Berhijrah.
Perintah untuk menguji para wanita yang berhijrah adalah untuk mengetahui sebab tindakan mereka tersebut, apakah ada sebab-sebab lain selain kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mujahid bin Jabr menuliskan bahwa maksud “famtahinuhunna” atau ujilah mereka (wanita-wanita tsb) dengan menanyakan apakah yang menjadi sebab kedatangan mereka.
فَإِنْ كَانَ جَاءَ بِهِنَّ غَضَبٌ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ أَوْ سَخَطٌ، وَلَمْ يُؤْمِنَّ فَأَرْجِعُوهُنَّ إِلَى أَزْوَاجِهِنَّ
Jika mereka datang karena marah atau membenci suaminya, dan belum beriman maka kembalikanlah mereka kepada suaminya.[4]

Ikrimah berkata, kepada mereka dikatakan
ما جاء بك إلا حب الله ورسوله، وما جاء بك عشق رجل منا، ولا فرارا من زوجك.
Kamu tidak datang kecuali karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Kamu tidak datang karena mencintai salah seorang dari kami dan tidak pula karena lari dari suamimu. [5]
Ibnu Abbas juga berpendapat bahwa mereka diuji dengan sumpah[6] al Aufi menceritakan dari Ibnu Abbas bahwa mereka diuji dengan mengucapkan syahadat.[7]

Demikianlah gambaran ujian yang diberikan kepada para mukminat yang berhijrah. Sayyid Quthb mengatakan, pengujian ini didasarkan atas kondisi lahiriyah dan pengakuan mereka yang disertai sumpah atas nama Allah.[8] Perkara-perkara yang tersembunyi adalah sesuatu yang diluar kemampuan manusia untuk mengukurnya dan menjadi urusan Allah. Ibnu Katsir berpendapat dalam ayat terdapat dalil bahwa keimanan itu dapat dilihat oleh manusia secara pasti menurut pengakuan.[9] Dengan demikian kita dapati hikmah bahwa pembuktian keimanan secara lahiriah ini akan membebaskan sesama muslim dari buruk sangka yang bisa mengakibatkan tindakan yang kontra produktif bagi gerakan Islam.

Masyarakat Islam Kokoh Berasaskan Ikatan Aqidah
Pembuktian rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah sebuah keteladanan mengenai ikatan-ikatan yang seharusnya terbentuk dalam masyarakat Islam. Ikatan yang terjalin adalah ikatan akidah, ikatan inilah yang menjadi dasar terbentuknya sistem sosial masyarakat Islam. Di atas ikatan inilah ukhuwwah dibina, kasih sayang dipupuk dan sepenanggungan dalam urusan ummat. Termasuk dalam hal ini adalah keluarga.

Orang-orang kafir bukanlah pasangan yang baik bagi wanita-wanita yang beriman. Sayyid quthb berpendapat dalam tafsirnya, bahwa pernikahan merupakan perpaduan persatuan dan ketentraman yang tidak mungkin dibangun tanpa adanya ikatan akidah. Sehingga memunculkan perasaan cinta, damai dan tentram berada di sisi sang kekasih.[10]

Keluarga merupakan struktur sosial terkecil dari sebuah masyarakat, sehingga kokohnya bangunan keluarga berbanding lurus dengan kokohnya masyarakat tersebut. Ayat ini menegaskan bahwa dalam realitas kehidupan bermasyarakat tidak ada ikatan sejati bagi ummat Islam selain ikatan aqidah. Kebersamaan, kepercayaan, kasih-sayang apalagi kepemimpinan dan pengurusan urusan ummat terbentuk atas ikatan cinta kepada Allah dengan menerapkan syari’at-Nya dan meneladani Rasul-Nya.

Dengan ikatan inilah kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan para pengusung risalah kenabian ini terbentuk. Seorang pemikir menuliskan,”Di rumah Muhammad saw tak dijumpai perabot mahal. Ia akan makan dilantai seperti budak, sementara raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetian para pendukungnya.”[11]

Ikatan ini pula yang menjadi jaminan bahwa ketika Allah berfirman pada penggalan akhir ayat 10 “Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” maka cukuplah hal ini bagi seorang mukmin sejati untuk tunduk dan patuh terhadap syari’atnya, dalam kasus ini adalah perkara pengembalian mahar.

Perkara pengembalian mahar dari mukminah kepada suaminya serta wanita kafir kepada suaminya yang beriman adalah bentuk keadilan dan persamaan hukum.[12] Hal ini juga menjadi bukti kokohnya struktur masyarakat Islam. Tegaknya hukum atas dasar prinsip keadilan dan persamaan adalah jaminan bagi tegaknya sebuah tatanan masyarakat.

[1] Lihat, Wahbah Zuhaili: tafsir al munir fi syari’ati wal aqidati wal manhaj 28/139-140. Ibnu Katsir: tafsir al qur’an al adzhim 8/94, Jalaludin as suyuthi: dar al mantsur 8/132, asy syaukani: fath al qadir 5/258.
[2] Ibnu Katsir: tafsir al qur’an al adzhim 8/94. lihat juga Sayyid Quthb: fi dzilal al qur’an 6/3546. Al Baghawi: ma’alim at tanzil fi tafsir al qur’an 5/75. Al Qurthubi: al jami’ li ahkam al qur’an 18/61. Jalaluddin as Suyuti: daar al mantsur 8/132. 
[3] Al Wahidi: asbab an nuzul 241, wahbah az zuhaili: tafsir al wasith 3/2641.
[4] Mujahid bin Jabr: tafsir mujahid 1/655. Lihat juga Ibnu Jarir ath Thobari: jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 23/326. Abu Muhammad Makki al Qairuni: al hidayatu ila bulugh an nihayah 11/7424. Jalaludin as suyuthi: dar al mantsur 8/133. Muhammad Jamaluddin al Qasimy: mahasin at ta’wil 9/208.
[5] Sayyid Quthb: fi dzilal al qur’an 6/3546. Abu Muhammad Makki al Qairuni: al hidayatu ila bulugh an nihayah 11/7425. Ibnu Katsir: tafsir al qur’an al adzhim 8/120.
[6] Ibnu Jarir ath thobari: Jami’ al bayan an ta’wil li ayy al qur’an 28/44.
[7] Ibnu Katsir: Tafsir al qur’an al adzhim 8/92
[8] Sayyid Quthb: fi dzilal al qur’an 6/3546
[9] Ibnu Katsir: Tafsir al qur’an al adzhim 8/93
[10] Sayyid Quthb: fi dzilal al qur’an 6/3546
[11] Rahmat Abdullah: warisan sang murabbi 14.
[12] Sayyid Quthb: fi dzilal al qur’an 6/3546

Do’a Yang Terkait Dengan Masjid



Do'a ketika Pergi ke Masjid
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُوراً، وَ فِي لِسَانِي نُوراً، وَ اجْعَلْ فِي سَمْعِي نُوراً، وَ اجْعَلْ فِي بَصَرِي نُوراً، وَ اجْعَلْ فِي خَلْفِي نُوراً، وَ مِنْ أَمَامِي نُوراً، وَ اجْعَلْ مِنْ فَوقِي نُوراً، وَ مِنْ تَحْتِي نُورًا، اللهُمَّ أَعْطِنِي نُوراً.
Allahummaj’al fi qalbiy nuuron, wa fii lisaniy nuuron, waj’al fii sam’iy nuuron, waj’al fi bashoriy nuuron, waj’al min kholfiy nuuron, wa min amaamiy nuuron, waj’al min fauqiy nuuron, wa min tahti nuuron, allahumma a’thiniy nuuron.
Ya Allah jadikanlah cahaya di hatiku, cahaya di lidahku, cahaya di pendengaranku, cahaya di penglihatanku, cahaya dari belakangku, cahaya dari wajahku, cahaya dari atasku dan cahaya dari bawahku. Ya Allah berilah aku cahaya.

Masuk Masjid
أَعُوذُ بِاللهِ العَظِيمِ، و بِوَجْهِهِ الكَرِيمِ، وَ سُلْطَانِهِ القَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ، و الصَّلاَةُ و السَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ، اللهُمَّ افتَح لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
A’udzu billlahil ‘adzim, wa biwajhihil karim, wa sulthonihil qodim, minas syaithonir rojim, bismillah, wash sholatu was salaamu ‘ala rasulillah, allahummaftah liy abwaba rohmatik.
Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, pada wajah-Nya Yang Mulia dan kekuasaan-Nya yang tidak ada permulaannya dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah dan salam terlimpahkan kepada Rasulullah saw, ya Allah bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat darimu.

Keluar Masjid
بِسْمِ اللهِ و الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ ، اللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ، اللَّهُمَّ أَعْصِمْنِي مِنَ الشَيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
Bismillahi wash sholatu was salamu ‘ala rosulillahi, allahumma inni as-aluka min fadlika, allahumma a’shimniy minas syaitoni rajiim.
Dengan nama Allah, semoga solawat dan salam terlimpahkan kepada Rasulullah, ya Allah sesungguhnya aku minta kepada-Mu dengan keutamaan-Mu. Ya Allah peliharalah aku dari godaan syetan yang terkutuk (shahih ibnu majah 1/29)

Do’a Ketika Masuk & Keluar Rumah



Masuk Rumah
بِسْمِ اللهِ وَلَجْنَا، و بِسْمِ اللهِ خَرَجْنَا، وَ عَلَى رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا
Bismillahi walajna wa bismillahi khorojna, wa ‘ala robbina tawakkalna.
Dengan nama Allah kami masuk (kerumah), dengan nama Allah kami keluar dan kepada Rabb kami, kami bertawakkal. (HR Abu Dawud 4/325)

Keluar Rumah
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ وَ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
Bismillahi, tawakkaltu ‘alallahi, wala haula wala quwwata illa billahi
Dengan menyebut nama Allah aku bertawakal kepada Allah dan tiada daya dan upaya kecuali atas ijin Allah. (HR Abu Dawud 4/235 & Tirmidzi 5/490)
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ أّنْ أَضِلَّ، أَوْ أُضَلَّ، أَو أَزِلَّ، أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ، أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ، أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ
Allahumma inni a’udzu bika an adhilla, aw udholla, aw azilla, aw uzalla, aw adzlima, aw udzlamu, aw yujhala ‘alayya
Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu, jangan sampai aku sesat dan disesatkan, berbuat kesalahan atau disalahi, menganiaya atau dianiaya dan menjadi bodoh atau dibodohi (HR Ashhabus Sunan, lihat pula shahih tirmidzi 3/152 & shahih Ibnu Majah 2/336)

Do’a Wudhu




sebelum berwudhu
بِسْمِ اللهِ
Bismillah, dengan nama Allah (aku berwudhu)

Setelah berwudhu
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَ رَسُولُهُ
Asyhadu ala ilaha illallah wahdahu la syarikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.
“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” (HR Muslim 1/209)

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ واجْعَلَنِي مِنَ المُتَطَهِّرِيْنَ
Allahummaj ‘alniy minat tawwaabiina waj ‘alniy minal mutathohhiriin.
Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang senang mensucikan diri. (HR Tirmidzi 1/78, lihat shahih tirmidzi 1/18)

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بَحَمْدِكَ وَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَ أَتُوبُ إِلَيْكَ
Subhanaka allahumma wa bihamdika wa asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik.
Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji kepada-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu. (HR Nasai dalam amal al yaum wa al lailah 173)